Share

Teror

Author: Rahmaniar
last update Last Updated: 2024-05-18 20:45:52

Penglihatanku menyapu seisi ruangan, sebuah ruangan dengan pencahayaan remang. Bau anyir bercampur bau bangkai menusuk indra penciumanku, refleks aku menutup hidung.

"Di mana aku?"

Langkahku terasa begitu ringan, sakit di bagian telapak kaki pun sudah tidak terasa. Aku berjalan pelan untuk mencari asal bau yang menyengat itu.

"Tolong..." lirih sebuah suara.

Sontak aku memutar arah, mencari sumber suara wanita yang kudengar tadi.

"Tolong kami... bebaskan kami..." rintih suara yang lainnya, dan itu terdengar ramai.

"Siapa kalian?" suaraku menggema dalam ruangan pengap itu.

"Bebaskan kami... bebaskan kami..." berulang-ulang suara tersebut mengatakan hal yang sama. Namun, di mana sumbernya?

"Dia munafik!!!"

kali ini, suara yang tidak bersumber itu menggertak keras, lalu disusul oleh tangisan pilu dan erangan-erangan yang meyayat hati.

Bersamaan dengan itu, netraku menangkap beberapa sosok tubuh yang bersandar di dinding, tapi dalam posisi melayang.

Sekali lagi dengan jelas aku melihat beberapa wanita tergantung berjejeran, tubuh mereka berdempetan pada dinding ruangan seluas 3x3 meter, mereka semua telanjang bulat dengan batang leher yang terjerat tali rafia usang.

Aku ketakutan seraya membekap mulut, tubuh-tubuh wanita itu sudah membusuk, bahkan ada pula yang sudah menjadi kerangka.

Tiba-tiba, sebuah tali rafia yang berasal dari atas plafon jatuh dan menjerat leherku. Tau dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun kakiku semakin sulit untuk menyentuh lantai.

Jeratan tali rafia ini benar-benar kuat. Leherku sakit dan Aku kesulitan untuk bernapas, sementara lidahku tidak berhenti mengucapkan kalimat tauhid dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki.

"Laa ilaha illallah, laa ilaha illallah, laa ilaha illallah!"

Aku terbangun, itu hanya mimpi, tapi lidahku masih bergerak melafalkan tahlil. Napasku ngos-ngosan dengan tubuh bersimbah peluh, mimpi itu serasa begitu nyata.

Air mata keluar begitu saja, aku pun menangis. Jiwaku terguncang dan aku masih syok membayangkan mimpi buruk tadi. Bagaimana tidak? Hampir saja aku sekarat karena digantung.

"Astagfirullah ya Allah..." kucoba menstabilkan napas seraya menghubungkan mimpi buruk tadi dengan apa yang kualami di dunia nyata.

"Mengapa mereka digantung hingga sebegitunya, siapa yang munafik?"

"Apa mimpi ini ada hubungannya dengan kematian almarhumah gadis itu ya..."

sekali lagi otakku berusaha mengingat-ingat mimpi tadi.

Jam menunjukkan pukul 2 dini hari, karena kebelet aku pun keluar dari kamar. Di rumah kami hanya memiliki satu kamar mandi tepatnya di dapur.

Setelah menyelesaikan hajat, aku hendak mengambil minum, tapi urung. Sebuah pemandangan mencurigakan yang kulihat melalui kaca jendela dapur menyita perhatianku. Lampu dapur memang tidak pernah dimatikan pada malam hari, supaya aku atau pun Malik tidak takut untuk ke kamar mandi sendirian.

Seorang pria tua tampak jelalatan mengintipi jendela kamar rumah Bu Limah. Ya, dapurku berhadapan langsung dengan halaman depan rumah Bu Limah, hanya saja dipisahkan oleh lorong kecil.

"Siapa orang itu, jika maling, kenapa tidak mengenakan pakaian sama sekali," gumamku.

Tidak hanya mengintip, pria aneh itu juga menaburi sesuatu di sekeliling rumah Bu Limah.

Awalnya aku hendak memanggil ayah untuk melihat sekaligus memeriksa, mungkin saja maling, karena Bu Limah janda yang tinggal seorang diri. Namun, dari cahaya lampu teras rumahnya, dengan jelas aku bisa melihat wajah pria tua itu.

Tubuhku terpaku di tempat, sorot mataku terkunci pada pria tua yang kini sudah mengenakan kain hitam selutut tersebut.

"Kek Qasim..." gumamku, sekali lagi kupertajam indra penglihatanku, memang benar pria itu adalah Kek Qasim, tidak salah lagi.

