Hari ini Safiyya menyusuri seluruh sudut kota Yogya. Sesekali wanita berkulit kuning langsat itu menyeka peluh di dahinya. Dia yang masih tampak cantik dengan seragam hitam putih, menarik napas lelah. Amplop coklat yang digenggamnya pun diletakkan di atas kepala untuk melindungi wajahnya dari sengatan sinar matahari.
Sudah sejak pagi Safiyya kesana-kemari mencari pekerjaan. Berharap ada satu perusahaan yang bersedia mempekerjakan dirinya sebagai karyawan magang. Tapi, hari sudah menjelang sore tak ada tanda-tanda dia akan berhasil. Semua tempat yang didatanginya sedang tak membutuhkan karyawan magang seperti dirinya.Tiba-tiba dering suara ponsel terdengar dari dalam tas, tertera nama Maira di layar. Safiyya berhenti dan memutuskan duduk di depan sebuah mini market, kemudian mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, ada apa, Mai?" tanyanya pada orang di seberang." ......""Aku di jalan, lagi nyari lowongan buat magang, kenapa?"" ......""Di mana? Kamu kirim lewat chat aja alamatnya. Biar aku yang nyamperin kamu." Sambungan terputus setelah itu.Bergegas Safiyya mencari angkot setelah Maira mengirim alamatnya. Sekitar lima belas menit akhirnya dia sampai di sebuah Cafe kawasan Kaliurang. Begitu masuk suasana fancy dan premium langsung menyambutnya. Coffee shop satu ini sangat pas untuk disinggahi. Mengadopsi konsep khas Spanyol dan Latin. Dekorasi dan interiornya pun memiliki urban style yang sederhana namun terlihat elegan. Tempat ini juga tak kalah cocok untuk bertemu klien, mengerjakan tugas, atau nongkrong sambil ngopi bersama para sahabat.Ketika masuk Maira sudah menunggunya di sudut ruangan. Wanita yang tampak cantik dengan balutan gamis berwarna nude berpadu hijab nevy itu melambaikan tangannya begitu melihat kehadiran Safiyya."Sorry lama." Safiyya menyambar Lychee tea Maira dan menenggaknya hingga tandas. tak memedulikan orang di depan sekarang tengah menatapnya dengan wajah protes. Setelah itu ia langsung duduk di hadapan Maira tanpa menunggu persetujuan sahabatnya."Ada apa?" sambung Safiyya sembari menyeka kasar sudut bibirnya yang basah terkena minuman. Ada hening sejenak karena Maira tak langsung menjawab pertanyaan itu. Safiyya mengangkat alis ketika Maira menghembuskan napas berat. Ia hafal sekali kebiasaan sahabatnya tersebut. Jika Maira menampakkan raut putus asa seperti itu, sudah tentu ia tengah ada masalah yang mengganggu pikirannya.Maira paham Safiyya mungkin tengah kelaparan. Ia pun memutuskan lebih dulu memanggil pelayan sebelum sang sahabat mengeluh ini itu. "Kamu mau pesan apa, Saf?" tanya Maira begitu pelayan sudah ada di depan mejanya."Emmm ... Spaghetti Con Pesto aja deh sama peach tea." Setelah pelayan pergi, Dua wanita itu kembali dengan pembicaraan serius mereka."Ada masalah apa?" ulang Safiyya. Maira tak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Dia sibuk menyusun kalimat yang akan diucapkan pada wanita di depannya. Maira menatap Safiyya lekat-lekat. Ada perasaan ragu di hatinya. Tapi ia tak memiliki pilihan lain selain meminta tolong pada Safiyya. Walau dirinya juga tak bisa jamin sahabatnya bisa membantu, Maira tetap akan berusaha."Emmm ... aku mau kamu gantiin aku ketemu calon suami aku," ucap Maira tanpa basa-basi.Safiyya yang mendengar kalimat enteng itu meluncur dari bibir Maira, hanya bisa terpaku sembari mengarahkan tatapan tak percaya."Bentar-bentar … sejak kapan kamu punya calon suami? Kok kamu nggak cerita sama aku?"Maira memutar mata bosan mendengar pertanyaan Safiyya. "Udah deh jangan bahas itu dulu. Yang penting kamu mau apa nggak?""Ya nggak mau lah. Males banget. Nanti kalau ketahuan gimana? Bisa runyam urusannya. Hidup aku udah terlalu runyam saat ini. Jadi nggak perlu lagi kamu tambahin. Ini aja masih pusing mikirin tempat magang sama skripsi. Pake ditambah masalah begituan," grutu Safiyya.Obrolan dua wanita itu terhenti ketika seorang pelayan datang mengantarkan pesanan."Please, Saf. Kali ini aja bantuin