Beberapa detik selanjutnya, anak laki-laki yang tengah jongkok membelakangi kami, kepalanya menoleh, selanjutnya berputar 180 derajat namun badannya masih di pososi semula, menyadari hal itu membuat kami semua teriak ketakutan, berbalik dan berlari tunggang langgang
"Haaa ...."
Kami masih terus berlari sekencang-kencangnya.Sampai di posko cowok, pintu kami menggedor bersamaan.
"Bukaaa!"
"Toloong!""Buka cepat!"Setelah pintu dibuka kami anak perempuan langsung menerobos kamar, di sana ada beberapa anak laki-laki yang sedang tidur, kami tidak peduli.
"Oi, bangun! Pindah sana!" Perintah Rani.
Beberapa anak laki-laki tersebut segera pindah keruang tengah, di sana kudengar Markus, Andre dan Ilham sedang menceritakan kejadian tadi dengan heboh. Aku, Rani, Gina dan Sarah beranjak tidur tanpa sepatah kata, kejadian tadi cukup membuat kami shock. Tanganku saja masih gemetar. Kami tidur berpelukan, berharap mengusir rasa takut. Masalah dengan Datuk kepala desa, bodo amat lah ....
****
Baru tiga hari di desa ini, aku dan beberapa teman sudah mengalami kejadian aneh semalam. Teman-teman di posko perempuan banyak yang bertanya kenapa kami tidak pulang, bisa kena hukum adat kalau tidur di posko laki-laki. Tapi bagaimana lagi, siapa coba yang berani berjalan menerobos anak kecil misterius itu ... hiii... aku masih bergidik ngeri.
Kami berempat saja tadi sulit mau beranjak dari tempat tidur kalau tidak di usir paksa dari posko cowok sama Bang Joseph.
Bang Joseph, nama lengkapnya Joseph Mandrawata anak Fakultas Pertanian angkatan 2002, kami panggil "Bang" karena dia lebih tua dua angkatan di atas kami, yang rata-rata angkatan 2004. Entah kenapa dia bisa lambat ikut KKN, kami mengangkatnya jadi ketua posko bukan lantaran dia pintar, kami tidak tahu latar belakangnya di kampus, karena kami yang lain fakultas rata-rata baru mengenal di KKN ini.
Yang jelas Bang Joseph lebih senior sehingga kami menggangkat dia jadi ke-tua. Selain jabatan, ternyata itu mengandung makna yang paling Tua. Sifatnya sejauh ini cenderung sombong gak bisa dibantah khas senior lagi ospek, agak menyebalkan sih.
Masih ingat seminggu yang lalu, ketika di bagi kelompok di gedung aula kampus, kami sudah memasuki sesi perkenalan. Aku, Lidia khairunnisa dari Fakultas ekonomi bersama Gina Sundari dan Muhammad Ilham.
Murniati, Markus Sidabutar, Dedi Kariadi dari Fakultas Pertanian. Amir syarifudin dan Widya Astuti dari Fakutas Peternakan. Zarima, Maryanto, Sri Wahyuni, Nurulia, Sarah dari FKIPAndre Sumantri, Joseph Mandrawata dan Rani Silviani dari Fakultas Hukum.Waktu itu kami memakai seragam hitam putih seperti mau ujian. Bang Joseph langsung mengambil alih dan memimpin pertemuan, setelah dicek, di daftar nama ada 17 orang tetapi yang hadir cuma 16 orang.Tiba-tiba muncul cowok berperawakan tinggi, ya sekitar 178 cm la tingginya, berwajah tampan, dengan alis tebal, hidung mancung dan bibir tipis, dengan balutan kemeja putih yang digulung setengah lengan cukup menyihirku untuk menatapnya tanpa berkedip."Assalamualaikum semua ...," sapanya
"Hei, dari mana saja kamu? Baru nongol, gak disiplin banget," seru Bang Joseph.
Perkataan lelaki itu membuatku sebel, baru saja pertemuan pertama sudah sok marah-marah.
"Maaf tadi saya salat zuhur dulu, oya saya Abdul Rasyid dari FKIP bahasa Inggris,"katanya.
