“Di sini pengap, aku kedinginan dan ketakutan, Gil.” Gadis itu menangis dan berjalan tertatih-tatih berusaha meraih Agil. Wajahnya kesi, sebagian daging pipinya terkelupas memperlihatkan tulang di dalamnya.
“Tidak! Tidak! Aku tak bisa membantumu, Bulan!” teriak Agil histeris. Teriakannya membangunkan Ibu,
Ibu menggoncang-goncangkan tubuh Agil. “Bangun Gil!”
Keringat dingin membasahi tubuhnya, mimpinya tadi seperti nyata. Beberapa kali pria itu menarik napas dalam-dalam,
Ibu mengambilkan segelas air dan memberikannya pada Agil. “Maukah kamu menceritakan mimpimu pada Ibu?” kata Ibu. Dia bisa merasakan keresahan hati anaknya.
Agil merasakan perutnya melilit ketika melihat Arif berdiri di samping Ibu. Penampilan pria itu amat payah, baju kumal, muka brewok, mata kuyu serta rambut acak-acakan seperti zombie. Pemuda itu enggan bertemu Arif yang telah melecehkannya. Kakinya gelenyar, ia hendak menghindar, tapi tak enak dengan tatapan Ibu. Ketegangan mulai menyusup mengaliri darahnya. Tetapi dia paksakan untuk bersikap biasa saja. “Hi… apa kabar?” tanyanya basa basi. Agil menarik mulutnya ke atas membentuk senyum palsu. Arif tampak canggung, badannya kaku. Pria itu lebih banyak menunduk, seperti pesakitan menunggu vonis mati. “Maafkan kesalahanku Gil. Tolong kembalilah bekerja denganku, aku tak sanggup menangani iNiRice sendirian,” jawab pemuda itu terbata-bata, egonya runtuh berceceran. Kemudian dia menceritakan semua masalahnya. Lelaki itu tertegun, dia tak menyangka problem iNiRice separah itu sejak kepergiannya. Ada 200 orang lebih yang menyandarkan hidupnya di sana.
“Kamu sudah jadi milikku, cantik, tak usah malu-malu ayo lepaskan pakaianmu!” bujuk Ronald penuh nafsu. Matanya liar menelusuri tiap jengkal tubuh montok di hadapannya. “Sabar dulu, Om, bukankah kita baru sampai, bagaimana kalau kita melakukan permainan dulu,” ucap Chandra menolak membuka bajunya. “Em, misalnya foreplay.” Bah! Memangnya permainan foreplay seperti apa? Apakah semacam permainan kartu, tebak-tebakan atau gundu… entahlah! Ia tidak tahu. Gadis itu menguping dan meniru apa yang di katakan Mba Sri dengan teman lelakinya. Mba Sri adalah saudara jauhnya yang mengajaknya mencari pekerjaan di kota. Sebagai gadis dusun, Chandra mengagumi penampilan Mba Sri yang wah. Ia seperti artis, kulit Mba Sri terawat dan selalu memakai bedak, make up tebal serta bulu mata lentik yang membuat mata
Mata Chandra lelah setelah memainkan hape pemberian Agil. Gadis itu menoleh ke samping ke ranjang teman sekamarnya. “Halo Tante,” sapa Chandra ramah ketika melihat tangan perempuan itu merapikan selendang biru yang dipakainya. Perempuan itu menoleh, wajahnya amat pucat dan badannya kurus. Mata mereka bertemu. Tanpa di duga wanita itu histeris saat melihat Chandra. Dalam hitungan detik perempuan itu sudah berada di sampingnya dan merengkuh kepala Chandra, lalu mendekapnya erat hingga membuat gadis itu susah bernapas.Jantung Chandta terkesiap. Perempuan itu menciumi Chandra dengan terus meratap. “
Sepulangnya dari rumah sakit, Agil melepas dan menendang sepatunya ke sudut kamar. Romannya murung, kedua alisnya menyatu menandakan ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Dia lantas membaringkan tubuhnya ke pembaringan di atas tumpukan koran yang baru dibelinya tadi pagi. Ingatannya melayang-layang tak tentu arah, pertemuan yang tak sengaja dengan Chandra, Mirna, dan kemunculan Bulan di samping ranjang Mirna membuat otaknya berpacu keras. “Apakah antara mereka memiliki ikatan keluarga?” gumamnya lirih. Lelaki itu menghembuskan napas berat ke udara. Adalah Bulan, hantu cantik yang diam-diam mencuri hatinya dan menyiksanya dengan kerinduan. Ini pertama kalinya dalam hidupnya ia menyayangi seorang wanita selain ibunya. Kebalikan dari sifat Agil, Bu
Semburat sinar mentari menuntun Agil pergi ke rumah sakit. Cuaca pagi itu masih dingin, sementara embun di atas rumput dan dedaunan tampak indah berkilau seperti mutiara di pelataran rumah sakit. Langkah pria itu tegap dan senyumnya mengembang, dari jauh dia melihat Chandra sudah rapi di depan kamarnya bersama Tante Mirna. Dia melambaikan tangannya, gadis itu membalasnya. “Eh… kok pagi-pagi sudah ke sini? Apa kamu tidak bekerja?” tanyanya ramah. Dia senang dengan kedatangan pria itu. Agil kelihatan perlente dengan jeans biru dan kemeja putih yang lengannya digulung ke dalam, serta parfumnya yang beraroma kayu, aroma yang mengingatkan Chandra pada bau hutan pinus di desanya. Ia menghirupnya kuat-kuat memenuhi rongga dadanya.
