Perlahan kudengar suara langkah menjauh, aku yakin jika Alea sudah pergi meninggalkan kamarku. Aku bergerak sedikit saja, khawatir ia masih mengawasi ku.
Tak menyangka jika kondisiku dimanfaatkan, yang membuatku kecewa mengapa Adam justru turut mendukungnya, ternyata semua perhatian, romantismenya hanyalah palsu belaka. Mereka mungkin merencanakan akan menghabisi nyawaku dengan terus mencekokiku obat-obatan yang aku sendiri tidak tahu apa benar obat untuk penyakit stres dan sudah diresepkan dengan benar melalui dokter. Kebiasaan baru selama dua hari tak menenggak obat yang diberikan Alea, ternyata berpengaruh baik pada fisikku, aku sudah bisa menggerakkan lebih banyak kedua kaki dan tanganku, pusing yang kerap melanda, perlahan menghilang. Aku masih menunggu selama dua atau tiga jam saat Alea lengah, aku yakin ada saatnya ia begitu asik bermain dengan anakku, Rafiqa hingga melupakan aku. Meski kutahu setiap satu jam sekali, ia akan mendatangi kamar untuk mengecek kondisiku. Aku berjalan mengendap mengintip dari tirai jendela, kulihat Alea tengah sibuk menerima telepon dengan wajah ceria, ia bahkan tak mempedulikan Rafiqa yang bermain boneka sendirian berjarak lima meter dari posisinya. Inilah kesempatanku, segera melangkah menuju ke kamar utama di mana beberapa malam yang lalu kupergoki kemesraan antara suami dan perempuan yang bertugas menjaga anak dan diriku selama beberapa bulan ini. Fokusku hanya satu, aku harus menemukan segera handphoneku. Satu persatu kubuka lemari, namun benda pipih itu tak jua kutemukan. Aku harus bergerak cepat sebab tak ingin melihat Alea kembali dengan cepat ke dalam rumah ini, bisa hancur semua rencanaku. Hampir saja putus asa saat mendengar suara pintu depan terdengar dibuka dan menyusul suara anak pertamaku. Tiba-tiba saja mataku melihat handphoneku persis ada di atas meja kerja suamiku, gegas kuambil dan bersembunyi sementara di balik pintu sambil menunggu Alea masuk, beruntung ia melewati kamar utama, sepertinya ia masuk ke kamar Rafiqa, kemungkinan untuk menidurkan anakku. Dengan langkah pasti, aku kembali ke kamar. Lega ketika sudah bisa mencapai ranjang dan berselimut kembali. Handphone kusimpan dibalik bantal, aku belum bisa menghubungi seseorang saat ini, tetap saja menunggu waktu yang tepat karena aku tahu bisa saja sewaktu-waktu Alea masuk memeriksaku. Benar saja, sepersekian menit ia sudah mendatangiku, hanya sebentar dan ia pun menutup pintu kembali. Lega rasanya. Aku mengambil handphone dan mulai memencet tombol menghidupkannya, namun apes karena gawaiku sama sekali tak menyala. Mungkin saja selama beberapa bulan ini tidak di charger, aku mengumpat dalam hati. Itu artinya aku harus mencari charger nya supaya bisa menghubungi Sandra. “Ya Tuhan, bagaimana ini?” keluhku. *** Sudah dua hari ini Sandra tak muncul, sebelumnya ia berjanji akan mencari tahu obat apa yang diberikan padaku. Aku tak mungkin terus-menerus berdiam diri dan berpura-pura menelan obat yang diberikan Alea, aku yakin lama kelamaan aksi yang kulakukan akan ketahuan. Menunggu Sandra seperti menunggu pacar yang berjanji akan datang untuk apel di malam minggu. Deg-degan tak karuan. Baru saja aku akan mengintip aktivitas yang dilakukan suami dan anakku di halaman rumah, suara langkah kaki membuatku secepatnya berlari kecil lalu berbaring ke tempat tidur tanpa ketahuan. Tak lama suara decitan pintu terdengar. Aku menutup mata seakan tertidur. Begitu kubuka sedikit mataku, bisa kulihat Alea nampak membubuhkan sesuatu ke makananku, kali ini ia bertindak lebih pintar. Kurasa ia tak lagi memintaku meminum obat seperti biasanya, setelah selesai ia lantas membangunkanku, sengaja lama baru membuka mata. “Makanlah, Bu. Hari ini aku siapkan sup ikan kesukaan Ibu, mau aku suapi?” tanyanya dengan suara lembut. Benar-benar pandai bersandiwara, saat aku terlelap tidur karena pengaruh obat, dia dengan gampangnya menamparku waktu itu dan sekarang saat mataku terjaga, ia selayaknya menjalankan tugasnya sebagai baby sitter Rafiqa sekaligus orang yang melayani kebutuhanku dengan suara selembut mungkin. Munafik. “Aku belum lapar, aku ingin sekali jalan-jalan menikmati pemandangan di luar sana, rasanya sudah terlalu lama berdiam diri di kamar ini,” sahutku. Tentu saja tak membuatnya