Diara bergegas kembali ke flatnya. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Dengan kondisi kantor yang tak lagi punya pemilik, Diara tak mungkin bekerja. Dia harus memikirkan untuk mencari pekerjaan lain. Setibanya di flat, Diara membuka laptopnya, mencari artikel tentang Bulan Sriwedari. Laman G****e menunjukkan beberapa artikel tentang putri bungsu miliuner Hardjo Sriwedari yang mempunyai beberapa kartel bisnis di kota ini. Di sana banyak artikel yang mengatakan bahwa putri bungsu ini jatuh cinta terhadap seorang yang tidak sepadan dengan keluarganya. Seorang dari kalangan biasa, tapi tak bisa dibuktikan siapa orang itu. Banyak spekulasi menyebar, ada yang mengatakan bahwa orang itu hanya memanfaatkan Bulan, hanya ingin menguras hartanya. Artikel tentang menghilangnya Bulan yang sampai sekarang tidak bisa ditemukan bahkan mengatakan Bulan dibunuh oleh laki-laki yang dicintainya tersebut, tetapi lagi-lagi tidak ada bukti yang bisa membuat kasus ini masuk ke pengadilan. Bahkan siapa sosok laki-laki itu pun tidak pernah terbukti. Hingga banyak yang bilang kalau spekulasi tentang kisah cinta sang putri bungsu itu hanya cerita yang dibuat untuk menutupi hilangnya sang putri. Bahkan banyak berita beredar kalau sebenarnya sang putri dibungkam oleh keluarganya sendiri. Mengingat bahwa tiga bersaudara itu bersaing untuk mendapatkan kepercayaan sang ayah. Diara semakin pusing dengan berbagai berita yang simpang siur ini. Lalu apa hubungan hilangnya Bulan Sriwedari dengan Napta Dwi Ludira dan apa artinya catatan yang di tinggalkan Napta pada hari ini?
Ketukan pada pintu flat membuat Diara segera menutup laptopnya. Dari lubang pintu Diara melihat seorang laki-laki berpakaian rapi sedang berdiri di depan pintu. Perlahan Diara membuka pintu dan menatap laki-laki itu.
“Dengan Diara Prameswari?” tanya laki-laki itu membuat Diara mengangguk.
“Boleh saya masuk?” lanjutnya, membuat Diara tersadar.
“Oh, iya, mari silakan,” dengan canggung Diara mempersilakan laki-laki itu masuk ke flatnya yang sempit.
Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke ruangan itu sambil mengangguk-angguk.
“Kalau boleh tahu, Anda siapa dan ada keperluan apa?” tanya Diara penasaran.
Tanpa diminta laki-laki itu duduk di sofa yang hanya satu-satunya di ruangan itu. Diara menarik kursi yang biasa dia gunakan untuk makan dan meletakkannya di depan laki-laki itu.
“Kenalkan, aku Glagah, pengacara Napta,” laki-laki itu mengenalkan dirinya.
“Aku ke sini karena Napta mengatakan aku harus menemuimu setelah berita kematiannya diumumkan,” lanjut Glagah membuat Diara terperanjat, jadi Napta sudah merencanakan kematiannya, tapi kenapa?
“Mungkin kamu terkejut, sama, aku juga. Bahkan aku juga tidak tahu kenapa harus menemuimu sekarang. Napta hanya mengatakan, setelah bertemu denganmu, aku harus membuka berkas ini bersamamu,” lanjut Glagah seraya membuka tas kerja yang dibawanya, mengambil laptop dan menyalakannya, menelusuri berkas dan mengeklik berkas berjudul Rahasiaku. Tapi berkas itu terkunci.
“Kamu tahu kuncinya?” tanya Glagah. Diara menggeleng, mana aku tahu.
“Ingatlah, apa Napta pernah mengatakan padamu tentang kunci, password atau apa itu,” desak Glagah.
“Aku tidak sedekat itu sampai Napta mengatakan hal yang penting padaku. Hubunganku dengannya hanya sekedar atasan dan anak buah,” sergah Diara.
Mereka berdua diam, mencoba berpikir, apa yang pernah dikatakan Napta yang menjurus pada kata kunci.
“Coba chamomile,” kata Diara membuat Glagah menautkan alisnya.
“Itu tidak seperti kata kunci,”
“Coba saja,” tuntut Diara tak sabar.
Glagah memasukkan kata itu ke kolom penguncian, dan berkas itu terbuka.
“Bagaimana bisa?”
