Hari ini Safiyya menyusuri seluruh sudut kota Yogya. Sesekali wanita berkulit kuning langsat itu menyeka peluh di dahinya. Dia yang masih tampak cantik dengan seragam hitam putih, menarik napas lelah. Amplop coklat yang digenggamnya pun diletakkan di atas kepala untuk melindungi wajahnya dari sengatan sinar matahari. Sudah sejak pagi Safiyya kesana-kemari mencari pekerjaan. Berharap ada satu perusahaan yang bersedia mempekerjakan dirinya sebagai karyawan magang. Tapi, hari sudah menjelang sore tak ada tanda-tanda dia akan berhasil. Semua tempat yang didatanginya sedang tak membutuhkan karyawan magang seperti dirinya.Tiba-tiba dering suara ponsel terdengar dari dalam tas, tertera nama Maira di layar. Safiyya berhenti dan memutuskan duduk di depan sebuah mini market, kemudian mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, ada apa, Mai?" tanyanya pada orang di seberang." ......""Aku di jalan, lagi nyari lowongan buat magang, kenapa?"" ......""Di mana? Kamu kirim lewat chat aja alamatn
Seorang laki-laki tampak tengah bersantai di sebuah kursi panjang dekat kolam renang. Menikmati deburan ombak yang tampak dari hotel tempat dia menghabiskan malam. Sesekali laki-laki itu menenggak wain dalam gelas. Tubuh kekarnya yang bertelanjang dada membuat para wanita di sekitar tak berkedip menatap. Ditambah kacamata hitam yang membingkai wajah tegasnya, semakin menambah kesan maskulin. Beberapa saat kemudian ponsel di sampingnya bergetar. Tertera nama 'Tuan Aidan yaang terhormat' di layar. Dengan enggan Nalendra mengangkat panggilan itu."Kapan kamu ke Yogya? Sahabat Papa sudah menunggu kamu di sana." Nalen menarik napas kasar mendengar ucapan di seberang. "Aku sudah bilang pada Papa, kalau nggak sudi dijodohkan. Papa tahu aku nggak suka terikat.""Papa nggak mau tahu, sekarang juga kamu ke Yogya. Mau sampai kapan kamu keluyuran nggak jelas seperti itu demi hobi kamu! Umurmu sudah lebih dari cukup untuk berkeluarga, dan lagi Papa butuh bantuan untuk mengurus perusahaan." Aidan
"Sumpah, ya, ogah banget aku ketemu calon suami kamu lagi," gerutu Safiyya kesal. Wanita itu lantas memilih duduk di atas kasur setelah langkahnya mencapai kamar."Kenapa? Cerita dong. Dia gimana orangnya?" tanya Maira antusias dari ambang pintu. Setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat dia menyusul Safiyya duduk di ranjang.Hari ini Safiyya tengah berada di rumah Maira. Tepatnya di kamar nyaman milik sahabatnya. Kamar yang didominasi warna putih itu terlihat minimalis tapi elegan dan mewah. Tepat di depan ranjang ada nakas berbentuk persegi panjang berwarna putih untuk meletakan televisi, Ada sebuah kamar mandi minimalis yang menggunakan kaca transparan di beberapa sisi. Tepat di sebelah pintu kamar mandi ada meja rias dan lemari. Sementara di dekat sisi kepala ranjang terdapat ruangan khusus untuk seluruh koleksi fashion Maira.Sudah tak terhitung berapa kali Safiyya ke sini. Tapi tetap saja ia tak pernah berhenti mengagumi kamar tersebut.Semenjak Safiyya pulang dari benteng verd
Nalen menghentikan mobilnya di depan rumah bergaya minimalis. Rumah yang terletak dekat pusat kota Jogja itu memiliki bangunan bertingkat dua, dengan warna dominan abu-abu dan putih. Rumah ini adalah rumah pribadi keluarga Akhtar yang memang hanya dipakai ketika mereka ke Jogja. Meski jarang dikunjungi, keluarga Akhtar tetap menyewa orang untuk mengurus rumah itu jika sewaktu-waktu dia ke sini.Sejujurnya Nalen benci sekali berada di rumah tersebut. Rumah milik mendiang kakeknya itu adalah saksi bisu bagaimana hancurnya Nalen setelah kehilangan Alice, mantan kekasihnya. Juga saksi bagaimana dia harus menanggung beban rasa bersalah seumur hidup.Sambil memindai beberapa gambar yang dia ambil tadi, Nalen berjalan masuk tanpa mempedulikan Aidan yang kini sudah duduk di ruang tengah. Senyum samar sesekali tersungging di bibir Nalen saat mengingat pertemuannya dengan Safiyya tadi pagi. Begitu satu kakinya baru menaiki anak tangga pertama, teguran Aidan terdengar. Diam-diam sang ayah memper
