Nalen mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh. Rahangnya mengeras menahan gejolak dalam dada. Ia sama sekali tak menghiraukan Safiyya yang duduk di sebelahnya dan terus melayangkan protes. Bahkan terus berteriak histeris."Kamu nggak bisa kayak gini sama Maira! Kamu nggak boleh nyakitin dia, Mas Nalen berhenti!" ujar Safiyya setengah berteriak. Air matanya luruh, wanita itu berharap Nalen tak melakukan hal nekat mengingat hari ini acara pertunangannya dengan Maira akan segera digelar. Safiyya tak ingin menjadi sebab kehancuran sahabatnya. Sudah cukup selama ini ia menjadi benalu bagi Maira."Kamu sendiri, kan, yang bilang nggak ingin hidup menanggung malu. Janin dalam kandungan mu butuh Ayah. Maka saya yang akan menjadi ayahnya.""Mas Nalen, please ... jangan seperti ini. Saya nggak mungkin menyakiti Maira," ujar Safiyya dengan nada putus asa. Air matanya mengalir deras bersama rasa bersalah yang tiada akhir. Membayangkan Maira menatapnya dengan wajah penuh benci, Safiyya sungguh
"Bagaimana perkembangan kafe saat ini, Kadek?" tanya Nalen pada seorang pria yang kini sedang serius mengemudi. Laki-laki berpenampilan khas orang Bali itu sekilas mengalihkan perhatiannya pada Nalen. Kemudian fokus kembali pada jalan raya."Kafe lumayan ramai, Bli. Musim liburan kali ini banyak yang mampir," jawab Kadek tanpa mengalihkan perhatian dari jalan raya."Syukurlah," Nalen menjawab singkat. Laki-laki itu memilih mengalihkan perhatian pada pemandangan di luar sana. Kedepannya Nalen harus memutar otak demi kafe itu, karena ia yakin sang ayah akan mencabut semua saham, dan fasilitas setelah semua yang dirinya lakukan. Sekarang ini hanya kafe peninggalan mama satu-satunya yang akan jadi sumber penghasilan Nalen. Meski dirinya masih memiliki tabungan pribadi, tetap saja Nalen harus mulai berhemat. Mengingat dia sudah menjadi kepala keluarga saat ini.Safiyya dan Gibran yang duduk di belakang memilih tak bersuara. Keduanya asyik dengan pikiran masing-masing. Safiyya tak menyangka
Matahari menyeruak dari balik tirai yang sedikit terbuka. Safiyya menggeliatkan tubuh karena menyadari matahari sudah terik. Ia terkejut saat mendapati lengan kokoh menopang kepalanya. Buru-buru ia mengangkat tubuh dan beranjak ke luar, khawatir Nalen akan terbangun.Bibir Safiyya melengkung membentuk senyum samar, kala mengingat semalaman ia dan Nalen bersama. Memang tak terjadi apapun, tapi begini saja sudah cukup baginya. Bahkan sangking nyenyaknya Safiyya tak mendengar azan subuh yang berkumandang dari masjid di dekat pesantren.Dengan gerakan pelan Safiyya turun dari ranjang untuk membersihkan diri. Beruntung ia bangun lebih dulu, sehingga Nalen tak harus melihat muka bantalnya yang pasti tak enak dipandang.Beberapa saat setelah selesai, Safiyya menyembulkan kepala di pintu, ia ingin memastikan Nalen masih terlelap atau sudah bangun.Cuaca Bali pagi ini begitu cerah. Suara doa-doa dari para pemeluk agama hindu pun samar-samar terdengar. Di tempat ini semua pemeluk agama hidup be
Dua minggu setelah kepindahan Nalen dan Safiyya ke Bali, rutinitas wanita itu hanya dihabiskan untuk mengurus villa, serta sesekali ia akan datang menemui Nalen ke cafe saat suaminya meminta mengantar sesuatu.Berbeda dengan Safiyya yang lebih suka di rumah, Nalen justru kebalikannya. Laki-laki itu hampir setiap akhir pekan akan pergi ke pesta dan pulang dalam keadaan mabuk. Sejujurnya, Safiyya sangat sedih saat melihat semua itu. Ia belum terbiasa dengan gaya hidup Nalen yang bebas. Tapi Safiyya harus sadar posisinya di hidup laki-laki itu. Ia tak ingin banyak menuntut. Meski begitu Safiyya tak pernah lelah mendoakan sang suami agar kelak bisa berubah lebih baik."Saf, kamu sedang apa?" Suara bariton Nalen membuyarkan lamunan Safiyya."Ah, biasa. Saya sedang membaca buku. Mas mau kopi?" tanya Safiyya. Ia menatap suaminya yang terlihat baru saja selesai mandi kemudian bangkit. Safiyya seperti telah terbiasa dengan Nalen yang bertelanjang dada di depannya. Ia sudah tak risi lagi.Nalen