“Dia selalu menekankan padaku ‘ingat Di, chamomile adalah hal paling penting yang harus kamu ingat’ saat aku membuatkannya teh,” kata Diara. Awalnya dia ragu, tapi apa salahnya mencoba.
Mereka lalu menelisik berkas-berkas yang ada di folder tersebut.
‘Bila kalian membuka berkas ini, berarti aku sudah menyusul Bulan, kekasihku. Diara, jangan mencari pekerjaan, urus saja galeriku, puluhan lukisan itu cukup untuk membiayai hidupmu selama lebih dari sepuluh tahun ke depan. Aku percaya padamu. Kuserahkan semua aset di sana untukmu. Glagah akan mengurus semuanya. Aku sudah menulis wasiatku di kotak penyimpanan, bukalah, kodenya 2364. Itu resmi. Glagah, bantu Diara untuk mengganti nama semua aset yang tersedia menjadi milik Diara. Aku tak punya siapa-siapa untuk kuserahkan semuanya. Atau kalaupun ada, mereka tak berhak mengklaim itu semua. Tentang aku dan Bulan, tolong jangan ungkapkan apa pun pada media. Biar saja menjadi cerita antara kita. Aku tak bisa banyak bicara tentang itu. Suatu saat kalian akan mengerti’
Diara dan Glagah saling berpandangan. Tak mengerti.
“Jadi bagaimana? Apa kamu mau meneruskan galeri Napta?” tanya Glagah kemudian.
“Apa tidak akan ada yang menggugatku nanti? Aku bukan siapa-siapa Napta,”
“Setahuku Napta tidak punya keluarga dekat. Keluarga terakhir yang aku tahu adalah pamannya yang sudah meninggal 10 tahun lalu, saat Napta masih memulai kariernya sebagai pelukis,” terang Glagah.
Diara masih menimbang, apakah memang dia bisa menerima penawaran Napta untuk mengelola galeri itu.
“Sepertinya, lebih baik kita ikuti saja saran Napta. Kamu tidak ingin tahu tentang Bulan dan Napta?” tanya Glagah.
“Kamu kenal Bulan?”
“Aku hanya bertemu dengannya sekali, saat Napta mengenalkanku padanya. Napta selalu menceritakan apa pun tentang hidupnya padaku. Tetapi tidak tentang Bulan. Jadi aku penasaran, karena Napta selalu menutupi kenyataannya. Bahkan saat Bulan menghilang, Napta sempat mengalami depresi,” papar Glagah.
“Seperti apa Bulan itu?”
“Dia cantik, tapi cenderung lemah, Napta selalu bilang dia harus melindungi Bulan, walau itu dengan cara menghilangkannya,” kata Glagah membuat Diara semakin pusing.
Diara mengulurkan catatan yang ditemukannya di meja Napta. Glagah membacanya dan menegang.
“Apakah kamu berpikiran sama denganku?” tanya Diara.
Glagah menggelengkan kepalanya, berusaha menepis pikiran yang kini mulai membayanginya.
“Kamu siap untuk memulai sebuah penyelidikan?” tawar Glagah membuat Diara terenyak.
“Maksudmu?”
“Katakan saja, kamu siap atau tidak?” desak Glagah membuat Diara bimbang.
“Baiklah. Aku akan menghadapi ini. Apa yang harus kulakukan?” tanya Diara mantap. Mencoba meyakinkan dirinya untuk menguak apa yang sebenarnya terjadi.
“Kita akan memulainya setelah pemakaman Napta. Kamu masih menyimpan semua kunci kantor dan gedung?” Diara mengangguk.
“Gedung itu milik Napta sendiri, tidak akan ada yang menggugat. Kenapa kamu tidak pindah saja ke sana bersamaku. Aku rasa banyak kamar yang bisa kita gunakan,” tawar Glagah.
“Ha?” Diara tak mengerti.
“Aku akan mudah menjagamu kalau kita satu tempat tinggal. Jangan berpikiran macam-macam. Aku hanya ingin menguak masalah ini lebih cepat dan efektif,” kata Glagah membuat Diara lega.
