Share

Awal Baru

Awal Baru

Pagi ini, di rumah keluarga Amran tampak ada kejadian menarik. Halimah yang tengah menata sarapan di meja mendadak menjatuhkan sendok di tangannya. Wanita yang kini mengenakan kerudung abu-abu itu terpaku menatap Safiyya yang baru saja keluar dari kamar. Gibran yang masih berada di kamarnya pun otomatis keluar karena mendengar dentingan beda jatuh.

"Ibu ada ap-" Belum selesai kalimat yang diucapkan dari bibirnya, Gibran juga ikut terpaku menatap kakaknya.

Safiyya menyunggingkan senyum lebar ke arah adik dan ibunya. "Gimana, Bu? Safiyya cocok ndak pakai hijab?" tanya wanita itu dengan senyum ceria. Sembari memutar tubuh, membuat rok plisket berwarna peach yang dikenakan mengembang.

Tak ada respons dari dua orang di depannya. Halimah dan Gibran justru tampak saling berpandangan. Seolah terkejut dengan perubahan mendadak sang putri. Pasalnya Safiyya semalam memang belum sempat memberitahukan keinginannya berhijrah pada Halimah dan Gibran.

"Gimana? Safiyya nggak cocok, ya, pakai hijab?" ulang Safiyya menyadarkan dua orang di depannya. Nada suaranya terdengar kecewa.

"Ndak, kamu cantik kok pakai hijab kayak gitu. Ibu hanya merasa terkejut dengan perubahan kamu yang mendadak ini. Ya, kan, Gibran?" ujar Halimah meminta persetujuan putranya.

Gibran mengangguk setuju. "Ya, Mbak. Ibu benar. Mbak tambah cantik pakai hijab."

Safiyya tersenyum lebar mendengar penuturan dua orang paling berarti dalam hidupnya. Wanita dua puluh tiga tahun itu lantas mendekati Halimah yang duduk di kursi roda.

"Tapi, Safiyya belum bisa hijrah total dengan mengenakan pakaian syar'i. Baru ini yang bisa Safiyya usahakan, Bu." Safiyya terdengar menyesal.

Halimah tersenyum, lantas mengusap tangan Safiyya yang ada di pundakn. Seolah menenangkan keraguan anak sulungnya. "Ndak Po-po, Sayang. Kamu sudah mau berubah aja Ibu udah seneng. Hijrah juga butuh proses. Ndak bisa langsung instan. Kalau kamu tiba-tiba pakai cadar, itu justru bikin Ibu sama Gibran jadi takut."

"Bener kata Ibu, Mbak. Nanti dikira aku punya kakak teroris lagi. Tahu sendiri gimana sekarang."

Safiyya mengangguk setuju dengan ucapan mereka.

"Ya sudah, kalian sarapan sekarang. Nanti telat," ujar Halimah.

Dua anaknya mengangguk, kemudian Safiyya mendorong kursi roda Halimah ke depan meja makan. Sudah beberapa tahun ini Halimah mengidap diabetes. Satu kakinya bahkan sudah diamputasi.

"Kamu memilih hijrah seperti sekarang, bagaimana reaksi Bu Sinta? Kamu ndak diapa-apain, kan?" tanya Halimah khawatir. Setahu Halimah, Bu Sinta bukan orang yang mudah menyerah dengan keinginannya. Apa lagi jika itu sangat menguntungkan. Dan Safiyya adalah salah satu aset yang menguntungkan Bu Sinta. Selain memiliki suara bagus, Safiyya juga cantik. Penggemarnya pun lumayan banyak.

"Awalnya, sih, Bu Sinta sempat marah. Tapi setelah Safiyya keukeuh baru Bu Sinta mengizinkan."

Halimah menghembuskan napas lega mendengar penuturan putrinya.

"Dek, sementara kamu belum kuliah, di rumah dulu, ya, jagain Ibu. Mbak mau coba cari kerjaan lain. Insyaallah kalau Mbak udah ada uang kamu kuliah."

"Siap, Mbak."

Halimah memandang kedua anaknya dengan tatapan iba. Andai kondisinya tak seperti ini mungkin semua jauh lebih baik. Setidaknya Safiyya tak harus berjuang sendirian demi menghidupi dirinya dan Gibran. Safiyya yang menyadari kesedihan pada raut wajah ibunya akhirnya menegur wanita berpenampilan sederhana itu.

"Ibu kenapa?"

Halimah terkesiap kaget dan menatap Safiyya sejenak dengan mata berkaca-kaca. "Ibu hanya kasihan sama kamu. Andaikan Ibu nggak seperti ini kondisinya, mungkin ibu-"

"Bu, ndak usah dipikirin. Insya Allah Fiyya kuat. Asal Ibu sama Gibran selalu ada buat Fiyya." Safiyya memotong ucapan Halimah.

