Share

3. Lolongan Anjing

Sehabis mandi rasanya segar sekali. Beda memang air sungai pegunungan dengan air kran di indekost, rasanya menyegarkan sampai ke sumsum tulang. 

Selesai menyisir rambut, lampu kamar segera kunyalakan, suasana nampaknya sudah mulai gelap, padahal baru jam setengah enam sore. Walaupun di pedesaan ternyata PLN sudah menerangi wilayah ini, syukurlah tidak perlu takut kegelapan. Segera aku menuju ruang tamu sekaligus ruang keluarga, kunyalakan lampunya juga. 

Kuamati Rumah posko perempuan ini, ukurannya hanya 7m x 8m, bangunannya semi permanen, lantainya dari semen dan tidak memiliki flapon. Terdapat dua kamar tidur, satu dapur, di dekat dapur ada WC yang tidak di sekat, ada bak mandi dan selang tapi tidak ada airnya, sepertinya airnya harus di alirkan dari sungai memakai pompa air, ya ... terpaksa ngangkat air pakai ember kalau mau buang air. Di antara dapur dan ruang tamu sekaligus ruang keluarga itu ada ruang kecil yang di sekat lemari, ada tikar pandan yang dibentangkan, diatasnya terdapat sejadah warna maroon yang sudah usang, sepertinya itu ruang salat.

"Lampunya agak redup ya?" Kata Sarah.

Gadis itu dari tadi duduk di ruang tengah sambil mengamati lampu di atasnya.

"Iya, ya." Aku menimpali ucapan Sarah

"Bentar, kita ganti saja. Aku bawa lampu philip 100 watt." Gina segera masuk ke kamar untuk mengambilnya

"Wei, hebat nian kau Gina, sampai kepikiran bawa lampu," kata Sarah dengan suara keras.

"Untuk jaga-jaga," timpal Gina dari kamar.

Memang kuperhatikan Gina memang agak berbeda dari yang lain. Dari segi penampilan, gaya bicara dan terutama barang bawaannya yang sangat banyak, sampai dua koper belum lagi barang-barang lain. Kasurnya saja dia berbeda, rata-rata kami membawa kasur lipat yang mudah dibawa, tapi Gina membawa kasur busa ukuran no 3 untuk satu orang yang kelihatan empuk banget dan mahal. Aku rasa dia anak orang kaya.

"Besok saja masangnya Gin, tidak ada tangga," ujarku

"Pakai meja, ditumpuk kursi saja," kata Sarah.

Gadis itu menarik sebuah meja kecil dari kamar dan aku mengambil kursi kayunya. Aku baru tahu ada meja dan kursi di sudut kamar bertumpuk dengan barang-barang kami.

Aku yang memiliki tinggi badan 158 terpaksa yang mengganti lampu, di banding mereka yang rata-rata tingginya 150 cm. Segera kunaiki meja, ternyata tanganku sudah sampai, karena lampu juga menjuntai kabelnya. Sarah segera mematikan lampu, sehingga aku bisa mengganti lampu. Setelah selesai mengganti, lampu dinyalakan kembali.

"Loh kok masih redup ya?" Kataku

"Iya,ya," kata Gina dan Sarah hampir berbarengan.

"Gak mungkin lampuku rusak, baru beli sebelum ke sini," kata Gina

"Ada yang aneh nih," ujarku

"Apa yang aneh?"

Tiba-tiba mbak Zarima keluar kamar sambil membawa seperangkat alat salat.

"Lampunya sudah diganti masih redup, Mbak," kataku

"Mungkin arus yang masuk sedikit, sehingga lampunya tidak bisa terang," kata mbak Zarima

"Bisa jadi, lampu ini kan nyalur dari rumah Nyai Rudiah." Sarah menimpali

"Mending kita salat ke mesjid, yuk!" ajak mbak Zarima

"Yuk, tunggu mbak aku ambil mukena."  Aku ke kamar mengambil peralatan salat, di susul dengan Sarah.

"Aku nggak, lagi halangan," kata Gina

Sebelum pergi ke masjid kuajak teman-teman untuk ikut bersama kami, namun tidak semua bisa ikut, alasannya masih capek jadi salat di rumah saja. Kami pergi hanya berempat, aku, mbak Zarima,Sarah dan Rani.

Kami berangkat sebelum azan magrib berkumandang. Ternyata di depan posko laki-laki ku lihat Rasyid, Ilham,Sugianto, Dedi dan Maryanto juga akan berangkat ke masjid. Kupanggil mereka untuk pergi bersama. Kulihat Rasyid gagah sekali pakai baju koko putih tanpa memakai peci, kalau ku perhatikan, Rasyid suka sekali memakai baju berwarna putih, sehingga wajahnya semakin memancarkan aura.

Di tengah jalan, Sarah menceritakan pemasangan lampu, dia membahas dengan cowok-cowok tersebut.

"Hebat ya Gina selalu siaga," kata Dedi memuji Gina

"Sepertinya Gìna anak orang kaya ya?" Kata Rani menimpali

"Kalian gak tahu apa? bapak Gina kan anggota dewan provinsi dan ibunya Dokter sekaligus Dosen di Sekolah tinggi kebidanan," kata Ilham menerangkan.

"Ooo, pantes." Aku menimpali

"Anaknya cuma dua, Gina itu anak pertama," lanjut Ilham

"Wah, kau tahu banyak soal dia kawan, jangan-jangan ...." Dedi menepuk bahu Ilham, matanya baik turun meledek anak itu, membuat kami tertawa geli

"Oi, mikir apa kau? Dia itu teman satu kelas aku, ya wajar aku tahu," kata Ilham sambil menepis tangan Dedi

Kami masih menertawakan kelakuan mereka, beberapa detik kemudian azan berkumandang dari masjid yang tinggal dua puluh langkah di depan kami.

Setelah lantunan Allah hu Akbar terjeda beberapa detik alangkah terkejutnya kami tiba-tiba di depan kami sekawanan anjing melolong memekikkan telinga dan menyayat hati, aku sampai menutup telinga.

Kamipun menghentikan langkah, mengamati sekitar. Rupanya Lolongan anjing itu bersahut-sahutan seantero kampung, dan anjing-anjing itu kompak menghadap kesatu tempat sambil mendongak. Bukit Manau ....

"Rupanya Desa ini banyak sekali jin."

Tiba-tiba Rasyid yang dari tadi diam saja mengeluarkan suara

"Sepertinya jin-jin itu keluar dari Sarangnya. Lahaula wala Quata illabillah ...." sambung mbak Zarima

"Ayo lekas kita ke masjid,"seru Rasyid.

Anak itu mempercepat langkahnya, kami mengikuti setengah berlari.

Masjid Raudhatul Jannah, masjid ini cukup megah dan luas untuk ukuran masjid di kampung, berlantai keramik putih dan berkubah hijau. Tempatnya juga bersih. Namun kulihat hanya sedikit jamaahnya. Di tempat wanita selain kami hanya ada tiga orang nenek yang ikut salat. Setelah Iqomah, kami pun mulai salat berjamaah. Imam salat melantunkan surah Al Lail dengan sangat merdu, rasa takut di dadaku membuatku salat dengan sepenuh hati. Seumur hidup baru kali ini aku salat dengan khusuk hingga serasa kakiku tidak menginjak bumi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status