Share

Awal Baru

Author: Nurmoyz
last update Last Updated: 2023-10-20 08:55:15

Awal Baru

Pagi ini, di rumah keluarga Amran tampak ada kejadian menarik. Halimah yang tengah menata sarapan di meja mendadak menjatuhkan sendok di tangannya. Wanita yang kini mengenakan kerudung abu-abu itu terpaku menatap Safiyya yang baru saja keluar dari kamar. Gibran yang masih berada di kamarnya pun otomatis keluar karena mendengar dentingan beda jatuh.

"Ibu ada ap-" Belum selesai kalimat yang diucapkan dari bibirnya, Gibran juga ikut terpaku menatap kakaknya.

Safiyya menyunggingkan senyum lebar ke arah adik dan ibunya. "Gimana, Bu? Safiyya cocok ndak pakai hijab?" tanya wanita itu dengan senyum ceria. Sembari memutar tubuh, membuat rok plisket berwarna peach yang dikenakan mengembang.

Tak ada respons dari dua orang di depannya. Halimah dan Gibran justru tampak saling berpandangan. Seolah terkejut dengan perubahan mendadak sang putri. Pasalnya Safiyya semalam memang belum sempat memberitahukan keinginannya berhijrah pada Halimah dan Gibran.

"Gimana? Safiyya nggak cocok, ya, pakai hijab?" ulang Safiyya menyadarkan dua orang di depannya. Nada suaranya terdengar kecewa.

"Ndak, kamu cantik kok pakai hijab kayak gitu. Ibu hanya merasa terkejut dengan perubahan kamu yang mendadak ini. Ya, kan, Gibran?" ujar Halimah meminta persetujuan putranya.

Gibran mengangguk setuju. "Ya, Mbak. Ibu benar. Mbak tambah cantik pakai hijab."

Safiyya tersenyum lebar mendengar penuturan dua orang paling berarti dalam hidupnya. Wanita dua puluh tiga tahun itu lantas mendekati Halimah yang duduk di kursi roda.

"Tapi, Safiyya belum bisa hijrah total dengan mengenakan pakaian syar'i. Baru ini yang bisa Safiyya usahakan, Bu." Safiyya terdengar menyesal.

Halimah tersenyum, lantas mengusap tangan Safiyya yang ada di pundakn. Seolah menenangkan keraguan anak sulungnya. "Ndak Po-po, Sayang. Kamu sudah mau berubah aja Ibu udah seneng. Hijrah juga butuh proses. Ndak bisa langsung instan. Kalau kamu tiba-tiba pakai cadar, itu justru bikin Ibu sama Gibran jadi takut."

"Bener kata Ibu, Mbak. Nanti dikira aku punya kakak teroris lagi. Tahu sendiri gimana sekarang."

Safiyya mengangguk setuju dengan ucapan mereka.

"Ya sudah, kalian sarapan sekarang. Nanti telat," ujar Halimah.

Dua anaknya mengangguk, kemudian Safiyya mendorong kursi roda Halimah ke depan meja makan. Sudah beberapa tahun ini Halimah mengidap diabetes. Satu kakinya bahkan sudah diamputasi.

"Kamu memilih hijrah seperti sekarang, bagaimana reaksi Bu Sinta? Kamu ndak diapa-apain, kan?" tanya Halimah khawatir. Setahu Halimah, Bu Sinta bukan orang yang mudah menyerah dengan keinginannya. Apa lagi jika itu sangat menguntungkan. Dan Safiyya adalah salah satu aset yang menguntungkan Bu Sinta. Selain memiliki suara bagus, Safiyya juga cantik. Penggemarnya pun lumayan banyak.

"Awalnya, sih, Bu Sinta sempat marah. Tapi setelah Safiyya keukeuh baru Bu Sinta mengizinkan."

Halimah menghembuskan napas lega mendengar penuturan putrinya.

"Dek, sementara kamu belum kuliah, di rumah dulu, ya, jagain Ibu. Mbak mau coba cari kerjaan lain. Insyaallah kalau Mbak udah ada uang kamu kuliah."

"Siap, Mbak."

Halimah memandang kedua anaknya dengan tatapan iba. Andai kondisinya tak seperti ini mungkin semua jauh lebih baik. Setidaknya Safiyya tak harus berjuang sendirian demi menghidupi dirinya dan Gibran. Safiyya yang menyadari kesedihan pada raut wajah ibunya akhirnya menegur wanita berpenampilan sederhana itu.

