Sehabis mandi rasanya segar sekali. Beda memang air sungai pegunungan dengan air kran di indekost, rasanya menyegarkan sampai ke sumsum tulang.
Selesai menyisir rambut, lampu kamar segera kunyalakan, suasana nampaknya sudah mulai gelap, padahal baru jam setengah enam sore. Walaupun di pedesaan ternyata PLN sudah menerangi wilayah ini, syukurlah tidak perlu takut kegelapan. Segera aku menuju ruang tamu sekaligus ruang keluarga, kunyalakan lampunya juga.
Kuamati Rumah posko perempuan ini, ukurannya hanya 7m x 8m, bangunannya semi permanen, lantainya dari semen dan tidak memiliki flapon. Terdapat dua kamar tidur, satu dapur, di dekat dapur ada WC yang tidak di sekat, ada bak mandi dan selang tapi tidak ada airnya, sepertinya airnya harus di alirkan dari sungai memakai pompa air, ya ... terpaksa ngangkat air pakai ember kalau mau buang air. Di antara dapur dan ruang tamu sekaligus ruang keluarga itu ada ruang kecil yang di sekat lemari, ada tikar pandan yang dibentangkan, diatasnya terdapat sejadah warna maroon yang sudah usang, sepertinya itu ruang salat.
"Lampunya agak redup ya?" Kata Sarah.
Gadis itu dari tadi duduk di ruang tengah sambil mengamati lampu di atasnya.
"Iya, ya." Aku menimpali ucapan Sarah
"Bentar, kita ganti saja. Aku bawa lampu philip 100 watt." Gina segera masuk ke kamar untuk mengambilnya
"Wei, hebat nian kau Gina, sampai kepikiran bawa lampu," kata Sarah dengan suara keras.
"Untuk jaga-jaga," timpal Gina dari kamar.
Memang kuperhatikan Gina memang agak berbeda dari yang lain. Dari segi penampilan, gaya bicara dan terutama barang bawaannya yang sangat banyak, sampai dua koper belum lagi barang-barang lain. Kasurnya saja dia berbeda, rata-rata kami membawa kasur lipat yang mudah dibawa, tapi Gina membawa kasur busa ukuran no 3 untuk satu orang yang kelihatan empuk banget dan mahal. Aku rasa dia anak orang kaya.
"Besok saja masangnya Gin, tidak ada tangga," ujarku
"Pakai meja, ditumpuk kursi saja," kata Sarah.
Gadis itu menarik sebuah meja kecil dari kamar dan aku mengambil kursi kayunya. Aku baru tahu ada meja dan kursi di sudut kamar bertumpuk dengan barang-barang kami.
Aku yang memiliki tinggi badan 158 terpaksa yang mengganti lampu, di banding mereka yang rata-rata tingginya 150 cm. Segera kunaiki meja, ternyata tanganku sudah sampai, karena lampu juga menjuntai kabelnya. Sarah segera mematikan lampu, sehingga aku bisa mengganti lampu. Setelah selesai mengganti, lampu dinyalakan kembali.
"Loh kok masih redup ya?" Kataku
"Iya,ya," kata Gina dan Sarah hampir berbarengan.
"Gak mungkin lampuku rusak, baru beli sebelum ke sini," kata Gina
"Ada yang aneh nih," ujarku
"Apa yang aneh?"
Tiba-tiba mbak Zarima keluar kamar sambil membawa seperangkat alat salat.
"Lampunya sudah diganti masih redup, Mbak," kataku
"Mungkin arus yang masuk sedikit, sehingga lampunya tidak bisa terang," kata mbak Zarima
"Bisa jadi, lampu ini kan nyalur dari rumah Nyai Rudiah." Sarah menimpali
"Mending kita salat ke mesjid, yuk!" ajak mbak Zarima
"Yuk, tunggu mbak aku ambil mukena." Aku ke kamar mengambil peralatan salat, di susul dengan Sarah.
"Aku nggak, lagi halangan," kata Gina
Sebelum pergi ke masjid kuajak teman-teman untuk ikut bersama kami, namun tidak semua bisa ikut, alasannya masih capek jadi salat di rumah saja. Kami pergi hanya berempat, aku, mbak Zarima,Sarah dan Rani.
Kami berangkat sebelum azan magrib berkumandang. Ternyata di depan posko laki-laki ku lihat Rasyid, Ilham,Sugianto, Dedi dan Maryanto juga akan berangkat ke masjid. Kupanggil mereka untuk pergi bersama. Kulihat Rasyid gagah sekali pakai baju koko putih tanpa memakai peci, kalau ku perhatikan, Rasyid suka sekali memakai baju berwarna putih, sehingga wajahnya semakin memancarkan aura.
Di tengah jalan, Sarah menceritakan pemasangan lampu, dia membahas dengan cowok-cowok tersebut.