Ekspresinya begitu tenang dan sopan, membuatku semakin terpesona.Oalah, rajin salat, alim, ganteng pula.
"Pakek sok-sok an salat segala, emang kamu saja yang mau salat?" seru Bang Joseph lagi.
Gak sopan banget emang ni kutu, makhluk halus, ee maksudku makhluk selembut dan seindah itu di jutekkin
"Bang Joseph, sudah! Kita mau milih pengurus kelompok ini, biar cepat selesai." ujarku agak kesal.
"Ya sudah, Bang Joseph ketuanya, Abdul Rasyid wakilnya sebagai hukuman karena terlambat," kata Andre
"Setuju!" jawabku cepat di ikuti anggukan tanda setuju dari yang lain.
"Sekertarisnya Kau Lidia,"kata Markus diikuti anggukkan yang lain tanda setuju
"Oke." jawabku.
Siapa takut, dengan menjadi sekretaris mungkin bisa sering bareng wakil ... he ... he ... kesempatan ini mah, ngarep!
"Bendaharanya mbak Zarima," usul Ilham
"Maaf, saya jadi anggota biasa saja, soalnya saya nanti lebih sibuk, soalnya saya mau bawa baby ke posko" jawab mbak Zarima.
Kami memanggil mbak karena bukan hanya Bang Joseph yang senior, mbak Zarima angkatan 2003, setahun di atas kami.
"Maksudnya, Zarima sudah menikah?"tanya Bang Joseph.
Ada nada kecewa disuaranya, aku sih sudah feelling, dari tadi Bang Yose bersemangat mengajak mbak Zarima bercengkrama. Mbak Zarima memang cantik, dibalut jilbab lebar wajahnya yang putih bersih dengan hidung mancung, bulu mata lentik dan alis bak semut beriring seperti keturunan arab, cukup menggoncang kaum adam. Sayang, memang yang cantik seperti itu akan cepat laku, kasihan Bang Joseph ck ... ck ...
"Saya sudah menikah punya anak satu, laki-laki umur satu tahun," jawab mbak Zarima sambil mengangguk
"Ooo."
Seperti koor kami kompak bersuara, selanjutnya mbak Zarima bercerita, dia cuti kuliah satu tahun waktu hamil dan melahirkan anaknya, sehingga telat daftar KKN. Suaminya dulu kakak kelasnya di SMP melanjutkan SPMA sempat kuliah satu tahun namun ikut tes PNS ijazah SPMA dan lulus jadi penyuluh pertanian kabupaten yang sama dengan lokasi KKN.
****Akhirnya Rani dipilih jadi bendahara, dia mulai dengan pengumpulan dana iuran anggota untuk konsumsi selama tiga bulan di Lokasi.
Aku ikut membantu pembukuannya, setelah selesai berbenah barang-barang di posko. Hari pertama lumayan capek, sampai di lokasi jam 2 siang langsung beres-beres.
Kami mengenal tetangga kami nyai Rudiah, wajah Nyai Rudiah yang sudah keriput, rambut sudah penuh uban seperti nenek-nenek kadang membuatku heran, anaknya masih kecil-kecil, paling besar SMP kelas 1. Namun aku tidak berani bertanya, takut tidak sopan.Sore Hari jam 4, Nyai Rudiah datang memberitahukan pada kami, kalau semua aktivitas MCK di lakukan di sungai kecil seberang rumahnya, karena di desa ini tidak ada kamar mandi. Aktivitas tersebut tidak boleh lewat jam 5 sore, ketika kutanya kenapa, dia hanya mendengus tidak menjawab. Sungguh kesopanan yg tidak kuharapkan.Kami mahasiswa perempuan semua menuju sungai, bagian hulu rupanya khusus perempuan, bagian hilir sungai untuk laki-laki. Ketika kami ke sana, kaum perempuan di sekitar lingkungan sudah berada di sungai tersebut. Mereka memakai basahan kain sarung batik, ada yang mencuci pakaian ada yang sedang mandi. Teman-teman langsung berganti basahan dan nyemplung sungai"Wah ... seger banget airnya bening, Frends," seru Murni sambil teriak dan berenang"Ternyata lumayan dalam, seleher aku," seru Sarah kegirangan"Hii ... Dingin airnya!" pekik GinaHanya aku dan mbak Zarima yang belum turun ke sungai, aku risih mandi pakai bahasan. Kurang bersih nampaknya, biasanya bisa di sabun dan di bilas sampai bagian tertentu, ups. Mbak Zarima sepertinya juga ragu."Mmm, aku lupa bawa jilbab ganti,"katanya
"Gak ada yang ngintip kan, kalau bukak jilbab?" lanjutnya ragu-ragu.
