Share

Misteri Kematian Sang Pelukis
Misteri Kematian Sang Pelukis
Penulis: Crearuna

Bayangan Kematian Saat Purnama

Diara berjalan cepat, tugasnya hari ini adalah membuka kantor lebih awal. Jam enam pagi dia sudah menyusuri parkiran menuju gedung yang sudah tiga tahun ini menjadi tempatnya bekerja. Sebuah gedung yang berdiri di tengah kota, dengan gaya arsitektur kuno yang mencolok, berbeda dengan sekitarnya. Entah apa yang ada di pikiran pemilik gedung ini awalnya, hingga dia mendirikan bangunan nyentrik itu di blok tersendiri, jauh di belakang, jadi untuk menjangkaunya harus berjalan kurang lebih 10 menit dari parkiran. Diara mempercepat langkahnya, dia tak ingin mendapat omelan dari bosnya. Begitu sampai di depan gedung yang menjadi tujuannya, Diara memasukkan kunci ke pintu yang tingginya hampir 3 meter itu, dia mendorong pintu dengan sedikit kekuatan yang tersisa, dia belum memakan sarapannya.

“Di!” sebuah teriakan mengagetkannya tepat setelah pintu itu terbuka sempurna.

“Pak Napta.” Diara mengatakan nama bosnya dengan tak percaya, laki-laki itu sudah berdiri di sana, di dalam ruangan yang penuh dengan lukisan. Iya, Diara bekerja menjadi sekretaris pribadi Napta Dwi Ludira, pelukis yang mulai naik daun, lukisan dengan gaya surealisnya banyak dinikmati oleh pecinta lukisan. Apalagi Napta selalu menyisipkan sedikit narasi di setiap lukisannya.

“Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku Pak, panggil aku Napta,” kata laki-laki itu membuat Diara menunduk.

“Bagaimana bisa, wong dia atasannya,” batin Diara.

“Kamu sudah siapkan berkas presentasi? Hari ini ada sebuah perusahaan yang ingin mengambil salah satu lukisanku, mereka ingin lukisan itu menjadi mural di dinding kantor mereka, aku harus mengalkulasi berapa tawaran yang bisa aku ajukan,” papar Napta membuat Diara mengeluarkan flasdisk yang sudah disiapkannya.

“Semua ada di sini?” lanjut Napta seraya menerima flashdisk itu dari tangan Diara.

“Iya Pak, eh Nap, di sana semuanya sudah saya ketik, kalkulasi per meter dan berapa hak lisensi sudah saya hitung. Coba dicek sekali lagi, kalau masih ada yang kurang, nanti saya perbaiki lagi,” kata Diara sambil mengikuti Napta ke ruangannya.

Diara selalu takjub dengan tata ruangan Napta, kalau biasanya meja akan membelakangi jendela, maka Napta membuat mejanya menghadap ke jendela besar yang memperlihatkan langit biru dan awan di luar sana.

“Oke semuanya bagus, kamu atur ruangan meeting, siapkan teh dan beberapa camilan, aku sudah membawanya tadi, kuletakkan di pantri,” kata Napta tanpa berpaling dari layar laptopnya.

Diara beranjak ke pantri, menyusun kue mahal yang dibeli Napta dan menyeduh teh chamomile kesukaan Napta. Laki-laki itu memiliki sisi romantis kalau berhubungan dengan teh, dia akan menghirup aromanya dalam, menyeduh satu sendok, lalu menyesapnya perlahan, kemudian dengan cangkir di tangan kanan, matanya menerawang menatap langit, entah apa yang sedang dipikirkannya. Diara tersenyum mengingat tentang perilaku Napta. Segera dia bawa kue beserta teh ke ruang meeting.

“Di, kamu jemput dia di parkiran,” kata Napta tiba-tiba, membuat Diara kaget, saat ingin memprotes, matanya bertemu dengan mata Napta yang sendu.

Dia berlalu, sambil menggerutu.

“Tamu ini tak tahu tata krama,” desisnya sepanjang jalan.

Seorang wanita muda dengan setelan blazer yang tampak mahal sedang berdiri anggun di dekat mobil sport keluaran terbaru.

“Ha, ciri-ciri nona muda yang manja,” batin Diara.

“Nona Gita?” tanya Diara disambut dengan tatapan menyelidik.

“Saya asisten pribadi Napta, silakan ikut saya,” tanpa berbasa-basi Diara melangkah kembali ke kantor.

“Jangan salahkan aku bila kamu akan kelelahan Nona,” Diara berkata pada dirinya sendiri.

“Napta, kenapa kamu memilih kantor yang jauh dari keramaian seperti ini, bukankah banyak gedung bagus di sekitar sini?” Gita langsung memberi komentar begitu sudah duduk di ruang meeting.

