“Apakah kau yakin kita harus kembali ke rumah tua itu malam ini?” tanya Farhan, suara tegang di tengah kegelapan malam. Lampu senter yang mereka bawa memancarkan sinar lemah di sepanjang jalan setapak yang sempit.
Suci memandang ke arah rumah tua yang tampak semakin menyeramkan dalam cahaya malam. “Kita tidak punya pilihan lain. Foto ini—” katanya sambil menunjukkan foto misterius di tangannya, “menunjukkan simbol yang tidak kita mengerti, dan aku rasa ini adalah kunci untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.” Farhan menelan ludah, matanya menatap rumah yang sudah lama ditinggalkan itu dengan rasa takut yang tak tertahan. “Kita sudah memutuskan untuk melakukannya. Tapi kalau benar ini salah, bagaimana kita bisa menghadapinya?” Suaranya hampir seperti bisikan. Suci memberikan tatapan yang penuh tekad. “Kita harus berani menghadapi ini. Jika kita tidak melakukannya sekarang, kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.” Mereka melangkah maju, memasuki rumah tua dengan langkah hati-hati. Suasana di dalam rumah terasa dingin dan sunyi, hanya dipecahkan oleh suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong yang gelap. Langit malam di luar jendela tampak seperti selimut hitam yang menutupi segala sesuatu di bawahnya. Di ruang utama rumah, mereka menyiapkan meja kecil di tengah ruangan, meletakkan buku-buku dan catatan yang mereka bawa. “Ini catatan yang kita temukan di rumah. Ada sesuatu di sini yang mungkin bisa membantu,” ujar Suci sambil membuka buku tebal yang penuh dengan tulisan-tulisan kuno. Farhan melihat sekeliling dengan cemas. “Tapi bagaimana kalau ada sesuatu yang mengincar kita di sini? Seperti yang pernah terjadi sebelumnya?” Suci mengangguk. “Kita harus cepat. Semakin lama kita berada di sini, semakin besar risiko kita menghadapi sesuatu yang lebih buruk.” Mereka memulai ritual, mengikuti petunjuk dari catatan kuno. Suci membaca mantra dengan suara lembut, sementara Farhan menyalakan lilin-lilin yang telah mereka persiapkan. Setiap lilin memancarkan cahaya yang lembut, membentuk lingkaran di sekitar meja. Namun, saat mereka mulai melakukan ritual, suasana di dalam rumah berubah menjadi semakin mencekam. Suara-suara aneh mulai terdengar—seperti bisikan yang tidak bisa mereka mengerti. Lampu senter mulai berkedip-kedip seolah ada sesuatu yang berusaha memadamkannya. “Ada yang salah,” kata Farhan dengan nada panik, memandang ke sekeliling dengan wajah pucat. “Aku merasa ada sesuatu yang mendekat.” Suci berusaha untuk tetap tenang, tetapi hatinya berdebar keras. “Kita harus teruskan ritual ini. Jangan biarkan ketakutan kita menghalangi kita.” Saat Suci melanjutkan mantra, tiba-tiba, lampu senter mereka padam sepenuhnya, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang pekat. Suara bisikan semakin keras, seolah menggema di seluruh ruangan. Farhan mencoba menyalakan kembali lampu senter, tetapi usahanya sia-sia. “Kita harus keluar dari sini!” teriak Farhan, panik. “Ini tidak berfungsi, Suci!” Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suasana di sekitar mereka berubah menjadi semakin dingin. Mereka bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak terlihat, sesuatu yang mengancam dan menakutkan. Suci merasa tubuhnya merinding, dan dia bisa melihat bayangan hitam besar mulai muncul di sudut mata. “Jangan bergerak!” teriak Suci, mencoba untuk tetap fokus pada ritual. Tiba-tiba, bayangan hitam itu melayang di sekitar mereka, membuat lilin-lilin yang telah dinyalakan padam satu per satu. Kegelapan menyelimuti mereka semakin dalam. Suara bisikan berubah menjadi teriakan yang menakutkan. “Apa itu?” Farhan bertanya dengan suara bergetar, memegang Suci dengan erat. Suci hanya bisa terdiam, merasakan ketegangan di udara. “Aku tidak tahu. Tapi kita harus menyelesaikan ritual ini. Jangan biarkan kegelapan ini mengalahkan kita." Ketika mereka berusaha untuk melanjutkan