"Gak ada mbak, sepertinya di sini cewek semua," jawabku"Tapi ini alam terbuka ...." "Makanya kita cepat-cepat mandinya. Ayo, Mbak," kataku bersegera memakai kain bahasan.Mbak Zarima juga mengikuti langkahku, dan semua yang ada di sungai takjub melihat mbak Zarima membuka jilbab. Ck ... ck ... seperti bidadari dari khayangan. Kulitnya putih berkilau terkena cahaya matahari sore, memantul diatas permukaan air. Rambutnya ikal panjang sepinggang mengurai indah ... bibirnya yang merah tanpa lipstik semakin membuatnya sempurna, beruntung sekali suaminya, aku jadi penasaran seperti apa suaminya. Untung dia sudah bersuami, gak kebayang nanti jadi rebutan kaum lelaki di sini.Ah, hilang saingan satu.
"Kawan kau cantik nian," kata seorang ibu kepadaku."Masih perawan?" sambungnya
"Sudah bersuami, Bu," jawabku"O, syukurlah. Tengok di bukit itu dek ...."Ibu itu, yang belum kutahu namanya menunjuk salah satu bukit di deretan bukit barisan yang mengapit desa ini
"Itu bukit Manau," katanya"Ooo ...."Hanya itu kata yang keluar dari mulutku, tidak tahu apa maksud ibu itu menunjuk bukit tertinggi di sana.
"Bukit Manau salah satu bukit tempat manusia harimau tinggal, di sana ada kerajaan makhluk halus yang cukup besar di deretan pegunungan bukit barisan. Konon katanya jika purnama datang di bukit itu sering ada pesta, seperti pesta pernikahan. Jika ada wanita tercantik akan di jadikan pengantin siluman Harimau. Makanya kalau mandi jangan dekat magrib.""Haaa?"Aku cukup kaget, gini-gini aku masih perawan dan bisa dibilang lumayan cantik. Ih, ini menakutkan.
"Hoi, cepat mandinya jangan lama-lama, takut, ih...."
Aku berteriak, langsung keluar dari sungai untuk mengakhiri mandi, disusul Murni dan Sarah yang mendengar juga perkataan ibu tadi.
Sehabis mandi rasanya segar sekali. Beda memang air sungai pegunungan dengan air kran di indekost, rasanya menyegarkan sampai ke sumsum tulang. Selesai menyisir rambut, lampu kamar segera kunyalakan, suasana nampaknya sudah mulai gelap, padahal baru jam setengah enam sore. Walaupun di pedesaan ternyata PLN sudah menerangi wilayah ini, syukurlah tidak perlu takut kegelapan. Segera aku menuju ruang tamu sekaligus ruang keluarga, kunyalakan lampunya juga. Kuamati Rumah posko perempuan ini, ukurannya hanya 7m x 8m, bangunannya semi permanen, lantainya dari semen dan tidak memiliki flapon. Terdapat dua kamar tidur, satu dapur, di dekat dapur ada WC yang tidak di sekat, ada bak mandi dan selang tapi tidak ada airnya, sepertinya airnya harus di alirkan dari sungai memakai pompa air, ya ... terpaksa ngangkat air pakai ember kalau mau buang air. Di antara dapur dan ruang tamu sekaligus ruang keluarga itu ada ruang kecil yang di sekat lemari, ada tikar pandan yang dibentangkan, diatasnya te
Setelah salat subuh, sudah menjadi kebiasaan sejak lama kulanjutkan dengan membaca Alquran. Membaca kitab suci di awal hari selalu memberi energi positif untuk bekal menjalani aktivitas seberat apapun beban kehidupan ini. Hari sudah jam 6 pagi, ketika kubuka jendela depan yang terbuat dari kayu, suurr ... angin dingin nan segar masuk ke dalam rumah. Ah, alam pedesaan memang menyegarkan. Kumanjakan mata ini menikmati pemandangan persawahan yang membentang, padinya mulai berisi, sebagian