"Ibu kenapa?"

Halimah terkesiap kaget dan menatap Safiyya sejenak dengan mata berkaca-kaca. "Ibu hanya kasihan sama kamu. Andaikan Ibu nggak seperti ini kondisinya, mungkin ibu-"

"Bu, ndak usah dipikirin. Insya Allah Fiyya kuat. Asal Ibu sama Gibran selalu ada buat Fiyya." Safiyya memotong ucapan Halimah.

Tak ada yang bisa dilakukan Halimah untuk kedua anaknya selain doa setulus hati yang selalu dipanjatkan pada Sang Pencipta.

Halimah menghembuskan napas berat, kemudian menggenggam tangan Safiyya yang ada di atas meja. "Semoga Allah selalu memberimu kebahagiaan dan kesabaran, Nak." Gibran dan Safiyya mengamini harapan Halimah.

*****

Safiyya keluar dari sebuah angkot, dan berhenti tepat di depan salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta. Wanita itu menarik napas sejenak, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling kampus. Universitas tempatnya menimba ilmu termasuk salah satu Universitas tertua di Indonesia. Safiyya merasa amat bersyukur, ditengah keterbatasan yang dihadapi, Allah memberinya kecerdasan. Hingga dia diberi kesempatan menjadi salah satu mahasiswa di sini. Karena sudah semester akhir Safiyya sudah jarang ke kampus kecuali untuk beberapa hal. Terasuk hari ini. Dia harus mengadakan beberapa diskusi dengan kelompoknya.

Gadis yang kini mengenakan hijab berwarna peach itu tampak cantik dengan rok yang dia kenakan. Safiyya menarik napas dalam terlebih dulu. Dua seakan memiliki firasat buruk akan keputusannya. Dia yakin semua temannya akan kembali mengolok-olok tanpa henti karena penampilan barunya. "Bismillah, semoga ini adalah awal yang baik," gumamnya, lalu melangkah masuk.

Beberapa orang yang mengenalnya mulai menatap wanita itu dengan tatapan aneh dan heran. Kasak-kusuk terus terdengar sepanjang melewati koridor menuju kelas.

"Eh, itu bukannya Safiyya? Dia ngapain pake hijab segala."

"Tahu tuh, tobat kali."

"Halah, tobat juga percuma. Biduan ya biduan aja. Nggak bakal merubah image buruknya. Kalian masih pada inget, kan, pas dia tampil di acara kampus waktu itu. Najis banget." Lalu terdengar tawa mengejek ikut bersahutan.

Begitu langkah kakinya mencapai ambang pintu, semua temannya yang ada di dalam kelas terdiam. Mereka semua saling melempar tatapan-tatapan aneh ke arah Safiyya. Seolah kehadiran wanita itu dengan penampilan barunya adalah lelucon.

"Saf, kamu tobat sekarang? Kesambet setan mana?" seru seorang laki-laki yang duduk paling depan.

"Mungkin Safiyya udah bosan jadi biduan. Dia ingin berubah haluan jadi Ustazah." Terdengar tawa semua orang setelah itu.

Safiyya memilih tak ambil peduli. Dia tetap melangkah mendekati Maira yang duduk di pojok ruangan. Bagi wanita bertubuh semampai tersebut, cemoohan seperti tadi adalah makanannya sehari-hari. Bahkan dia sering menerima yang lebih dari itu.

Suara gebrakan meja yang cukup keras menghentikan tawa semua orang. Maira berdiri dari duduknya dan mengarahkan tatapan membunuh pada semua temannya. Wanita itu sudah dari tadi menahan emosi agar tak meledak.

"Kalian semua bisa diem nggak! Apa salah kalau Safiyya mau berubah lebih baik?! Aku heran ya sama kalian semua, dulu waktu Safiyya jadi biduan kalian suka ngatain dia. Ini Safiyya mau berubah kalian juga pada nyinyir. Mau kalian apa, sih! Harusnya kalian dukung dia!"

"Udah, aku nggak pa-pa, Mai." Safiyya menenangkan.

