Rumor teror hantu, rupanya telah menyebar di kantor iNiRice. Desas-desus miring adanya permintaan tumbal, membuat suasana mencekam. Produktivitas kerja menjadi lebih lamban, karena ada beberapa staff wanita yang kerasukan. Setelah itu mereka bersama-sama mengundurkan diri dengan alasan takut.
Kejadian yang bertubi-tubi membuat emosi Arif naik. Kesalahan sepele bisa membuat amarah pria itu meledak.
Sore itu, Agil hendak masuk ke ruangannya setelah seharian keliling melihat proyek pertanian yang mereka garap. Di depan pintu dia tercekat ketika mendengar suara tinggi Arif sedang memarahi seseorang.
“Kenapa kopinya pahit? You punya telinga nggak?”
Belum hilang kekagetannya. Dia mendengar suara pecahan kaca dan pekikan tertahan. Lelaki itu menahan napas. Pak Maman keluar dari kantornya membawa nampan berisi pecahan gelas, lalu kembali dengan dengan membawa ember dan alat pel. Mukanya terlihat tertekan. “Ada apa, Pak?” tanyanya pelan.
“Pak Arif marah. Pak, sahutnya dengan mata cemas.
Agil masuk dan melihat tumpahan kopi di lantai, ia pura-pura tak tahu dan menyapa Arif yang sedang menatap layar laptopnya dengan muka serius. “Yuk, kita ke Café sepulang kerja,” ajaknya. Lima menit lagi jam 5 sore. Dia ingin membicarakan sesuatu dengannya sekaligus melepas penat.
Arif melihatnya sekilas. “Belagu kamu ke Café. Apa pekerjaanmu sudah kelar?” katanya sinis sambil melanjutkan pekerjaannya. Ajakan Agil dianggapnya angin lalu.
“Arif, kita perlu bicara. Ini menyangkut anak-anak di sini, aku mengajakmu ke Café supaya kita lebih santai bicaranya,” kata Agil setelah Pak Maman selesai membersihkan tumpahan kopi.
Agil sudah banyak menerima laporan. Bukan hanya soal kesurupan, staff yang berhenti karena ketakutan, complain customer serta sikap buruk Arif yang semakin membuat suasana kantor tak nyaman. Sebagai orang kedua di perusahaan rintisan itu, mau tidak mau ia harus turun tangan. Sebelum semuanya runyam.
“Apa kamu juga seperti orang-orang bodoh itu, percaya sama hantu dan mau resign? Silahkan saja, masih banyak orang yang mau bekerja denganku,” cecar Arif dingin. Dia tak mengalihkan pandangannya sedetikpun dari layar computer.
Agil yang mudah baper, sedikit tersinggung dengan kata-kata sahabatnya, akan tetapi dia berusaha menguasai emosinya. “Jangan salah paham, aku mengerti kondisimu, aku juga mengerti kondisi karyawan kita. Menurutku, kita sebaiknya mencari jalan untuk menghentikan kekacauan ini?”
“Maksudmu, mencari jalan seperti ide Pak Maman yang ingin mendatangkan orang untuk mengusir hantu itu?” sahut Arif, matanya berkilat-kilat marah. ”Aku tak suka! Kamu tahu kan, aku tak percaya hal tak masuk akal begitu.”
Agil menelan ludah dan berkata dengan hati-hati. ”Iya aku mengerti, kita tidak akan melakukannya tanpa seijinmu. Tapi, aku minta, tolong jangan buat karyawan makin sulit dengan sikap burukmu? Mereka sudah ketakutan jangan ditambah lagi dengan ketakutan baru dengan amarahmu itu. Ini Indonesia Rif, mereka masih percaya dengan hantu. Berikan mereka waktu. Kita buat mereka nyaman,” ungkapnya panjang lebar.
Arif hanya melenguh dan berdiri sambil berkacak pinggang. ”Oh, jadi kamu berani menyalahkanku sekarang, heh! Apa kamu lupa siapa yang membantu keluargamu supaya tidak terpuruk?” Laki-laki itu mulai mengungkit kebaikannya. “Aku paling benci dengan orang yang sok menasehatiku. Aku mau kamu tunduk kepadaku!Kalau tidak mau silahkan pergi dari sini, bodoh!” bentak pria itu. Telunjuknya menunjuk kepala Agil.