Enam bulan kemudian ....Siang ini, Safiyya tampak tengah berkutat dengan peralatan memasaknya. Sedang Gibran seperti biasa, ke pesantren. Nalen sendiri sudah pergi ke kafe. Biasanya laki-laki itu akan pulang menjelang zuhur untuk makan siang bersama dan shalat.Tak berapa lama, samar-samar terdengar suara percakapan dari luar villa. Safiyya yang tengah sibuk menata makanan buru-buru menyudahi aktivitas. Ia bersiap menyambut kedatangan Nalen, menyusulnya ke depan.Namun, baru hendak melangkah ia menangkap siluet seorang wanita. Yang ia kenali sebagai Anna. Senyum di wajah Safiyya memudar berganti wajah datar. Selama enam bulan di sini, kehadiran wanita bernama Anastasia Anderson itu, semakin mengusiknya. Terlebih ketika melihat interaksi wanita berwajah bule itu dengan Nalen yang teramat dekat dan intim. Seperti pemandangan yang tengah dilihatnya sekarang ini. Nalen tengah menggandeng tangan Anna.Nyeri sekali ulu hati Safiyya ketika melihat perbedaan Nalen memperlakukan Anastasia, ya
Nalen menatap pemandangan di depannya dengan hati kesal. Di sana tampak Mark tengah terlibat obrolan seru dengan Safiyya. Sedari tadi keduanya terus saja tertawa tanpa berniat membantunya yang tengah kerepotan memanggang daging. Sedang Anna dari tadi tak terlihat batang hidungnya sejak pamit untuk mengangkat panggilan yang entah dari siapa.Nalen memang tengah mengadakan pesta barbeque di balkon villanya. Ia mengundang beberapa teman dan semua karyawan kafe.Nalen tak mempermasalahkan soal Safiyya, karena kondisi istrinya memang sudah tak bisa banyak bergerak. Sedang Mark, entah lah. Nalen benar-benar kesal dengan kehadiran laki-laki itu di sini. Mark adalah teman lama Nalen dari Australia. Lebih tepatnya teman Anna, karena sebenarnya ia dan Mark tak seakrab itu. Terakhir kali bertemu laki-laki ini adalah beberapa tahun yang lalu saat Anna mengenalkannya.Dari cerita Anna, Mark memutuskan datang ke Bali untuk berlibur sekaligus menemui seseorang. Nalen tak terlalu peduli soal laki-lak
Safiyya menengadahkan tangan, meminta pengampunan dan kekuatan untuk bertahan dengan semua cobaan yang tengah ia hadapi. Air matanya turun semakin deras. Wanita itu mulai menyadari satu hal, bahwa hanya Allah lah yang saat ini bisa meringankan beban di hatinya. Rasa sesak yang setiap hari semakin menjadi, membuat Safiyya nyaris putus asa. Pernah suatu hari sebelum Nafisa lahir, ia berniat bunuh diri dengan melompat ke danau. Namun, niat itu harus gagal karena kontraksi di perutnya. Selain itu Safiyya juga memikirkan nasib Gibran jika dirinya tak ada.Safiyya melirik bayi perempuan yang tengah tertidur pulas di ranjang. Jika bukan karena bayi mungil itu, ia tak yakin masih bertahan. Karena Nafisa lah yang menyelamatkannya dari rasa putus asa. Awalnya safiyya tak yakin bisa menerima kehadiran sang putri. Tapi ketika mendengar tangisan pertama bayi itu, entah mengapa ada kekuatan yang mendorongnya untuk tetap tegar. Ia tahu, hidupnya sekarang bukan lagi tentang diri sendiri. Tapi ada Naf
Nalen tampak tengah sibuk membantu karyawannya melayani pengunjung. Hari ini kafe begitu ramai karena liburan akhir tahun. Sesekali ia terlihat akrab dengan beberapa tamu yang datang. Kebanyakan dari mereka adalah wanita-wanita lajang. Tak jarang ada yang meminta berkenalan bahkan meminta kontak ponselnya. Namun, sebisa mungkin Nalen mengabaikan hal itu saat mengingat Safiyya."Jadi boleh nggak saya minta nomor hp Mas nya?" ujar wanita berambut panjang yang tengah asyik menikmati pemandangan sore bersama teman-temannya."Boleh, ya? Kita udah bolak-balik ke sini dari tiga hari lalu cuman buat ketemu Mas, loh," timpal salah satu yang lain.Nalen hanya menanggapi ucapan itu dengan senyum ramah. Tak berapa lama, dari jauh terlihat Safiyya datang bersama Mark. "Maaf, saya tinggal dulu, ya. Kalian silahkan nikmati hidangannya," pamit Nalen, gegas ia menghampiri istrinya. Sedang di belakang sana wanita-wanita tadi hanya bisa mendesah kecewa karena lagi-lagi diabaikan oleh target taruhan mere