Bella dan para sahabatnya terdiam kaku di depan pintu. Dari tempatnya berdiri, mereka dapat mendengar tangisan histeris dari mama Bima. Hati mereka ikut sesak, terasa begitu menyakitkan hingga tanpa sadar air mata mereka mengalir deras.
"I - ni pasti mim - pi terburuk bagi mereka. Gue enggak kuat dengernya," celetuk Luna sesenggukan seraya menggenggam tangan Bella erat.
"Pasti, secara Bima anak semata wayang, cowok lagi. Gue kasihan sama keluarganya," sahut Maya dengan kepala mendongak, berusaha menghentikan air mata yang ingin terus keluar.
Davin mengusap bahu Bella pelan, berusaha menenangkan gadis itu yang menangis dalam diam dengan menggigit bibir bawahnya. "Ayo masuk!"
Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, mereka mulai melangkah memasuki rumah Bima. Di sana, di tengah ruang tamu, tampak sebuah peti yang di kelilingi orang-orang. Mereka membaca ayat suci Al-Qur'an secara bersamaan. Di sebelah peti itu sendiri ada mamanya Bima yang menangis histeris di pelukan sang suami.
"Assalamualaikum," salam Bella dengan suara pelan setelah mendudukkan diri di dekat orang tua Bima.
"Waalaikumsalam, Nak," jawab Papa Ino dengan mata yang memerah.
Bella mengalihkan pandangannya ke arah Mama Nita. Hatinya teriris melihat bertapa kacaunya wanita paruh baya itu. Seketika dia teringat dengan mamanya, membuatnya kembali mengeluarkan air mata.
"Tante," panggilnya.
Mama Nita menoleh. "Ka - mu teman Bima 'kan? Tante boleh minta tolong enggak?"
"Boleh. Tante mau minta tolong apa?" tanya Bella menggenggam kedua tangan Mama Nita.
"Tolong bangunkan Bima. Bilang sama dia, kalau jam kuliah mau dimulai. Ayo bangunkan, Nak! Dari tadi dia enggak bangun-bangun. Tante enggak mau dia ketinggalan pelajaran. Ayo bangunkan!" teriak Mama Nita mengguncang badan Bella secara brutal.
Luna yang tidak kuat menyaksikan semua itu langsung berlari keluar. Bima memang bukan temannya, bahkan dia tidak kenal dengan keluarganya, tetapi hatinya terasa dihantam batu besar saat melihat air mata dan kalimat yang dilontarkan Mama Bima.
"Katanya kamu mau bantu tante, kenapa diam aja? Ayo bangunkan anak tante!" teriak Mama Nita semakin menjadi.
Davin langsung memegang kedua bahu Bella dari belakang, takut kalau gadis itu terjatuh akibat guncangan dari Mama Nita.
"Ma, tenang. Mama, harus ikhlas, anak kita sudah tenang di alam sana," ujar Papa Ino berusaha menjauhkan Mama Nita dari Bella.
Bella menatap Mama Nita sendu, lalu memeluknya erat. "Tante, maaf, tetapi aku enggak bisa bangunin Bima. Bima sudah tenang di alam sana, jadi Tante harus ikhlas ya. Bima pasti sedih ngelihat Tante kayak gini."
"Anakku Bima," gumam Mama Nita sebelum matanya tertutup.
Melihat istrinya terkulai lemas karena pingsan, dengan sigap Papa Ino menggendongnya menuju kamar. Mungkin untuk saat ini lebih baik begini, membiarkan istrinya istirahat supaya tidak histeris karena belum siap kehilangan putra mereka.
Sebagai seorang kepala keluarga, dia merasa sangat tidak berguna. Menyaksikan anaknya terbujur kaku dalam keadaan mengenaskan dan istri tercinta yang menangis histeris, berhasil membuat hatinya hancur. Dia tidak bisa menjaga dan membahagiakan keluarga kecilnya.
"Bel, keluar dulu yuk!" ajak Maya merangkul Bella yang menunduk dengan badan bergetar.
'Ngeliat lo nangis buat hati gue enggak nyaman, Bel,' batin Davin menatap punggung Bella yang berjalan keluar.
**
Meskipun sempat terhambat dengan kedatangan Mama Nita yang tiba-tiba, tetapi proses pemakamannya berjalan lancar. Setelah terbangun dari pingsannya, wanita paruh baya itu bergegas menuju pemakaman. Dia sudah tidak sehisteris sebelumnya dan itu membuat mereka merasa sedikit lega.
Tidak ada yang tidak menangis, semuanya meneteskan air mata. Rasanya begitu sesak dan tidak rela akan kepergian Bima yang begitu mendadak. Namun mereka semua berusaha untuk ikhlas.
