Share

Nalendra Zavier Akhtar

Seorang laki-laki tampak tengah bersantai di sebuah kursi panjang dekat kolam renang. Menikmati deburan ombak yang tampak dari hotel tempat dia menghabiskan malam. Sesekali laki-laki itu menenggak wain dalam gelas. Tubuh kekarnya yang bertelanjang dada membuat para wanita di sekitar tak berkedip menatap. Ditambah kacamata hitam yang membingkai wajah tegasnya, semakin menambah kesan maskulin.

Beberapa saat kemudian ponsel di sampingnya bergetar. Tertera nama 'Tuan Aidan yaang terhormat' di layar. Dengan enggan Nalendra mengangkat panggilan itu.

"Kapan kamu ke Yogya? Sahabat Papa sudah menunggu kamu di sana."

Nalen menarik napas kasar mendengar ucapan di seberang. "Aku sudah bilang pada Papa, kalau nggak sudi dijodohkan. Papa tahu aku nggak suka terikat."

"Papa nggak mau tahu, sekarang juga kamu ke Yogya. Mau sampai kapan kamu keluyuran nggak jelas seperti itu demi hobi kamu! Umurmu sudah lebih dari cukup untuk berkeluarga, dan lagi Papa butuh bantuan untuk mengurus perusahaan." Aidan terdengar marah. Nada bicaranya sedikit meninggi.

Nalen memutar mata jengah. Lagi-lagi masalah itu yang dibahas. Muak sekali rasanya.

"Tapi, Pa-"

"Kalau kamu nggak pulang, jangan harap Papa bersedia menyuntikkan dana lagi untuk Caffe kamu yang di Bali itu," Potong Aidan tegas.

Nalen tak bisa berkata-kata lagi jika papanya sudah menyinggung soal usaha cafe miliknya di Bali. Cafe tersebut memang tak seberapa besar. Tapi, bagi Nalen Caffe itu menyimpan banyak kenangannya tentang mama.

Seperti biasa, sambungan diputus sepihak. Aidan Akhtar, ayahnya. Adalah ayah paling egois. Dia benci sekali laki-laki itu lebih dari apa pun di dunia ini. Satu-satunya hal yang membuat Nalen bertahan dan terus menurut adalah Caffe kecil di pinggir danau itu. Sebab jika Nalen berani melawan perintah papa, semua yang dia miliki pasti akan berakhir dihancurkan. Bagi Aidan, hanya perlu menjentikan jari untuk menghancurkan Cafe itu. Sifat berkuasa Aidan memicu Nalen untuk jadi pemberontak. Terlebih setelah sang ayah membuat gadis itu pergi dari pengawasannya.

"Brengsek!" Nalen melempar gelas di meja kuat-kuat. Dentingan gelas pecah itu menimbulkan perhatian beberapa orang di sana.

"Sampai mati pun aku nggak akan sudi menuruit kemauannya." Nalen bergegas kembali ke kamarnya setelah meluapkan emosi.

Setelah membersihkan diri dia menjatuhkan tubuh ke ranjang. Baru saja matanya hendak terpejam, sebuah notifikasi pesan terdengar, dengan enggan Nalen meraih benda persegi di atas nakas.

"Nomor nggak dikenal?" gumamnya. Lalu memilih duduk di tepi ranjang.

0837 xxxx xxxx

Assalamualaikum, Maaf mengganggu. Saya Maira, anaknya Om Hisam. Kata Om Aidan kamu mengajak saya ketemu di benteng vredeburg? Sebenarnya saya malas ketemu kamu. Tapi demi persahabatan Papa sama Om, saya bersedia. Nanti saya kirim foto saya.

Nalen mendengkus membaca deretan huruf yang dikirim wanita bernama Maira.

"Percaya diri sekali dia." Nalen pun melempar ponselnya ke atas kasur tanpa berniat membalas. Dia memilih kembali menjatuhkan tubuhnya. Tapi, suara notifikasi pesan kembali terdengar.

Awalnya Nalen tak berniat membuka nya. Tapi jika dipikir-pikir dia belum pernah melihat Maira. Dulu sekali dia memang pernah bertemu wanita yang akan dijodohkan dengannya, ketika usia mereka masih kecil. Dihinggapi rasa penasaran, Nalen akhirnya membuka pesan yang Maira kirim.

Begitu di dalam layar memperlihatkan gambar seorang wanita yang tampak tak asing, tubuhnya kembali duduk dengan tegak. Dia berusaha menajamkan pengelihatan. Wanita di dalam foto memang mengenakan hijab. Tapi, Nalen tak akan pernah melupakan wajahnya. Wajah yang hampir setiap hari muncul dalam mimpi. Menghantuinya dalam bayang-bayang rasa bersalah. Rupanya, Takdir Tuhan benar ada. Penantian dan doanya ternyata dijawab Tuhan. Walau harus bersusah payah dan pergi ke penjuru negeri ini, Nalen tak pernah menyesalinya.

"Dia," gumam Nalen. Tanpa membuang waktu laki-laki bermata tajam itu langsung mendial nomor seseorang.