Sahabatnya satu ini memang selalu begitu saat beberapa temannya mengejek. Maira akan tampil sebagai pembela. Bukan berarti Safiyya adalah gadis lemah yang tak bisa membela dirinya sendiri. Dia hanya terlalu malas membalas perkataan mereka dengan kemarahan. Baginya tak masalah mereka mau bicara apa, toh yang tahu dia hanya Allah dan orang-orang terdekatnya. Safiyya sadar, apa pun yang dia lakukan tak akan lepas dari komentar orang. Terlebih imag buruk yang terlanjur melekat padanya sebagai biduan jelas menambah parah semuanya, dan dari awal dia jelas tahu konsekuensi itu.

"Tapi, Saf. Mereka sudah keterlaluan. Aku nggak te-" Maira menghentikan ucapannya begitu seorang dosen masuk. Dengan terpaksa dia menyimpan kemarahan itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Misteri Di Balik Pernikahan Safiyya   Akhir Bahagia

    Tiga bulan berlalu dari semua kekacauan hidup yang Safiyya alami. Wanita itu kini tengah menikmati kebahagiaan berlimpah. Terlebih keadaan Nalen pulih dengan cepat setelah melakukan banyak terapi. Kini keduanya tengah berbahagia untuk menanti kelahiran buah hati. Usia kandungan Safiyya kini sudah berusia enam bulan.Safiyya menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Gaun putih brokat dengan detail payet nan mewah bermodel mengembang, membalut tubuh Safiyya dengan pas. Hijab putihnya dipercantik dengan mahkota kecil di atas kepala. Penampilannya hari ini sungguh sangat menakjubkan.Safiyya tersenyum lebar lalu menarik nafas untuk menghilangkan kegugupan, mengingat hari ini acar resepsi pernikahannya akan segera digelar. Keduanya memang sepakat untuk mengundur rencana peresmian pernikahan mereka sampai Nalen benar-benar pulih. Seperti rencana terakhir kemarin, acara itu benar-benar digelar di Bali. Tepatnya di belakang cafe Nalen dengan latar danau Baratan dan pure-pure nan megah."Sayan

  • Misteri Di Balik Pernikahan Safiyya   Rasa Putus Asa

    Safiyya menatap gundukan tanah merah di depannya dengan perasaan tak menentu. Di sampingnya Maira terus menenangkan wanita itu yang tampak sudah kelelahan. Pemakaman tersebut hanya dihadiri beberapa rekan kantor dan orang-orang yang kenal baik dengan Anna. Sedangkan Brian dikuburkan di samping makam Anna. Keduanyya meninggal dalam waktu bersamaan. Meski dengan kematian keduanya kasus kecelakaan Alice akhirnya tak diusut, Safiyya tetap merasa bersyukur. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah.Ya, hari ini Safiyya tengah berada di depan makam Anna dan Brian untuk mengantarkan mereka ke peristirahatan terakhir. Setelah perjuangan Anna selama beberapa hari, wanita itu akhirnya menyerah.Bersamaan dengan itu, Nalen juga dirawat di ruang ICU. Suaminya masih belum bangun hingga detik ini setelah menjalani oprasi."Ayo kita pulang. Anna sudah tenang di alam sana bersama Brian," ujar Maira sambil menuntun Safiyya menjauh dari pemakaman.Safiyya tak banyak bicara, sejak semua kejadian itu ia me

  • Misteri Di Balik Pernikahan Safiyya   Pengorbanan

    Safiyya terbangun subuh hari karena suara putrinya yang memanggil. Gadis kecil itu naik ke kasur empuk dimana di sana ada ibunya yang masih terlelap."Bunda, Papa pergi." Tiba-tiba Nafis berkata seperti itu sambil mengguncang tubuh Safiyya. Mendengar ucapan putri nya, Safiyya reflek bangun, ia mendapati tempat tidur di sampingnya sudah kosong. Wanita itu menundukkan kepala karena sedih. Firasatnya ternyata benar, Nalen pergi setelah mengucap salam perpisahan padanya semalam."Permisi, Bu."Bu Anni menginterupsi obrolan Safiyya dan putrinya, lalu masuk ke kamar. "Ada apa, Bu Ani?" tanya Safiyya dengan nada lemah, wajahnya terlihat pucat dan sembab karena terus menangis sejak malam tadi."Pak Nalen semalam menitipkan ini pada saya. Dia bilang maaf karena pergi dengan cara diam-diam. Beliau nggak mau melihat Ibu sedih dan menangis lagi." Bu Ani lalu menyodorkan sebuah surat pada Safiyya."Ibu tolong bawa Nafis keluar dulu, ya."Bu Ani pun mengangguk lalu membawa gadis kecil itu keluar ka