"Om, maaf, Bella boleh tanya enggak?" tanya Bella yang duduk di ruang tamu rumah Bima beserta para sahabatnya.
"Boleh, tanya aja," jawab Papa Ino tersenyum tipis.
Bella menatap sahabatnya satu-persatu. Sejujurnya, mereka merasa tidak enak untuk menanyakan hal ini kepada orang tua Bima yang masih berduka. Namun, hanya sekarang lah waktu yang paling tepat. Mereka takut kalau keluarga Bima pindah rumah secara tiba-tiba.
"Em ... sebelumnya Bella minta maaf ya Om kalau enggak sopan. Bella mau tanya, apa sebelum kejadian ini Bima punya masalah?" Bella menggigit bibir bawahnya, berusaha menghilangkan rasa gugup. "Bella cuma pengen tahu hal yang memicu Bina melakukan ini. Karena selama ini Bima kelihatan baik-baik aja."
Hening. Papa Ino terdiam setelah mendengar pertanyaan Bella, begitu pula dengan Mama Nita yang baru saja keluar dari kamar.
"Maaf kalau pertanyaan kami membuat Om tidak nyaman," celetuk Galih yang berada di sebelah kiri Bella, membuat Mama dan Papa Bima tersadar dari lamunannya.
"Enggak papa, Nak," sahut Mama Nita berjalan menuju sofa dan duduk di sebelah suaminya. "Sebenarnya kami juga enggak tahu masalah apa yang menimpa Bima. Selama ini dia seperti biasa aja, enggak ada yang aneh sama sekali."
Papa Ino mengangguk menyetujui. Dia menatap lima remaja di hadapannya dengan serius.
"Kemarin, sepulang dari kampus dia juga biasa aja. Kami shock saat mendapat kabar bahwa Bima meninggal setelah terjun bebas dari rooftop," sambung Papa Ino.
Maya menegakkan badannya. "Om, sebelumnya saya minta maaf. Apa keluarga kalian sedang ada masalah? Soalnya saya lihat baju yang dipakai Bima itu yang kemarin. Saya yakin seratus persen. Meskipun ditutupi darah, tetapi saya masih bisa mengenali," jelas Maya serius.
"Mungkin kamu salah lihat, Nak. Tante lihat sendiri kok kemarin, waktu Bima pulang kampus langsung masuk kamar sesudah makan," sanggah Mama Nita.
"Kami enggak salah lihat, Tan. Baju yang dipakai Bima memang baju yang kemarin." Davin angkat bicara dengan raut wajah yang meyakinkan.
Bella memejamkan matanya sejenak, berusaha menghilangkan rasa pusing yang tiba-tiba menyerang. "Untuk masalah baju kita skip dulu. Tante, Om, Bella mau tanya, hasil autopsinya gimana?"
Helaan napas dari Papa Ino terdengar begitu jelas. Menandakan bahwa pria paruh baya itu begitu lelah dengan masalah ini.
"Hasilnya real bunuh diri, Bel. Enggak ada bukti apa-apa selain luka yang didapat karena menghantam lantai lapangan. Awalnya om kira Bima didorong sama temannya, tetapi hasilnya enggak ada sidik jari atau keanehan apa pun," jawab Papa Ino.
"Semua ini salah om, karena enggak memperhatikan Bima dengan benar. Dia punya masalah apa dan siapa aja om enggak tahu. Om gagal menjadi ayah yang baik buat dia," lanjutnya dengan kepala yang menunduk sedih.
Mendengar kalimat yang dilontarkan Papanya Bima, membuat jantung kelima remaja itu berpacu lebih cepat. Tubuh mereka seakan kaku, pikirannya pun terasa kosong. Mereka masih tidak percaya bahwa Bima benar-benar bunuh diri. Semua itu karena kejadian kemarin dan isi surat yang ditemukan Galih.
"Anakku Bima, maafkan mama!" teriak Mama Nita yang kembali menangis. Benar yang dikatakan suaminya, mereka berdua tidak begitu memperhatikan anak semata wayangnya. Kini, hanya ada rasa penyesalan dan kehilangan.
"Om, Tante, semua ini bukan salah kalian. Semuanya sudah takdir, Bima juga pasti bangga bisa mempunyai orang tua seperti kalian. Maaf kalau kalimat yang kami lontarkan membuat kalian semakin merasa sedih," ucap Bella tulus.
"Kalau begitu kami pamit dulu ya, Om, Tante," sambung Davin tersenyum tipis.