"Ali, tolong pesankan tiket pesawat untuk ke Yogya hari ini juga," perintah Nalen pada asisten ayahnya. Dia lantas bergegas membereskan semua barang. Dengan perasaan membuncah dia memanjatkan harapan tak berkesudahan, agar kali ini kehadirannya tak terlambat. Ia harap hidup gadis itu sudah berubah lebih baik meski tanpanya.

***

Safiyya menatap dirinya di dalam cermin. Gamis bermotif bunga dengan hijab pink yang dia kenakan, semakin membuatnya tampak cantik. Beberapa kali terdengar notifikasi pesan masuk dari ponsel yang diletakkan di atas nakas. Dibacanya seksama barisan pesan yang dikirim oleh Maira.

Maira Firdaus

Saf, jangan sampai lupa. Laki-laki itu pakai kemeja denim dengan topi warna hitam. Dia bawa kamera di tangannya. Kata Papa tingginya kira-kira seratus delapan puluh lima centi. Lebih tinggi dari orang Indonesia kebanyakan pokoknya. Nih, nomernya kalau kamu bingung nyari. 0812 xxx xxx aku udah kirim foto kamu kemarin. Ingat, tugas kamu bikin dia ilfil biar bisa batalin perjodohan ini. Jadi, kamu nggak perlu berubah jadi sok jaim. Cukup jadi Safiyya yang urakan dan blak-blakan kek biasa. Bila perlu bikin dia nek sama kelakuan kamu.

Safiyya mendengus membaca pesan itu. "Dipikir mau seleksi kerja kali, sampai nyebutin tinggi badan. Apa-apaan juga coba, pake kasih foto aku sembarangan. Kalau disantet gimana? Dasar," grutu Safiyya kesal. Sudah sejak semalam Maira tak hentinya merecoki wanita itu dengan pesan-pesannya. Jika bukan karena persahabatan mereka, ia benar-benar tak sudi melakukan ini semua.

Iya bawel!

Setelah membalas pesan Maira, Safiyya menyambar tas hitamnya di atas kursi, bergegas tanpa membuang waktu. Begitu ke luar, Halimah dan Gibran tengah sibuk membungkus keripik ubi yang nantinya akan disetor ke warung-warung.

"Loh, tumben, Fi. Hari libur kamu pergi?" tanya Halimah.

"Fiyya ada urusan sebentar, Bu. Assalamualaikum," Setelah mencium punggung tangan Halimah, Safiyya benar-benar pergi.

Dari rumah Safiyya ke benteng Vredeburg hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit. Wanita itu memilih berkeliling benteng sejenak, menikmati liburan yang membuat perasaannya jauh lebih baik. Mengingat dirinya jarang sekali hang out, bahkan di akhir pekan sekali pun. Biasanya Safiyya lebih sering menghabiskan waktu untuk latihan menyanyi. Saat hari libur nasional seperti ini, benteng Vredeburg selalu ramai dengan turis-turis yang datang.

Museum Benteng Vredeburg merupakan salah satu museum yang terkenal di Yogya. Banyak wisatawan dari luar kota maupun turis asing yang berkunjung ke sini, begitu menginjakkan kaki di pintu masuk, langsung disambut halaman utama museum yang luas, bersih, dan asri. Tampak beberapa patung dan replika meriam yang menghiasi, juga bangku batu panjang untuk beristirahat.

Safiyya menyapu pandangan berusaha mencari sosok yang Maira maksud. Tapi, sepertinya sedikit sulit mengingat hari ini cukup ramai orang berlalu-lalang.

"Orang berkemeja denim 'kan, banyak, gimana cara nemuin dia coba," gumam Safiyya kebingungan. Kepalanya terus dia gerakkan untuk memindai semua orang. Hingga sebuah tepukan lembut terasa di bahunya.

Begitu memutar tubuh, Safiyya terpaku. Di hadapannya sekarang berdiri seorang laki-laki berwajah indo. Tubuh tingginya membuat Safiyya harus mendongkak untuk bisa menatap wajah itu dengan jelas. Sinar matahari yang mengintip dari balik siluetnya, seolah semakin memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Tampan, sangat-sangat tampan. Bahkan meski rambut dan penampilannya sedikit berantakan. Kemeja denim kusut yang dilapisi kaos hitam itu tak mengurangi karismanya. Meski berwajah indo, kulit kecoklatannya menandakan laki-laki ini adalah penggila traveling. Safiyya bahkan sampai ternganga. Dia tak habis pikir kenapa Maira menolak laki-laki sesempurna ini. Pikir wanita itu.

Tapi, ada sesuatu yang aneh dalam tatapan mata tajamnya. Tatapan itu entah mengapa terlihat begitu sendu. Seolah tengah menahan rindu dan rasa sakit. Ah, apa yang aku pikirkan. Mana mungkin begitu? Batin Safiyya terus menerka.