Agil termangu di tempatnya berdiri. Tak ada gunanya lagi dia berdebat dengan lelaki songong yang nyaris tak dia tak kenal. Cukup! Ia tak mau Arif melecehkannya lagi. Agil lantas bergegas mengambil ransel dan meletakkan kunci motor yang selama ini dipakainya di meja Arif.
Berulangkali ia menarik nafas supaya ia tetap tenang. Agil menatap Arif dengan tatapan hambar.” Terima kasih tapi aku tak sudi menjadi robot mainanmu!” geramnya. Dia pun berlalu meninggalkan Arif.
Pak Maman, yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka mengejar Agil. “Pak Agil… pak Agil…!” teriaknya. Dia berusaha menahan laki-laki itu supaya tidak berhenti. Selama ini dialah yang paling pengertian di kantornya. Semua orang menyukainya karena kebaikan hatinya.
Agil menoleh. Dia memberinya isyarat untuk menelepon dan buru-buru menyetop taksi yang lewat.
***
Sudah tiga hari Agil menenggelamkan diri di kamar, menenangkan pikirannya. Ia baru menghidupkan ponsel dan terkejut dengan ratusan notif yang memenuhi layar smartphonenya. Salah satunya dari Arif, pria itu menginginkannya kembali bekerja.
“Kamu nggak kerja, Le?” tanya Ibu mengetuk pintu kamarnya. Ia tahu ada sesuatu yang terjadi antara anaknya dan Arif. Lelaki itu telah menceritakan semua padanya.
Agil membuka pintu. “Nggak, Bu. Aku sudah berhenti bekerja,” jawabnya jujur. “Ibu jangan cemas, Agil pasti segera mendapatkan pekerjaan,” katanya percaya diri.
Ia pernah berada di posisi menjadi pengangguran dan miskin. Batinnya meraung, meronta dan memberontak saat semua lamarannya ditolak, dan melihat Ibu menangis melihat periuk kosong di dapur.
Agil telah menyadari betapa kerdil manusia begitu gigih menggapai keinginan sedangkan kemampuannya terbatas. Ia sadar, tak bisa menentukan nasib seperti yang diinginkan. Pada akhirnya harus sabar menerima takdir yang telah di tentukan oleh-Nya.
“Kenapa kamu tak kembali bekerja dengan Arif, Nak? Dia terus menelpon Ibu, sepertinya dia menyesal telah berbuat kasar padamu,” beber Ibu. Kemudian mengajak sang anak menemaninya ngeteh di bawah pohon jambu. Mengenang masa-masa indah saat suaminya masih hidup.
“Tidak! Aku tidak mau kembali bekerja dengannya,” jawab Agil tenang. Dia sudah terlanjur kecewa dengan sikap Arif yang semena-mena.
Perempuan itu menyesap tehnya beberapa kali dan tersenyum melihat anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Semakin hari wajahnya semakin manis dengan bahu lebar mirip dengan almarhum suaminya. “Ibu tahu, kamu sakit hati dengan perkataan Arif. Tapi jangan dimasukkan ke dalam hati. Apapun yang orang lakukan padamu, maafkan dia, Nak. Mungkin saat itu Arif khilaf.”
Percakapan mereka terganggu oleh kedatangan Pak Maman.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam,” jawab Agil gembira. “Mari masuk, Pak!” ajaknya.
“Di sini saja, Pak. Adem!” kata Pak Maman. Dia langsung duduk di sebelah Agil. “Pak, apa boleh saya minta gelas?” tanyanya cengengesan. Matanya lurus menatap teh.
“Untuk apa?”
“Haus, Pak!” jawab Pak Maman. Ia tak malu pada Ibu Agil yang melihatnya dengan tersenyum.
“Oalah… boleh-boleh, sebentar ya Pak.” Ibu Agil masuk ke dalam membuatkannya teh dan sepiring pisang goreng hangat untuknya.”Monggo, Pak!”
“Nah, ini baru mantap,” ucapnya senang. Pak Maman tak ragu mencomot dua pisang goreng sekaligus dan melahapnya dalam dua kali gigitan. Kemudian meneguk teh hingga tandas. “Maaf Pak, saya lapar sekali. Tadi belum sempat makan siang. Keadaan kantor sangat kacau, pekerjaan saya semakin banyak. Saya capek sekali,” keluhnya. Mulutnya tak henti makan.