“Kenapa? Apakah aku tidak boleh menikmati kesepian di tengah ramainya kota ini?” balas Napta.

“Ah sudahlah, bagaimana penawaranmu?” Gita mengalah untuk tidak membahas lebih lanjut masalah kantor Napta.

Napta mempresentasikan lukisannya yang dia beri nama Bulan Dan Kerinduan, menggambarkan tentang kerinduannya terhadap sesosok wanita yang pernah hadir dan kemudian menghilang, bersamaan dengan hilangnya sang bulan.

Diara melihat Gita mengangguk-angguk antusias, dia bahkan menanda tangani kontrak bernilai fantastis itu tanpa berpikir panjang.

“Orang kaya memang tidak pernah mengecewakan kalau soal mengeluarkan uang,” pikir Diara.

Setelah berbasa-basi Gita melangkah pergi, lukisan akan diambil oleh karyawannya tepat jam makan siang.

Diara sedang membereskan ruang meeting saat Napta mengatakan bahwa dia boleh pulang sekarang, anggap bonus, kata Napta. Diara terheran, tapi kenapa harus dibantah kalau Napta sedang berbaik hati. Setelah semua pekerjaannya selesai, Diara pamit dan segera melajukan mobilnya pulang, dia ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur.

Sesampainya di flat mungil miliknya, Diara melepas sepatu high heelsnya, merebahkan diri dan memejamkan mata, bahkan dia tak memedulikan rasa laparnya lagi. Dia hanya ingin tidur.

Sekarang jam tiga pagi. Sebuah alarm dari ponsel membangunkan Diara. Tertulis di agendanya: “Jangan lihat ke bulan.”

Di saat yang bersamaan, Diara juga mendapatkan ratusan notifikasi dari pesan yang dikirim oleh nomor-nomor acak. Isinya mengatakan, “Malam ini sangat indah. Lihatlah keluar.”

Diara merasakan perutnya melilit karena lapar, mengusap wajahnya dan berusaha mengumpulkan nyawa. Diara bangkit menuju kulkas di sudut ruang, mengambil sekotak susu dan menegak isinya seraya membuka tirai jendela flatnya. Bulan sedang bersinar biru, purnama sempurna, tapi Diara merasakan sesuatu yang ganjil di sana, Diara menajamkan matanya dan segera menyambar jaketnya, berlari menuruni tangga dan melajukan mobilnya ke kantor. Berlari Diara menuju gedung yang terlihat indah dengan pendar sinar bulan, tapi Diara tahu ada yang tidak beres. Dibukanya pintu hitam legam itu dengan kasar, berlari didakinya tangga menuju atap. Pemandangan itu membuat Diara merosot luruh pada kedua kakinya. Napta, menggantung dirinya di palang yang biasa dia gunakan untuk melatih ototnya, dan proyektor menyala di depannya, membuat sosok Napta seperti bergantung di bayangan bulan yang terlihat sempurna dari gedung ini. Dan itulah yang membuat Diara menyadari ada yang tidak beres, karena hanya gedung ini yang mempunyai proyektor besar hingga bisa membuat bayangan sebesar itu.

Diara menekan nomor polisi, mengatakan semua apa yang dilihatnya. Diara berlari turun, menuju ruang kerja Napta, dan menemukan secarik kertas di sana.

Aku, telah menunaikan janjiku padamu Lan, kukembalikan kamu pada trahmu, pada silsilahmu, pada keluargamu. Walau bukan dalam bentuk ragamu yang kuluruhkan di laut kala itu, tapi kukembalikan kamu dalam bentuk terindah yang mampu kubuat. Kamu, akan terlukis cantik di mana seharusnya dirimu berada. Maafkan aku. Kembalilah dengan ketenangan jiwamu. Dan aku akan menyusulmu sekarang. Tunai sudah janjiku, Bulan Sriwedari.

Ada artikel tentang hilangnya seorang putri bungsu dari miliuner kenamaan di kota ini, artikel tertanggal 12-12-20, berarti sepuluh tahun yang lalu, saat Napta mulai mengawali kariernya. Diara masih mencerna, tak di abaikannya polisi yang berlalu lalang di luar sana. Saat Diara melihat surat perjanjian siang tadi dengan Gita, kumpulan repihan itu menjadi satu, Gita Sriwedari. Putri kedua miliuner itu. Lalu apa maksud Napta dengan hilangnya Bulan? Diara menyimpan catatan itu, menyembunyikannya di saku jaket.

Diara memberikan keterangan kepada polisi dan berjanji akan menjadi saksi. Lalu Diara kembali ke flatnya dengan sejuta tanya, ada apa?

Notifikasi di ponselnya sekarang ramai dengan berita kematian Napta.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
chocolyna034
pemilihan diksinya apik, baru awal cerita sudah mulai tegang dan oenasaran.. harus dilanjut ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status