Home / Romansa / Misteri Bulan / Chapter 5. Sebuah Permintaan Berat

Share

Chapter 5. Sebuah Permintaan Berat

Author: Fidia Haya
last update Last Updated: 2021-11-10 19:35:16

            Rumor teror hantu, rupanya telah menyebar di kantor iNiRice. Desas-desus miring adanya permintaan tumbal, membuat suasana mencekam. Produktivitas kerja menjadi lebih lamban, karena ada beberapa staff wanita yang kerasukan. Setelah itu mereka bersama-sama mengundurkan diri dengan alasan takut.

            Kejadian yang bertubi-tubi membuat emosi Arif naik. Kesalahan sepele bisa membuat amarah pria itu meledak.

Sore itu, Agil hendak masuk ke ruangannya setelah seharian keliling melihat proyek pertanian yang mereka garap. Di depan pintu dia tercekat ketika mendengar suara tinggi Arif sedang memarahi seseorang.

            “Kenapa kopinya pahit? You punya telinga nggak?”

            Belum hilang kekagetannya. Dia mendengar suara pecahan kaca dan pekikan tertahan. Lelaki itu menahan napas. Pak Maman keluar dari kantornya membawa nampan berisi pecahan gelas, lalu kembali dengan dengan membawa ember dan alat pel. Mukanya terlihat tertekan. “Ada apa, Pak?” tanyanya pelan.

            “Pak Arif marah. Pak, sahutnya dengan mata cemas.

            Agil masuk dan melihat tumpahan kopi di lantai, ia pura-pura tak tahu dan menyapa Arif yang sedang menatap layar laptopnya dengan muka serius. “Yuk, kita ke Café sepulang kerja,” ajaknya. Lima menit lagi jam 5 sore. Dia ingin membicarakan sesuatu dengannya sekaligus melepas penat.

            Arif melihatnya sekilas. “Belagu kamu ke Café. Apa pekerjaanmu sudah kelar?” katanya sinis sambil melanjutkan pekerjaannya. Ajakan Agil dianggapnya angin lalu.

            “Arif, kita perlu bicara. Ini menyangkut anak-anak di sini, aku mengajakmu ke Café supaya kita lebih santai bicaranya,” kata Agil setelah Pak Maman selesai membersihkan tumpahan kopi.

            Agil sudah banyak menerima laporan. Bukan hanya soal kesurupan, staff yang berhenti karena ketakutan, complain customer serta sikap buruk Arif yang semakin membuat suasana kantor tak nyaman. Sebagai orang kedua di perusahaan rintisan itu, mau tidak mau ia harus turun tangan. Sebelum semuanya runyam.

            “Apa kamu juga seperti orang-orang bodoh itu, percaya sama hantu dan mau resign? Silahkan saja, masih banyak orang yang mau bekerja denganku,” cecar Arif dingin. Dia tak mengalihkan pandangannya sedetikpun dari layar computer.

            Agil yang mudah baper, sedikit tersinggung dengan kata-kata sahabatnya, akan tetapi dia berusaha menguasai emosinya. “Jangan salah paham, aku mengerti kondisimu, aku juga mengerti kondisi karyawan kita. Menurutku, kita sebaiknya mencari jalan untuk menghentikan kekacauan ini?”

            “Maksudmu, mencari jalan seperti ide Pak Maman yang ingin mendatangkan orang untuk mengusir hantu itu?” sahut Arif, matanya berkilat-kilat marah. ”Aku tak suka! Kamu tahu kan, aku tak percaya hal tak masuk akal begitu.”

            Agil menelan ludah dan berkata dengan hati-hati. ”Iya aku mengerti, kita tidak akan melakukannya tanpa seijinmu. Tapi, aku minta, tolong jangan buat karyawan makin sulit dengan sikap burukmu? Mereka sudah ketakutan jangan ditambah lagi dengan ketakutan baru dengan amarahmu itu. Ini Indonesia Rif, mereka masih percaya dengan hantu. Berikan mereka waktu. Kita buat mereka nyaman,” ungkapnya panjang lebar.