ada yang mulai menunduk walau warnanya masih hijau, menyejukkan mata sekali. Kuedarkan pandangan lebih jauh sambil membuat gerakan senam ringan, putar kepala, kaki, lengan dan bahu. Kurentangkan tangan ke atas sambil menggeliatkan tubuh, terasa rileks sekali. Kupandangi deretan bukit barisan yang menjulang tinggi, sebagian tertutupi awan tipis, sungguh indah pemandangan desa ini, anugerah Tuhan yang tak ternilai. Berbeda suasananya dengan di kota, dimana kampus kami berada, udara sudah tercemari oleh
"Aku gak bisa melihatnya, tapi bisa merasakan energinya, kalian hati-hati. Lidia, tolong baca Alma'surat itu setiap hari sehabis salat subuh, supaya rumah ini bercahaya sehingga makhluk halus takut mendekat." "Iya Mbak, InsyaAllah," kataku sambil memandang kitab kecil itu "Mungkinkah penghuni jeruk bali itu sejenis kun?" "Huss! Rani, jangan diteruskan ucapanmu, kita tahu sama tahu saja, siapa tahu pembicaraan kita didengar olehnya," potong Gina "Bisa jadi mereka ada yang nimbrung di sini," ucap Nurulia "Haish! Stop! Bisa diam nggak?" ucapku meradang, bisa gak sih, gak pakek nakut-nakutin Pantas nyai Rudiah ngelarang mendekati pohon jeruk bali, ternyata ada alasan mistisnya. Atau ada alasan lain? ***** Huuhhhfff ... kehembuskan napas panjang, kuhirup udara dan mengeluarkannya dengan kuat, dada sampai mengelembung. Baru tiga hari di desa ini sudah banyak yang bikin spot jantung. Semalam adalah pengalaman terseram selama hidupku. Membayangkan anak kecil itu memutar kepalanya hiii
Kantor kecamatan seperti sebuah bangunan perkantoran pemerintah daerah pada umumnya. Di tengahnya terdapat gerbang masuk perkantoran. Halamannya nampak gersang, bagian pinggirnya ditumbuhi pohon pinang yang buahnya sudah banyak yang masak. Di depan kantor, terdapat beberapa motor yang terpakir. Kami di sambut salah satu pegawai yang memakai baju olah raga, sepertinya kalau hari jumat mereka memakai seragam olah raga semua, sebelum memulai tugas mereka melakukan senam SKJ dahulu. Namun ada beberapa orang memakai pakaian biasa sedang duduk di bangku panjang yang disediakan, sepertinya mereka warga mau mengurus surat menyurat seperti KTP atau kartu keluarga. Kami menyalami para pegawai di sana, mereka menyambut kami dengan ramah. Selanjutnya kami diarahkan ke sebuah ruangan, di sana kami di sambut oleh seorang bapak, kumis tebalnya membuat bapak tersebut penuh wibawa. "Pak Camat ada urusan di kabupaten, rumah dinasnya ada di belakang kantor ini, tapi kalau akhir pekan beliau pulang ke
Sabtu sore akhirnya proposal ini selesai, ku print satu rangkap dan kuserahkan pada Bang Joseph dan tim pelaksana untuk dikoreksi, ternyata mereka setuju dengan isinya, hanya ada beberapa hal yang harus direvisi. Jam 4 sore semua sudah selesai, sudah diprint dan dijilid. Semua proposal kumasukkan ke tas ransel dan cau, mengunjungi pak kumis baplang. Aku tidak sabaran ketemu dengannya. Kuajak Widya untuk menemani."Cepetan Wid, nanti keburu sore," kataku mendesak Widya yang sedang memakai sepatu."Udah, pakai sandal aja, lama banget. Cuma dekat ini," lanjutku gak sabaran, duh, Widya tibang deket sini aja pakek sepatu kets, bener-bener ni anak."Sabar dong Lid, sendalku gak ada di sini. Sebagai mahasiswa, lebih berkarisma pakai sepatu," katanya sambil mengikat tali sepatu."Lagian buru-buru amat kamu tu, kayaknya kangen banget sama Pak Sumarlin," katanya lagi asal bicara."Iya, kangen aku ama kumisnya," jawabku yang juga asal."Ha?? Lidia... beneran kamu? Udah error nampaknya otakmu seh