Agil hendak memarkir motornya di depan kantor iNiRice ketika sebuah mobil Lexus masuk danAgil” tanya berhenti di dekatnya. Seorang perempuan setengah baya turun, kemudian dengan tergesa-gesa membuka pintu belakang mobil sebelah kiri.“Hati-hati kepalanya Nyonya…”Kali ini yang keluar adalah wanita cantik dengan penampilan jetset. Sepatu high heels hitam dengan gelang kaki mutiara yang menampakkan kemewahan dan keanggunan menghiasi kakinya yang panjang dan putih. Dia langsung masuk ke kantor iNiRice diikuti oleh perempuan yang terlihat seperti asistennya.“Di mana kantor Pak wanita cantik itu sambil berkacak pinggang.“Sebentar lagi beliau datang, Bu. Ibu silahkan duduk dulu di sini?” jawab Pak Maman menghentikan pekerjaannya.“Eh… berani sekali kamu menyuruh saya duduk. Apa kamu tidak tahu siapa saya?!” kata perempuan itu ketus dan matanya mendelik menguliti
Agil baru saja selesai meeting dengan Ibu Silvia dan 3 teman sosialitanya, mereka tertarik untuk menanamkan modal di iNiRice. Agil menceritakan kabar gembira ini pada Arif. Bukannya bahagia, pria itu malah menanyakan hal lain yang tak ada kaitan sama sekali dengan perusahaan. “Apa kamu sudah menyimpan barang-barangku dengan baik? Tolong jauhkan dari Mamaku,” pintanya setengah berbisik, Agil nyaris tak bisa mendengarnya. Ia melihat ke arah lemari besi. “Ah… untung saja!” gumam pria berbahu lebar itu lega. Kemarin Ibu Silvia telah meminta barang-barang Arif, tapi karena Agil sibuk, dia lupa memberikan padanya. Barang Arif sebenarnya tak banyak, ada beberapa binder, buku catatan, beberapa buku marketing dan IT. Pria itu menjadi penasaran, kenapa Arif memintanya untuk menyimpannya baik-baik? Kenapa pula Ibu Sil
Mirna menghentikan mobilnya di depan rumah bercat putih. Dia mengambil remot dan menekannya, pintu pagar rumah terbuka sendiri. Chandra takjub! Mulutnya melongo, seumur- umur baru kali ini melihat pintu pagar seperti punya Tante Mirna. ”Wow keren!” celetuknya tak sadar. Haji Komar, orang terkaya di desanya pagar rumahnya biasa saja. Mirna hanya tersenyum mendengar celetukan gadis itu. “Ayo masuk,” ajaknya sambil membuka pintu rumah, gadis itu mengikutinya. Chandra melayangkan pandang, rumah bergaya minimalis dengan taman kecil itu kelihatan sunyi dan muram. Sisa-sisa rintik hujan tadi pagi masih terasa basah pada daun-daun bunga kamboja, bougenvile yang berserakan menutupi rumput yang mulai meninggi. Sedangkan bunga gantung yang berderet indah di teras sebagian layu dan kering. Gadis itu merasakan ketidaknyamanan, ada hawa dingin menyapu wajahnya saat memasuki rumah Tante Mirna. ia percaya takhayul, kematian Bulan yang tidak wajar membuat bulu kudukny