Lyla melangkah keluar kamar dengan terusan formal miliknya. Kemeja satin dan rok span senada menjadi piihan bajunya untuk menghadiri rapat para direksi pagi ini. Ia telah bersiap dengan bajunya serta mengenakan riasan ringan yang segar. Rambutnya ia tata ponytail rapi hingga berkesan praktis, profesional, dan simpel."Kau sudah siap? Ada yang sedang menunggumu di bawah, bersiaplah dengan 'kejutan' pagi ini yang tampaknya akan menyenangkan," ucap Allen. Ia yang tadinya menunggu Lyla di sofa depan kamarnya, kini beranjak mendekatinya. Allen yang sebelumnya juga sudah terlebih dahulu rapi dengan setelan jasnya dan berkas-berkas dalam tas kerjanya, mulai berwajah serius."Apa maksudmu?" tanya Lyla sambil mengerutkan alisnya."Madison," jawab Allen singkat. "Ah ... ya, aku mengerti," decaknya dengan sedikit mendesah kesal. "Apa lagi kali ini?" ucapnya dengan nada penuh tanya.Allen mengangkat kedua bahunya. "Masalah, yang pasti. Tapi walau begitu, kita tetap harus menghadapinya, bukan? Ka
Nathan, Lyla, Jake, dan Allen telah kembali berkumpul malam itu setelah seharian urusan panjang masalah perusahaan telah selesai mereka lalui."Maafkan aku, aku baru memberitahukan kalian di detik-detik terakhir saat rapat sedang berlangsung. Karena itu merupakan perintah Damian padaku sesuai pesan yang aku terima di ponselku. Aku tak dapat memberi tahu kalian langsung saat itu, terlebih ketika Madison menyerangku," ucap Lyla pada semuanya.Nathan mengangguk. "Tak apa, walau kuakui aku begitu terkejut, tetapi aku juga bersyukur, karena dengan begitu rapat berjalan dengan baik. Semua prasangka yang tertuju padamu pun dapat hilang dalam sekejap," balasnya."Tapi, tunggu ... apakah semua itu asli dari Damian? Benarkah itu benar-benar dirinya?" tanya Jake. Ia menatap bergantian pada masing-masing lawan bicaranya yang sedang duduk berjajar mengelilingi meja makan di lantai atas."Apa kau masih mempertanyakan itu? Terlihat jelas bahwa foto-foto yang ditunjukkan di sana adalah foto Damian. D
Keesokannya ...."Apa hari ini kau baik-baik saja, Lyla?" tanya Allen dengan raut ingin tahu.Kini, Allen dan Lyla sedang sama-sama duduk berhadapan pada sebuah meja makan. Mereka melakukan sarapan bersama pagi itu."Aku baik-baik saja, Allen," jawab Lyla.Lyla telah mengenakan setelan formal dan berias sesuai dengan pakaian yang ia kenakan. Riasannya tak terlalu berlebihan tetapi tetap terkesan bersih dan elegan."Apakah hanya Nathan yang akan mendampingimu hari ini?" tanya Allen. "Aku akan berangkat siang jika kau menginginkan pengawalanku atau semacamnya." Allen menawarkan diri untuk mendampingi Lyla dengan raut sungguh-sungguhLyla hanya tersenyum kecil dan menatap Allen dengan geli. "Aku bukanlah anak kecil. Aku hanya akan berangkat ke kantor untuk mempelajari segalanya bersama Nathan. Cukup Ben dan Joe saja yang mengawalku, Allen. Dan jika kau sengaja menggunakan kalimat itu untuk lolos dari tanggung jawabmu di pabrik, aku akan menendangmu!" ujar Lyla sedikit menggoda Allen."Ck
Lyla menatap hidangan di atas meja makan dengan raut yang tak terbaca. Ia tampak sedang setengah melamun saat Allen menemaninya malam itu. "Apa kau sedang merasa tak sehat? Ada apa?" tanya Allen yang sedikit khawatir karena memperhatikan raut Lyla.Lyla dengan tenang menatap Allen. Ia tersenyum dan menggeleng perlahan. "Aku tak apa, Allen," balasnya."Bagaimana keadaan perusahaan? Apakah kau mengalami kesulitan di sana? Perlukah aku menemanimu besok?" tanya Allen."Tak apa, aku bisa mengatasinya. Nathan banyak membantuku dan banyak membimbingku dengan apa yang harus kupelajari," jawab Lyla.Allen menatap Lyla dan tampak sedikit ragu, ia kemudian sedikit berbisik. "Apakah mungkin kau mendapat sebuah pesan lagi dari nomor yang tak dikenal, Lyla?" tanyanya tiba-tiba.Lyla tampak sedikit terkesiap. Ia menatap Allen dengan waspada dan melirik sekilas ke kiri dan kanannya. Saat itu, Alice, Ester, dan Marie tampak terlihat sedang sibuk di area dapur yang dapat terlihat dari meja makan."Men
