Beranda / Thriller / Misteri Asmara Bella / 8. Duka Keluarga Bima

Share

8. Duka Keluarga Bima

Penulis: Ervin Warda
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-26 19:15:42

"Untuk masalah mental gue enggak bisa ngomong apa-apa. Apalagi orang yang bersangkutan sudah meninggal. Namun, yang selama ini gue lihat sih sepertinya Bima baik-baik aja, enggak ada rumor atau perilaku dia yang aneh," sahut Bella memejamkan matanya lelah.

Ada perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan kepada para sahabatnya. Dia takut jika suatu saat salah satu dari mereka atau bahkan semuanya ikut menjadi korban. Entah benar atau tidak, dia merasa mereka yang menjadi korban adalah orang yang mencintainya.

Pertama Alvin, sosok laki-laki yang beberapa hari terakhir sedang dekat dengannya. Selalu datang membawakan dia makanan saat jam istirahat tiba. Mengantarkan pulang dan mengajaknya jalan-jalan untuk melepas penat.

Kedua Bima, laki-laki yang beberapa hari lalu mengatakan cintanya tetapi dia tolak. Berkata bahwa sudah mencintainya sejak hari pertama ospek.

Jika memang pemikirannya benar, maka akan banyak laki-laki lain yang menjadi korban. Karena hampir seluruh mahasiswa di kampus ini menyukainya.

Apa yang harus gue lakukan? batin Bella dengan perasaan takut yang begitu besar.

"Kita pikirkan itu nanti saja, setelah sampai di rumah Bima. Lebih baik sekarang kita ke kelas, karena gue rasa enggak baik ngomongin hal itu di sini. Siapa tahu ada orang yang menguping dan berakhir membahayakan nyawa kita." Galih bangkit dari posisi duduknya dan membersihkan debu yang menempel di celananya.

Mereka membenarkan kalimat Galih di dalam hati. Bagaimana pun juga nyawa adalah hal yang paling berharga. Jika salah satu ada yang terluka, maka rencana kedepannya akan hancur berantakan.

"Nanti gue buat grup W******p ya, biar komunikasi kita lebih mudah. Sampai ketemu nanti," ucap Davin yang ikut berdiri lalu melangkah meninggalkan taman dengan tangan memijat keningnya. Sewaktu berada di bangku SMA, dia sama sekali tidak merasa pusing saat mengerjakan matematika dan fisika. Mau serumit apa pun rumusnya, dia akan merasa senang dan mengerjakannya dengan mudah. Lalu, kenapa sekarang cenat-cenut hanya dengan kematian seseorang?

**

"Kalian mau ke mana?" tanya Luna menghadang sekumpulan mahasiswa yang berjalan tergesa-gesa menuju parkiran.

"Kami mau ke rumah Bima, karena 30 menit lagi mau dimakamin," jawab Ira - salah satu mahasiswi yang berada di sekumpulan itu.

"Emang udah selesai diautopsi ya?" tanya Luna lagi.

"Sudah, kalau mau tau kelanjutannya lebih baik lo datang ke rumahnya. Maaf, kami buru-buru jadi enggak bisa kasih banyak informasi ke lo. Bye." Salah satu mahasiswa yang memakai sweater hitam angkat bicara, lalu menarik tangan temannya yang dihadang oleh Luna. Mereka pun bergegas pergi, berlari kecil menuju mobil merah yang akan mengantarkannya ke rumah Bima.

Luna menatap kepergian mereka dengan mata yang mengerjap linglung. Padahal dia belum tanya tentang alamat rumah Bima, tetapi mereka sudah keburu pergi. Selama ini selain Bella dan Maya, dia tidak pernah tahu alamat lengkap apalagi datang ke rumah teman sekampusnya.

"Mungkin Bella tau," gumam Luna membalikkan badannya, berjalan menuju kelasnya kembali.

Sesampainya di dalam kelas, dia langsung menghampiri Bella yang tengah memejamkan mata dengan tangan sebagai penyangga. Karena takut mengganggu, dia menoleh ke arah Maya yang sedang menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan.

