Share

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan?

Diara memasukkan kembali buku harian Bulan ke dalam nakas. Glagah memintanya untuk segera makan. Karena sejak acara pemakaman Napta Diara belum memakan apa pun. Diara mengikuti Glagah menuju dapur. Lantai dua yang terdiri dari beberapa ruangan ini sangat besar bagi Diara yang biasa tinggal di flat kecil. Ada 4 kamar besar, ruang makan, dapur, bahkan ruang untuk bersantai. Saat dulu Napta ada Diara jarang naik ke lantai dua ini. Karena kegiatan Diara berpusat di lantai satu.

“Kita harus memastikan Gita mau bercerita nanti malam, tentang ketertarikannya terhadap lukisan Napta. Kalau yang ditulis Bulan itu benar,maka Gita tak tahu siapa Napta sebenarnya,” kata Glagah setelah mereka duduk di meja makan.

Diara mengangguk sambil menyuap nasi dan omelet yang Glagah buat.

“Makanlah, aku tidak sempat membeli bahan makanan, jadi hanya bisa memasak itu untuk hari ini,” kata Glagah.

“Ini sudah lebih dari cukup, terima kasih,” kata Diara.

“Tidak usah berterima kasih,” kata Glagah jengah.

Diara menghabiskan makanannya dan membereskan piring kotornya. Glagah sedang membuka laptopnya dan mencari artikel yang mungkin terlihat mencurigakan tentang Gita Sriwedari.

“Teh atau kopi?” tanya Diara.

“Kopi,” jawab Glagah.

Diara membuat dua cangkir kopi untuk mereka.

“Apa yang kamu temukan?” tanya Diara seraya menyesap cangkir kopinya.

Glagah memutar layar laptopnya menghadap Diara. Semua artikel hanya mengatakan bahwa Gita adalah anak emas yang pantas untuk menggantikan ayahnya mengurus bisnis. Disebutkan bahwa anak pertama Bintang Sriwedari hanyalah seniman yang tak tahu caranya berbisnis, di mana sekarang Bintang memilih untuk menetap di luar negeri. Diara ingat Bulan menulis kalau Bintang diusir oleh Gita ke luar negeri. Di artikel di sebutkan bahwa sang ayah memutuskan untuk menyerahkan tampuk kekuasaan pada Gita karena Bulan putri bungsunya menghilang. Padahal para pakar mengira Bulan yang akan menggantikan, karena Bulanlah yang paling menonjol dalam hal bisnis, semua wibawa dan tangan dingin Hardjo Sriwedari menurun pada Bulan. Tapi dengan hilangnya anak yang digadang-gadang akan membawa keberuntungan dalam kartel bisnis mereka, maka harapan satu-satunya hanya pada Gita.

“Apakah kamu merasa aneh sepertiku tentang penamaan mereka? Anak pertama Bintang, anak kedua Gita, sedang anak ketiga Bulan, bukankah aneh, seharusnya Bulan menjadi nama anak kedua kalau mereka ingin menamakan anak mereka berurutan dengan penamaan benda langit. Gita, sangat modern dan tidak cocok bersanding dengan nama keluarga mereka yang sangat Jawa,” papar Glagah membuat Diara berpikir, benar juga.

Lalu Glagah menekan artikel selanjutnya. Gita berada dalam kesulitan menghadapi taipan saingan yang lebih berpengalaman di dunia bisnis. Banyak proyek besar yang lolos dari tangan mereka, karena sepertinya Gita tidak bisa melihat peluangnya. Pada masa itu Hardjo yang sudah mengumumkan pengunduran dirinya kembali untuk memperbaiki keadaan, hingga kini sepertinya Gita hanyalah boneka dari sosok di belakangnya. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di acara sosialita, berpesta dan berpelesir ke penjuru dunia. Menghabiskan uang yang dihasilkan oleh bisnis ayahnya si meja judi.

“Wow, gaya hidup yang sangat mahal,” kata Diara sambil berdecak tak percaya.