"Hebat ya Gina selalu siaga," kata Dedi memuji Gina
"Sepertinya Gìna anak orang kaya ya?" Kata Rani menimpali
"Kalian gak tahu apa? bapak Gina kan anggota dewan provinsi dan ibunya Dokter sekaligus Dosen di Sekolah tinggi kebidanan," kata Ilham menerangkan.
"Ooo, pantes." Aku menimpali
"Anaknya cuma dua, Gina itu anak pertama," lanjut Ilham
"Wah, kau tahu banyak soal dia kawan, jangan-jangan ...." Dedi menepuk bahu Ilham, matanya baik turun meledek anak itu, membuat kami tertawa geli
"Oi, mikir apa kau? Dia itu teman satu kelas aku, ya wajar aku tahu," kata Ilham sambil menepis tangan Dedi
Kami masih menertawakan kelakuan mereka, beberapa detik kemudian azan berkumandang dari masjid yang tinggal dua puluh langkah di depan kami.
Setelah lantunan Allah hu Akbar terjeda beberapa detik alangkah terkejutnya kami tiba-tiba di depan kami sekawanan anjing melolong memekikkan telinga dan menyayat hati, aku sampai menutup telinga.
Kamipun menghentikan langkah, mengamati sekitar. Rupanya Lolongan anjing itu bersahut-sahutan seantero kampung, dan anjing-anjing itu kompak menghadap kesatu tempat sambil mendongak. Bukit Manau ....
"Rupanya Desa ini banyak sekali jin."
Tiba-tiba Rasyid yang dari tadi diam saja mengeluarkan suara
"Sepertinya jin-jin itu keluar dari Sarangnya. Lahaula wala Quata illabillah ...." sambung mbak Zarima
"Ayo lekas kita ke masjid,"seru Rasyid.
Anak itu mempercepat langkahnya, kami mengikuti setengah berlari.
Masjid Raudhatul Jannah, masjid ini cukup megah dan luas untuk ukuran masjid di kampung, berlantai keramik putih dan berkubah hijau. Tempatnya juga bersih. Namun kulihat hanya sedikit jamaahnya. Di tempat wanita selain kami hanya ada tiga orang nenek yang ikut salat. Setelah Iqomah, kami pun mulai salat berjamaah. Imam salat melantunkan surah Al Lail dengan sangat merdu, rasa takut di dadaku membuatku salat dengan sepenuh hati. Seumur hidup baru kali ini aku salat dengan khusuk hingga serasa kakiku tidak menginjak bumi.
POV Bayu Arya"Kenapa ngelihatin aku kekgitu? Awas ... aku mau mandi!" teriaknya galak sambil mendorong tubuhku.Duh ... lucunya, kalau lagi malu kayak gitu toh tingkahnya, aku terus menatapnya dengan senyum menggoda. Dia hempaskan pintu kamar mandi dengan kuat. Tenang saja cantik, akan kutaklukan kegalakkanmu nanti.Selagi dia mandi aku keluar kamar, menyuruh pelayan hotel membawa minuman hangat karena yang dingin sudah ada di kulkas, serta menyuruhnya membawa penganan pempek kesukaan istriku, kuberi mereka beberapa lembar uang, aku menyuruhnya mencari di restoran yang terkenal menyediakan makanan tersebut, juga membeli sate madura kesukaanku, dan beberapa makanan ringan. Sesampainya di kamar, kulihat istriku itu sudah selesai mandi, dia masih memakai piyama mandi warna putih, duduk di tepi ranjang sambil memainkan handphonenya. "Darimana?" tanyanya"Pesan makanan. Nanti kalau pesanan datang, terima ya? aku mau mandi," kataku melangkah ke kamar mandi"Aku gak mau, pelayannya cowok
Pov BayuSetelah akad nikah, aku kembali lagi ke hotel, sesuai perjanjian kami, kami tidak akan bermalam pertama jika resepsi belum di gelar.Kenapa aku menyetujui perjanjian konyol yang di ajukan Lidia itu. Ah, sekarang aku yang tersiksa sendiri kan? Wajah cantiknya di akad nikah tadi yang seperti bidadari turun dari kayangan sekarang jadi terbayang-bayang. Apa coba yang akan aku lakukan seharian besok Sabtu? Coba kalau ... jiah, aku benar-benar harus bersabar sekarang.Aku melangkah ke lobby hotel bintang lima di kota ini, menuju resepsionis. Aku pesan kamar presiden suit, sekarang aku tinggal di kamar VVIP. Kupesan agar kamar itu dihiasi dan didekorasi untuk bulan madu. "Untuk minggu Malam, ya!" kataku pada petugas hotel"Baik, pak," jawab petugas hotel ituAku kembali ke kamar dan rebahan, kucek status facebookku di grub relawan yang pernah aku ikuti, ternyata sudah ramai sekali. Ada yang mendoakan pernikahanku, bahkan sebagian mereka akan segera meluncur ke kota ini. Kubalas sa