Agil merasa iba. Umur Pak Maman seusia ibunya, istrinya tiga bulan lalu meninggal karena Covid. Mereka tidak punya anak. Maka satu-satunya hiburan adalah pekerjaannya di iNiRice. Dia bisa bercanda dengan rekan-rekannya. Pria itu membuang napas, teringat perlakuan Arif pada Pak Maman. “Kamu kejam Rif,” gumannya pelan.
“iNiRice tanpa kehadiran Pak Agil seperti lautan tak ada ombaknya, hening. Kami seperti kehilangan induk, bingung mau berbuat apa. Kami menginginkan Pak Agil kembali bekerja bersama kami,” pinta Pak Maman. Ia melakukannya demi kawan-kawannya.
Agil bungkam.
Sejam kemudian Pak Maman balik pulang. Ibu memberinya nasi kotak dan pisang goreng.
Kepala Agil mendadak pusing, kedatangan Pak Maman menambah berat hatinya. Ia pun masuk ke kamar. Jantungnya terkesiap saat melihat Bulan duduk di kursi dengan kaki menyilang. Wajahnya terlihat sedih.”Kamu suka sekali mengejutkanku,” tuduh Agil dan menghempaskan badannya ke ranjang.
Bulan mendekati pria itu dan mencengkeram lengannya. “Tolong tangkap pembunuhku.”
“Di sini pengap, aku kedinginan dan ketakutan, Gil.” Gadis itu menangis dan berjalan tertatih-tatih berusaha meraih Agil. Wajahnya kesi, sebagian daging pipinya terkelupas memperlihatkan tulang di dalamnya.“Tidak! Tidak! Aku tak bisa membantumu, Bulan!” teriak Agil histeris. Teriakannya membangunkan Ibu, Ibu menggoncang-goncangkan tubuh Agil. “Bangun Gil!” Keringat dingin membasahi tubuhnya, mimpinya tadi seperti nyata. Beberapa kali pria itu menarik napas dalam-dalam, Ibu mengambilkan segelas air dan memberikannya pada Agil. “Maukah kamu menceritakan mimpimu pada Ibu?” kata Ibu. Dia bisa merasakan keresahan hati anaknya.
Agil merasakan perutnya melilit ketika melihat Arif berdiri di samping Ibu. Penampilan pria itu amat payah, baju kumal, muka brewok, mata kuyu serta rambut acak-acakan seperti zombie. Pemuda itu enggan bertemu Arif yang telah melecehkannya. Kakinya gelenyar, ia hendak menghindar, tapi tak enak dengan tatapan Ibu. Ketegangan mulai menyusup mengaliri darahnya. Tetapi dia paksakan untuk bersikap biasa saja. “Hi… apa kabar?” tanyanya basa basi. Agil menarik mulutnya ke atas membentuk senyum palsu. Arif tampak canggung, badannya kaku. Pria itu lebih banyak menunduk, seperti pesakitan menunggu vonis mati. “Maafkan kesalahanku Gil. Tolong kembalilah bekerja denganku, aku tak sanggup menangani iNiRice sendirian,” jawab pemuda itu terbata-bata, egonya runtuh berceceran. Kemudian dia menceritakan semua masalahnya. Lelaki itu tertegun, dia tak menyangka problem iNiRice separah itu sejak kepergiannya. Ada 200 orang lebih yang menyandarkan hidupnya di sana.
