Share

8. Duka Keluarga Bima

"Untuk masalah mental gue enggak bisa ngomong apa-apa. Apalagi orang yang bersangkutan sudah meninggal. Namun, yang selama ini gue lihat sih sepertinya Bima baik-baik aja, enggak ada rumor atau perilaku dia yang aneh," sahut Bella memejamkan matanya lelah.

Ada perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan kepada para sahabatnya. Dia takut jika suatu saat salah satu dari mereka atau bahkan semuanya ikut menjadi korban. Entah benar atau tidak, dia merasa mereka yang menjadi korban adalah orang yang mencintainya.

Pertama Alvin, sosok laki-laki yang beberapa hari terakhir sedang dekat dengannya. Selalu datang membawakan dia makanan saat jam istirahat tiba. Mengantarkan pulang dan mengajaknya jalan-jalan untuk melepas penat.

Kedua Bima, laki-laki yang beberapa hari lalu mengatakan cintanya tetapi dia tolak. Berkata bahwa sudah mencintainya sejak hari pertama ospek.

Jika memang pemikirannya benar, maka akan banyak laki-laki lain yang menjadi korban. Karena hampir seluruh mahasiswa di kampus ini menyukainya.

Apa yang harus gue lakukan? batin Bella dengan perasaan takut yang begitu besar.

"Kita pikirkan itu nanti saja, setelah sampai di rumah Bima. Lebih baik sekarang kita ke kelas, karena gue rasa enggak baik ngomongin hal itu di sini. Siapa tahu ada orang yang menguping dan berakhir membahayakan nyawa kita." Galih bangkit dari posisi duduknya dan membersihkan debu yang menempel di celananya.

Mereka membenarkan kalimat Galih di dalam hati. Bagaimana pun juga nyawa adalah hal yang paling berharga. Jika salah satu ada yang terluka, maka rencana kedepannya akan hancur berantakan.

"Nanti gue buat grup W******p ya, biar komunikasi kita lebih mudah. Sampai ketemu nanti," ucap Davin yang ikut berdiri lalu melangkah meninggalkan taman dengan tangan memijat keningnya. Sewaktu berada di bangku SMA, dia sama sekali tidak merasa pusing saat mengerjakan matematika dan fisika. Mau serumit apa pun rumusnya, dia akan merasa senang dan mengerjakannya dengan mudah. Lalu, kenapa sekarang cenat-cenut hanya dengan kematian seseorang?

**

"Kalian mau ke mana?" tanya Luna menghadang sekumpulan mahasiswa yang berjalan tergesa-gesa menuju parkiran.

"Kami mau ke rumah Bima, karena 30 menit lagi mau dimakamin," jawab Ira - salah satu mahasiswi yang berada di sekumpulan itu.

"Emang udah selesai diautopsi ya?" tanya Luna lagi.

"Sudah, kalau mau tau kelanjutannya lebih baik lo datang ke rumahnya. Maaf, kami buru-buru jadi enggak bisa kasih banyak informasi ke lo. Bye." Salah satu mahasiswa yang memakai sweater hitam angkat bicara, lalu menarik tangan temannya yang dihadang oleh Luna. Mereka pun bergegas pergi, berlari kecil menuju mobil merah yang akan mengantarkannya ke rumah Bima.

Luna menatap kepergian mereka dengan mata yang mengerjap linglung. Padahal dia belum tanya tentang alamat rumah Bima, tetapi mereka sudah keburu pergi. Selama ini selain Bella dan Maya, dia tidak pernah tahu alamat lengkap apalagi datang ke rumah teman sekampusnya.

"Mungkin Bella tau," gumam Luna membalikkan badannya, berjalan menuju kelasnya kembali.

Sesampainya di dalam kelas, dia langsung menghampiri Bella yang tengah memejamkan mata dengan tangan sebagai penyangga. Karena takut mengganggu, dia menoleh ke arah Maya yang sedang menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan.

"Bangunin siapa ya?" Luna menggigit kukunya gelisah.

"Ada apa?" Pertanyaan Bella yang tiba-tiba membuat Luna terlonjak kaget dan dengan refleks menggigit kukunya keras, hingga membuat kuku panjangnya yang begitu cantik sedikit patah.

"Yah, kuku gue," gumam Luna menatap nanar kukunya.

Dia mengesampingkan rasa sedih dan kesalnya terlebih dahulu, karena ada hal yang jauh lebih penting untuk dibicarakan kepada Bella.

"Bel, lo tahu rumahnya Bima?" tanya Luna mendaratkan bokongnya di kursi depan Bella.