            Arif hanya melenguh dan berdiri sambil berkacak pinggang. ”Oh, jadi kamu berani menyalahkanku sekarang, heh! Apa kamu lupa siapa yang membantu keluargamu supaya tidak terpuruk?” Laki-laki itu mulai mengungkit kebaikannya. “Aku paling benci dengan orang yang sok menasehatiku. Aku mau kamu tunduk kepadaku!Kalau tidak mau silahkan pergi dari sini, bodoh!” bentak pria itu. Telunjuknya menunjuk kepala Agil.

            Agil termangu di tempatnya berdiri. Tak ada gunanya lagi dia berdebat dengan lelaki songong yang nyaris tak dia tak kenal. Cukup! Ia tak mau Arif melecehkannya lagi. Agil lantas bergegas mengambil ransel dan meletakkan kunci motor yang selama ini dipakainya di meja Arif. 

Berulangkali ia menarik nafas supaya ia tetap tenang. Agil menatap Arif dengan tatapan hambar.” Terima kasih tapi aku tak sudi menjadi robot mainanmu!” geramnya. Dia pun berlalu meninggalkan Arif.

            Pak Maman, yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka mengejar Agil. “Pak Agil… pak Agil…!” teriaknya. Dia berusaha menahan laki-laki itu supaya tidak berhenti. Selama ini dialah yang paling pengertian di kantornya. Semua orang menyukainya karena kebaikan hatinya.

            Agil menoleh. Dia memberinya isyarat untuk menelepon dan buru-buru menyetop taksi yang lewat.

***

Sudah tiga hari Agil menenggelamkan diri di kamar, menenangkan pikirannya. Ia baru menghidupkan ponsel dan terkejut dengan ratusan notif yang memenuhi layar smartphonenya. Salah satunya dari Arif, pria itu menginginkannya kembali bekerja.

“Kamu nggak kerja, Le?” tanya Ibu mengetuk pintu kamarnya. Ia tahu ada sesuatu yang terjadi antara anaknya dan Arif. Lelaki itu telah menceritakan semua padanya.

Agil membuka pintu. “Nggak, Bu. Aku sudah berhenti bekerja,” jawabnya jujur. “Ibu jangan cemas, Agil pasti segera mendapatkan pekerjaan,” katanya percaya diri.

Ia pernah berada di posisi menjadi pengangguran dan miskin. Batinnya meraung, meronta dan memberontak saat semua lamarannya ditolak, dan melihat Ibu menangis melihat periuk kosong di dapur.

Agil telah menyadari betapa kerdil manusia begitu gigih menggapai keinginan sedangkan kemampuannya terbatas. Ia sadar, tak bisa menentukan nasib seperti yang diinginkan. Pada akhirnya harus sabar menerima takdir yang telah di tentukan oleh-Nya.

“Kenapa kamu tak kembali bekerja dengan Arif, Nak? Dia terus menelpon Ibu, sepertinya dia menyesal telah berbuat kasar padamu,” beber Ibu. Kemudian mengajak sang anak menemaninya ngeteh di bawah pohon jambu. Mengenang masa-masa indah saat suaminya masih hidup.

“Tidak! Aku tidak mau kembali bekerja dengannya,” jawab Agil tenang. Dia sudah terlanjur kecewa dengan sikap Arif yang semena-mena.

 Perempuan itu menyesap tehnya beberapa kali dan tersenyum melihat anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Semakin hari wajahnya semakin manis dengan bahu lebar mirip dengan almarhum suaminya. “Ibu tahu, kamu sakit hati dengan perkataan Arif. Tapi jangan dimasukkan ke dalam hati. Apapun yang orang lakukan padamu, maafkan dia, Nak. Mungkin saat itu Arif khilaf.”

Percakapan mereka terganggu oleh kedatangan Pak Maman.

 “Assalamualaikum…”

“Waalaikumussalam,” jawab Agil gembira. “Mari masuk, Pak!” ajaknya.

“Di sini saja, Pak. Adem!” kata Pak Maman. Dia langsung duduk di sebelah Agil. “Pak, apa boleh saya minta gelas?” tanyanya cengengesan. Matanya lurus menatap teh.

“Untuk apa?”