aku, ya?" rengek Maira begitu pelayan pergi."Nggak. Aku bilang nggak ya enggak," jawab Safiyya tegas. Wanita itu lebih memilih melahap makanan di depannya tanpa mempedulikan Maira yang terlihat putus asa."Kamu jahat banget, ya, sama aku," lirih Maira dengan wajah ditekuk."Bodo amat," jawab Safiyya tanpa menghentikan aktivitasnya makan. Terjadi keheningan setelah itu.Maira tak kunjung membuka percakapan lagi. Ia tahu memaksa Safiyya menolongnya untuk masalah seperti ini jelas tak akan mudah, sahabatnya ini sangat keras kepala. Dengan wajah murung dan putus asa ia terus memikirkan masalah perjodohan itu. Maira bahkan belum pernah bertemu laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Meski kata Hizam Firdaus, Ayahnya, orang itu adalah anak dari sahabat lamanya yang tinggal di Jakarta. Hisam juga bilang dulu mereka sering bertemu. Sedang seingat Maira, anak yang dimaksud sang ayah adalah bocah gendut berkacamata yang suka sekali mengerjai dirinya saat kecil. Maira tak akan pernah sudi jika yang dimaksud ayahnya adalah dia. Maka dari itu, demi menghindari kemungkinan tersebut Maira lebih memilih tak menemuinya sekalian.Safiyya pun akhirnya tak tahan melihat Maira tampak begitu putus asa dan murung. Bagaimana pun juga Maira sudah banyak menolongnya selama ini. "Ck! Ya, ya. Aku mau. Puas kamu, Mai," ujar Safiyya pada akhirnya.Maira menyunggingkan senyum lebar mendengar jawaban tiba-tiba sang sahabat. "Kamu serius, Saf? Kamu lagi nggak bercanda, kan?" Wajah Maira yang tadinya ditekuk berubah secerah matahari terbit. Maira bahkan langsung bangkit dan memeluk Safiyya ketika wanita itu mengangguk."Aaaa … makasih, sayangku. Kamu memang yang terbaik."Safiyya memutar mata bosan dengan tindakan sahabatnya. "Jadi kapan aku harus ketemu sama laki-laki itu?" tanya Safiyya ketika Maira sudah kembali ke tempat duduknya."Hari minggu besok, hari libur nasional. Kata Papa dia ngajak janjian ketemu di benteng Vredeburg.""Hah, nggak salah? Ngajakin kencan sepenting itu di sana? Mau ngajakin kamu main perang-perangan apa gimana?" Terdengar tawa Safiyya setelah itu.Maira mendengus. "Nggak usah ngeledek deh.""Ya habis kek nggak ada tempat lain yang romantis dikit buat kencan.""Maka dari itu. Aku nggak bisa bayangin laki-laki itu sekolot apa. Pasti dia tipe laki-laki culun, serius. Jelek, dan berkacamata, iewww," Maira bergidik ngeri membayangkan jika benar itu yang terjadi."Terus kamu mau jadikan aku kambing hitam, gitu? Curang, ya, giliran cogan aja di embat sendiri."Keluhan Safiyya hanya dibalas ringisan Maira."Tenang aja, aku sudah merekomendasikan kamu ke Papa. Agar dia menerima kamu magang di perusahaannya.""Serius?" Safiyya memastikan. Raut wajahnya yang kesal pun kini berubah ceria. Seakan kata-kata Maira mampu memberi solusi untuk satu masalah di hidupnya.Maira mengangguk pasti dengan pertanyaan itu."Impas 'kan, sekarang. Kamu dapat kerjaan. Aku selamat dari perjodohan ini.""Tapi, besok aku mesti gimana buat menghadapi dia? Aku aja nggak tahu orangnya kayak apa."Maira menyunggingkan senyum misterius "Masalah itu biar aku yang urus. Intinya yang penting kamu datang aja besok. Nanti aku beritahu kamu.""Terserah kamu aja deh. Kalau bukan demi persahabatan kita. Ogah aku."Maira kembali memperlihatkan deretan giginya yang rapi mendengar gerutuan kesal sahabatnya. Dua gadis itu memilih melanjutkan makan siang sambil diselingi obrolan kecil. Safiyya menarik napas dalam. Dia tak tahu bahwa keputusan itu akan merubah seluruh hidupnya kelak."Aku merasa beruntung banget punya sahabat sepertimu. Makasih, ya, Saf," ujar Maira tulus, sambil menggenggam tangan Safiyya yang ada di atas meja.Safiyya pun mengangguk dengan senyum. Ia juga merasakan hal sama. Bagaimana bersyukurnya ia bisa memiliki sahabat seperti Maira. Walau berasal dari keluarga kaya, Maira tak pernah membeda-bedakan teman.Seorang laki-laki tampak tengah bersantai di sebuah kursi panjang dekat kolam renang. Menikmati deburan ombak yang