Hari minggu pertama di desa ini ... welcome sunday!Rencananya hari ini aku dan teman-teman mau mengobok-obok pasar kalangan. Tapi rencana itu masih jam sepuluh nanti, sekarang masih jam tujuh pagi, waktunya nyuci baju. Eh ... tapi tunggu dulu, aku belum punya ember besar nih, ember kecil seupil gini mana bisa membawa baju kotorku yang sudah empat hari belum di-eksekusi. Ah, mending main ke kontrakan mbak Zarimah, mumpung masih pagi.Sebelum ke rumah mbak Zarimah kusempatkan ke posko cowok, di sana Rani dan Gina sedang memasak, Ilham juga nampaknya sedang mencuci ikan dan wow ... nampak Markus sedang menggiling cabe pakai gilingan batu."Kenapa gak diblender saja Kus?" tanyaku"Ah, dak enak cabe blender-nya. Enak digiling tangan aja nya," jawabnya Sesekali anak itu menyeka keringat memakai bahunya. Hmm, dasar orang medan, kalau ngomong gak ketinggalan nya ... nya ...."Emang gak panas tanganmu?" tanyaku lagi"Ya panas lah ... ae, komentar aja nya kau ni, bantuin kek?" ujarnya masih
Hari senin ini giliran aku piket. Rasanya belum hilang capekku setelah kemarin menyusuri pasar kalangan, membeli semua sembako. Ada minyak, beras, tepung, gula, kopi yah... segala macam barang. Walau rame-rame aku kebagian membawa sekerdus mie instan. Memang tidak terlalu berat, tapi kalau berjalan 1 km? ya pegel juga.Aku piket bareng mbak Zarima, Nurulia, Rasyid dan Ilham. Mbak Zarima walau sudah menikah ternyata tidak pandai memasak.Kalau di kampus, dia jarang masak, seringnya beli lauk matang atau nasi bungkus. "Mbak cuma berdua dengan dedek Zidan. Bang Ikhram kan jarang bersama kami kalau nggak weekend," katanya memulai cerita."Bahkan waktu pertama nikah dulu, aku di suruh goreng ayam tepung sama mertua, luarnya sudah gosong, dalamnya masih mentah. Serumah ada ayah mertua, kakak ipar dan adik Ipar mau muntah makan masakan aku," kata mbak Zarima, sambil mengiris-iris bawang merah."Nggak kebayang itu ayam dua kilo tekenyah* untuk makan kucing sama anjing tetangga," sambungnya s
๐๐๐๐๐"Nih, untuk kamu," kata lelaki jangkung di depanku sambil mengulurkan kantong plastik berwarna hitam"Apa ini,Bang?" tanyaku penasaran. Sebenarnya bukan penasaran dengan isi kantong plastik itu, tetapi lebih tepatnya penasaran dengan motif dibalik pemberian ini "Ambil saja, oleh-oleh dari kota," katanya sambil meraih tanganku dan menaruh paksa kantong plastik itu."Hei, cuma Lidia saja yang dikasih?" Tiba-tiba Widya muncul dan menyambar kantong plastik di tanganku dan membukanya."Wah, buah pir, nih. Kok cuma empat buah. Bener-bener ini cuma buat Lidia doang?" lanjutnya sambil mengerucutkan bibir."Ah, aku memberi Lidia cuma sebagai tanda terima kasih karena sudah membuat proposal kegiatan dengan sangat baik, kok.""Hmm, beneran cuma itu? Bukan karena Bang Joseph suka sama Lidia kan?" kata Widya lagi masih dengan ekspresi cemberut"Ngarang kamu," kata Joseph sambil berlalu, tapi kurasa ada gurat aneh pada ekspresinya."Apa-apaan sih, Wid? Pakek ngomong gitu sama Bang Jos