senang. Ia pasti berharap aku langsung melumat makanan yang ia hidangkan, aku sengaja beralasan supaya aku selamat dari rencana busuknya yang ingin membuatku tertidur pulas selama dua belas jam atau mungkin membuatku tertidur selamanya. “Keadaan Ibu masih sangat lemah, tidur adalah obat terapi yang baik untuk Ibu. Pak Adam juga tak akan mau Ibu melewatkan masa penyembuhan, berjalan-jalan ke luar rumah hanya akan menambah bakteri yang bisa saja masuk ke dalam tubuh Ibu yang lemah,” sarannya yang tentu saja hanya menguntungkannya dengan keadaanku yang lemah begini. Pintar sekali beralasan, meski begitu aku tak mau mengikuti kemauannya. Aku pemilik rumah ini dan aku yang berhak atas keselamatan diriku, ia hanya pembantu, begitulah anggapanku. Kenapa aku harus takut padanya? Tetapi bila memikirkan kemesraannya bersama suamiku, aku sangat yakin jika suamiku akan dengan cepat membela betina jadi-jadian ini lalu menendang ku dari rumah ini dengan cara apapun juga dan lebih memilih perempuan muda, cantik dan aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dirinya. Bingung jadinya. “Biarkan saja jika Ibu mau berjalan-jalan ke luar rumah, itu lebih baik buatnya daripada ia terus berdiam diri di dalam kamar, Ibu Viona mungkin sumpek berlama-lama di tempat yang sama. Bawa saja Ibu ke luar, untuk makan biar saja setelah ia kembali barulah dikasih,” Lega rasanya ketika mendengar suara Adam yang jelas membelaku. Kulihat kilat marah di mata Alea. “Tapi, Pak … Ibu kan butuh ….” Belum selesai ia berucap, kalimatnya sudah terpotong. “Tidak apa-apa, bawa saja Ibu Viona ke luar, anakku Rafiqa juga sudah lama tak bermain-main lagi dengannya,” tegas Adam membuat Alea bungkam. Tak menyangka Adam tak sependapat dengan perempuan di depanku ini. Aku tersenyum samar. Mau tak mau Alea membantuku bangkit, aku senang sekali. Perlahan ia menuntunku ke halaman dan mendudukkan ku di kursi taman sambil sesekali melihat Rafiqa bermain. Hanya sebentar saja menikmati pemandangan, tak kulihat suami juga Alea di antara kami, entah ke mana mereka. Aku menoleh mencari, mereka memang tidak ada. Tak sengaja mataku menangkap sosok mereka berdua berdiri di bawah pohon yang berjarak sekitar dua puluh meter dari tempatku kini dan yang pasti dalam keadaan marah alias bertengkar, karena Alea terlihat mengangkat tangannya berulang kali dengan wajah tegang. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak mau tahu dan lagi-lagi seakan tidak peduli ada masalah apa dengan mereka. Hanya perlu memikirkan apa rencana ku selanjutnya.Part 19 Pov Viona Sandiwara yang dimainkan Calvin benar-benar membuatku terjebak, aku harus terus bersandiwara demi kesehatan neneknya. Meski sedikit menolak dengan permintaan nenek untuk membuatku dekat dengan cucu kesayangannya itu, akan tetapi jika kupikir aku menyamar menjadi calon istrinya, tentu saja kami harus bermesraan supaya tak ketahuan. Aku sih santai saja, hanya saja semakin lama di rumah ini bisa saja membuat rencanaku terhadap Adam akan berantakan. Jika nanti acara santai di taman belakang ini selesai, aku akan langsung berbicara dengan Calvin mengenai semuanya. Sebelumnya aku tidak berterus terang kejadian yang sebenarnya menimpaku, Calvin setidaknya harus tahu supaya aku mudah meminta bantuannya. Aku harus segera meminta bantuan padanya karena sampai sekarang aku tak tahu bagaimana nasib putri semata wayangku, Rafiqa. Anak cantikku itu terus membayangiku. Aku sudah terlalu banyak membantu Calvin dengan menjadi calon istrinya. Baru saja santai di belakang, tiba-t
Part 18 “Nenek? Nenek sudah bangun?” Aku langsung menghampiri dan membawa nenek ke dalam kamarnya. Aku tahu jika ia masih butuh penjelasan dariku, hanya saja aku memilih santai dan tak mau menanggapi sambil mencari alasan tepat agar ia tak curiga sama sekali. Di belakang kami, Viona mengekor. Ia juga tak banyak bicara. Mungkin ia sama bingungnya dengan aku sebab kami sama-sama syok dan saling melemparkan pandangan yang mengisyaratkan kami tak tahu harus menjawab apa. “Nenek katanya tadi ingin membawa jalan-jalan Viona? Kenapa malah ketiduran?” Pengalihan topik saat ini sangat diperlukan. Tak lama nenek memasang wajah sumringah.Lega rasanya.“Oiya, aku ingin membawanya memilih pakaian di butik langganan kita. Rasanya sudah lama kita tidak ke sana,” kata nenek. Aku sebenarnya tak mempermasalahkan nenek akan ke luar bersama Viona, hanya saja jika sampai Adam dan orang suruhannya memergoki Viona maka akan selesai semuanya dan ketahuan siapa Viona sebenarnya. Aku memilih mengamankan