Mereka mencium punggung tangan kedua orang tua Bima secara bergantian. Tidak lupa juga mengucapkan sedikit kata penenang dan semangat.
"Gue mau bicara sama kalian, ini tentang Bima," kata Bella dengan suara sepelan mungkin setelah mereka berada di luar.
Halo, Kakak-kakak. Happy reading ❤️
"Lo mau ngomong apa?" tanya Galih yang duduk di sofa kamar Bella.Setelah Bella mengatakan ada yang ingin dibicarakan, mereka semua memutuskan untuk mencari tempat paling aman yang sekiranya tidak terdengar orang lain. Dan ya, pilihan terbaik adalah rumah Bella. Selain tidak ada tempat lagi, orang tua Bella juga sibuk bekerja yang berarti rumahnya sepi dan hanya ada beberapa pekerja saja."Duduk di bawah aja yuk! Biar lebih enak ngomongnya, masa iya kalian pisah-pisah gitu," ujar Bella menatap sahabatnya satu-persatu. Maya yang berbaring di ranjang, Luna di depan meja rias, Galih duduk bersandar di sofa dan Davin berdiri di pintu balkon."Iya juga sih," sahut Luna berjalan menuju Bella yang sudah duduk di karpet. "Gue lagi ngaca dan ternyata mata gue sembab banget. Pantas aja kayak enggak bisa melek."Davin ikut mendudukkan diri di samping kanan Bella. "Gue pusing setelah mendengar penjelasan orang tuanya Bima.""Iya, kayak gimana gitu. Kalau emang
"Enggak mungkin lah," sanggah Luna cepat. "Apa pun bisa terjadi, siapa tau yang dibilang Maya benar. Secara dia masih pakai baju yang kemarin, kejadiannya pagi dan enggak ada yang ngelihat dia pas lewat koridor. Seharusnya, kalau emang ada yang lihat 'kan mereka udah rame," papar Bella yang membuat mereka terdiam. Di dalam hati mereka menyetujui apa yang diucapkan Bella. Semuanya masuk akal, tetapi mereka masih merasa sedikit ragu. Karena angin malam begitu dingin, apalagi berada di tempat terbuka seperti rooftop. Apa Bima sekuat itu? Galih menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Daripada nebak-nebak gini, lebih baik besok kita ke rooftop. Mungkin di sana ada petunjuk." "Petunjuk apa?" tanya seseorang yang berada di ambang pintu membuat kelima remaja itu tersentak kaget. "Mama? Mama, ngapain ke kamar aku?" tanya Bella beranjak menghampiri Mamanya. Tanpa memedulikan pertanyaan putrinya, Mama Dea berjalan menghampiri keempat
"Yah, kita boleh berunding dulu enggak di kamar Bella?" tanya Davin menatap menatap Ayah penuh harap. Ayah Shafi menatap orang tua Bella dengan alis terangkat, meminta persetujuan sebagai pemilik rumah. "Boleh, lima belas menit," ujar Papa Dion mengizinkan. "Terima kasih, Pa. Kita ke kamar dulu," pamit Bella yang langsung bangkit dari duduknya dengan senyum lebar. Setelah itu, dia berlari kecil menuju kamarnya diikuti para sahabatnya. Sesampainya di kamar, Maya langsung mengunci pintu karena takut hal seperti tadi kembali terulang. Di mana saat mereka membicarakan hal penting dipergoki oleh orang tua Bella. "Gimana nih, Guys? Gue enggak mau pindah. Sekalipun enggak ada masalah ini, gue juga enggak akan pindah. Gue udah terlalu nyaman, apalagi ada kalian." Luna menatap sahabatnya dengan wajah yang menahan tangis. Di dalam benaknya, dia sama sekali tidak ada pikiran untuk pindah kampus. Bukan masalah uang yang sudah dikeluarkan, tetapi s
Bella terenyuh mendengar ucapan Mamanya. Dia semakin merasa bersalah karena sudah melakukan dua kesalahan. Yang pertama, tidak menuruti permintaan kedua orang tuanya dan yang kedua, membuat mereka khawatir. Argh! Kenapa dia harus terjebak di situasi yang membuat hatinya dilema? "Tante, enggak usah khawatir, Davin sama yang lain pasti jagain Bella," ucap Davin meyakinkan. Ayah Shafi menatap anaknya dengan sorot mata yang menajam. "Harus! Kalian berdua, Davin dan Galih wajib jagain yang cewek. Anggap aja kalian lagi menjaga bunda." Kedua laki-laki itu mengangguk tegas. Ini sudah menjadi tugas mereka, apalagi keadaan sekarang sedang tidak baik. Tidak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa. Entah mereka semua ikut menjadi korban atau hanya salah satu. Namun yang pasti, untuk saat ini mereka harus saling menjaga dari segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. "Ma, maafin Bella." Bella