“Haus, Pak!” jawab Pak Maman. Ia tak malu pada Ibu Agil yang melihatnya dengan tersenyum.

“Oalah… boleh-boleh, sebentar ya Pak.” Ibu Agil masuk ke dalam membuatkannya teh dan sepiring pisang goreng hangat untuknya.”Monggo, Pak!”

 “Nah, ini baru mantap,” ucapnya senang. Pak Maman tak ragu mencomot dua pisang goreng sekaligus dan melahapnya dalam dua kali gigitan. Kemudian meneguk teh hingga tandas. “Maaf Pak, saya lapar sekali. Tadi belum sempat makan siang. Keadaan kantor sangat kacau, pekerjaan saya semakin banyak. Saya capek sekali,” keluhnya. Mulutnya tak henti makan.

            Agil merasa iba. Umur Pak Maman seusia ibunya, istrinya tiga bulan lalu meninggal karena Covid. Mereka tidak punya anak. Maka satu-satunya hiburan adalah pekerjaannya di iNiRice. Dia bisa bercanda dengan rekan-rekannya. Pria itu membuang napas, teringat perlakuan Arif pada Pak Maman. “Kamu kejam Rif,” gumannya pelan.

            “iNiRice tanpa kehadiran Pak Agil seperti lautan tak ada ombaknya, hening. Kami seperti kehilangan induk, bingung mau berbuat apa. Kami menginginkan Pak Agil kembali bekerja bersama kami,” pinta Pak Maman. Ia melakukannya demi kawan-kawannya.

            Agil bungkam.

            Sejam kemudian Pak Maman balik pulang. Ibu memberinya nasi kotak dan pisang goreng.

Kepala Agil mendadak pusing, kedatangan Pak Maman menambah berat hatinya. Ia pun  masuk ke kamar. Jantungnya terkesiap saat melihat Bulan duduk di kursi dengan kaki menyilang. Wajahnya terlihat sedih.”Kamu suka sekali mengejutkanku,” tuduh Agil dan menghempaskan badannya ke ranjang.

Bulan mendekati pria itu dan mencengkeram lengannya. “Tolong tangkap pembunuhku.”

           

           

           

           

           

           

           

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Iswati Iswati
seruu ceritanya
goodnovel comment avatar
mas edy
mantap.........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Misteri Bulan   Chapter 101. Semua Karena Cinta

    Dokter Samuel membuka plester dan kain kasa yang menutupi kedua mata Chandra. “Chandra bukalah mata pelan-pelan,” suaranya sangat tenang dan hangat. Chandra membuka matanya pelan-pelan lalu mengerjap- ngerjapkan mata sebelum melihat ke sekeliling. Semua yang ada di kamar itu menahan napas. Senyum Chandra mengembang lebar ketika melihat satu persatu orang yang disayanginya berada di sisinya. Ia menyebutnya satu persatu. “Agil, Tante, Emak, Bapak, Bik Mar.” Chandra terdiam saat melihat lelaki paruh baya berada di samping Bik Mar. “Dia siapa Gil? Apakah itu suami Bik Mar” “Alhamdulillah! Chandra bisa melihat lagi,” seru Agil kemudian dia sujud syukur. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih Dokter!” Agil menyalami Dokter Samuel yang terlihat lega operasinya berhasil. “Sama-sama,” kata Dokter Samuel. Kemudian dia pamit. Ibu, Emak dan Bik Mar serentak menangis memeluk Chandra.

  • Misteri Bulan   Chapter 100. Villa Berdarah

    Pagi yang dingin, kabut masih menyelimuti pondok. Titik-titik embun yang menempel di daun kersen sesekali jatuh membasahi sepasang anak manusia yang bersenda gurau di bawahnya. Mereka duduk di amben. “Kita main tebak-tebakkan, yuk,” kata Agil dengan hati senang melihat Chandra ada bersamanya. Chandra menelengkan mukanya, beberapa hari tinggal di pondok membuat mukanya kian cantik berseri. “Mmmm… sepertinya menyenangkan. Kita main tebak-tebakan apa?” “Dalam permainan tebak-tebakan ini, aku ingin menguji indra penciuman dan pengecapmu. Setelah itu kamu mengatakannya kepadaku apa rasa makanan