"Apa yang sudah kau dapatkan?" tanya Allen pada Lyla yang saat ini sedang berkutat dengan laptopnya."Belum ada. Mungkin kita hanya harus menunggu saja," balas Lyla."Apa kau yakin cara ini akan berhasil? Karena yang kutahu bukankah dalam zaman modern seperti sekarang ini hal-hal yang berbau ... yah, katakanlah mistis, paranormal, aneh, dan semacamnya itu tidaklah nyata?" ucap Allen lagi.Lyla mengangkat sebelah alisnya sebelum akhirnya berkata, "Apa kau tak benar-benar mengerti dengan apa yang telah kujelaskan padamu? Bukankah semalam aku telah mengatakan semuanya padamu? Bagian mana yang tak kau mengerti?" tanya Lylabalik bertanya pada saudaranya."Entahlah ... bagian dimana kau bercerita tentang Damian yang memiliki kemampuan spesial, rasanya ... itu masih sulit kumengerti," bisik Allen lirih seolah tak ingin ada seorang pun yang mendengar."Ssh, hentikanlah ... jangan berkata apapun tentang itu. Sebaliknya, kau sekarang tahu apa yang harus kau lakukan, bukan?" ucap Lyla.Allen men
Enam bulan kemudian ....Seorang pria mengendap-endap masuk ke dalam kamar yang temaram tanpa menyalakan lampu. Ia perlahan-lahan berjalan masuk dan mendekati ranjang dengan pemilik yang masih terlelap di atasnya.Napas si pemilik ranjang itu naik turun secara beraturan menandakan tidurnya yang begitu lelap. Dengan melihat sebotol anggur kosong di samping bantalnya, siapa pun pasti akan tahu penyebab tidurnya yang lelap.Pria itu, kemudian perlahan mulai naik ke atas ranjang luas yang tampak dingin karena si pemilik ranjang, wanita itu, tampak sedikit meringkuk dengan selimut yang telah tersibak yang memperlihatkan setengah paha dan betis mulusnya."Damian ...," gumamnya lirih. Sisa air mata sedikit membasahi sudut matanya yang terpejam.Ya, Lyla sedang bermimpi tentang Damian. Ia lagi-lagi merasa nyeri hingga memerlukan alkohol untuk membantunya terlelap. Ketika semua telah menumpuk dan ia merasa kesepian, ia sesekali diam-diam pergi tidur dengan meminum anggurnya malam-malam tanpa s
Lyla segera bangkit dari tidurnya. Ia terduduk menatap Damian dan membeku untuk beberapa saat. "Apakah benar itu kau?" Lyla kemudian meraih wajah Damian dan sedikit meremasnya beberapa kali hingga Damian meringis kesakitan."Aw, ya Sayang, ini aku. Ini bukanlah mimpi," ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Lyla.Lyla menggigit bibirnya dengan kuat. Ia sontak terisak dan menangis. Ia seketika berhambur memeluk Damian dan menangis sejadinya. "Kau jahat Damian! Hgghk ... kau jahat!" isaknya sesekali memukul dada Damian.Damian hanya tersenyum dan memeluk Lyla erat sambil mengusap-usap puncak kepalanya dengan lembut. Ia sendiri merasa lega setelah akhirnya dapat kembali memeluk istrinya."Mengapa kau tak mengatakan apapun di telepon!! Mengapa kau?! Oh!! Hhiiks! Kau menyebalkan! Kau tak memikirkanku!! Harusnya ... harusnya kau ... ooh! Hhhgk!"Damian membiarkan Lyla mengeluarkan isi hatinya dan menangis sepuasnya. Beberapa saat setelah Lyla lebih tenang, Damian meraih wajahnya dan meng
Allen masih menatap Damian lekat-lekat ketika ia duduk di sisi samping pria itu saat makan siang mereka."Apakah ia masih menatapku, Lyla?" tanya Damian tenang sambil menyantap hidangan yang telah disiapkan Lyla."Ya, masih," jawab Lyla sambil tersenyum geli.Allen mengembuskan napasnya setelah bergantian menatap Damian dan Lyla. "Aku masih tak percaya ini. Sebenarnya apa yang terjadi? Kau menghilang begitu saja dan kini, muncul tiba-tiba di hari libur kami tanpa pemberitahuan apapun. Bahkan sekarang kau begitu tenang. Apa kau baik-baik saja? Bagaimana kondisimu? Itu bukanlah suatu penyakit yang serius, benar? Di mana saja kau selama ini?" tanya Allen."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, Allen," ucap Damian sambil tersenyum dan membetulkan letak kaca mata gelapnya."Kulihat kau pun sama terkejutnya denganku. Lihatlah kedua matamu yang membengkak itu, Lyla. Apakah kau menangis semalaman? Wajahmu sekarang benar-benar berantakan dan tampak kacau," komentar Allen."Diamlah, Allen