“Ya begitulah,” Glagah menyesap kopinya.

“Bersiaplah, sudah jam 6 sore. Kenakan pakaian formal yang pantas untuk ini. Buat kesan yang membuat Gita tak menganggapmu remeh,” lanjut Glagah.

Diara berjalan menuju kamarnya. Baju formal, ah dia hanya memiliki beberapa gaun, itu pun karena dulu Napta membelikannya untuk ke pesta mendampingi Napta. Diara mematut dirinya di cermin. Sack dress berwarna merah dipadukannya dengan high heels hitam. Sepertinya dia harus membeli beberapa gaun dan sepatu lagi.

Glagah sudah siap di ruang tengah, memandang Diara dengan mata tak berkedip.

“Kenapa? Apa aku aneh?” tanya Diara.

“Ah, bukan, hanya saja kamu terlihat berbeda,”

“Ini namanya make up, mengubah manusia seketika menjadi bertopeng kepalsuan, memoles kesedihan menjadi senyuman, demi menampilkan yang terbaik,” kata Diara.

Mereka berdua mengendarai mobil Napta yang sekarang menjadi mobil Diara. Mercedes Benz keluaran terbaru, mobil listrik yang terkesan modern dan kokoh. Restoran yang mereka tuju berada di tengah kota. Restoran besar yang menyajikan makanan tradisional Jawa tapi dengan berandol harga bintang lima.

“Meja atas nama Gita Sriwedari,” kata Glagah kepada pelayan di pintu depan.

Seketika pelayan itu menghubungi temannya dan salah satu temannya keluar untuk membawa Diara dan Glagah ke ruangan tertutup di lantai dua ruangan ini.

“Nona Gita belum datang, silakan menunggu, sebentar lagi makanan akan segera disajikan,” kata pelayan itu lalu menutup pintu.

Diara mengedarkan pandang dan melihat interior ruangan yang luas ini ukiran kayu, meja dan kursi kayu yang berkesan tradisional memang menjadi ciri khas restoran ini. Diara hanya menggelengkan kepalanya membayangkan berapa harga seluruh bangunan ini.

“Apakah ini juga milik Hardjo Sriwedari?” tanya Diara.

“Iya, ini adalah restoran yang didirikan oleh Hardjo untuk istrinya, Nawang Wulan,” jawab Glagah.

Betapa besar cinta Hardjo hingga mendirikan restoran untuk istrinya yang memang dikenal suka memasak itu? Sayang Nawang Wulan meninggal karena sakit setelah restoran ini didirikan.

Gita datang bersama dengan datangnya makanan. Diara takjub dengan makanan yang datang, nasi uduk yang tersaji dengan sayur asem, ikan asin, sambal, dan lalapan. Es cao sebagai minumannya, dan agar-agar sebagai dessertnya. Diara berusaha terlihat biasa saja, makanan ini bahkan bisa didapatinya di kampung dengan harga yang sangat murah, di restoran ini harganya bisa 100 kali lipat.

“Silakan makan dulu, nanti kita bicarakan setelah mengisi perut,” kata Gita.

Glagah dan Diara memakan hidangan itu, soal rasa, memang rasanya sangat enak, pasti karena chef yang dipakai di sini adalah chef dengan keahlian yang sudah tak perlu diragukan lagi.

“Bagaimana? Makanan ini mengundang nostalgia akan kampung halaman kan?” tanya Gita membuat Glagah dan Diara mengangguk.

“Kami memang berusaha melestarikan makanan khas Indonesia yang sekarang tergerus oleh makanan dari luar, kami berusaha membuatnya seautentik mungkin dengan mendatangkan chef dan bahkan mengirim chef kami untuk belajar tentang kebudayaan ke daerah-daerah,” papar Gita.

Setelah menghabiskan makanan itu, mereka mulai berbincang tentang lukisan Napta.

