Share

9. Berusaha Ikhlas

Bella dan para sahabatnya terdiam kaku di depan pintu. Dari tempatnya berdiri, mereka dapat mendengar tangisan histeris dari mama Bima. Hati mereka ikut sesak, terasa begitu menyakitkan hingga tanpa sadar air mata mereka mengalir deras.

"I - ni pasti mim - pi terburuk bagi mereka. Gue enggak kuat dengernya," celetuk Luna sesenggukan seraya menggenggam tangan Bella erat.

"Pasti, secara Bima anak semata wayang, cowok lagi. Gue kasihan sama keluarganya," sahut Maya dengan kepala mendongak, berusaha menghentikan air mata yang ingin terus keluar.

Davin mengusap bahu Bella pelan, berusaha menenangkan gadis itu yang menangis dalam diam dengan menggigit bibir bawahnya. "Ayo masuk!"

Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, mereka mulai melangkah memasuki rumah Bima. Di sana, di tengah ruang tamu, tampak sebuah peti yang di kelilingi orang-orang. Mereka membaca ayat suci Al-Qur'an secara bersamaan. Di sebelah peti itu sendiri ada mamanya Bima yang menangis histeris di pelukan sang suami.

"Assalamualaikum," salam Bella dengan suara pelan setelah mendudukkan diri di dekat orang tua Bima.

"Waalaikumsalam, Nak," jawab Papa Ino dengan mata yang memerah.

Bella mengalihkan pandangannya ke arah Mama Nita. Hatinya teriris melihat bertapa kacaunya wanita paruh baya itu. Seketika dia teringat dengan mamanya, membuatnya kembali mengeluarkan air mata.

"Tante," panggilnya.

Mama Nita menoleh. "Ka - mu teman Bima 'kan? Tante boleh minta tolong enggak?"

"Boleh. Tante mau minta tolong apa?" tanya Bella menggenggam kedua tangan Mama Nita.

"Tolong bangunkan Bima. Bilang sama dia, kalau jam kuliah mau dimulai. Ayo bangunkan, Nak! Dari tadi dia enggak bangun-bangun. Tante enggak mau dia ketinggalan pelajaran. Ayo bangunkan!" teriak Mama Nita mengguncang badan Bella secara brutal.

Luna yang tidak kuat menyaksikan semua itu langsung berlari keluar. Bima memang bukan temannya, bahkan dia tidak kenal dengan keluarganya, tetapi hatinya terasa dihantam batu besar saat melihat air mata dan kalimat yang dilontarkan Mama Bima.

"Katanya kamu mau bantu tante, kenapa diam aja? Ayo bangunkan anak tante!" teriak Mama Nita semakin menjadi.

Davin langsung memegang kedua bahu Bella dari belakang, takut kalau gadis itu terjatuh akibat guncangan dari Mama Nita.

"Ma, tenang. Mama, harus ikhlas, anak kita sudah tenang di alam sana," ujar Papa Ino berusaha menjauhkan Mama Nita dari Bella.

Bella menatap Mama Nita sendu, lalu memeluknya erat. "Tante, maaf, tetapi aku enggak bisa bangunin Bima. Bima sudah tenang di alam sana, jadi Tante harus ikhlas ya. Bima pasti sedih ngelihat Tante kayak gini."

"Anakku Bima," gumam Mama Nita sebelum matanya tertutup.

Melihat istrinya terkulai lemas karena pingsan, dengan sigap Papa Ino menggendongnya menuju kamar. Mungkin untuk saat ini lebih baik begini, membiarkan istrinya istirahat supaya tidak histeris karena belum siap kehilangan putra mereka.

Sebagai seorang kepala keluarga, dia merasa sangat tidak berguna. Menyaksikan anaknya terbujur kaku dalam keadaan mengenaskan dan istri tercinta yang menangis histeris, berhasil membuat hatinya hancur. Dia tidak bisa menjaga dan membahagiakan keluarga kecilnya.

"Bel, keluar dulu yuk!" ajak Maya merangkul Bella yang menunduk dengan badan bergetar.

'Ngeliat lo nangis buat hati gue enggak nyaman, Bel,' batin Davin menatap punggung Bella yang berjalan keluar.

**

Meskipun sempat terhambat dengan kedatangan Mama Nita yang tiba-tiba, tetapi proses pemakamannya berjalan lancar. Setelah terbangun dari pingsannya, wanita paruh baya itu bergegas menuju pemakaman. Dia sudah tidak sehisteris sebelumnya dan itu membuat mereka merasa sedikit lega.

Tidak ada yang tidak menangis, semuanya meneteskan air mata. Rasanya begitu sesak dan tidak rela akan kepergian Bima yang begitu mendadak. Namun mereka semua berusaha untuk ikhlas.

