“Sayang!” Amanda berteriak saat melihat Edwin masih berbaring di ranjang sambil memeluk Zea.Edwin terperanjat dan langsung duduk membuat Zea pun menangis karena kaget. Tadi Edwin memanggil Melody karena Zea merengek saat tidak mendapati sang ibu tidur di sampingnya. Zea sangat manja sekarang, tidur pun harus bersama ayah dan ibunya.“Kamu kenapa ada di sini?” tanya Edwin sambil menggendong Zea mencoba membuat anak itu kembali tertidur.“Ternyata begini ya kelakuan kamu. Bilangnya liburan bareng Zea tapi kenyataannya kamu malah selingkuh!”“Keluar! Jangan teriak-teriak di sini, kamu membuat Zea takut.” Edwin malah mengusir Amanda.Wanita itu terbelalak merasa tidak percaya, “Kamu mengusirku, Ed?”“Kamu di sini juga masalah tidak akan selesai, tidak lihat Zea menangis begini.” Edwin tidak peduli lagi dengan pemikiran Amanda, saat ini ia hanya sibuk menenangkan Zea yang malah menangis semakin kencang.“Pintu masih terbuka, silahkan keluar!” Melody buka suara.“Kenapa harus aku yang kelu
Seperti anak kecil yang tidak mau ada yang mendahului, Edwin berlari tanpa kata membuat Amanda dan Andrew melongo melihat apa yang dilakukan oleh Edwin.“Edwin, berhenti!” teriak Andrew yang ikut mengejar Edwin.Sedangkan Amanda menghentakkan kakinya kesal, “Aish! Mana bisa aku berlari mengejar mereka, aku tidak bisa. Yang ada nanti kakiku sakit,” gerutunya. Ia memutuskan kembali ke dalam kamarnya untuk menelepon Bu Sanjaya dan melaporkan apa yang terjadi.Sementara Edwin masih tetap berlari memasuki lift.Saat ini tujuan Edwin adalah kamar Melody, tidak ingin ia jika ada yang mendahului bertemu dengan Melody apalagi Andrew. Kedua lelaki ini memang terlihat sangat kekanakan.Saat sampai di lantai kamar Melody, dengan tergesa-gesa Edwin kembali berlari menuju kamar mantan istrinya itu namun berkali-kali menekan bel tidak ada yang menyahut dari dalam.“Dia kemana? Perasaan saat tadi aku keluar dia masih di kamar bersama Zea?” gumam Edwin sambil mencari kontak Melody untuk menghubungi wa
"Aku baik-baik saja, aku bukan sakit, Mas.""Lalu apa? Jangan membuatku khawatir begini, sayang." Nino menggenggam tangan sang istri, ia benar-benar takut Serra sakit."Aku ... Minum obat pencegah kehamilan," ungkap Serra."Apa?"Teriakan Nino itu sampai membuat kedua anaknya kaget dan melihat ke arah lelaki itu."Maaf." Mata Serra berkaca-kaca karena merasa bersalah, ia tahu betul suaminya ingin punya anak lagi tapi malah dipatahkan oleh Serra yang diam-diam meminum pil KB."Kenapa kamu tidak bilang?""Aku takut kamu marah kalau tahu aku minum itu, kamu 'kan mau sekali punya anak lagi.""Kalau memang kamu belum siap lagi punya anak, bilang saja tidak usah diam-diam begini. Di sini kamu yang mengandung dan melahirkan, kamu bahkan tidak bisa membagi rasa sakit itu padaku.""Maaf, Mas.""Tidak apa. Masuklah, mau mandi 'kan."Tangan Nino terlepas malah membuat hati Serra mencelos, ia tahu apa yang diperbuatnya salah karena tidak seharusnya melakukan sesuatu sebelum memberitahu Nino. Nino
Melody langsung menoleh, matanya terbelalak melihat Edwin berdiri di belakangnya.“Ed, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Melody meski ia tahu dari tadi Edwin memang mencari keberadaannya.“Mau membawa Zea,” jawabnya.Padahal niat awal mencari Melody untuk menahan agar Melody tidak bertemu dengan Andrew tapi yang ada di depan mata sukses menyayat hati Edwin.“Papa, kenapa lama?”Edwin menjatuhkan pandangannya pada Zea dan menggendong anak itu, “Makan di tempat lain saja ya.” Sudah terlanjur, ia terlambat dan merasa tidak memiliki harapan. Lebih baik pergi, pikir Edwin.Tanpa bicara lagi Edwin membawa Zea pergi meninggalkan Melody dan Andrew.“Kau lihat bagaimana ekspresinya tadi?” tanya Andrew sambil menahan tawa.“Kau ....” Melody menggantung ucapannya.“Sengaja biar kau tidak perlu melihat lewat rekaman CCTV.” Andrew memainkan alisnya lalu dengan santai menikmati kopi yang baru saja dipesannya.“Berarti Edwin salah paham?”Andrew mengedikkan bahunya, “Kalian itu, aduh ... aku bing