“Maaf Nona, sebelumnya saya ingin bertanya bagaimana Nona tahu tentang Napta?” tanya Diara hati-hati.

“Pertanyaan bagus. Saat itu aku sedang mengikuti acara di Barcelona, acara tentang seni dan budaya, dan pada hari itu yang sedang di bahas adalah pelukis pemula yang berasal dari Indonesia, yang mereka katakan pelukis ini punya ciri khas yang akan membuat karyanya di buru. Aku penasaran, bagaimana mungkin Indonesia punya artis yang berpotensi seperti itu. Dan aku melihatnya, Napta Dwi Ludira, sungguh tampan dan berbakat, lukisan yang di buat sungguh bermakna, narasi yang selalu dia sertakan membuat lukisannya seperti hidup. Aku jatuh cinta padanya,” Gita terkekeh pelan.

“Maaf kalau kalian harus mendengar kisah percintaanku yang, yah, bisa dikatakan menyedihkan. Seorang putri pengusaha yang tak beruntung soal cinta,” lanjut Gita.

“Tidak apa-apa Nona, saya hanya terkejut saat Nona mengatakan ingin membeli semua karya Napta. Saya penasaran apa yang mendasari tindakan Nona,” kata Diara berusaha memancing Gita untuk bercerita lebih lanjut.

“Benar, aku tak rela sisa-sisa dari karya Napta jatuh ke tangan orang lain. Aku tak pernah bisa memiliki Napta, dia selalu menghindariku kalau aku sudah mulai menyatakan perasaanku. Katanya dia masih belum bisa merelakan kepergian kekasihnya. Ah, bukankah itu sangat menyebalkan? Tapi itulah Napta, dia tak pernah membalas semua perasaanku dan membiarkanku tersiksa karena sikapnya,” kata Gita seraya menghela nafasnya.

Bagaimana mungkin Napta menyukaimu kalau Napta tahu semua rahasia gelapmu, pikiran Diara dan Glagah menyatu.

“Bagaimana? Berapa penawaranmu terhadap semua lukisan Napta, ada berapa yang tersisa di sana?” tanya Gita.

“Masih ada sekitar lima puluh lukisan Nona. Per karya Nona tahu berapa harga yang selalu Napta tetapkan,” kata Gita.

“Hm … lima puluh dikali 500juta? Harga yang mahal untuk sebuah cinta bertepuk tangan ha? Ironis bukan?,” kata Gita membuat Diara bungkam.

“Kalau Nona bersedia, saya akan segera lakukan administrasinya dan legalitas jual belinya,” kata Diara disambut anggukan kepala Glagah.

“Lakukanlah, apakah pembayaran juga masih ke rekening yang sama?” tanya Gita disambut anggukan Diara.

“Baiklah, aku rasa sudah cukup pembicaraan kita. Semua administrasi bisa melalui sekretarisku dan kirim saja semua lukisan ke gudang penyimpanan kami. Alamat yang sama dengan transaksi terakhir,” kata Gita seraya bangkit dan meninggalkan Glagah dan Diara.

“Wow, itu bahkan nilai yang fantastis Di,” kata Glagah.

“Apakah itu semua berbentuk uang?” tanya Diara sarkastis tak bisa membayangkan nilai uang yang akan masuk ke rekening Napta.

“Hahahaha, sepertinya Gita tak tahu hubungan Napta dengan Bulan,” kata Glagah diiyakan oleh Diara.

Mereka lalu kembali ke gedung. Glagah menyiapkan semua dokumen yang harus dia kerjakan untuk legalitas jual beli lukisan Napta. Diara membantunya dan menyiapkan semua lukisan itu untuk siap diangkut. Dengan pelan-pelan Diara menyatukan semua lukisan itu. Saat Diara sedang mengangkat lukisan yang berjudul Angkara dari dinding, sebuah amplop coklat terjatuh. Amplop yang berukir huruf Jawa, huruf yang sama dengan yang ada di sampul buku harian Bulan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status