Ternyata gadis itu adalah Rosmala, gadis yang kutemui di perkebunan kemarin dan anak gadis dari Pak Sarip dan Bi Asih. Dia membawa sebuah keranjang kecil berisi buah-buahan yang masih segar. "Ah, tidak apa-apa." Aku segera menjatuhkan kembali ember itu ke dalam sumur, takutnya Rosmala melihat kepala tanpa tubuh yang sedari tadi ada di sana. "Ini, aku bawakan buah-buahan segar dari kebun Ibuku. Terima kasih telah membantu Ayahku tadi pagi," ucapnya masih dengan nada ketus. "Aduh, tidak usah repot-repot," balasku. Rosmala terlihat tersenyum saat aku mengambil keranjang buah yang dibawanya. "Katanya tak usah repot-repot, tapi, kau bawa juga buah-buahannya." Ejek Rosmala saat melihat tingkah lucuku. Kami tertawa bersama sebelum Bi Sari memanggil kami masuk ke dalam. Karena sudah sore, Rosmala segera berpamitan padaku dan Bi Sari. Dia bilang, harus segera pulang agar tak kemalaman di jalan. "Aku antar ya?" ajakku bersemangat. "Tidak perlu," jawab Rosmala."Jalanan akan sangat gelap
Suara tawa cekikikan yang tak asing terdengar dari seorang perempuan dari jauh. Konon katanya, bila suara makhluk itu terdengar dekat, berarti makhluk itu berada jauh dari kita. Tapi sebaliknya, bila suaranya terdengar jauh, berarti makhluk itu berada di sekitar kita. "Ah ... kenapa di saat seperti ini harus ada suara yang menakutkan itu? Mengapa aku sangat takut walaupun sudah beberapa kali mengalami hal seperti ini?" ucapku dalam hati. "Aldi ...." Suara perempuan itu terus memanggil namaku. Walaupun dengan tubuh yang berat, aku terus mencoba keluar dari situasi ini. "Aldi ...." "Lepaskan dia! Dia milikku." Teriak Bulan yang tengah duduk di sebuah batang pohon besar di hadapanku. Dadaku semakin sesak saat aku mencoba meminta tolong pada Bulan meski tanpa suara, "Bulan, tolong aku!" Rupanya aku telah diganggu oleh sebangsa hantu kuntilanak penunggu jalan ini. Dia terus menempel padaku, sehingga aku tak dapat menggerakkan tubuhku dengan leluasa. "Hihihihihi ...." Tawa hantu kun
Bulan dengan polos melayang mendekatiku. Dia membungkuk untuk menyamakan posisi denganku yang tengah terduduk. Bulan kemudian tersentak setelah mendengar apa yang aku katakan. "Itu akan membahayakanmu, Aldi." "Tidak mungkin. Hanya kali ini saja, bantu aku. Setelah itu, aku berjanji tidak akan berurusan dengan makhluk seperti itu lagi." Bulan seperti ragu. Bulan tahu, risiko dari apa yang ingin kulakukan sangat besar. Aku bisa saja celaka atau dianggap aneh oleh warga desa. "Baiklah. Tapi, berjanjilah padaku, untuk baik-baik saja apa pun yang akan terjadi." Aku tersenyum, rasanya ingin aku peluk Bulan saat ini. *** "Apa?" Mbah Atmo kembali meletakkan cangkir berisi kopi hitam yang tengah berada di tangannya. "Apa Nak Aldi yakin?" Mbah Atmo kembali bertanya padaku yang terlihat bersemangat. "Yakin, Mbah," jawabku tegas. "Nak Aldi, pikirkan baik-baik. Ini bukan hanya soal berhubungan dengan manusia, tapi makhluk lain. Kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya." Mbah Atmo
Malam yang di tunggu telah tiba, Kardun segera membangunkan istri dan anaknya sebagai syarat untuk menemui Ki Demang.Sehari sebelumnya, Kardun nekad menemui Ki Demang pada malam Jumat kliwon. Ditemani sahabatnya, Sarip.Malam itu Kardun dan Sarip berjalan sangat pelan. Sambil menengok ke sana kemari untuk melihat keadaan di sekitar mereka. Kardun dan Sarip tentu tahu, konsekuensi bila mereka terlihat oleh warga desa. "Aku hanya bisa mengantar sampai di sini saja. Aku tak bisa mengantarmu ke dalam." Sarip berbisik tatkala menarik lengan Kardun yang berjalan di depannya.Kardun mengernyitkan keningnya, "Kenapa memangnya, Rip?" tanya Kardun heran."Kau harus menemui Ki Demang sendiri. Ini perintah langsung dari beliau," jawab Sarip menegaskan. Malam begitu sunyi. Angin malam yang menusuk kian berhembus di sekitar tubuh Kardun. Kardun menggenggam erat ujung baju yang sudah lusuh dengan tangan yang bergetar. Apa ini sudah benar? Sebuah pertanyaan terus terngiang di telinga Kardun. Dia ta