Aku benar-benar kaget sekaligus tak habis pikir dengan apa yang diperbuat Kek Qasim, sementara dia sendiri adalah sepuh teladan yang paling dihormati, sosoknya yang agamis tidak hanya dikenal di desa kami, tapi juga di desa-desa lain yang ada di wilayah ini.

"Apa Kek Qasim menganut ilmu hitam?"

"Sya... ngapain tengah malam ngintip-ngintip gitu?" tanya Bunda yang tiba-tiba muncul di ambang pintu dapur, benar-benar mengagetkan aku.

"Bunda... ssshhttt...!" aku mengisyaratkannya untuk tidak bersuara.

Segera kutuntun Bunda untuk melihat apa yang kulihat tadi. Tapi sayang, Kek Qasim sudah tidak di sana lagi.

"Kenapa sih, Sya?" tanya Bunda heran seraya celingukan memandang ke arah yang kutuju tadi.

Segera kujelaskan apa yang kulihat tadi, Bunda akhirnya menekan saklar lampu yang ada di halaman belakang.

"Nah... ngga ada apa-apa juga, kamu salah liat kali..."

"Ngga Bun, tadi memang Kek Qasim," aku berusaha meyakinkannya.

"Ngga mungkin Kek Qasim pake ilmu hitam, Bunda sering ikut pengajian sama beliau, ngga boleh suuzan gitu," balas Bunda, tak ada pilihan lain, aku pun mengalah.

"Baiknya tahajud dulu, Sya. Jangan pikir yang nggak-nggak. Boleh jadi itu Mbah Kur kali," lanjut Bunda.

"Apa Bunda udah terpengaruh sama penduduk desa, menganggap Mbah Kur gila," pungkasku.

"Boleh jadi kan, terkadang orang yang telah mengalami trauma berat bisa saja melakukan hal-hal aneh. Intinya waspada aja, kalau bertemu Mbah Kur lagi, lari," tambahnya lagi.

"Yelah yelah, Bun," sedikit kesal karena Bunda tidak mempercayaiku.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Lagi-Lagi Mayat Tak Dikenal

    Aku berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri jalan setapak yang biasa digunakan warga menuju ke sawah, kebun atau ladangnya. Aku keluar dari rumah setelah mendengar kabar dari penduduk desa, bahwa ada sesosok mayat gadis tak dikenal mengapung di sungai. Lokasinya sekitar 100 meter dari rumahku. Cuaca mendung dengan kabut yang mulai turun, aku tidak peduli! Gerimis halus menemani setiap langkahku di sore itu, dari jauh kulihat banyak warga yang sudah memadati lokasi itu. Jalanan selebar 1 meter yang dihiasi oleh semak-semak di pinggirnya akhirnya berhasil kulalui. "Untung aja Ayah Bunda ngga di rumah," gumamku merasa bebas karena orang tuaku serta Malik belum kembali dari pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Sambil berlari kecil aku pun mendekati kerumunan warga yang berdiri di atas jembatan. "Syukurlah... aku tiba tepat sebelum mayatnya diangkat," aku merasa lega. Tampak beberapa mahasiswa KKN membantu proses evakuasi dan seperti biasa, penduduk desa tidak mau melibatkan poli

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Bekerja Sama

    "Bang Fata..." aku terperangah heran, sementara Salwa sendiri terpaku dengan raut wajah penuh kekaguman. Wajah tampan penuh pesona itu tampak sempurna ketika tersentuh cahaya mentari pagi. "Setan Louis Sya, ayo kabur!" Salwa panik seraya menarik-narik lenganku. Sepertinya Salwa sadar bahwa pria berkarisma itu adalah pria asing. "Psikopat... Mamak..." Salwa ketakutan seraya bersembunyi di belakang tubuh mungilku. "Itu Bang Fata Sal, aku mengenalinya. Dia adalah salah satu mahasiswa yang mau KKN di desa kita, jangan takut," aku berbisik tenang, sementara Bang Fata mulai memangkas jarak. "Cantik-cantik, kok lesbi," ucap Fata dengan ekspresi datar dan terkesan dingin, sikapnya berbanding terbalik dengan saat pertama kali kami bertemu. Fata hendak melewati kami begitu saja, seketika aku mencegatnya. Fata akhirnya menghentikan langkah tepat di sampingku. Sorot wajah tegasnya itu tampak dingin dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. "Bang Fata salah paham, ini tidak seperti ya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Aku Tidak Benar-Benar Sendirian