Safiyya berjalan tak tentu arah. Wanita itu tengah bingung memikirkan cara mendapat uang untuk operasi ibu. Tak enak hati jika harus meminta tolong pada Maira lagi, dia akhirnya memutuskan mendatangi Bu Sinta. Tapi syarat yang diajukan Bu Sinta sangat berat untuk Safiyya lakukan kala itu."Saya akan membantu kamu, dengan satu syarat," ujar Bu Sinta. Ada jeda sejenak, wanita bertubuh gemuk itu menanti respon dari lawan bicaranya yang masih diam. "Kamu sanggup?" sambung Bu Sinta."Saya harus tahu dulu syaratnya apa."Bu Sinta tersenyum culas, kemudian menghampiri Safiyya, lalu membelai wajah cantik wanita itu dengan gerakan seringan kapas. Seolah tengah mengagumi sebuah karya Tuhan."Buka hijab kamu, dan datang besok ke club biasa. Ada seseorang yang harus kamu temui."Safiyya terdiam mendengar syarat yang diajukan Bu Sinta. Hatinya kembali dilanda kebimbangan. Satu sisi dia tak memiliki banyak waktu lagi. Disisi lain dia tak bisa menerima jika harus kembali ke masa lalu."Bagaimana?" u
"Bodoh, pastikan bahwa dia tak akan kabur! Orang ku sudah menunggunya di sana. Aku tak mau tahu, kalau sampai rencana ini gagal aku tak akan segan-segan melaporkanmu ke polisi." Laki-laki itu menutup panggilan sepihak setelah memperingatkan seseorang di seberang sana. Wajahnya mengeras menahan amarah."Dasar brengsek!" makinya kemudian sambil melempar ponsel dengan kasar. Tindakannya pun tak ayal menimbulkan suara gaduh di apartemen itu.Mendengar keributan tersebut seorang wanita cantik tergopoh-gopoh datang. "Apa yang terjadi?"Pertanyaan si wanita semakin membuat laki-laki bertubuh tinggi dengan sedikit jambang, jengkel dan frustasi. Dengan wajah penuh amarah ia menatap wanita cantik di depannya."Si brengsek itu hampir saja mengacaukan rencana kita. Berani-beraninya dia …," Laki-laki tersebut menggantung kalimat, seakan tak bisa berkata-kata lagi. Rasa bencinya pada Nalen yang sudah mengakar kuat di hati seolah sudah tak bisa dibendung."Apa maksudmu Nalen?" Wanita di sampingnya m
Jam satu lebih, mobil sedan hitam berhenti tepat di depan rumah Safiyya. Wanita cantik itu tak langsung masuk ke rumah, dia mengajak bicara orang di dalam mobil terlebih dulu. Tak lain adalah pelanggan Bu Sinta."See you tomorrow weekend. Don't forget your promise to accompany me again."Safiyya membalas ucapan laki-laki itu dengan anggukan. Ia tak berminat sama sekali memperpanjang obrolan itu. Kemudian mobil sedan di hadapannya melesat pergi. Baru hendak melangkah masuk dia dikagetkan dengan sebuah suara yang berasal dari teras rumah.Maira berlari kecil menghampiri Safiyya, seolah dia sudah menunggu kehadirannya cukup lama. "Kamu dari mana aja? Kenapa kamu pakai pakaian kayak gini, Saf? Apa yang terjadi? Kenapa kamu nggak bilang kalau Ibu masuk RS?"Safiyya tak menjawab pertanyaan beruntun Maira. Dia lebih memilih masuk ke rumah, mengabaikan wanita cantik di belakangnya yang terus merecoki dengan pertanyaan bertubi-tubi."Saf, jawab dong pertanyaan aku! Kenapa kamu jadi kayak gini?
Safiyya melangkahkan kaki menyusuri koridor rumah sakit. Wanita berhijab itu terlihat cantik dalam balutan blus berwarna pink, berpadu celana kulot hitam. Pagi ini sebelum bekerja Safiyya memutuskan terlebih dulu menemui ibunya untuk memastikan kondisi Halimah sudah jauh lebih baik atau belum. Pasalnya akhir-akhir ini ia sibuk di kantor dan jarang bisa menemani sang ibu selama dua puluh empat jam."Ass-" Ucapannya terhenti begitu ia membuka tirai, dan mendapati laki-laki yang paling dihindarinya setengah mati kini duduk di samping ranjang Halimah. Tiga orang di sana tengah asyik mengobrol. Nalen bahkan terlihat akrab dengan ibu dan Gibran.Safiyya mendekat meski ragu. Ia meletakan kantong plastik berisi makanan ke atas nakas. "Anda kenapa di sini?" Safiyya bertanya tanpa melepas perhatiannya pada makanan yang tengah ia keluarkan.Nalen bangkit dan menyunggingkan senyum ke arah Safiyya "Saya kebetulan ada keperluan di sekitar sini, jadi sekalian mampir. Ada hal penting juga yang ingi