Kujatuhkan tubuh ini ke peraduan yang telah aku tinggalkan selama empat hari. Aroma ruangan yang sangat aku sukai dibandingkan ruang rawat inap. Kuhirup kuat-kuat udara di sekitar, begitu lega bisa kembali ke rumah ini.Setelah merasa kangen dengan kamar pribadi terobati, bergegas aku kembali bangkit dan menuju ke kamar mandi. Mengguyur tubuh dengan air dari shower membuat tubuh ini semakin segar. Tak lupa kutuang obat keramas ke kepala, menghilangkan aroma obat yang berasa menempel ke seluruh tubuh hingga kepala.Setelah puas memanjakan diri dengan guyuran air, segera kuraih handuk dan menutupkan ke sebagian tubuh. Baru saja kaki ini hendak melangkah keluar kamar mandi, tampak seorang gadis yang tak ingin kulihat bayangannya justru tengah berdiri dekat meja di sisi ranjang. Sontak aku terkejut.“Heh, gadis kampung! Ngapain kamu di sini?” bentakku tanpa basa-basi lagi.“Ini, Mas. Bik Atin menyuruh aku bawain makanan untuk Mas Darren.”“Ngapain juga Bik Atin nyuruh cewek aneh ini!” ger
Hari demi hari kulalui tanpa mendengar suara Meisya di rumah ini. Ada sesuatu yang hilang dalam kepingan hati, entah apa aku masih belum mengerti.Hanya saja ada rasa rindu yang terselip dan menurutku cukup aneh. Kerinduan ini seakan pernah kurasakan sebelumnya, perasaan yang hadir pun seakan pernah tumbuh dan begitu kuat.Tapi kapan semua itu pernah hadir? Semua serasa dejavu, namun memiliki kekuatan untuk menganggu alam bawah sadarku.Kesepian yang aku rasa sedikit terobati saat hari Sabtu dan Minggu dengan kehadiran Miss Lena yang masih bersedia membimbingku hingga ujian sekolah nanti. Rencana untuk menjadikan Miss Lena sebagai pacar seakan telah menguar. Pikiran ini justru sudah tak menghiraukan apa pun selain pelajaran sekolah.Sikap Alea yang masih cari perhatian hanya kutanggapi dengan sikap dingin dan acuh. Beberapa slentingan terdengar di telinga, mereka mengatakan jika seorang Darren telah berubah menjadi manusia kutub yang sangat dingin.Saat berpapasan dengan Meisya, baik
“Mas Darren, kita mau ke mall? Dengan pakaian aku yang seperti ini?” tanya Meisya dengan mata membeliak.Ia menatapku tak percaya yang nekad membawa dirinya ke mall dengan pakaian seperti itu. Tampak ia menahan malu ketika tahu mobil benar-benar memasuki area parkir sebuah mall besar di kota ini.Tak kuhiraukan ucapan dia, bahkan rasa panik yang menghinggap dirinya pun sengaja kuabaikan. Aku memilih fokus mencari tempat parkir yang sekiranya dekat dengan kamar mandi.“Kamu di sini dulu, ingat … jangan keluar dari mobil sebelum aku datang!” perintahku sebelum keluar dari mobil.“Mas Darren mau ke mana? Kok, aku ditinggal sendiri?”Aku tutup pintu mobil tanpa ingin menjawab pertanyaan Meisya yang masih kebingungan dengan sikapku. Bergegas aku memasuki mall dan mencari lorong bagian pakaian perempuan.Bola manikku tertuju pada sebuah gaun cantik berwarna merah, sepertinya itu gaun cocok di badan Meisya.Entah kekuatan apa yang menarikku untuk mendekati gaun tersebut kemudian meraihnya. Ki
“Sudah selesai, Mas. Terus ini aku nggak sisiran, gitu?” tanya Meisya sembari duduk, kemudiah meraih bedak dan lipbalm yang ia letakkan di dashboard. Dengan enggan kuraih laci dashboard dan mengambil sisir milikku. “Nih, dipakai. Tapi nanti sampai di rumah harus segera kamu cuci yang bersih!”“Emang kenapa, Mas? ‘Kan, aku baru saja keramas, nih masih bau wangi.” Dengan sengaja ia mendekatkan kepalanya k earah wajahku.“Apaan, sih, kamu? Bisa cepet nggak? Capek nungguin kamu. Mandinya lama, dandan aja juga lama. Lama-lama tumbuh jamur di kepala gegara kelamaan nungguin kamu!”“Hahaha … Mas Darren ini bisa aja. Masa jamur tumbuh di kepala, yang ada jamur itu tumbuh di batang kayu yang udah lama.”“Terserah!” jawabku ketus sembari membuang pandangan keluar mobil.“Eh, Mas. Tahu nggak waktu yang dibutuhkan jamur untuk tumbuh setinggi pohon manga?” tetiba ia melontarkan pertanyaan seraya tangannya memegang lengan atasku, wajahnya tampak serius.Pertanyaan aneh, mana ada jamur tumbuh setin