Part 17 “Mau ke mana kita?” “Viona kabur,”“Hahh,”“Sudahlah, nggak usah banyak bicara. Ikut saja denganku,” ajak ku dengan cepat. Aku dan Alex memutuskan pergi ke rumah dulu memastikan apa benar Viona kabur atau kemungkinan ia diculik, bisa saja semua itu terjadi dan kami harus mencari tahu kronologi kejadiannya.Baru saja aku sampai di rumah, dua pelayan menyambut ku dengan wajah pucat dan kebingungan, “Sejak kapan Viona pergi?” tanyaku. Dua pelayan perempuan itu saling melempar pandangan satu sama lainnya. "Kami pikir Bu Viona bersiap-siap mau bepergian bersama tuan, tapi ditunggu lama nggak ada juga Bu Viona ke luar, begitu kami berdua cek di kamar, ternyata Bu Viona sudah tidak ada,”Aku dan Alex lantas memeriksa ke dalam kamar di mana semalam Viona tidur, benar saja semuanya dalam keadaan kosong hingga ke dalam kamar mandi. “Bagaimana dengan nenek? Apa dia sudah tahu?” Kedua pelayan tadi yang sejak tadi mengikuti langkah kami ke kamar, kompak menggelengkan kepala. “Nenek
Part 16Pov Calvin“Informasi yang kudapatkan tentang Viona Putri Wijaya memang dia adalah pewaris tunggal keluarga Wijaya karena dia satu-satunya anak Tuan Brata Wijaya yang meninggal dua tahun lalu akibat kecelakaan pesawat, menurut info yang ku kumpulkan bahwa kecelakaan yang dialami kedua orang tua Viona adalah sebuah rekayasa yang sudah disusun sedemikian rupa karena ada pihak yang menginginkan kematian mereka.” Siang itu aku mengobrol dengan Alex di ruangan kantorku.Aku syok mendengar keterangan dan beberapa gambar Tuan Brata Wijaya beserta istri juga Viona yang waktu itu mungkin berusia lima atau enam tahun. Ternyata benar jika Viona adalah anak tunggal Brata Wijaya. Keluarga mereka terlihat begitu bahagia, aku memperhatikan gambar-gambar yang diserahkan Alex, orang suruhan sekaligus asisten sekretarisku di kantor. Alex sejatinya sahabatku, apa saja informasi yang ingin kudapatkan maka ia selalu punya jalan untuk mendapatkannya, tak sia-sia ia ku jadikan asisten sekaligus pe
Part 15 Calvin mengeratkan genggaman tangannya padaku lantas memberi isyarat agar aku memberikan senyuman pada perempuan yang terbilang lebih muda dengan sebutan neneknya tersebut. Aku mengikutinya kemudian mengambil tangan nenek lalu menciumnya dengan penuh hormat. “Kau memang hebat, Cal. Pilihanmu memang tepat, saat tadi kamu mengatakan bersama siapa dan mengirimkan fhoto nya padaku, rasanya senang melihat wajahnya yang cantik, sangat cantik,” pujinya berlebihan. Senyumku kecut. Aku merasa kecantikanku standar saja. Buktinya saja Adam lebih memilih bersama Alea, perempuan lebih muda dan cantik dariku. “Duduklah, nak. Ayo kita makan malam bersama,” ajaknya. Rasanya ia tak mau melepaskan tanganku. Kami mulai menikmati hidangan di atas meja. Mata nenek tak pernah lepas dariku, ia seakan bangga melihatku. “Kamu berasal dari mana?” tanyanya membuatku hampir saja tersedak. “Nenek? Kenapa harus tanyakan itu pada Viona, Nek?” Calvin protes. Nenek malah tersenyum penuh arti. “Tidak ad
Part 14 Pov Viona“Calvin Bintang Pratama, u can call me Cal,” laki-laki yang membantuku ke luar dari penjara rumah sakit jiwa ini mengulurkan tangannya. Akhirnya ia memperkenalkan diri setelah beberapa jam bersamanya tanpa saling tahu nama masing-masing.Memang sejak beberapa jam ini bersamanya, aku ingin tahu siapa namanya. Kini ia mengenalkan dengan diri dengan rasa percaya diri yang tinggi, aku menerima uluran tangannya dan menyebutkan namaku. “Nama yang cantik, secantik orangnya,” gumamnya. Aku mendengarnya dengan jelas namun aku lebih memilih seolah-olah tak mendengar. Gengsi kalau sebentar saja sudah sumringah menerima pujiannya.“Sekarang juga kita ke butik langganan keluargaku, di sana kamu bebas memilih pakaian apa saja yang akan kamu kenakan saat kita bertemu dengan nenekku nanti malam. Eits, biar aku saja yang memilihkan pakaian untukmu,” aku menarik napas panjang. Suka-suka mu lah. Aku menurut saja.Mau tak mau saja mengikuti semua perintahnya, aku bisa apa sebab samp