Share

Hasil Tes DNA

ꦤꦮꦁ¹ huruf Jawa yang tercetak di sampul amplop dan sampul buku yang Diara temukan. Diara tak tahu artinya, sepertinya itu adalah nama seseorang atau apa. Diara meninggalkan lukisan itu dan segera menghampiri Glagah untuk menunjukkan temuannya.

“Ada apa?” tanya Glagah.

Diara menunjukkan amplop coklat itu.

“Kamu tahu artinya?” tanya Diara.

Glagah menerima amplop itu dan membaca aksara jawa yang tertera di sana.

“Na-wa-ng, Nawang,” kata Glagah setelah berpikir sekian detik.

“Nawang? Kamu bisa membaca aksara Jawa?” tanya Diara penasaran.

“Hm … ya, Nenekku selalu menyuruhku untuk menulis surat padanya dengan aksara Jawa. Dia tidak ingin aku melupakan warisan leluhur. Dia tidak ingin aku seperti anak muda jaman sekarang yang tidak tahu budaya leluhurnya,” kata Glagah membuat Diara terpana.

“Wow, aku jadi pengen kenal Nenekmu,” kata Diara tanpa sadar.

“Lupakan. Di mana kamu menemukan ini?” tanya Glagah mengalihkan pembicaraan.

“Oh iya, di balik lukisan yang judulnya Angkara,” jawab Diara.

Glagah membuka amplop itu, dan menarik isinya. Mereka membuka kertas dengan logo rumah sakit terkenal di kota ini.

“Hasil DNA Gita Sriwedari?” tanya Diara saat membukanya.

Ya, dokumen itu berisi hasil tes DNA yang menyatakan bahwa Gita Sriwedari memiliki kesamaan 99% DNA dengan Hardjo Sriwedari. Jadi memang Gita adalah anak kandung miliuner tersebut. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa harus ada tes DNA ini? Apakah ada seseorang yang ragu terhadap keabsahan Gita sebagai putri Hardjo? Nawang, bukankah Nawang adalah istri dari Hardjo, lalu kenapa dia mempertanyakan Gita anak Hardjo atau bukan?

Glagah dan Diara berpandang tak paham. Akan tetapi, sedetik kemudian potongan gambaran itu mulai menyatu.

“Apakah kamu berpikir sama sepertiku?” tanya Glagah membuat Diara mengerjapkan matanya.

“Apakah mungkin? Kalau Gita bukan anak Hardjo dengan Nawang, berarti ada orang lain dalam pernikahan mereka, dan ini bisa menjadi alasan kenapa Gita memiliki nama yang berbeda dari saudaranya,” Diara mondar-mandir sambil bergumam.

“Benar. Lihat tanggalnya,” kata Glagah menunjukkan tanggal pada dokumen itu.

“12-12-17. Tahun di mana restoran Heritage didirikan dan tahun yang sama Nawang meninggal,” kata Diara mencoba mengumpulkan semua teka-teki itu.

“Keluarga ini sepertinya menyimpan banyak masalah,” kata Glagah.

Diara pusing, rahasia apa sebenarnya. Kenapa Napta terlibat semua ini? Lalu apakah Bulan tahu kalau kakaknya itu bukan saudara seibu dengan dirinya? Lalu kenapa Hardjo terlihat biasa saja dengan semua masalah ini? Apakah media tahu tentang kenyataan ini?

“Kita harus mencari tahu tentang dokumen ini. Napta pasti menyembunyikan ini bukan tanpa alasan. Aku akan menghubungi kolegaku di rumah sakit ini,” Glagah segera meraih ponselnya dan menekan nomor telepon.

Diara masih mondar-mandir sambil memijit kepalanya yang pening. Dia bahkan belum berganti pakaian.

“Kolegaku akan segera menghubungi setelah mendapatkan info,” kata Glagah.

“Sudah malam, sebaiknya kamu tidur. Besok petugas dari ekspedisi yang akan mengambil lukisan akan datang setelah matahari berada di sepenggalah hari,” lanjut Glagah.

Diara membawa amplop itu ke kamarnya, menyatukannya dengan buku harian Bulan. Nawang, artinya adalah langit. Diara tak bisa memejamkan matanya. Dia kembali membuka buku harian Bulan. Isinya hanya curahan hati Bulan, tidak ada yang spesifik menampilkan petunjuk untuk Diara.

Sinar matahari pagi membuat Diara membuka matanya. Semalam dia tertidur lupa menutup tirai jendelanya. Setelah membasuh muka dan berganti pakaian dia keluar kamar. Glagah sedang berada di dapur untuk memasak sarapan.

“Hm … seharusnya itu menjadi tugasku, maaf aku terlambat bangun,” kata Diara malu.

Dia masih belum terbiasa tinggal dengan orang lain, sehingga masih terbawa kebiasaan lamanya yang akan bangun setelah perutnya berbunyi.

“Tidak masalah, aku senang memasak untuk orang lain. Kerjakan saja pekerjaan yang kamu bisa,” kata Glagah.

“Hari ini kamu memasak apa?” tanya Diara penasaran.

“Oh, tadi pagi aku belanja kebutuhan dengan delivery, jadi sekarang aku bisa memasak opor ayam untukmu. Aku harap kamu masih terbiasa dengan masakan Indonesia,” kata Glagah.

