Share

7. Dimulai

Bella menoleh, seketika dahinya mengernyit samar saat tahu bahwa yang memanggilnya adalah Pak Wiyo.

"Ada apa, Pak?" tanya Bella.

"Ajak teman kamu ke ruangan saya!" Setelah mengatakan itu, Pak Wiyo berjalan meninggalkan kerumunan.

Meskipun bingung, Bella tetap memberitahu para sahabatnya. Karena tidak mau membuang waktu, akhirnya mereka bergegas menuju ruangan Pak Wiyo. Di setiap langkah, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Pikiran mereka berkelana kemana-mana, apalagi setelah melihat kejadian barusan. Keyakinan mereka bahwa semua ini bukan bunuh diri semakin besar. Dua hari berturut-turut, kematian yang begitu mendadak membuatnya terasa janggal.

Tanpa terasa, mereka sudah sampai di depan ruangan Pak Wiyo.

"Permisi, Pak," ujar Bella mengetuk pintu sebanyak dua kali.

"Masuk!" titah Pak Wiyo dari dalam ruangan.

Mereka memasuki ruangan dan melihat Pak Wiyo yang berdiri dengan wajah seriusnya.

"Saya izinkan kalian menyelidiki hal ini, tetapi harus berhati-hati. Jika ada kesulitan atau bahaya, segera beri tau saya," ucap Pak Wiyo menetap mereka satu-persatu.

Mereka saling pandang dengan mengukir senyum tipis. Kemudian menatap Pak Wiyo dan dengan kompak mengangguk mantap. Tanpa izin sekalipun, mereka memang akan tetap menyelidiki hal ini. Namun setalah mendengar kalimat itu, mereka jadi bisa melangkah tanpa takut. Bagaimana pun caranya, sang pelaku harus segera ditangkap. Karena jika tidak, akan semakin banyak korban yang berjatuhan.

"Baik, Pak. Kalau begitu kami permisi," pamit Bella mencium tangan Pak Wiyo dan berjalan keluar ruangan diikuti para sahabatnya.

"Guys, gue lemes habis lihat darah. Ke taman belakang yuk!" ajak Luna memeluk lengan Maya dengan wajah pucatnya.

Sesampainya di taman belakang, mereka langsung mendudukkan diri di bawah pohon mangga. Tidak ada yang membuka suara sama sekali, mereka sibuk dengan kegiatannya sendiri. Luna dan Maya yang saling meminjam bahu dengan memejamkan mata, berusaha menghilangkan rasa mual serta bayang-bayang genangan darah pada mayat Bima tadi.

Galih sibuk membaca buku sejarah dan Davin memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, tidak mampu berfikir jernih tentang kejadian hari ini karena memang terjadi begitu tiba-tiba. Sedangkan Bella, dia bersandar di batang pohon mangga dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana. Memikirkan kenapa Bima harus melakukan hal semengerikan ini dan kenapa orang-orang yang pernah dekat dengannya meninggal secara tragis.

Pikirannya kembali melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu, di mana Bima menyatakan cinta dengan begitu romantis. Waktu itu, sekitar pukul 7 malam, dia mendapat pesan dari Bima bahwa sedang kehabisan bensin. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menjalankan mobilnya menuju alamat yang sudah diberi oleh Bima. Namun siapa sangka, alamat itu membawanya ke sebuah taman yang sudah dihias sedemikian rupa. Hingga akhirnya, Bima keluar dengan pakaian yang begitu rapi dan membawa sebuah buket coklat.

Jika mengingat semua itu, Bella jadi menyesali keputusannya yang tidak menerima cinta Bima. Semua ini salahnya, Alvin meninggal karenanya, begitu pula dengan Bima. Dua orang laki-laki yang begitu baik, harus meninggal dalam keadaan yang begitu tragis.

"Bel, gimana kalau kita ke rumah sakit?" tanya Davin tiba-tiba, membuat Bella tersadar dari lamunannya.

"Kelasnya gimana?" tanya Bella balik. Meskipun pikiran dan hatinya sedang kacau, tetapi dia tidak mau meninggalkan kelas begitu saja. Dia tidak ingin nilainya turun sampai mengecewakan kedua orang tuanya.