ritual, tiba-tiba, suara keras terdengar dari atas atap, seperti sesuatu yang berat sedang bergerak di atas sana. “Ada sesuatu di atas sana!” teriak Farhan, menatap langit-langit dengan ketakutan. Suci merasakan sesuatu yang sangat menakutkan, seolah ada sesuatu yang mengamati mereka dari kegelapan. “Kita harus cepat!” teriak Suci, mendorong Farhan untuk terus melanjutkan ritual. Saat mereka melanjutkan, sebuah bayangan besar muncul di depan mereka, tampak lebih menakutkan dari sebelumnya. Bayangan itu bergerak dengan cepat, membuat angin kencang yang mematikan. “Apa yang terjadi?” Farhan berteriak, mencoba untuk melindungi dirinya dari angin yang kencang. Suci merasakan sesuatu yang tidak biasa. “Kita harus menyelesaikan ritual ini sekarang juga!” teriak Suci, dengan suara yang hampir tidak terdengar karena teriakan dan angin. Tiba-tiba, bayangan besar itu berhenti bergerak dan suara bisikan berubah menjadi tawa yang menakutkan. “Kalian tidak bisa menghindar dari kegelapan. Kegelapan akan selalu mengikutimu,” suara itu berkata, seolah datang dari dalam kegelapan itu sendiri. “Apa maksudnya?” tanya Farhan dengan ketakutan yang mendalam. Suci berusaha keras untuk menyelesaikan mantra, tetapi bayangan itu mulai menghilang, meninggalkan mereka dalam keadaan bingung dan ketakutan. “Kita harus pergi dari sini sekarang!” teriak Suci, memimpin Farhan keluar dari rumah tua yang kini tampak lebih menakutkan dari sebelumnya. Ketika mereka berhasil keluar dari rumah tua, Suci merasakan kegelapan di belakang mereka semakin mengejar. “Ada sesuatu yang salah,” katanya dengan suara bergetar. “Kegelapan itu—itu tidak hilang begitu saja.” Farhan menatap ke belakang dengan wajah pucat. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Suci menggenggam catatan kuno dengan erat, wajahnya tampak serius. “Kita perlu mencari tahu lebih dalam. Kegelapan ini masih mengikuti kita, dan kita harus menemukan cara untuk menghentikannya sebelum terlambat.”“Jadi, ini semua hanya permainan, kan?” Suara Suci bergetar, seolah tak percaya pada apa yang ia baru saja dengar. Ruangan itu sunyi, hanya diselimuti aroma dingin dan tajam dari udara yang merembes masuk melalui celah jendela tua. Farhan, berdiri di ujung ruangan dengan tatapan kosong, memandangi sebuah cermin besar yang sudah pecah sebagian. “Tidak ada yang seperti yang kita kira. Semua petunjuk, semua yang kita temukan… ternyata sudah diatur sejak awal.” Suci menelan ludah, masih memproses kata-kata itu. “Siapa yang mengatur semua ini? Apakah… mereka?” Tatapannya beralih ke cermin di sudut ruangan, bekas luka dari teror yang baru saja mereka hadapi masih segar dalam pikirannya. Farhan berbalik, matanya memancarkan rasa putus asa yang belum pernah Suci lihat sebelumnya. “Bukan hanya mereka, Suci. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar ‘mereka’. Semua ini dimulai dari sebelum kita terlibat. Bahkan sebelum aku tahu siapa aku seben
“Suci, kau yakin ini jalan yang tepat?” tanya Farhan, suaranya bergetar dalam gelap malam. Di depannya, cahaya senter yang redup menerangi jejak kaki mereka di tanah lembab. Suci mengangguk, menatap jauh ke dalam kegelapan yang seolah menelan setiap suara di sekitar mereka.“Aku bisa merasakannya, Farhan. Kita harus terus maju. Ada sesuatu di sini yang harus kita temukan,” jawab Suci, dengan nada tegas namun penuh keraguan. Sejak kejadian di cermin, dia merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan biasa. Kegelapan itu seolah mengawasi setiap langkah mereka, berbisik dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang berani menyelam ke dalam misteri.“Ini sangat berbahaya. Kita tidak tahu apa yang sedang kita hadapi,” kata Farhan, berusaha mengingatkan Suci. Dia tahu, semakin dalam mereka menyelidiki, semakin besar risikonya. Namun, Suci sudah terjebak dalam perburuan kebenaran, dan rasa penasarannya lebih kuat daripada rasa takutnya.Merek