Kubiarkan ia memungut kembali sandal miliknya, kemudian memasukkan ke dalam kardus dan berlari kembali ke kasir untuk meminta kantong plastik. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, ia bergegas menghampiriku lagi.Akhirnya langkah ini bisa menuju ke tempat yang menjadi tujuan awal, bagian dari mall yang memberikan banyak keseruan. Sudah tentu ke wahana permainan yang akan menyita waktu tanpa terasa.Riuh suara manusia saling berlomba, mereka heboh dengan permainan yang tengah mereka mainkan terdengar ke seluruh penjuru area permainan saat langkah ini mulai memasuki bagian mall yang paling seru itu.Sudah pasti wajah-wajah mereka dipenuhi dengan keceriaan yang mungkin hanya sesaat mereka rasakan, menghilangkan penat setelah lelah beraktivitas hampir satu pekan. Meski setelah permaianan selesai mereka akan dihadapkan kembali pada rutinitas.Suara anak-anak mendominasi kehebohan di wahana permainan yang beraneka macam. Sedangkan aku yang paling menyukai game dance lebih memilih Pump I
“Mas Darren,” panggil Meisya yang membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya.“Apa?”“Ocean blue itu samudera biru, ‘kan?”“Iya. Emang kenapa?”“Squash itu jenis sirup jeruk, ya?”“Iya!” jawabku sedikit kesal karena ia melontarkan pertanyaan yang tak bermutu.“Terus itu tadi Mas Darren pesen minuman osean blue squash?”“Iya! Kamu itu mau ngomong apa, sih, sebenernya? Bikin emosi aja dari tadi.” Nada suaraku langsung naik ke oktaf atas.“Nggak jadi! Orang aku cuma mau nanya kenapa pesen air laut yang dikasih sirup, gitu aja udah marah duluan. Kalau cuma air laut kasih sirup, ngapain coba bayar mahal?” ungkapnya dengan ekspresi polosnya.Ya Tuhan … harus aku apakan gadis di hadapanku ini? Geram rasanya mendengar celotehan dia yang sangat tak bermanfaat itu. Kenapa sampai bisa ada gadis yang seaneh dirinya? Nama saja keren, Meisya, tapi kelakuan teramat ndeso.“Meisya Anindya Ningrum, Mas.”Mulutku ternganga. Kenapa bisa lupa jika ia bisa mendengar suara hatiku. “Iya, Meisya Anindya Ning
Tak sabar dengan sikapnya, kutarik bahunya agar menghadap ke arahku. “Mau kamu apa? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?”Ia hanya mendelik ke arahku, wajahnya berubah masam. Tanpa menghiraukan ekspresi wajahku yang sudah memerah karena jengkel, ia kembali membalikkan badan ke arah pintu mobil.“Meisya!” kali ini aku membentaknya dengan sangat keras hingga ia terhenyak dan menutup telinga.“Apa, sih, Mas?”“Kamu kenapa abaikan aku?”“Katanya aku disuruh diem? Giliran aku diem malah marah-marah. Mas Darren maunya apa?” kali ini ucapan dia agak sinis, baru kali ini kulihat ia marah.“Ya, maksud aku, tuh … kamu tolong jangan banyak protes. Bicara yang kiranya penting aja.”“Oh, jadi mengingatkan Mas Darren agar nggak boros itu hal nggak penting? Aku mengingatkan karena aku pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan, Mas.” Wajah Meisya berubah sedih, ia menunduk dan memainkan jemarinya seakan ada pengalaman pahit yang tengah muncul dalam ingatannya.“Hal yang tidak menyenangkan? Maksud k
Tampak dua tebing tinggi berjajar, kemudian di sisi lain adalah spot tebing yang digunakan untuk melihat pemandangan di sekitar dua tebing yang berjajar tersebut. Perbukitan panjang membentang menambah keasrian destinasi wisata tersebuut.Sungguh tak kuduga, tempat itulah yang ada dalam mimpi dan sama persis. Apa ini sebuah kebetulan? Rasanya tak mungkin karena mana ada sebuah bunga tidur bisa menjadi sebuah kenyataan.Satu persatu mimpi yang hadir dalam lelapku berubah menjadi hal yang nyata. Meisya, gadis yang hadir dalam mimpi juga menjadi bukti pertama bahwa semua bayangan itu bukan sekedar bunga tidur.Perlahan genggamanku melemah hingga ponsel terjatuh. Tubuhku lunglai, serasa seluruh tulang melunak. Kusandarkan tubuh ke sandaran jok, pandangan pun seketika nanar. Meski kali ini tak kurasakan sakit pada kepala, namun keseimbangan otak mulai oleng.“Mas Darren kenapa? Mas ….” Meisya menggoyangkan lenganku dengan panik, mungkin ia lihat wajahku yang tetiba pucat pasi.Aku tak mere