"Bangunin siapa ya?" Luna menggigit kukunya gelisah.

"Ada apa?" Pertanyaan Bella yang tiba-tiba membuat Luna terlonjak kaget dan dengan refleks menggigit kukunya keras, hingga membuat kuku panjangnya yang begitu cantik sedikit patah.

"Yah, kuku gue," gumam Luna menatap nanar kukunya.

Dia mengesampingkan rasa sedih dan kesalnya terlebih dahulu, karena ada hal yang jauh lebih penting untuk dibicarakan kepada Bella.

"Bel, lo tahu rumahnya Bima?" tanya Luna mendaratkan bokongnya di kursi depan Bella.

Mendengar nama seseorang yang sedari tadi memenuhi pikirannya, membuat Bella membuka matanya dengan cepat. Dia menegakkan badannya dan menatap Luna serius.

"Kenapa lo tanya rumah Bima?" tanya Bella balik.

"Kita harus segera ke sana, karena 30 menit lagi mau dimakamin. Kira-kira 5 menit yang lalu gue dikasih tahunya, jadi kalau mau ke sana harus cepat berangkat," jawab Luna.

Bella melihat jam tangannya, lalu dengan cepat mengemasi barangnya. "Gue tahu, ayo!"

Maya yang pada dasarnya tidak tidur pun langsung bangkit dengan tas yang sudah rapi.

"Gue kira kalian tidur, tau gitu gue keplak aja tadi. Gue sampai ragu buat bangunin kalian, takut ganggu dan pada akhirnya kuku gue yang jadi korban," gerutu Luna seraya memasukkan bukunya asal.

Keadaan kelas yang sepi, membuat Bella dan Maya mendengar gerutuan Luna dengan jelas. Namun mereka memilih tidak memedulikan dan berjalan beriringan keluar kelas.

Sesampainya di ambang pintu, mereka melihat Davin dan Galih yang menyandar di pilar dengan tangan bersedekap.

"Kalian sudah lama di sini? Kenapa enggak masuk?" tanya Bella menghampiri keduanya.

"Eh, sudah selesai? Gue sama Galih baru aja sampai-"

"Jangan banyak bicara! Ayo ke rumah Bima, kita enggak punya banyak waktu!" Galih memotong ucapan Davin dengan wajah datarnya. Bisa-bisanya mereka berbicara santai di saat keadaan sedang mendesak. Apalagi waktunya yang tidak banyak, belum lagi jika nanti di jalan mengalami kemacetan.

"Ayo!" teriak Luna yang baru saja keluar dari kelas dan langsung berlari kencang menuju parkiran.

Sedangkan di sisi lain, lebih tepatnya di rumah Bima, suara tangisan saling bersahutan. Nita - mama Bima menangis histeris di samping peti berisi jenazah putra tunggalnya.

Tadi, saat sedang asik menyiram bunga, tiba-tiba ada telepon dari polisi dan mengatakan bahwa anaknya sedang berada di rumah sakit.

Dunianya seakan hancur saat mendengar kalimat lanjutan dari polisi itu. Anaknya jatuh dari rooftop dan meninggal. Kenyataan yang tidak dapat dia terima, anak laki-laki satu-satunya harus meninggalkannya secepat ini.

Dengan tangan gemetar, dia menelpon suaminya dan bergegas ke rumah sakit, tempat anaknya berada.

Tidak terhitung berapa kali dia pingsan, karena masih merasa begitu shock. Apalagi setelah melihat Bima yang keluar dari ruang autopsi. Sebagian badan yang hancur dan hasilnya mengatakan bahwa semuanya murni karena bunuh diri, tidak ada jejak apa pun. Dia merasa menjadi orang tua yang tidak berguna, tidak mengetahui masalah yang dialami putra semata wayangnya hingga melakukan hal seperti ini.

"Bima, Sayang, bangun! Jangan tinggalin mama!" teriak Mama Nita histeris. Dia ingin memeluk tubuh anaknya, tetapi terhalang dengan peti dan tubuh setengah hancurnya. Apalagi sudah dimandikan oleh pihak rumah sakit.