Pemakaman Napta berlangsung khidmat, pusara besar yang didesain khusus dengan lukisan Napta yang berjudul Kematian terlukis di sana. Napta sudah menuliskan semua yang harus dilakukan oleh Glagah bila dia tiada, salah satunya adalah pusara itu. Di pemakaman mewah yang berada di bukit inilah jasad Napta dibaringkan. Hanya segelintir orang yang datang, karena Glagah membatasi tamu yang datang. Gita melangkah tegap dan meletakkan mawar hitam kesukaan Napta di sana, berkumpul dengan beberapa tangkai lainnya.“Aku tak menyangka kamu pergi secepat ini. Lukisanmu akan segera menjelma menjadi mural terbagus di kota ini. Aku akan selalu mengenang karya-karyamu,” Gita mengatakan kalimat perpisahannya. Mengangguk pada Diara dan Glagah lalu pergi.Prosesi yang sedikit memakan waktu tak membuat Diara dan Glagah bisa bersantai setelahnya. Mereka segera mengurus kepindahan Diara. Barang-barang Diara tak banyak, jadi sekali angkut sudah bisa membawa semuanya. Untuk sementar
Diara memasukkan kembali buku harian Bulan ke dalam nakas. Glagah memintanya untuk segera makan. Karena sejak acara pemakaman Napta Diara belum memakan apa pun. Diara mengikuti Glagah menuju dapur. Lantai dua yang terdiri dari beberapa ruangan ini sangat besar bagi Diara yang biasa tinggal di flat kecil. Ada 4 kamar besar, ruang makan, dapur, bahkan ruang untuk bersantai. Saat dulu Napta ada Diara jarang naik ke lantai dua ini. Karena kegiatan Diara berpusat di lantai satu.“Kita harus memastikan Gita mau bercerita nanti malam, tentang ketertarikannya terhadap lukisan Napta. Kalau yang ditulis Bulan itu benar,maka Gita tak tahu siapa Napta sebenarnya,” kata Glagah setelah mereka duduk di meja makan.Diara mengangguk sambil menyuap nasi dan omelet yang Glagah buat.“Makanlah, aku tidak sempat membeli bahan makanan, jadi hanya bisa memasak itu untuk hari ini,” kata Glagah.“Ini sudah lebih dari cukup, terima kasih,” kata Diara.“Tidak usah berterima kasih
ꦤꦮꦁ¹ huruf Jawa yang tercetak di sampul amplop dan sampul buku yang Diara temukan. Diara tak tahu artinya, sepertinya itu adalah nama seseorang atau apa. Diara meninggalkan lukisan itu dan segera menghampiri Glagah untuk menunjukkan temuannya.“Ada apa?” tanya Glagah.Diara menunjukkan amplop coklat itu.“Kamu tahu artinya?” tanya Diara.Glagah menerima amplop itu dan membaca aksara jawa yang tertera di sana.“Na-wa-ng, Nawang,” kata Glagah setelah berpikir sekian detik.“Nawang? Kamu bisa membaca aksara Jawa?” tanya Diara penasaran.“Hm … ya, Nenekku selalu menyuruhku untuk menulis surat padanya dengan aksara Jawa. Dia tidak ingin aku melupakan warisan leluhur. Dia tidak ingin aku seperti anak muda jaman sekarang yang tidak tahu budaya leluhurnya,” kata Glagah membuat Diara terpana.“Wow, aku jadi pengen kenal Nenekmu,” kata Diara tanpa sadar.“Lupakan. Di mana kamu menemukan ini?” tanya Glagah mengalihkan pembicaraan.