“Mas, ini tidak lucu!” Serra merengut kesal.Nino yang berdiri di depan pintu kamar mandi dengan bertelanjang dada membuat Serra benar-benar kaget. Untung saja ia terjatuh bukan saat kondisi sedang hamil.“Kamu juga tadi mengagetkanku, sekarang gantian,” ujarnya dengan sisa tawanya.Seulas senyum terlihat di bibir Serra, ia merasa lega melihat senyum suaminya. Padahal tadi ia ingat betul jika Nino pergi dari kamar.“Bukannya tadi kamu pergi ke luar, Mas?” tanya Serra, ia baru saja akan berdiri namun dengan gerakan cepat Nino membopong tubuh wanita itu.“Mas, aku bisa jalan sendiri.” Serra protes tapi mengeratkan tangannya di leher Nino.“Tapi aku ingin menggendongmu.” Nino menurunkan Serra di ranjang.“Kamu masih marah?” Ia memulai kembali obrolan itu hanya untuk memastikan jika Nino sudah tidak marah.Meski merasa heran karena tidak sampai lima menit yang lalu Nino masih memasang muka masam dan sekarang sudah full senyum seperti tidak terjadi apa-apa.“Tawaranmu tadi rasanya sayang k
“Tidak boleh kah sekali saja? Kita juga nanti akan menikah.”Tak!Edwin meringis saat keningnya disentil jemari lentik Melody.“Aku tidak mau!”Edwin mengusap keningnya itu, “Aku juga bercanda, Mel. Mana mungkin aku mau melakukannya, aku tidak ingin adiknya Zea datang sebelum waktunya. Besok aku akan bicara pada orang tuamu.”“Jangan bercanda, Ed.”“Kalau tidak mau bercanda, aku serius saja. Kau lebih senang bukan? Aku masih ada kesempatan karena Andrew juga belum bertemu dengan orang tuamu ‘kan?”“Bisa menyingkir dari atasku?”“Oh, maaf.” Edwin langsung berdiri.“Ed, kau benar tidak bercanda ‘kan?” Melody masih tidak percaya.“Lihat besok saja, kau bisa memastikan aku bercanda atau tidak. Tidurlah!” Edwin melangkah ke arah sofa dan merebahkan tubuhnya di sana.Melody memperhatikan gerak-gerik Edwin, ia bahkan sampai mencubit pipinya sendiri untuk memastikan jika memang apa yang baru saja terjadi bukanlah sebuah mimpi.“Bukan mimpi, sakit,” gumam Melody sambil mengusap pipi yang tadi
“Sabar.” Nino menepuk pundak Melody dan Edwin, “Papa juga menunggu Bunda tidak sebentar, dua tahun. Lumayan lah. Ed, kau juga harus mencoba menunggu dua tahun.”“Tidak, tidak. Aku akan berusaha agar secepat mungkin menikahi Melody.” Edwin tidak ingin ada yang mendahuluinya.“Berlomba saja dengan Andrew, siapa tahu dia juga berubah pikiran.” Serra mengompori, sengaja ingin membuat Edwin kepanasan.“Jangan begitulah, Bun. Kalau ada yang datang untuk melamar Melody, katakan saja kalau Melody sudah ada yang punya.”Melody mencibir, “Sebelumnya kau seperti jijik padaku sekarang malah takut kehilanganku.”“Tidak usah saling menyindir, kalian berdua itu sama! Pokoknya sebelum menikah kalian tidak boleh berduaan.” Tian langsung memberi peringatan.“Aku tidak begitu lagi, Yah.” Melody merengut kesal.“Bagaimana kalau Melody ikut ayah saja, biar tidak ada kesempatan kalian berduaan.” Tian memberikan saran yang langsung ditolak mentah-mentah oleh keduanya.“Jangan begitu juga, Yah. Aku tidak bis
Bu Sanjaya memberikan undangan pernikahan Edwin dan Amanda yang akan dilaksanakan dua minggu lagi, Melody santai saja karena ia sangat yakin pada Edwin, Edwin tidak akan mungkin main-main.“Sudah tahu Edwin tidak akan menerima, ini namanya mempermalukan diri sendiri. Bagaimana saat hari H Edwin menolak datang?” Melody geleng-geleng kepala, ia sama sekali tidak merasakan lagi ketakutan, tidak takut kehilangan.“Edwin pasti belum mengatakan apa-apa pada Mamanya?” tebak Serra.“Belum, Bun.”“Suruh dia segera selesaikan semuanya, jangan sampai nanti keluarga besar Edwin yang malu.”“Iya, nanti aku bicara pada Edwin soal ini.”Matahari sudah mulai tenggelam, meski ingin menikmati senja lebih lama namun lelah yang dirasa membuat mereka harus beranjak.Setelah selesai membersihkan dirinya, Melody menjemput Zea yang ada di kamar Edwin. Besok mereka akan pulang, mengakhiri liburan meski masih betah untuk berlama-lama.“Ada hal penting yang aku ingin bicarakan,” ungkap Melody.“Apa?”“Nanti saj