  • Misteri Di Balik Pernikahan Safiyya   Ancaman Pembunuhan

    Seperti rencana kemarin, hari ini Nalen dan keluarga kecilnya berangkat lebih dulu ke Bali. Ia berusaha melakukan yang terbaik untuk melindungi keluarganya. Bukan tanpa alasan mengapa Nalen merasa khawatir dengan belum tertangkapnya Brian.Mark mengatakan pada Nalen beberapa minggu lalu, bahwa Brian pernah memiliki catatan buruk masalah kesehatan mental yang dia derita. Laki-laki itu meski lahir dari keluarga kaya, tapi keluarganya terlalu misterius untuk ditelusuri. Kemungkinan alasan Brian tinggal bersama neneknya di Australia, adalah karena latar belakang keluarganya.Mark hanya bisa membantu Nalen untuk menyelidiki sebatas itu. Dia bilang terlalu berisoko menelusuri lebih jauh keluarga Brian. Sebab Brian sudah lama memilih tinggal terpisah dengan keluarganya yang kaya dengan alasan penyembuhan. Neneknya lah yang mengasuh Brian sejak dia duduk di bangku sekolah menengah.Kenyataan itu semakin membuat Nalen ketakutan setiap hari. Terlebih ia pernah memiliki masalah dengan laki-laki

  • Misteri Di Balik Pernikahan Safiyya   Bahaya Yang Lebih Besar Mengancam

    Safiyya menatap kondisi Anna dari jendela kaca besar di sebuah kamar rumah sakit. Wanita itu masih terbaring lemah di ruang ICU setelah dua hari ini dirawat. Safiyya kembali mengingat perkataan dokter yang menangani Anna waktu itu. Sebuah kalimat yang membuat hatinya seakan ikut tersayat."Wanita ini telah mengalami pemerkosaan yang sangat parah. Sekujur tubuhnya mengalami luka memar akibat pukulan yang sangat keras. Organ vitalnya pun telah dihancurkan dengan cara paling tak manusiawi. Saya tak yakin dia akan sadar dalam waktu dekat setelah siksaan yang ia terima. Beruntung dia masih kuat pergi jauh ke rumah Anda untuk meminta pertolongan. Jiak tidak saya tak yakin dia mampu bertahan dalam waktu tiga hari saja dengan kondisinya yang seperti ini."Dada Safiyya sesak membayangkan apa yang menimpanya dulu harus dialami pula oleh Anna. Meski Anna begitu jahat padanya, tapi hati nuraninya sebagai sesama wanita yang pernah mengalami nasib tragis itu, benar-benar ikut merasa sakit. Butuh wa

  • Misteri Di Balik Pernikahan Safiyya   Pembalasan Tuhan

    Anna membanting pintu dengan keras begitu ia masuk ke dalam rumah. Tatapan matanya menyiratkan kebencian dan amarah. "Hah, Brengsek! Bisa-bisanya mereka mentertawakan aku seperti tadi. Awas saja kalian, tunggu pembalasanku." Napas Anna naik turun karena teriakan itu. Bukan saja marah karena lelucon sahabat Safiyya. Ia juga marah karena wanita itu akhirnya mengandung anak Nalen. Jika sudah begitu semuanya akan semakin sulit."HAAAAAH!" Terlalu kuat teriakan itu hingga membuat nafas Anna kembali naik turun. Merasa sudah tak sanggup lagi menghadapi kesedihan dan rasa putus asa, Anna jatuh terduduk lalu suara tangisnya mulai terdengar memenuhi rumah itu.Haruskah ia menyerah sekarang atau berjuang hingga titik darah penghabisan? Kenapa cinta Nalen begitu sulit untuk digapai? Mengapa perjuangannya tak pernah sedikitpun dilihat olehnya? Memikirkan semua itu, mata Anna tiba-tiba menggelap karena dendam. "Jika aku tak bisa memilikimu, maka kamu tak akan bisa menjadi milik orang lain," ujarnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status