Tak ada yang bisa dilakukan Halimah untuk kedua anaknya selain doa setulus hati yang selalu dipanjatkan pada Sang Pencipta.

Halimah menghembuskan napas berat, kemudian menggenggam tangan Safiyya yang ada di atas meja. "Semoga Allah selalu memberimu kebahagiaan dan kesabaran, Nak." Gibran dan Safiyya mengamini harapan Halimah.

*****

Safiyya keluar dari sebuah angkot, dan berhenti tepat di depan salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta. Wanita itu menarik napas sejenak, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling kampus. Universitas tempatnya menimba ilmu termasuk salah satu Universitas tertua di Indonesia. Safiyya merasa amat bersyukur, ditengah keterbatasan yang dihadapi, Allah memberinya kecerdasan. Hingga dia diberi kesempatan menjadi salah satu mahasiswa di sini. Karena sudah semester akhir Safiyya sudah jarang ke kampus kecuali untuk beberapa hal. Terasuk hari ini. Dia harus mengadakan beberapa diskusi dengan kelompoknya.

Gadis yang kini mengenakan hijab berwarna peach itu tampak cantik dengan rok yang dia kenakan. Safiyya menarik napas dalam terlebih dulu. Dua seakan memiliki firasat buruk akan keputusannya. Dia yakin semua temannya akan kembali mengolok-olok tanpa henti karena penampilan barunya. "Bismillah, semoga ini adalah awal yang baik," gumamnya, lalu melangkah masuk.

Beberapa orang yang mengenalnya mulai menatap wanita itu dengan tatapan aneh dan heran. Kasak-kusuk terus terdengar sepanjang melewati koridor menuju kelas.

"Eh, itu bukannya Safiyya? Dia ngapain pake hijab segala."

"Tahu tuh, tobat kali."

"Halah, tobat juga percuma. Biduan ya biduan aja. Nggak bakal merubah image buruknya. Kalian masih pada inget, kan, pas dia tampil di acara kampus waktu itu. Najis banget." Lalu terdengar tawa mengejek ikut bersahutan.

Begitu langkah kakinya mencapai ambang pintu, semua temannya yang ada di dalam kelas terdiam. Mereka semua saling melempar tatapan-tatapan aneh ke arah Safiyya. Seolah kehadiran wanita itu dengan penampilan barunya adalah lelucon.

"Saf, kamu tobat sekarang? Kesambet setan mana?" seru seorang laki-laki yang duduk paling depan.

"Mungkin Safiyya udah bosan jadi biduan. Dia ingin berubah haluan jadi Ustazah." Terdengar tawa semua orang setelah itu.

Safiyya memilih tak ambil peduli. Dia tetap melangkah mendekati Maira yang duduk di pojok ruangan. Bagi wanita bertubuh semampai tersebut, cemoohan seperti tadi adalah makanannya sehari-hari. Bahkan dia sering menerima yang lebih dari itu.

Suara gebrakan meja yang cukup keras menghentikan tawa semua orang. Maira berdiri dari duduknya dan mengarahkan tatapan membunuh pada semua temannya. Wanita itu sudah dari tadi menahan emosi agar tak meledak.

"Kalian semua bisa diem nggak! Apa salah kalau Safiyya mau berubah lebih baik?! Aku heran ya sama kalian semua, dulu waktu Safiyya jadi biduan kalian suka ngatain dia. Ini Safiyya mau berubah kalian juga pada nyinyir. Mau kalian apa, sih! Harusnya kalian dukung dia!"

"Udah, aku nggak pa-pa, Mai." Safiyya menenangkan.

Sahabatnya satu ini memang selalu begitu saat beberapa temannya mengejek. Maira akan tampil sebagai pembela. Bukan berarti Safiyya adalah gadis lemah yang tak bisa membela dirinya sendiri. Dia hanya terlalu malas membalas perkataan mereka dengan kemarahan. Baginya tak masalah mereka mau bicara apa, toh yang tahu dia hanya Allah dan orang-orang terdekatnya. Safiyya sadar, apa pun yang dia lakukan tak akan lepas dari komentar orang. Terlebih imag buruk yang terlanjur melekat padanya sebagai biduan jelas menambah parah semuanya, dan dari awal dia jelas tahu konsekuensi itu.

"Tapi, Saf. Mereka sudah keterlaluan. Aku nggak te-" Maira menghentikan ucapannya begitu seorang dosen masuk. Dengan terpaksa dia menyimpan kemarahan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status