Pov LidiaPersiapan pesta pernikahan tinggal dua puluh persen, undangan sudah tersebar. Mas Bayu tidak mengundang temannya sama sekali, katanya hanya akan mengabari di grup facebook. Akad nikah akan diadakan hari Jum'at selepas salat Jum'at dan resepsinya hari minggu, sudah menjadi kebiasaan di sini resepsi diadakan hari minggu, mengingat hari libur, bagi yang kerja kantoran bisa menghadiri pesta.Selama persiapan pesta Mas Bayu tinggal di hotel, Mamak bilang pamali bertemu mempelai wanita sebelum hari H. Aku dan dia hanya bisa ngobrol via telpon, rasanya kangen banget tiga hari gak ketemu sama dia. Sebelum tidur, dia pasti selalu menghubungiku dulu. "Sayang, sedang apa?" tanyanya di seberang telpon.Aku masih belum terbiasa dengan panggilannya, rasanya ada yang menggelitik di hati ini, Sayang? Ow, uwu ...."Emm, baru mau tidur Mas," kataku malu-malu meong."Oya, tadi kata Pakdo Marlin Bibi Rudiyah sudah pulang dari Rumah sakit, keadaannya juga sudah membaik, InsyaAllah besok dia ke
Aku tak kuasa menahan tangis melihat kondisi Nyai Rudiyah yang tinggal kulit berbalut tulang. Napasnya tinggal satu, dua tersengal-sengal. Rofita, Afikah dan Aida begitu senang aku datang. Aku sempatkan membeli oleh-oleh jajanan di sebuah warung sebelum ke sini."Nyai, apa kabar? Ini Lidia ... Nyai sakit kenapa tidak ngabari?" kataku tulus sambil menggenggam tangannya."Lidia ... kenapa datang jauh-jauh? terima kasih sudah datang menemuiku." "Nyai, kami akan membawa nyai ke Rumah sakit. Mau ya, nyai dirawat di rumah sakit?" "Ah, tidak usah repot-repot Lidia. Sepertinya kau membawa teman, siapa dia?" kata Nyai Rudiah sambil menoleh ke arah Mas Bayu yang dari tadi berdiri di depan pintu kamar.Aku melambai ke arahnya, Mas Bayu mendekat ke arah kami."Bibi ... Bibi harus segera sembuh," kata lelaki itu mendekat ke arah Nyai Rudiyah.Wanita tua itu tercekat, dia sangat terkejut melihat siapa yang datang. Matanya melotot, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya gemetaran. Mas Bayu mer
Walau aku sudah mendengar tadi subuh obrolan mereka, namun mendengar langsung dari mulutnya membuatku sedikit berdebar. "Maukah kau menikah denganku?" tanyanya Aku hanya tersenyum simpul, jadi dia sedang melamar nih ceritanya? "Kau melamarku di mobil yang tengah melaju?" "Kenapa? Kurang romantis, ya?" "Lamarlah pada Bapakku, minta baik-baik sama dia." "Oo, itu pasti, sampai rumahmu langsung kuminta anak gadisnya," katanya tersenyum lebar. "Kalau gitu aku sekalian ngundang Pakdo Marlin sama Nyai Rudiyah," kataku "Kenapa? Mereka bisa tahu dong kalau aku masih hidup," katanya. "Sebaiknya mereka tahu, kau tidak perlu memusnahkan rumahmu, biar mereka yang melakukan. Sekalian Mas minta maaf pada nyai Rudiyah, walau bukan diri Mas yang menghabisi anak-anaknya, namun peliharaan Mas yang melakukannya, itu sama saja jadinya. Kalau Pakdo Marlin, diakan sudah tahu juga aku pernah bertemu denganmu," kataku "Ya, baiklah jika menurutmu begitu." ****Kami memasuki lorong kediaman Pakdo M
Pagi ini aku bangun tidur lebih cepat, kulihat di handphone menunjukkan pukul 4 pagi. Aku segera melaksanakan salat Tahajud, kuminta Allah agar segera membebaskan lelakiku itu dari pasungan jin yang menguasainya selama ini.Aku masih terbayang bagaimana Kiyai Amran sangat kesulitan menaklukkannya, hingga Kiyai Amran kuwalahan menangkis serangan dari Mas Bayu. Ah, pria itu benar-benar sakti, dikeroyok beberapa orang saja menang. Semua orang sampai takut-takut menyerangnya. Sehingga dia dilumpuhkan pakai senapan obat bius. Ah, sudah seperti memburu harimau sungguhan.Selepas mengaji aku bergegas ke musola ingin ikut salat subuh berjamaah. Ternyata masih lima belas menit lagi Azan Subuh. Aku segera memasuki masjid yang masih lenggang belum ada jamaah putri yang datang. Aku duduk mengambil tempat paling depan. Rencana mau kusambung tilawahku sambil menanti Azan Subuh. Tiba-tiba beberapa jamaah pria datang, suara sandal dan obrolan jelas terdengar, karena tempat wanita dan pria dibatasi se