"Ayo bangun! Kamu sayang mama 'kan? Kamu pernah bilang kalau enggak mau lihat menangis. Sekarang air mama jatuh, ayo hapuskan, Sayang!" Air mata Mama Nita mengalir deras. Masih merasa tidak menyangka akan mengalami hal mengerikan ini.

Ino - Papa Bima yang sedari tadi memeluk Mama Nita pun tidak kuasa menahan tangisnya. Raungan histeris sang istri dengan pemandangan peti putra tunggalnya, membuat hatinya terasa terbelah.

"Ma, sudah. Kita harus ikhlas," ucap Papa Ino mengusap pundak Mama Nita pelan.

"Enggak, Pa. Anak kita ... Bima, Pa. Ayo bangunin, Pa, sekarang waktunya kuliah!" teriak Mama Nita mencengkeram baju suaminya. "Dia pasti begadang semalam, makanya jam segini belum bangun. Pa, bangunin!"

"Ma ... jangan gini. Hati papa sakit," bisik Papa Ino mendekap tubuh Mama Nita erat dengan air mata yang sudah mengalir deras.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Misteri Asmara Bella   59. Gue Khawatir, Bella

    "Gue ngga pernah nyangka bakal ngalamin hal kayak gini," celetuk Bella memecah keheningan di antara dirinya dan Davin. Saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah Bella. Duduk berdua di atas rumput dengan memandang ribuan bintang yang menghiasi langit malam.Tadinya, Davin merasa sangat khawatir kepada Bella. Mengingat wajah gadis itu yang berubah pucat setelah keluar dari rumah nomor dua puluh itu. Hatinya sedikit lega saat melihat wajah Sahabatnya yang jauh lebih baik.Namun, hal itu tidak mengurungkan niat Davin yang akan mengajak Bella mencari ketenangan. Terlebih dia sendiri sudah membawa gitar."Semuanya emang ngga bisa diprediksi," sahut Davin menunduk, menata kedua tangannya yang saling memilin. "Bohong kalau semua ini ga bikin gue takut. Orang gila yang sedang kita cari itu bisa ada di mana aja. Karena nyatanya, kita ngga punya petunjuk penting yang mengarah ke ciri fisik dia."Bella memutar duduknya hingga menghadap ke arah Davin. "Maafin gue. Setelah kejadian t

  • Misteri Asmara Bella   58. Kamar Nayya

    Hal yang mereka lihat kali ini bukan lagi sebuah foto, melainkan seorang mayat yang digantung dalam keadaan terbalik. Tentu, siapa yang tidak akan terkejut dan takut saat melihat pemandangan itu begitu membuka pintu?Yuda, orang pertama yang bisa menetralkan degup jantungnya mencoba melangkah pelan agar lebih masuk ke ruangan itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tidak ada apa pun di sana selain mayat itu dan berbagai macam senjata tajam.Tunggu, senjata tajam? Jantung Yuda yang tadinya sudah berdetak normal kini kembali berdetak kencang, bahkan jauh lebih kencang daripada tadi.Jadi, rumah ini sudah sering dipakai untuk mengeksekusi seseorang. Entah musuhnya atau bagaimana, Yuda tidak bisa berpikir jernih.Perlahan kakinya melangkah mundur lalu berbalik sambil mendorong Galih yang menghalangi pintu. Kemudian dia menutup pintunya."Ke ruangan lain aja," ucap Yuda pelan.Dia menggeleng lalu melangkah mendahului yang lain. Entah dosa apa yang dia perbuat sampai bisa berakhir di