Galih menggeleng pelan. "Gue pusing," jawabnya singkat. Mau tidak mau Davin mengambil kertas yang disodorkan Galih. Dia bisa apa, jika para sahabatnya saja tidak ada yang mau. Jika bukan karena penasaran dengan isinya, dia tidak akan mau. Karena dia sendiri juga merasa cukup pusing. "Hai-hai, aku harap kalian masih sehat sampai permainanku selesai," ucap Davin membaca kalimat yang menjadi pembuka. "Halo, Orang Gila," balas Luna yang balik menyapa dengan wajah malasnya. Davin hanya bisa mengusap dadanya sabar dengan tingkah sahabatnya itu. Ingin sekali dia memukul kepala Luna yang tidak pernah benar. Dia sudah memasang wajah serius dan ditambah dengan suasana yang menegang, eh dengan bodohnya Luna malah membalas sapaan si pelaku. "DIa memang pandai menyembuhkan rasa sakit yang dirasakan Orang lain, tetapi tidak dengan aku. Tidak terlalu terkenal bukan berarti anak baik. Aku membencinya, karena tidak ada kata teman di antara kami," lanjut Davin
Mereka yang mendengar pertanyaan Bella pun saling pandang dan menggeleng pelan dengan kompak. "Kurang tahu juga, Bel. Kita aja enggak tahu motif dia melakukan ini apa, jadi ya kita cuma bisa berdo'a aja semoga kita bukan targetnya," jawab Davin apa adanya. Di dalam hati Bella mengiyakan perkataan Davin yang benar adanya. Mereka belum menemukan petunjuk apa pun tentang si pelaku. Karena surat sebelumnya hanya berisi kata-kata tentang Alvin dan Bima. Mereka di sini hanya bisa mengikuti alur dan tidak bisa memilih. Hanya ada dua kemungkinan, target atau bukan. "Gal, lo kenapa diam aja?" tanya Luna menatap Galih dengan mata yang memerah karena menahan kantuk. "Enggak papa," jawab Galih singkat yang membuat Luna mendengkus kesal. "Kayak cewek aja lo. Ditanya kenapa jawabnya enggak papa, padahal mah ada apa-apa," ketus Luna. Galih hanya diam dengan mata menatap Luna tajam.
"Ini diacak," lanjut Galih. Melihat tatapan bingung dari para sahabatnya, dia menghela napas pelan. Jika bukan karena keadaan yang mendesak, dia tidak akan mau berdiskusi dengan mereka yang cukup menyebalkan. Ternyata yang benar-benar pintar di sini hanya dirinya. "Enggak mungkin ada yang namanya iok. Ini diacak supaya kita mikir dan enggak mungkin juga sebuah clue semudah itu. Kita harus cepat, entah itu dari otak atau fisik. Karena, jika kita telat sedikit saja maka nyawa taruhannya," jelas Galih lalu mengambil napas. Tenggorokannya terasa kering karena berbicara lumayan panjang. "Kalau diacak jadi apa? koi?" tanya Luna ragu. "Itu nama ikan," sahut Maya membuat Luna tersenyum lebar. Bella terdiam dengan mata terpejam, berusaha menggali ingatannya tentang nama teman sekampusnya yang terdiri dari tiga huruf, yaitu i, o dan k. "Iko!" seru Bella membuka matanya dan tersenyum senang karena bisa menemukan nama orang itu. "D
Jika seorang ibu yang biasanya lemah lembut lalu angkat bicara dalam keadaan emosi, maka seorang anak tidak bisa berkutik lagi. Tidak ada yang dapat dilakukan selain diam dan mendengarkan. Sama halnya dengan Bella, sedari tadi dia hanya duduk dengan kepala menunduk. Mendengarkan semua ucapan Mamanya yang sedang marah. Bella takut jika Papanya marah, tetapi lebih takut lagi saat Mamanya yang marah. Apalagi melihat air matanya yang menetes seiring dengan bertambahnya emosi, membuat dadanya terasa sesak. "Apa yang ada di pikiran kamu, Bella? Kenapa kamu melakukan hal senekat ini?" tanya Mama Dea tidak habis pikir. Bella tidak menjawab, tetap pada posisinya yang menunduk. "Kamu pikir dengan melakukan hal kayak gini, kamu jadi jagoan? Apa kamu enggak mikirin perasaan mama sama Papa?" tanya Mama Dea lagi seraya menghapus air matanya yang tiba-tiba mengalir. Sakit rasanya saat anak yang sela