tampak dari hotel tempat dia menghabiskan malam. Sesekali laki-laki itu menenggak wain dalam gelas. Tubuh kekarnya yang bertelanjang dada membuat para wanita di sekitar tak berkedip menatap. Ditambah kacamata hitam yang membingkai wajah tegasnya, semakin menambah kesan maskulin. Beberapa saat kemudian ponsel di sampingnya bergetar. Tertera nama 'Tuan Aidan yaang terhormat' di layar. Dengan enggan Nalendra mengangkat panggilan itu."Kapan kamu ke Yogya? Sahabat Papa sudah menunggu kamu di sana." Nalen menarik napas kasar mendengar ucapan di seberang. "Aku sudah bilang pada Papa, kalau nggak sudi dijodohkan. Papa tahu aku nggak suka terikat.""Papa nggak mau tahu, sekarang juga kamu ke Yogya. Mau sampai kapan kamu keluyuran nggak jelas seperti itu demi hobi kamu! Umurmu sudah lebih dari cukup untuk berkeluarga, dan lagi Papa butuh bantuan untuk mengurus perusahaan." Aidan
"Sumpah, ya, ogah banget aku ketemu calon suami kamu lagi," gerutu Safiyya kesal. Wanita itu lantas memilih duduk di atas kasur setelah langkahnya mencapai kamar."Kenapa? Cerita dong. Dia gimana orangnya?" tanya Maira antusias dari ambang pintu. Setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat dia menyusul Safiyya duduk di ranjang.Hari ini Safiyya tengah berada di rumah Maira. Tepatnya di kamar nyaman milik sahabatnya. Kamar yang didominasi warna putih itu terlihat minimalis tapi elegan dan mewah. Tepat di depan ranjang ada nakas berbentuk persegi panjang berwarna putih untuk meletakan televisi, Ada sebuah kamar mandi minimalis yang menggunakan kaca transparan di beberapa sisi. Tepat di sebelah pintu kamar mandi ada meja rias dan lemari. Sementara di dekat sisi kepala ranjang terdapat ruangan khusus untuk seluruh koleksi fashion Maira.Sudah tak terhitung berapa kali Safiyya ke sini. Tapi tetap saja ia tak pernah berhenti mengagumi kamar tersebut.Semenjak Safiyya pulang dari benteng verd
Nalen menghentikan mobilnya di depan rumah bergaya minimalis. Rumah yang terletak dekat pusat kota Jogja itu memiliki bangunan bertingkat dua, dengan warna dominan abu-abu dan putih. Rumah ini adalah rumah pribadi keluarga Akhtar yang memang hanya dipakai ketika mereka ke Jogja. Meski jarang dikunjungi, keluarga Akhtar tetap menyewa orang untuk mengurus rumah itu jika sewaktu-waktu dia ke sini.Sejujurnya Nalen benci sekali berada di rumah tersebut. Rumah milik mendiang kakeknya itu adalah saksi bisu bagaimana hancurnya Nalen setelah kehilangan Alice, mantan kekasihnya. Juga saksi bagaimana dia harus menanggung beban rasa bersalah seumur hidup.Sambil memindai beberapa gambar yang dia ambil tadi, Nalen berjalan masuk tanpa mempedulikan Aidan yang kini sudah duduk di ruang tengah. Senyum samar sesekali tersungging di bibir Nalen saat mengingat pertemuannya dengan Safiyya tadi pagi. Begitu satu kakinya baru menaiki anak tangga pertama, teguran Aidan terdengar. Diam-diam sang ayah memper
Safiyya berjalan tak tentu arah. Wanita itu tengah bingung memikirkan cara mendapat uang untuk operasi ibu. Tak enak hati jika harus meminta tolong pada Maira lagi, dia akhirnya memutuskan mendatangi Bu Sinta. Tapi syarat yang diajukan Bu Sinta sangat berat untuk Safiyya lakukan kala itu."Saya akan membantu kamu, dengan satu syarat," ujar Bu Sinta. Ada jeda sejenak, wanita bertubuh gemuk itu menanti respon dari lawan bicaranya yang masih diam. "Kamu sanggup?" sambung Bu Sinta."Saya harus tahu dulu syaratnya apa."Bu Sinta tersenyum culas, kemudian menghampiri Safiyya, lalu membelai wajah cantik wanita itu dengan gerakan seringan kapas. Seolah tengah mengagumi sebuah karya Tuhan."Buka hijab kamu, dan datang besok ke club biasa. Ada seseorang yang harus kamu temui."Safiyya terdiam mendengar syarat yang diajukan Bu Sinta. Hatinya kembali dilanda kebimbangan. Satu sisi dia tak memiliki banyak waktu lagi. Disisi lain dia tak bisa menerima jika harus kembali ke masa lalu."Bagaimana?" u