    Aku pulang dengan perasaan tidak karuan, membayangkan cara Kek Qasim mengobati Bu Limah tadi membuatku hampir muntah. "Sepertinya seluruh penduduk desa harus di ruqyah, termasuk Kek Qasim sendiri," gumamku seraya memasuki halaman rumah. Di depan rumah Pak RT, terlihat sebuah mobil yang sangat aku kenali, pantas saja Pak RT tidak terlihat tadi ternyata sedang ada tamu. Sebentar! "Jaket Bang Fata..." kutepuk jidat sendiri. Sontak aku berlari menuju kamarku, tergesa-gesa aku menyibak baju-baju yang kugantung di hanger, tapi tidak kutemui jua. Dari depan terdengar obrolan ayah dan Bunda, artinya mereka sudah pulang. Gegas aku menemui Bunda untuk menanyakan jaket itu. "Bun, Bunda liat jaket hitam yang di kamar Raisya, ngga?" tanyaku. "Jaaakett..." ucap Bunda sembari mengingat sesuatu. "Iya Bun, jaket kulit berwarna hitam,"aku tak sabar menunggu jawaban Bunda. Bisa gawat kalau Bunda tidak tahu, harus bayar pakai apa jaket mahal itu jika benar-benar hilang. Tiba-tiba Bund

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Kerasukan

    Tiap malam serasa panjang bagiku, setelah menutup mata, bayangan Hafizah yang minta tolong terus saja mengusik tidurku. Tidak hanya itu, wanita-wanita asing yang digantung berjejeran di dinding juga kerap hadir di dalam mimpi burukku, mereka seperti memberikan petunjuk bagiku, tapi kenapa mesti dalam wujud yang mengerikan dan bertubi-tubi, sampai-sampai aku tidak bisa beristirahat dengan tenang barang semalam saja. "Sya, kamu sakit?" tanya Bunda seraya menyentuh dahiku. Kuhentikan sarapanku. "Ngga papa Bun," jawabku lesu. "Ngga panas, kamu bergadang ya?" "Ngga juga," aku tidak bisa mengatakan pada Bunda apa yang kualami akhir-akhir ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir, bisa-bisa misiku gagal. Semenjak Hafizah menghilang, aku jadi sering mengalami mimpi buruk dan semakin lama, mimpi buruk yang sama itu semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan permasalahanku dengan Salwa, tidak nyaman berselisih, tapi di sisi lain aku merasa kecewa dengannya. Kulitku pucat d

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Berselisih

    "Malik mana, Sya?" tanya ayah yang tengah memanaskan motornya. "Masih di dalam, Yah. Lagi nyari krayon sama Bunda," jawabku seraya mencium punggung tangannya. "Itu kakimu kenapa?" Kuhentikan langkahku saat hendak mengambil sepeda untuk berangkat sekolah. "Keinjak duri kemarin, tapi udah dikeluarin durinya," terpaksa aku berbohong. "Raisya berangkat duluan, Yah," kupercepat langkah meskipun tertatih-tatih agar ayah tidak bertanya lebih banyak. Di sekolah, Salwa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, dialah yang selalu lebih dulu menungguku di depan laboratorium Kimia. "Apa Salwa absen ya, hari ini?" batinku cemas, takut juga terjadi sesuatu dengannya karena kejadian kemarin. Bel masuk telah berbunyi, Salwa tak kunjung datang. Aku pun memutuskan berjalan hendak memasuki kelas. "Syasyasya...! aku mengenali suara yang familiar itu, akhirnya aku merasa lega. "Aku pikir kamu ngga datang hari ini." "Ini semua... gara-gara calon suamimu!" jawab Salwa seraya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Teror

    Penglihatanku menyapu seisi ruangan, sebuah ruangan dengan pencahayaan remang. Bau anyir bercampur bau bangkai menusuk indra penciumanku, refleks aku menutup hidung. "Di mana aku?" Langkahku terasa begitu ringan, sakit di bagian telapak kaki pun sudah tidak terasa. Aku berjalan pelan untuk mencari asal bau yang menyengat itu. "Tolong..." lirih sebuah suara. Sontak aku memutar arah, mencari sumber suara wanita yang kudengar tadi. "Tolong kami... bebaskan kami..." rintih suara yang lainnya, dan itu terdengar ramai. "Siapa kalian?" suaraku menggema dalam ruangan pengap itu. "Bebaskan kami... bebaskan kami..." berulang-ulang suara tersebut mengatakan hal yang sama. Namun, di mana sumbernya? "Dia munafik!!!" kali ini, suara yang tidak bersumber itu menggertak keras, lalu disusul oleh tangisan pilu dan erangan-erangan yang meyayat hati. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap beberapa sosok tubuh yang bersandar di dinding, tapi dalam posisi melayang. Sekali lagi denga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status