  • Misteri Bulan   Chapter 99. Nyaris Terbunuh

    “Kenapa tak kau tanyakan saja pada Silvia!” bentak Agil. “Sekarang aku bertanya kepadamu? Untuk apa kamu membakar rumahku, Dil?!! Untuk apa juga kamu membayar orang untuk membunuhku dan Chandra!!” dengusnya kesal. Mata Fadil terbelalak. Dia tak menyangka Agil mengetahui apa yang dia lakukan. Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Agil. Giginya gemeretuk menahan marah. “Aku ingin melenyapkanmu karena kamu tahu terlalu banyak. Bukankah sudah kukatakan jangan turut campur dengan kematian Bulan. Sayangnya kamu mengabaikan nasehatku.” Matanya menatap penuh kebencian pada Agil. “Bukankan tugas kamu sebagai penegak hukum? Kenapa kamu justru melarangku? Aku hanya mau membantunya mencari keadilan!”

  • Misteri Bulan   Chapter 98. Ketegangan Yang Makin Meningkat

    “Tidak!” Jawaban singkat yang terucap dari bibir Mirna yang menyilet hati Arif. Lelaki itu mendorong pelan tubuh Mirna ke dinding. Tatapan kecewa tampak jelas dari sorot matanya.“Bukankah dulu kita saling mencintai sayang? Aku tahu kamu masih menungguku. Jika tidak kamu pasti sudah merubah password apartemen ini,” tuduh laki-laki itu membela diri. Suara Arif mulai meninggi, wajahnya menegang. Dia tetap teguh dengan keputusan ingin menikahi perempuan pujaannya itu. Mirna memejamkan mata, dan mengeluarkan napas perlahan. “Maafkan aku. Sayangnya kamu salah! Cintaku kepadamu tak sebesar cintaku pada papamu, selama ini aku hanya memanfaatkan kamu untuk mengobati rasa rinduku padanya,” kata Mirna dengan suara serak. Sepahit apap

  • Misteri Bulan   Chapter 97. Cinta Yang Menyakitkan

    Siang yang begitu terik, matahari semakin garang memancarkan panasnya.Mirna pasrah, saat dirinya diikat dengan rantai dan diseret seperti sebuah mainan. Seluruh badannya lebam dan luka terkena batu-batu kerikil yang tajam. Kemudian tanpa ampun perempuan bercadar itu melemparkan tubuh Mirna di atas bantalan rel kereta api dan menindih pahanya dengan sebuah batu besar. Dia tak bisa bergerak dan membiarkan kulitnya melepuh terkena panasnya landasan besi kereta api. Perempuan bercadar itu berjongkok di samping Mirna, tangannya memegang wajah Mirna dengan kasar. “Kali ini kamu pasti mampus. Sebentar lagi kereta api datang dan mencincang tubuh seksimu!” Perempuan itu tertawa terbahak-bahak lalu menangis pilu. “Sudah lama sekali aku ingin membunuhmu, tapi baru kali aku berani.” Dia mengambil jeda. “Aku sangat benc

  • Misteri Bulan   Chapter 96. Kejutan-Kejutan Seru Yang Mendebarkan

    Kejutan luar biasa! “Tapi… bagaimana bisa dan kenapa Silvia ingin membunuh Bik Eha?” tanya Agil tak mengerti. Tak mudah bagi Agil untuk mempercayai penjelasan Bik Eha. Semua terlihat tak masuk akal. Bagaimana mungkin Bik Eha dapat memerankan aktingnya, berpura-pura gila begitu sempurna selama belasan tahun? Bik Eha tertawa kecil. “Bisa saja Mas, karena tidak ada yang peduli dengan orang gila.” Penyamaran jenius! Agil manggut-manggut mengagumi Bik Eha dalam mempertahankan hidupnya. Bik Ehan benar. Siapa yang perduli dengan orang gila. Sebagian besar masyarakat menganggap orang gila negatif, bukan hanya dikucilkan mereka juga dijauhi. Agil menelan kekecewaan sekaligus ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status