"Bodoh, pastikan bahwa dia tak akan kabur! Orang ku sudah menunggunya di sana. Aku tak mau tahu, kalau sampai rencana ini gagal aku tak akan segan-segan melaporkanmu ke polisi." Laki-laki itu menutup panggilan sepihak setelah memperingatkan seseorang di seberang sana. Wajahnya mengeras menahan amarah."Dasar brengsek!" makinya kemudian sambil melempar ponsel dengan kasar. Tindakannya pun tak ayal menimbulkan suara gaduh di apartemen itu.Mendengar keributan tersebut seorang wanita cantik tergopoh-gopoh datang. "Apa yang terjadi?"Pertanyaan si wanita semakin membuat laki-laki bertubuh tinggi dengan sedikit jambang, jengkel dan frustasi. Dengan wajah penuh amarah ia menatap wanita cantik di depannya."Si brengsek itu hampir saja mengacaukan rencana kita. Berani-beraninya dia …," Laki-laki tersebut menggantung kalimat, seakan tak bisa berkata-kata lagi. Rasa bencinya pada Nalen yang sudah mengakar kuat di hati seolah sudah tak bisa dibendung."Apa maksudmu Nalen?" Wanita di sampingnya m
Jam satu lebih, mobil sedan hitam berhenti tepat di depan rumah Safiyya. Wanita cantik itu tak langsung masuk ke rumah, dia mengajak bicara orang di dalam mobil terlebih dulu. Tak lain adalah pelanggan Bu Sinta."See you tomorrow weekend. Don't forget your promise to accompany me again."Safiyya membalas ucapan laki-laki itu dengan anggukan. Ia tak berminat sama sekali memperpanjang obrolan itu. Kemudian mobil sedan di hadapannya melesat pergi. Baru hendak melangkah masuk dia dikagetkan dengan sebuah suara yang berasal dari teras rumah.Maira berlari kecil menghampiri Safiyya, seolah dia sudah menunggu kehadirannya cukup lama. "Kamu dari mana aja? Kenapa kamu pakai pakaian kayak gini, Saf? Apa yang terjadi? Kenapa kamu nggak bilang kalau Ibu masuk RS?"Safiyya tak menjawab pertanyaan beruntun Maira. Dia lebih memilih masuk ke rumah, mengabaikan wanita cantik di belakangnya yang terus merecoki dengan pertanyaan bertubi-tubi."Saf, jawab dong pertanyaan aku! Kenapa kamu jadi kayak gini?
Safiyya melangkahkan kaki menyusuri koridor rumah sakit. Wanita berhijab itu terlihat cantik dalam balutan blus berwarna pink, berpadu celana kulot hitam. Pagi ini sebelum bekerja Safiyya memutuskan terlebih dulu menemui ibunya untuk memastikan kondisi Halimah sudah jauh lebih baik atau belum. Pasalnya akhir-akhir ini ia sibuk di kantor dan jarang bisa menemani sang ibu selama dua puluh empat jam."Ass-" Ucapannya terhenti begitu ia membuka tirai, dan mendapati laki-laki yang paling dihindarinya setengah mati kini duduk di samping ranjang Halimah. Tiga orang di sana tengah asyik mengobrol. Nalen bahkan terlihat akrab dengan ibu dan Gibran.Safiyya mendekat meski ragu. Ia meletakan kantong plastik berisi makanan ke atas nakas. "Anda kenapa di sini?" Safiyya bertanya tanpa melepas perhatiannya pada makanan yang tengah ia keluarkan.Nalen bangkit dan menyunggingkan senyum ke arah Safiyya "Saya kebetulan ada keperluan di sekitar sini, jadi sekalian mampir. Ada hal penting juga yang ingi
Suara percikan air terdengar dari kamar mandi rumah Safiyya. Mengalir tanpa henti ke sekujur tubuh kuyu itu. Safiyya meringkuk seperti bayi dalam kandungan dengan baju masih membalut tubuhnya. Sudah seharian lebih dia berada di sana tanpa berniat menyudahi aktivitasnya. Benar, bahwa Safiyya memang berpikir lebih baik mati saja.Tangannya terus menggosok kasar sisa-sisa sentuhan biadab itu. Seolah dengan begitu dia bisa menghapus noda yang telah ditinggalkan. Noda yang mungkin tak akan pernah hilang selamanya."Kotor ...." Bibir pucatnya mengucapkan kalimat itu tanpa henti. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, bahkan ketika gesekan-gesekan yang ia lakukan mulai menimbulkan rasa nyeri, Safiyya tetap tak peduli. Baginya rasa perih itu tak sebanding dengan apa yang telah hilang darinya.Tak banyak yang tahu, meski Safiyya seorang biduan, ia berusaha keras untuk melindungi kehormatannya. Tapi segala bentuk perlindungan yang ia usahakan selama ini sudah berakhir sia-sia. Harusnya ia menuruti per