Mendengar nama seseorang yang sedari tadi memenuhi pikirannya, membuat Bella membuka matanya dengan cepat. Dia menegakkan badannya dan menatap Luna serius.

"Kenapa lo tanya rumah Bima?" tanya Bella balik.

"Kita harus segera ke sana, karena 30 menit lagi mau dimakamin. Kira-kira 5 menit yang lalu gue dikasih tahunya, jadi kalau mau ke sana harus cepat berangkat," jawab Luna.

Bella melihat jam tangannya, lalu dengan cepat mengemasi barangnya. "Gue tahu, ayo!"

Maya yang pada dasarnya tidak tidur pun langsung bangkit dengan tas yang sudah rapi.

"Gue kira kalian tidur, tau gitu gue keplak aja tadi. Gue sampai ragu buat bangunin kalian, takut ganggu dan pada akhirnya kuku gue yang jadi korban," gerutu Luna seraya memasukkan bukunya asal.

Keadaan kelas yang sepi, membuat Bella dan Maya mendengar gerutuan Luna dengan jelas. Namun mereka memilih tidak memedulikan dan berjalan beriringan keluar kelas.

Sesampainya di ambang pintu, mereka melihat Davin dan Galih yang menyandar di pilar dengan tangan bersedekap.

"Kalian sudah lama di sini? Kenapa enggak masuk?" tanya Bella menghampiri keduanya.

"Eh, sudah selesai? Gue sama Galih baru aja sampai-"

"Jangan banyak bicara! Ayo ke rumah Bima, kita enggak punya banyak waktu!" Galih memotong ucapan Davin dengan wajah datarnya. Bisa-bisanya mereka berbicara santai di saat keadaan sedang mendesak. Apalagi waktunya yang tidak banyak, belum lagi jika nanti di jalan mengalami kemacetan.

"Ayo!" teriak Luna yang baru saja keluar dari kelas dan langsung berlari kencang menuju parkiran.

Sedangkan di sisi lain, lebih tepatnya di rumah Bima, suara tangisan saling bersahutan. Nita - mama Bima menangis histeris di samping peti berisi jenazah putra tunggalnya.

Tadi, saat sedang asik menyiram bunga, tiba-tiba ada telepon dari polisi dan mengatakan bahwa anaknya sedang berada di rumah sakit.

Dunianya seakan hancur saat mendengar kalimat lanjutan dari polisi itu. Anaknya jatuh dari rooftop dan meninggal. Kenyataan yang tidak dapat dia terima, anak laki-laki satu-satunya harus meninggalkannya secepat ini.

Dengan tangan gemetar, dia menelpon suaminya dan bergegas ke rumah sakit, tempat anaknya berada.

Tidak terhitung berapa kali dia pingsan, karena masih merasa begitu shock. Apalagi setelah melihat Bima yang keluar dari ruang autopsi. Sebagian badan yang hancur dan hasilnya mengatakan bahwa semuanya murni karena bunuh diri, tidak ada jejak apa pun. Dia merasa menjadi orang tua yang tidak berguna, tidak mengetahui masalah yang dialami putra semata wayangnya hingga melakukan hal seperti ini.

"Bima, Sayang, bangun! Jangan tinggalin mama!" teriak Mama Nita histeris. Dia ingin memeluk tubuh anaknya, tetapi terhalang dengan peti dan tubuh setengah hancurnya. Apalagi sudah dimandikan oleh pihak rumah sakit.

"Ayo bangun! Kamu sayang mama 'kan? Kamu pernah bilang kalau enggak mau lihat menangis. Sekarang air mama jatuh, ayo hapuskan, Sayang!" Air mata Mama Nita mengalir deras. Masih merasa tidak menyangka akan mengalami hal mengerikan ini.

Ino - Papa Bima yang sedari tadi memeluk Mama Nita pun tidak kuasa menahan tangisnya. Raungan histeris sang istri dengan pemandangan peti putra tunggalnya, membuat hatinya terasa terbelah.

"Ma, sudah. Kita harus ikhlas," ucap Papa Ino mengusap pundak Mama Nita pelan.

"Enggak, Pa. Anak kita ... Bima, Pa. Ayo bangunin, Pa, sekarang waktunya kuliah!" teriak Mama Nita mencengkeram baju suaminya. "Dia pasti begadang semalam, makanya jam segini belum bangun. Pa, bangunin!"

"Ma ... jangan gini. Hati papa sakit," bisik Papa Ino mendekap tubuh Mama Nita erat dengan air mata yang sudah mengalir deras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status