"Bolos aja, gue masih lemes," sahut Luna tersenyum lebar.

Bella dan Davin kompak memutar bola matanya malas, sudah sangat hafal dengan tabiat Luna yang sangat malas mengikuti pelajaran.

"Lemes tetapi bisa senyum selebar itu, ketahuan banget kalau bohong," celetuk Galih tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dibacanya.

"Gue lemes beneran kok, aduh." Luna melemaskan badannya hingga tertidur di pangkuan Maya.

"Kami tau, lo pasti melakukan berbagai alasan kalau udah menyangkut buku. Jadi percuma aja meskipun lo mau pingsan," cetus Maya mendorong badan Luna hingga tertidur di rerumputan, lalu dia menggeser duduknya mendekati Bella.

"Sudah, Guys. Lebih baik kita ke kelas dulu, nanti setelah selesai langsung ke rumah Bima. Karena selama kita di sini, pasti Bima sudah selesai diautopsi," ujar Bella menatap sahabatnya satu-persatu.

"Eh, gue jadi kepikiran sesuatu deh. Selama dua hari, dua cowok meninggal dalam keadaan yang sangat mengejutkan. Kalau Alvin, memang kurang jelas penyebabnya karena kita enggak tahu kejadian aslinya. Sedangkan Bima, dia loncat dari rooftop. Menurut kalian, kenapa dia melakukan ini? Kenapa juga harus di kampus?" tanya Davin serius.

Mendengar pertanyaan Davin, Galih menutup bukunya dan menaruhnya ke dalam tas. "Entah kenapa, gue mikirnya dia bukan dia. Maksudnya, kalau dia benar-benar niat bunuh diri, kenapa enggak di rumah aja? Kenapa harus di kampus yang jelas-jelas banyak orang? Selama ini, kebanyakan kasus bunuh diri itu ditemukan di tempat-tempat sepi. Bahkan mayatnya sudah berhari-hari, sampai ada yang busuk," jelas Galih panjang lebar.

"Tumben dia ngomong panjang, biasanya cuma dua kata," gumam Luna yang masih bisa didengar yang lainnya. Namun mereka memilih tidak menanggapi, karena lebih penting mencerna kalimat yang lontarkan Galih.

"Bener juga ya, apalagi kejadiannya masih sangat pagi. Kalau pun memang ingin bunuh diri di kampus, seharusnya pas sore atau malam yang keadaannya sudah sepi. Gue jadi enggak bisa bayangin gimana perasaan keluarganya. Anak mereka pamit mau berangkat kuliah dan enggak berapa lama, ada mobil ambulans datang yang di dalamnya ada anak mereka," sahut Bella menunduk, menatap rumput dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Tersadar akan sesuatu, Maya menegakkan badannya dan menepuk tangannya keras. Membuat para sahabatnya langsung menoleh. "Gue baru inget, bajunya Bima itu yang kemarin."

"Jangan ngaco lo! Meskipun orang tua Bima cuma pemilik restoran kecil, tetapi mereka terbilang mampu untuk beli baju. Menurut gue, mereka itu sebenarnya kaya, cuma enggak mau terlalu menonjol aja," sanggah Luna menepuk lengan Maya lumayan keras.

"Gue enggak ngaco, ini serius. Baju itu ... gue inget banget kalau kemarin dia pakai baju itu. Ini bukan soal mampu enggaknya atau kaya miskinnya, tetapi ada yang aneh. Coba kalian pikir, kenapa Bima enggak ganti baju saat mau kuliah? Padahal selama ini dia terkenal dengan kebersihannya 'kan?" Maya mengubah posisi duduknya menjadi bersila dan menatap sahabatnya serius. Meskipun sudah terlumur darah, tetapi dia masih bisa mengenali baju yang dipakai Bima.

Mereka larut dalam pikirannya masing-masing, berusaha mengingat baju yang dipakai Bima. Tadi, mereka memang tidak terlalu memperhatikan, karena terlalu shock dengan kejadian di depan mata. Apalagi kondisi Bima yang begitu mengenaskan, aroma dari genangan darah begitu menyengat dan mata yang terbuka.

"Apa Bima kena gangguan jiwa?" tanya Luna seraya menggigit kuku panjangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status