Prana Jiwoꦥꦿꦤꦗꦶꦮꦺꦴ¹Seseorang memperhatikan Diara dan Glagah dari kejauhan. Dia menghembuskan nafasnya berat, seolah ada beban yang tersemat. Lalu dia pergi sambil menelepon orang lain.[Kalian di mana, aku sudah menyuruh orang untuk mengambil lukisanku. Dan kalian ikutlah ke gudang, aku akan menunjukkan koleksiku,] pesan Gita di ponsel Diara.Glagah dan Diara bergegas kembali ke gedung. Setibanya mereka di sana, sudah menunggu beberapa orang dari ekspedisi yang bertugas untuk mengambil lukisan. Diara membuka pintu depan dan mempersilakan orang-orang itu mengambil lukisan. Setelah Glagah mengambil surat legalitas dan sertifikat jual beli, mereka mengikuti truk ekspedisi ke gudang penyimpanan Hardjo Company.Gedung yang sangat luas itu hanya berlantai satu. Glagah dan Diara mengikuti orang-orang itu. Gita sudah menunggu mereka di pintu. Sambil tersenyum bangga Gita mengajak Glagah dan Diara masuk dan melihat isi dari gudang itu. Diara harus menaha
Glagah memacu mobilnya ke arah yang ditunjukkan oleh peta digital di dashboard mobil. Jl. Tawangmangu. Entah apa yang akan mereka temukan di sana, itu hanya satu-satunya petunjuk untuk mengetahui ada apa ini sebenarnya. Mobil Glagah memasuki jalan kecil, dan buntu, tapi benar jalan itu berpelang Tawangmangu. Jalan itu menuju ke sebuah gerbang rumah yang berdiri kokoh. Gerbang dari kayu yang sangat tebal dan tinggi. Mereka turun dari mobil dan melihat ke sekeliling yang rimbun dengan pepohonan.Tiba-tiba pintu terbuka, orang yang membawa pesan tadi keluar dan memberi isyarat kepada Glagah dan Diara untuk masuk, membawa mobil mereka. Begitu memasuki gerbang, sebuah rumah joglo lengkap dengan pendapa, dan beberapa bangunan kecil di samping menyamping rumah inti.“Ini rumah siapa?” tanya Diara penasaran.“Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya dia tahu tentang semua ini,” kata Glagah.“Silakan menunggu di pendapa, Tuan Karya akan segera keluar,” kata orang yang
Gita sedang menghubungi seseorang. Tampak raut wajahnya gelisah. Bagaimana kebetulan ini bisa terjadi. Hah, tato ini menjadi sumber masalahnya. Tapi Ibunya bahkan tidak mau Gita menghapus tato itu. Katanya tato itu akan mengukuhkan kekuatan yang selama ini tak ter bayangkan olehnya. Orang di seberang saluran telepon berusaha meyakinkan dia, bahwa Glagah bukanlah ancaman. Tapi tetap harus dihilangkan untuk kemungkinan yang tidak diketahui nantinya. Gita tahu dia bukan anak Hardjo Sriwedari dan Nawang Wulan. Dia adalah anak dari kesalahan Hardjo yang akhirnya membuat keluarga bahagia Hardjo berada dalam kehancuran. Gita yang tahu tentang kenyataan ini 10 tahun lalu semakin liar dengan kedatangan seorang yang mengaku kalau dia adalah Ibu biologis Gita. Perempuan bernama Wita itu bahkan mengatakan tato yang hanya dia dan keluarganya yang tahu. Gita yang saat itu tak peduli dengan keberadaan tato di tubuhnya mengabaikan semua kemungkinan. Lalu saat perempuan itu masuk ke rumah ini dan mu
Pesawat Glagah dan Diara bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 7 malam. Perjalanan yang akan memakan waktu 18 jam itu membuat Diara cemas. Dia belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Glagah yang tahu kecemasan Diara mencoba menenangkan.“Kenapa kamu tidak jujur padaku tentang keluargamu?” selidik Diara mencoba untuk mengatasi kecemasannya.“Kan sudah aku bilang tadi, kami harus berada dalam anonimitas. Dan juga sekarang bukan aku yang memegang peranan penting itu. Ayah bahkan tidak memberitahuku siapa. Aku hanya boleh tahu bahwa aku bagian dari mereka. Profesiku sebagai pengacara bisa membantu mereka,” papar Glagah sambil menghela nafasnya.“Sepertinya Laut yang memegang peranan itu sekarang, kalau dilihat dari gelagat dia yang tahu semuanya,” Diara mencoba menebak.“Bisa jadi. Karena setahuku memang hanya keluarga inti yang bisa menjadi penerus. Selama ini aku berpikir Ayah yang mener
Glagah melajukan mobilnya ke jalan raya Sommebakken untuk mencari pintu masuk ke Tanargevegen. Pemandangan pertanian nan hijau terhampar sepanjang jalan. Membuat Diara sejenak melupakan tentang tujuan mereka berada di sini. Perjalanan darat yang menyenangkan. Diara yang baru pertama kali ke luar negeri sungguh menikmati perjalanannya. Saat mobil mereka melintasi Snode, terlihat laut yang biru di sebelah kiri mereka.“Itu laut!” teriak Diara kegirangan.“Maaf, aku baru pertama kali ke luar negeri,” kata Diara canggung menyadari kekonyolannya.“Hahahaha, tidak apa-apa. Mulai sekarang biasakanlah, mungkin dengan uang yang kamu pegang sekarang kamu akan mulai berkeliling dunia setelah masalah ini selesai,” kata Glagah membuat Diara berpikir.“Benar juga, aku kan sekarang punya uang,” batin Diara senang, dia bertekad untuk berkeliling dunia setelah masalah ini selesai.Perjalanan mereka akhirnya tiba di al