"Hei, kenapa bengong?" Suara serak dan dalam itu membuyarkan angan Safiyya. Wanita itu otomatis mengerjapkan mata. Seolah mengakhiri imajinasinya tentang laki-laki bernetra coklat madu yang berdiri menjulang di depannya. Safiyya hanya sebatas dada Nalen.

"Saya Nalendra. Kamu Maira, kan? Panggil saja saya Nalen. Senang bisa bertemu kamu lagi." Nalen mengulurkan tangannya ke arah Safiyya.

"Hah?"

"Ah, maksud Saya, senang bisa bertemu kamu." Nalen merakat ucapannya yang terdengar sok akrab.

"I-iya saya Sa ... ah, Maira. Maira Firdaus. Senang bertemu Anda," ucap Safiyya membalas uluran tangan Nalen. Hampir saja dia juga keceplosan dan mengenalkan dirinya sebagai Safiyya.

Nalen tersenyum samar melihat kegugupan Safiyya. Walau dia tahu wanita di depannya bukalah Maira, Nalen akan tetap berpura-pura tak tahu agar Safiyya tak lari dari nya. "Jangan bicara seformal itu. Santai saja, ayo kita masuk."

Ajakan Nalen hanya dijawab anggukan samar Safiyya. Dengan gugup dia berjalan di samping laki-laki itu. Baru kali ini Safiyya merasakan jantungnya berdegup sangat kencang karena laki-laki.

Memasuki ruang Diorama satu, mereka langsung disuguhi kisah mengenai Perang Diponegoro dan juga berisi kisah pembentukan organisasi-organisasi perjuangan seperti Budi Utomo, Muhammadiyah, dan Jong Java.

"Kata Papa kamu suka wisata sejarah," ucap Nalen memulai percakapan. Safiyya hanya menanggapi ucapan Nalen dengan anggukan kaku. Sejak kapan aku suka wisata sejarah. Ke tempat ini aja jarang. grutu Safiyya dalam hati. Hening lagi setelah itu. Baik Safiyya atau Nalen tak ada yang berniat membuka percakapan lagi.

Setelah itu mereka berpindah lagi ke Diorama 2, Diorama di gedung kedua ini menggambarkan bagaimana perjuangan rakyat Indonesia, khususnya di Yogyakarta, dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih. Ada juga diorama saat pejuang Indonesia melucuti para tentara Jepang, hingga kedatangan Soekarno dan tokoh besar lainnya ketika hijrah ke Yogya.Tidak hanya itu, Diorama 2 juga membahas proses pendirian Universitas Gadjah Mada.

"Pria membosankan," gumam Safiyya. Bersama laki-laki ini sehari saja sudah terasa benda mati. Apa lagi seumur hidup. Sepertinya Safiyya harus meralat kekagumannya pada laki-laki ini. Nalen memang tampan, tapi terlalu cuek. Wanita mana yang akan tahan. Bagaimana caranya membuat laki-laki ini ilfil? Sementara menatapnya pun enggan.

"Kamu bilang apa?" tanya Nalen tanpa mengalihkan perhatiannya pada diorama.

"Ah, nggak Pa-pa."

"Aku ini manusia, bukan patung. Kalau dia mau sibuk dengan kamera itu silahkan aja. Mending keliling benteng sendirian," gumam Safiyya nyaris seperti bisikan. Wanita itu memutuskan pergi begitu saja tanpa pamit pada Nalen.

Dia memilih memasuki ruang audio visual di mana di sana ada sebuah bioskop yang khusus memutar film-film perjuangan.

"Cukup menyenangkan," gumam Safiyya. Ketika film telah diputar setengah jalan, seseorang duduk di dekatnya. Wanita itu sedikit keget saat tahu orang tersebut adalah Nalen.

"Kenapa nggak bilang mau nonton ini?" Safiyya hanya diam. Dia tak memiliki niat untuk membalas pertanyaan itu. Bahkan hingga film selesai diputar tak ada dari mereka yang bersuara.

Safiyya melangkah ke luar lebih dulu dari dalam bioskop, berjalan dengan cepat seolah enggan bersama Nalen.

"Aku bisa gila lama-lama bareng manusia kutub kayak dia. Nggak ada bedanya kencan atau bukan," gerutu Safiyya.

"Anda ngapain ngikutin saya. Saya mau pulang sendiri," ucap Safiyya kesal ketika Nalen terus menempel padanya.

"Biar saya antar."

Safiyya mendengus mendengar tawaran bernada datar itu. Tanpa mendengar persetujuan Nalen dia memilih pergi. Di luar, Safiyya melihat beberapa anak kecil yang tengah bermain game perang. Wanita itu tersenyum lebar dan menghampiri mereka. Bermain game adalah hal paling menyenangkan di sini.

Safiyya tak menyadari, bahwa dari kejauhan sepasang mata terus mengawasinya, dan sesekali mengarahkan jepretan kamera padanya saat wanita itu tertawa. Nalen menyunggingkan senyum samar saat melihat Safiyya terlihat bahagia.

"Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menemukanmu," gumam Nalen sembari menatap potret yang dia ambil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status