"Apakah kau yakin kita harus masuk ke dalam?" suara Farhan terdengar cemas, mencerminkan ketegangan yang menyelimuti suasana malam itu. Suci menatap cermin yang tergores di depan mereka, memantulkan cahaya lampu neon dari luar, menciptakan bayangan gelap di sekelilingnya."Aku merasakannya, Farhan. Di balik cermin ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pantulan," jawab Suci dengan tegas, meskipun hatinya berdegup kencang. Indra keenamnya bergetar, seolah memberi peringatan akan sesuatu yang menunggu mereka di sisi lain.Suci melangkah maju, menatap cermin yang tampak seperti portal menuju dunia lain. Lalu, dengan nafas dalam, ia menyentuh permukaan dingin cermin. Sejenak, cermin itu bergetar, dan gambarnya mulai kabur. Di dalam kabut itu, Suci melihat bayangan samar seorang wanita, wajahnya terdistorsi, seolah mengalami kepedihan yang mendalam."Siapa dia?" Farhan bertanya, suaranya bergetar. Suci menggelengkan kepala, tak mampu mengucapkan apa pun. Dala
“Farhan, ada yang aneh,” suara Suci mengiris keheningan malam yang dipenuhi dengan aroma hujan. Ia berdiri di depan jendela kantor penyidik, menatap ke luar ke arah jalanan yang basah. “Aku merasa... seolah ada yang mengikuti kita.” Farhan mengalihkan pandangannya dari layar komputer yang menunjukkan berbagai data kasus ke arah Suci. “Apa maksudmu? Kita sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga jarak dari semua ini,” jawabnya, suaranya tegas meskipun ada nada ketidakpastian yang terlintas. “Aku tahu, tapi ini bukan soal menjaga jarak,” Suci menjelaskan, tangannya bergetar. “Ini lebih dalam daripada itu. Seolah ada bayangan yang terus mengikuti setiap langkah kita.” Farhan mengerutkan kening, memikirkan kata-kata Suci. “Kau yakin ini bukan hanya perasaanmu? Dengan semua yang kita hadapi, wajar jika kita merasa tertekan.” “Bukan hanya perasaan, Farhan,” Suci menekankan. “Ada sesuatu di sini. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya
"Suci, apakah kau mendengarnya?" Farhan tiba-tiba berbisik, memecah keheningan yang menyesakkan. Suara desau angin yang aneh, seperti rintihan yang menyusup dari segala arah, semakin jelas di telinga mereka.Suci memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Ya," gumamnya pelan, "tapi suara itu bukan dari sini… ini berasal dari sesuatu yang lain." Tatapan Suci menyapu tempat itu, dimensi yang asing dan penuh kehampaan. Tidak ada apa pun di sini, selain kegelapan yang terus bergerak, seolah hidup.Farhan menarik napas dalam-dalam, matanya terpaku pada bayangan-bayangan yang bergerak di kejauhan. "Kita tidak bisa diam di sini. Tempat ini… semakin terasa seperti jebakan."Suci mengangguk, langkahnya goyah saat mereka mulai bergerak, menyusuri dataran retak yang entah menuju ke mana. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah di bawah kaki mereka menyedot energi yang tersisa. Meski Suci memiliki kemampuan khusus, di tempat ini, kekuatanny
“Farhan, kita harus pergi sekarang!” Suci menarik tangan Farhan dengan panik, suaranya bergetar. “Semakin lama kita di sini, semakin berbahaya!”Farhan menoleh dengan cepat, matanya masih terpaku pada sosok ayah dan ibu Suci yang tidak mungkin nyata, namun mereka berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi dingin. Ruangan yang semula tampak lapang kini terasa menyempit, dinding-dindingnya seperti bergerak, menekan mereka perlahan namun pasti.“Aku tak percaya ini,” gumam Farhan, suaranya penuh ketidakpercayaan. “Ini mustahil… Mereka sudah mati, Suci. Kau bilang mereka sudah mati!”Suci menatap Farhan, matanya memancarkan rasa takut yang mendalam. “Aku tahu… Tapi kita tak bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Entah bagaimana, mereka… mereka di sini. Tapi ini tidak nyata, Farhan. Kita sedang dijebak oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar ilusi.”“Ilusi? Kau menyebut ini ilusi?” Farhan tertawa kecut, ekspresinya diwarnai oleh kepanikan yang mulai