“Kamu sudah jadi milikku, cantik, tak usah malu-malu ayo lepaskan pakaianmu!” bujuk Ronald penuh nafsu. Matanya liar menelusuri tiap jengkal tubuh montok di hadapannya. “Sabar dulu, Om, bukankah kita baru sampai, bagaimana kalau kita melakukan permainan dulu,” ucap Chandra menolak membuka bajunya. “Em, misalnya foreplay.” Bah! Memangnya permainan foreplay seperti apa? Apakah semacam permainan kartu, tebak-tebakan atau gundu… entahlah! Ia tidak tahu. Gadis itu menguping dan meniru apa yang di katakan Mba Sri dengan teman lelakinya. Mba Sri adalah saudara jauhnya yang mengajaknya mencari pekerjaan di kota. Sebagai gadis dusun, Chandra mengagumi penampilan Mba Sri yang wah. Ia seperti artis, kulit Mba Sri terawat dan selalu memakai bedak, make up tebal serta bulu mata lentik yang membuat mata
Mata Chandra lelah setelah memainkan hape pemberian Agil. Gadis itu menoleh ke samping ke ranjang teman sekamarnya. “Halo Tante,” sapa Chandra ramah ketika melihat tangan perempuan itu merapikan selendang biru yang dipakainya. Perempuan itu menoleh, wajahnya amat pucat dan badannya kurus. Mata mereka bertemu. Tanpa di duga wanita itu histeris saat melihat Chandra. Dalam hitungan detik perempuan itu sudah berada di sampingnya dan merengkuh kepala Chandra, lalu mendekapnya erat hingga membuat gadis itu susah bernapas.Jantung Chandta terkesiap. Perempuan itu menciumi Chandra dengan terus meratap. “
Sepulangnya dari rumah sakit, Agil melepas dan menendang sepatunya ke sudut kamar. Romannya murung, kedua alisnya menyatu menandakan ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Dia lantas membaringkan tubuhnya ke pembaringan di atas tumpukan koran yang baru dibelinya tadi pagi. Ingatannya melayang-layang tak tentu arah, pertemuan yang tak sengaja dengan Chandra, Mirna, dan kemunculan Bulan di samping ranjang Mirna membuat otaknya berpacu keras. “Apakah antara mereka memiliki ikatan keluarga?” gumamnya lirih. Lelaki itu menghembuskan napas berat ke udara. Adalah Bulan, hantu cantik yang diam-diam mencuri hatinya dan menyiksanya dengan kerinduan. Ini pertama kalinya dalam hidupnya ia menyayangi seorang wanita selain ibunya. Kebalikan dari sifat Agil, Bu
Semburat sinar mentari menuntun Agil pergi ke rumah sakit. Cuaca pagi itu masih dingin, sementara embun di atas rumput dan dedaunan tampak indah berkilau seperti mutiara di pelataran rumah sakit. Langkah pria itu tegap dan senyumnya mengembang, dari jauh dia melihat Chandra sudah rapi di depan kamarnya bersama Tante Mirna. Dia melambaikan tangannya, gadis itu membalasnya. “Eh… kok pagi-pagi sudah ke sini? Apa kamu tidak bekerja?” tanyanya ramah. Dia senang dengan kedatangan pria itu. Agil kelihatan perlente dengan jeans biru dan kemeja putih yang lengannya digulung ke dalam, serta parfumnya yang beraroma kayu, aroma yang mengingatkan Chandra pada bau hutan pinus di desanya. Ia menghirupnya kuat-kuat memenuhi rongga dadanya.
Agil hendak memarkir motornya di depan kantor iNiRice ketika sebuah mobil Lexus masuk danAgil” tanya berhenti di dekatnya. Seorang perempuan setengah baya turun, kemudian dengan tergesa-gesa membuka pintu belakang mobil sebelah kiri.“Hati-hati kepalanya Nyonya…”Kali ini yang keluar adalah wanita cantik dengan penampilan jetset. Sepatu high heels hitam dengan gelang kaki mutiara yang menampakkan kemewahan dan keanggunan menghiasi kakinya yang panjang dan putih. Dia langsung masuk ke kantor iNiRice diikuti oleh perempuan yang terlihat seperti asistennya.“Di mana kantor Pak wanita cantik itu sambil berkacak pinggang.“Sebentar lagi beliau datang, Bu. Ibu silahkan duduk dulu di sini?” jawab Pak Maman menghentikan pekerjaannya.“Eh… berani sekali kamu menyuruh saya duduk. Apa kamu tidak tahu siapa saya?!” kata perempuan itu ketus dan matanya mendelik menguliti
Agil baru saja selesai meeting dengan Ibu Silvia dan 3 teman sosialitanya, mereka tertarik untuk menanamkan modal di iNiRice. Agil menceritakan kabar gembira ini pada Arif. Bukannya bahagia, pria itu malah menanyakan hal lain yang tak ada kaitan sama sekali dengan perusahaan. “Apa kamu sudah menyimpan barang-barangku dengan baik? Tolong jauhkan dari Mamaku,” pintanya setengah berbisik, Agil nyaris tak bisa mendengarnya. Ia melihat ke arah lemari besi. “Ah… untung saja!” gumam pria berbahu lebar itu lega. Kemarin Ibu Silvia telah meminta barang-barang Arif, tapi karena Agil sibuk, dia lupa memberikan padanya. Barang Arif sebenarnya tak banyak, ada beberapa binder, buku catatan, beberapa buku marketing dan IT. Pria itu menjadi penasaran, kenapa Arif memintanya untuk menyimpannya baik-baik? Kenapa pula Ibu Sil