  • Misteri Asmara Bella   57. Puluhan Foto

    "Kenapa kalian bisa di sini?" tanya seseorang itu lagi. Galih adalah orang pertama yang menoleh, diikuti yang lain tetapi dengan mata yang tertutup rapat. Tanpa sadar Galih menelan salivanya kasar saat melihat sosok di depannya. Seorang pria tua dengan rambut gimbal gondrong dan baju lusuh yang sudah sobek-sobek. Kakinya pun tidak memakai alas, sangat kotor. Mirip seperti orang gila. "Hei!" sentak pria tua. Matanya melotot, membuat kelima remaja yang menutup mata di depannya terkejut. Sedangkan Galih menggigit pipi bagian dalamnya untuk tidak mengumpat. "Anu ... ehem, kami nyari rumah, Kek," jawab Yuda gugup. "Rumah siapa?" tanya pria tua dengan wajah seramnya. "Kalau dilihat dari pakaian kalian, sepertinya kalian bukan orang sini. Apalagi tempat ini jarang dikunjungi orang, meskipun di sini ada saudara atau rumah dulu mereka tinggal." Bella yang tadinya takut kini melangkah lebih ke depan. Merasa ada yang aneh dengan kalimat yang dilontarkan

  • Misteri Asmara Bella   56. Mencari Rumah

    "Gery, lo ngapain di sini?" tanya Davin sesaat setelah Gery selesai bernyanyi dan semua orang pergi, menyisakan dirinya bersama sahabatnya serta Gery.Gery meletakkan gitarnya di atas kursi yang tadi dia duduki. Melangkah mendekati keenam remaja yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Senyum ramah dia lemparkan untuk menyapa."Aku udah biasa main ke sini sejak kecil. Kayak yang kalian lihat tadi, aku ngehibur pengunjung taman dengan bernyanyi," jawab Gery dengan nada lembut seperti biasanya.Mendengar jawaban Gery, mata Maya, Galih dan Davin tidak bisa untuk tidak memicing curiga."Emangnya rumah lo di sekitar sini?" tanya Bella setelah tersadar dari kekagumannya. Matanya menjelajah ke sekitar taman yang sangat berbeda dengan taman bermain lainnya.Masih dengan senyum ramahnya, Gery menggeleng. "Enggak. Rumah aku satu komplek sama Maya."

  • Misteri Asmara Bella   55. Cemburu

    "Jebakan atau bukan, yang penting besok kita ke sana," putus Maya tegas."Mending sekarang kita makan," celetuk Davin yang memang sudah merasa sangat lapar. Tatapannya beralih kepada Bella yang terlihat melamun. "Bel, lo mau mandi dulu apa makan?"Sedangkan yang diberi pertanyaan tetap diam dengan pikiran yang ke mana-mana. Jangankan menjawab, Bella saja tidak mendengarkan apa yang dibicarakan sahabat-sahabatnya.Luna yang berada di samping Bella pun menggoyang lengannya pelan. "Bel!"Bella tersadar dan menatap linglung sekitarnya. Setelah beberapa detik, dia menormalkan ekspresinya saat merasa banyak pasang mata yang menatap dirinya bingung."Lo kenapa? Ada yang lo pikirin? Apa orang itu bukan cuma nyuruh kita ke taman, tapi juga ngancem elo?" tanya Maya khawatir. Galih tersebut miring samar melihat itu. Kemudian melenggang pergi, kembali ke meja makan. Me

  • Misteri Asmara Bella   54. Mimpi

    Di tengah ramainya taman bermain, terdapat anak perempuan berusia enam tahun sedang menangis dengan mata yang mengedar ke seluruh taman. Dia terpisah dari kakaknya.Tadinya, dia terlalu antusias melihat badut-badut yang sedang dikelilingi anak seumurannya. Hingga tanpa sadar telah melepaskan tautan tangannya dengan sang kakak.Air matanya semakin mengalir deras. Teriakannya yang memanggil-manggil kakaknya tidak mampu menumbuhkan rasa iba orang-orang yang berlalu lalang. Semuanya hanya menoleh tanpa bertanya apalagi membantu."Jangan nangis, ada aku di sini. Semuanya baik-baik aja." Secara tiba-tiba tangan mungilnya digenggam oleh anak laki-laki seumurannya.Tangis yang awalnya kencang perlahan berhenti, terganti dengan senyum lebar penuh kelegaan dan kebahagiaan. Apalagi saat matanya menangkap keberadaan dua anak kecil yang berdiri di samping anak yang menggenggam tangannya.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status