Lewat tengah malam, ritual baru selesai dilakukan oleh Ki Demang. Kardun dan Suminah pamit pulang sembari menggendong Mustika yang tengah tertidur saat ritual berlangsung. Malam akan berlalu berganti fajar, Kardun dan Suminah berjalan tergesa menuju rumah mereka yang tidak begitu jauh dari rumah Ki Demang. Sesuai dengan perintah Ki Demang. Kardun dan Suminah harus melakukan ritual ini setiap malam jumat kliwon. Dengan membawa semua persyaratan yang diminta Ki Demang. Saat hari menjelang petang. Kardun terlihat mondar-mandir di teras rumahnya. Tampaknya dia tengah menunggu seseorang. Kring ... kring ... Suara bel dari sepeda tua menghampirinya dari luar pekarangan rumahnya. Rupanya itu Sarip. Kardun segera membuang lintingan tembakau yang baru saja dihisapnya. "Ke mana saja kau, Rip? Lama sekali." Tanya Kardun yang sepertinya sudah tak sabar. Sarip menepikan sepeda tuanya, dia menaiki tangga rumah panggung milik Kardun. "Sabar , Dun. Tadi aku baru mengantar istri dan anakku k
Pada suatu malam, Kardun telah merencanakan pembunuhan untuk Suminah. Kardun telah mengasah golok yang biasa dia pakai untuk menyembelih binatang peliharaannya. Saat Suminah masih tertidur pulas di kamarnya, Kardun mengendap masuk ke kamar dengan sebuah golok di tangannya. Tanpa berpikir panjang, Kardun mengambil ancang-ancang untuk menebas leher Suminah. Tapi, Suminah tiba-tiba bangun dan langsung menjerit. Kardun terkaget dan mengurungkan niatnya. Kardun menyembunyikan golok itu dibelakang tubuhnya, wajahnya berubah tegang. "Istigfar, Pak. Nyebut." Teriak Suminah yang langsung berdiri menjauh. Kardun menyeringai, seperti bukan Kardun yang biasanya. "Pak. Ini Ibu, Pak. Bapak kenapa?" ucap Suminah dengan suara bergetar. Air liur terus keluar dari mulutnya yang menganga. Kardun tak bisa mengontrol tubuhnya, seperti ada sosok yang masuk ke dalam tubuhnya dan mengendalikannya. Kardun kembali mengayunkan goloknya. Namun nahas, Suminah tak bisa menghindar lagi. Kardun berhasil mene
Saat gadis itu menoleh padaku, terlintas bayangan aneh yang mengikuti gadis itu dari belakang."Kau ... Mustika?" ucap Yanto sembari tergagap.Gadis itu mengangguk pelan. Dia menunduk seperti sedang menghindari tatapan dari semua orang.Aku terkejut. Secepat ini Bulan membawa Mustika ke hadapanku. Gangguan pada Mustika dari Bulan pasti sangat keterlaluan, pikirku."Kenapa kau kemari? Kau ingin membuat desa ini mengalami teror lagi?" teriak Yanto. Mustika hanya diam, tak satu pun kata keluar dari mulutnya.Agus dan beberapa orang langsung menghalangi Yanto agar tak membuat keributan. Begitu pula aku, aku ikut berdiri melerai walaupun aku terganggu dengan sosok di samping Mustika. Sosok nenek tua yang menyeramkan dengan rambut abu-abu yang tergerai tak beraturan. Dia memakai kebaya dan kain jarik jaman dulu. Tubuhnya membungkuk sembari memegang tongkat kayu di tangannya. "Saya tahu rumah Pak RT. Mari saya antar," ajakku pada Mustika yang terlihat sedikit ketakutan.Aku segera memberita
Siang harinya, aku dan Mbah Atmo mengunjungi Mustika di rumahnya. Rumah yang sudah sekian lama tak di tempati itu terlihat sangat kotor. Tumbuhan ilalang tumbuh tinggi melebihi tubuhku. "Assalamualaikum," ucap Mbah Atmo. "Waalaikum salaam." Terdengar seseorang telah menjawab salam Mbah Atmo dari dalam rumah. Rupanya itu Mustika, dia terlihat membuka pintu dan masih menggunakan kaos putih dan celana pendek selutut. Rambut pendeknya terlihat di kuncir seadanya. Sendal jepit berwarna kuning melekat di kakinya. "Mbah?"Teriak Mustika girang saat melihat kedatanganku dan Mbah Atmo. Mbah Atmo tersenyum, rupanya mereka benar-benar saling mengenal. "Apa kabar kamu, Mustika?" tanya Mbah Atmo. "Baik," jawab Mustika tanpa berkedip. Terlihat Mustika sangat senang bertemu Mbah Atmo, wajahnya berubah sumringah tidak seperti tadi pagi saat aku pertama kali melihatnya. "Masuk, Mbah, Aldi," ajak Mustika. Mbah Atmo kemudian masuk ke dalam diikuti Mustika dari belakang. Saat hendak mengikuti