“Kamu mengejekku?” Diara mencebik.

“Hahaha, aku hanya membayangkan seorang perempuan tinggal sendirian di flat sempit, kulkas yang hampir tidak ada isinya. Kompor dan peralatan masak yang bahkan terlihat tak pernah disentuh. Kamu terbiasa dengan makanan cepat saji yang bisa kamu order lewat ponselmu,” tebak Glagah membuat Diara malu.

“Oh ya baru saja kolegaku mengabari, dia sudah mendapatkan info tapi meminta kita bertemu nanti siang. Katanya dia tidak bisa mengatakan ini lewat telepon,” lanjut Glagah sambil menyajikan makanan di meja makan.

Bau harum opor ayam membuat Diara semakin lapar.

“Baiklah, aku menurut saja denganmu,” kata Diara seraya menyendok makanannya.

“Kamu pintar memasak, ini sangat enak. Aku curiga jangan-jangan kamu bukan pengacara,” kata Diara membuat Glagah tertawa.

“Aku pengacara. Aku lulusan terbaik dari fakultas hukum Universitas Indonesia pada masanya,” Glagah menyombongkan dirinya.

“Iya, itu beberapa dekade yang lalu,” ejek Diara.

Glagah ikut duduk dan makan di depan Diara. Sudah lama dia tidak merasakan suasana makan yang hangat seperti ini.

“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Diara membuat Glagah salah tingkah.

“Tidak, hanya aku sudah lama tidak makan bersama orang lain, rasanya masih canggung,” elak Glagah.

“Oh ya, kamu bahkan belum mengatakan padaku tentang dirimu. Itu kalau kamu tidak keberatan,” kata Diara.

“Aku, tidak ada yang istimewa dariku. Aku berasal dari Jawa Tengah, Solo lebih tepatnya. Dari keluarga biasa saja, Ayah Ibuku hanya seorang pegawai di pemerintahan, yah dan aku anak tunggal mereka,” Glagah mengingat Ayah Ibunya yang berada di Solo.

“Wah, sebenarnya kita bertetangga, aku dari Yogyakarta,” kata Diara.

“Aku sudah lama tidak pulang,”

“Ayah Ibuku sudah lama tiada, dan yah mereka tidak meninggalkan harta yang banyak untukku, jadi, di sinilah aku sekarang.” Diara menerawang.

“Tapi sekarang uangmu bahkan melebihi itu,” kata Glagah.

“Hahaha iya ya, aku bahkan masih tidak percaya tentang hal ini,” kata Diara.

“Lalu apa yang akan kamu lakukan dengan semua uang itu?”

“Aku akan menaruhnya di rekening Yayasan sebagian, karena dengan sebagiannya saja aku sudah bisa hidup lebih dari cukup,”

“Bisa berfoya-foya malahan, atau kamu akan mulai bergaul dengan Gita?” ledek Glagah membuat Diara cemberut.

Ponsel Glagah berdering, dia mengangkatnya seraya agak menjauh dari Diara.

“Di bersiaplah, kolegaku ingin bertemu sekarang,” kata Glagah sambil membereskan makanan di meja.

“Bukankah hari ini pihak ekspedisi akan mengambil lukisan?”

“Oh aku lupa mengatakan, mereka akan datang besok, karena hari ini petugas dari gudang penyimpanan Hardjo Company sedang mengadakan pembersihan,” terang Glagah.

Diara segera membereskan piring kotor dan mandi secepatnya.

“Kita ke mana?” tanya Diara setelah mobil Glagah melaju di jalanan ramai.

“Kita ke taman kota, kolegaku mengatakan bahwa kemungkinan ada yang tahu kalau dia mencoba mengulik tentang dokumen dari sepuluh tahun yang lalu,” kata Glagah cemas.

Mereka tiba di taman kota 30 menit kemudian. Kolega Glagah sedang duduk di bangku tengah.

“Maaf menunggu,” kata Glagah menyalami koleganya.

“Tidak apa-apa, aku hanya takut akan ada yang mengawasi kita. Tapi kelihatannya aman,” dia menoleh ke kiri dan kanan.

“Kenapa kamu ingin tahu tentang dokumen itu. Jejak dokumen itu bahkan sudah dihapus dari sistem rumah sakit. Masuk ke dalam high risk file. Saat aku mencoba memulihkan datanya, gangguan virus membuat komputer rumah sakit down,” paparnya membuat Glagah dan Diara saling bertatapan.

“Aku mempunyai salinan cetak dari dokumen itu. Tapi aku ingin tahu siapa yang memasukkan bahan untuk data itu,” kata Glagah.

“High risk file hanya dilakukan oleh para petinggi dan pemilik saham,” papar kolega Glagah.

“Oh iya, Nona ini siapa?” katanya menunjuk Diara.

“Oh kenalkan, saya Diara, teman Glagah,”

“Oh, saya Anton,”

“Baiklah, kalau tidak ada yang bisa aku lakukan lagi, aku harus kembali ke kantor, ijinku hanya sebentar. Tapi aku harap kalian tidak terlibat masalah yang menyangkut para pemilik power di kota ini,” Anton memperingatkan mereka.

¹) aksara Jawa untuk kata nawang

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status