"Om, maaf, Bella boleh tanya enggak?" tanya Bella yang duduk di ruang tamu rumah Bima beserta para sahabatnya.

"Boleh, tanya aja," jawab Papa Ino tersenyum tipis.

Bella menatap sahabatnya satu-persatu. Sejujurnya, mereka merasa tidak enak untuk menanyakan hal ini kepada orang tua Bima yang masih berduka. Namun, hanya sekarang lah waktu yang paling tepat. Mereka takut kalau keluarga Bima pindah rumah secara tiba-tiba.

"Em ... sebelumnya Bella minta maaf ya Om kalau enggak sopan. Bella mau tanya, apa sebelum kejadian ini Bima punya masalah?" Bella menggigit bibir bawahnya, berusaha menghilangkan rasa gugup. "Bella cuma pengen tahu hal yang memicu Bina melakukan ini. Karena selama ini Bima kelihatan baik-baik aja."

Hening. Papa Ino terdiam setelah mendengar pertanyaan Bella, begitu pula dengan Mama Nita yang baru saja keluar dari kamar.

"Maaf kalau pertanyaan kami membuat Om tidak nyaman," celetuk Galih yang berada di sebelah kiri Bella, membuat Mama dan Papa Bima tersadar dari lamunannya.

"Enggak papa, Nak," sahut Mama Nita berjalan menuju sofa dan duduk di sebelah suaminya. "Sebenarnya kami juga enggak tahu masalah apa yang menimpa Bima. Selama ini dia seperti biasa aja, enggak ada yang aneh sama sekali."

Papa Ino mengangguk menyetujui. Dia menatap lima remaja di hadapannya dengan serius.

"Kemarin, sepulang dari kampus dia juga biasa aja. Kami shock saat mendapat kabar bahwa Bima meninggal setelah terjun bebas dari rooftop," sambung Papa Ino.

Maya menegakkan badannya. "Om, sebelumnya saya minta maaf. Apa keluarga kalian sedang ada masalah? Soalnya saya lihat baju yang dipakai Bima itu yang kemarin. Saya yakin seratus persen. Meskipun ditutupi darah, tetapi saya masih bisa mengenali," jelas Maya serius.

"Mungkin kamu salah lihat, Nak. Tante lihat sendiri kok kemarin, waktu Bima pulang kampus langsung masuk kamar sesudah makan," sanggah Mama Nita.

"Kami enggak salah lihat, Tan. Baju yang dipakai Bima memang baju yang kemarin." Davin angkat bicara dengan raut wajah yang meyakinkan.

Bella memejamkan matanya sejenak, berusaha menghilangkan rasa pusing yang tiba-tiba menyerang. "Untuk masalah baju kita skip dulu. Tante, Om, Bella mau tanya, hasil autopsinya gimana?"

Helaan napas dari Papa Ino terdengar begitu jelas. Menandakan bahwa pria paruh baya itu begitu lelah dengan masalah ini.

"Hasilnya real bunuh diri, Bel. Enggak ada bukti apa-apa selain luka yang didapat karena menghantam lantai lapangan. Awalnya om kira Bima didorong sama temannya, tetapi hasilnya enggak ada sidik jari atau keanehan apa pun," jawab Papa Ino.

"Semua ini salah om, karena enggak memperhatikan Bima dengan benar. Dia punya masalah apa dan siapa aja om enggak tahu. Om gagal menjadi ayah yang baik buat dia," lanjutnya dengan kepala yang menunduk sedih.

Mendengar kalimat yang dilontarkan Papanya Bima, membuat jantung kelima remaja itu berpacu lebih cepat. Tubuh mereka seakan kaku, pikirannya pun terasa kosong. Mereka masih tidak percaya bahwa Bima benar-benar bunuh diri. Semua itu karena kejadian kemarin dan isi surat yang ditemukan Galih.

"Anakku Bima, maafkan mama!" teriak Mama Nita yang kembali menangis. Benar yang dikatakan suaminya, mereka berdua tidak begitu memperhatikan anak semata wayangnya. Kini, hanya ada rasa penyesalan dan kehilangan.

"Om, Tante, semua ini bukan salah kalian. Semuanya sudah takdir, Bima juga pasti bangga bisa mempunyai orang tua seperti kalian. Maaf kalau kalimat yang kami lontarkan membuat kalian semakin merasa sedih," ucap Bella tulus.

"Kalau begitu kami pamit dulu ya, Om, Tante," sambung Davin tersenyum tipis.

Mereka mencium punggung tangan kedua orang tua Bima secara bergantian. Tidak lupa juga mengucapkan sedikit kata penenang dan semangat.

"Gue mau bicara sama kalian, ini tentang Bima," kata Bella dengan suara sepelan mungkin setelah mereka berada di luar.

Ervin Warda

Halo, Kakak-kakak. Happy reading ❤️

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status