Setelah memergoki suamiku bermesraan dengan baby sitter putriku, aku sudah tak mau lagi meminum obat-obatan yang diberikan oleh Alea, prasangka buruk terus bermain di otakku.
Aku selalu berhayal jika suamiku juga perempuan imut itu sedang bekerjasama untuk menghilangkan nyawaku pelan-pelan lalu mereka akan puas berduaan dan perempuan itu akan mengganti posisiku sebagai Nyonya Adam Hermawan. “Minum obatnya ya, Bu? Setelah itu beristirahatlah,” sebutnya. Aku mulai memainkan sandiwaraku untuk berpura-pura menelan obat persis di hadapannya, sebab ia tak jua beranjak dari kamarku dengan memastikan aku meminum obat terlebih dahulu. Lalu aku pun berpura-pura berbaring seakan ngantuk melandaku. Begitu kudengar suara pintu tertutup, aku menoleh dengan pelan dan bisa bernapas lega begitu melihat tak ada siapapun dalam ruangan kamarku, aku mengambil obat yang kusembunyikan di bawah lidahku lalu menyimpannya di bawah ranjangku. Perlahan bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu kamar, dengan sangat pelan sekali aku membukanya lalu melihat ke kanan dan ke kiri memastikan situasi aman, dengan tidak ada orang yang memergokiku. Setelah dirasa cukup aman, aku pun melangkah ke luar dan tujuan utamaku ke kamar di lantai dasar alias lantai satu. “Bagaimana? Obatnya sudah dia minum?” terdengar suara Adam menggema di dalam kamar utama kami. “Sudah, aku sudah memastikannya,” jawaban itu aku tahu dari suara Alea. “Kalau begitu tunggu apalagi?” suara renyah tertawa Adam kembali terdengar. Aku mengintip sedikit dari celah pintu yang terbuka. Reflek kedua tanganku menutup mulut, pemandangan yang memang sudah kuduga, akhirnya terjadi. Suami yang begitu romantis, perhatian ternyata menghianatiku bermesraan dengan baby sitter kami. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Kucoba beberapa kali mengedipkan mata, mencubit lenganku memastikan semuanya hanyalah hayalanku saja namun aku masih saja melihat Alea menduduki tubuh suamiku lantas membuka satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya sementara tangan Adam terus beraksi. Napasku naik turun menahan emosi, aku ingin saja melabrak mereka berdua namun keadaanku masih begitu lemah dan tak berdaya. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Aku menangis dan ingin menghilang begitu saja dari sana, tak sanggup mataku melihat kemesraan mereka, Adam sudah menghianati pernikahan yang sudah kami jalani selama tujuh tahun. Tega kamu, Adam. Tanpa sengaja tanganku menyenggol vas bunga yang tak jauh dari pintu kamar tersebut, vas terjatuh dan bunga serta tanah di dalamnya terhambur begitu saja. Tentu saja aku panik dan lantas melangkah cepat menuju kamarku. Baru saja selesai menyelimuti diriku dan berbalik berpura-pura tidur, terdengar suara pintu kamar terbuka, aku memejamkan mata dan benar-benar bersandiwara seakan-akan tidurku pulas sekali. Plak … plak … Terasa sekali perih di kedua pipiku, namun sebisa mungkin kutahan. Aku tahu Alea yang melakukannya. Ia tega dan berani sekali. “Hei, apa yang kamu lakukan. Kamu tidak lihat dia sudah tertidur?” Suara Adam terdengar. “Siapa tahu saja dia belum tidur dan mungkin saja dia memergoki kita tadi di kamar, Mas. Aku hanya ingin memastikan,” sebutnya. “Sudahlah, kamu saja yang terlalu khawatir. Obat yang kamu kasih, tidak akan membangunkan dia dalam dua belas jam, ia pasti tertidur lelap kayak kerbau, apa sih yang kamu takutkan?” Air mataku hampir saja mengalir. Ya, Tuhan. Sudah sedekat apa suamiku dengan baby sitter ini, ia sudah memanggil dengan sebutan “Mas” ditambah lagi ia dengan beraninya menamparku di depan Adam, bahkan suami yang begitu kupuja ternyata malah bekerjasama membuatku tidur tanpa jeda, jadi benar saja apa yang sudah aku pikirkan sejak melihat kemesraan mereka tadi pagi. Aku menghela napas panjang begitu mendengar suara langkah kaki mereka ke luar dari kamarku. Aku menahan suara tangis sesengukan agar tak terdengar oleh kedua orang itu, hidupku benar-benar hancur mengetahui suamiku selingkuh dengan baby sitter bayarannya, yang lebih menyakitkan apa yang dilakukan oleh Alea seakan mendapatkan restu dari Adam. Ia setuju Alea memberikan obat padaku agar mereka berdua bisa leluasa bersama. Apa yang harus kulakukan kini? Kali ini terpaksa harus berdiam diri menunggu waktu yang tepat untuk mencari handphoneku lantas menghubungi Sandra untuk membantuku, setidaknya ke luar dari sini secepatnya. Fiqa, ya Rafiqa akan kubawa serta. *** Seperti biasa setiap pagi aku bangun dari tidurku dan bersikap normal dengan memakan habis sarapan yang disiapkan, dan meminum obat yang aku letakkan di bawah lidahku. “Aku jalan dulu ya, Sayang. Ingat semua makanan dan obat yang disiapkan Alea, wajib kamu habiskan biar cepat sembuh dan kalau kamu sembuh, kita akan jalan-jalan ke eropa supaya kamu dan Rafiqa senang,” Adam muncul dan langsung duduk di bibir ranjang menghadap ku. Jika ia lontarkan kalimat romantis beberapa hari yang lalu, mungkin aku akan senang dan berbunga-bunga mendengarnya. Namun, tidak lagi pagi ini setelah apa yang kulihat semalam, aku juga tidak sedang bermimpi, semuanya nyata bagaimana kemesraan mereka berdua, terasa jijik melihat wajah keduanya, sebisa mungkin aku tahan. Dan aku mengangguk pelan seperti kebiasaanku selama ini. Adam berdiri dan menghadap Alea. “Alea, pastikan Ibu selalu meminum obat, bila perlu periksa mulutnya jangan sampai ia tak meminumnya sama sekali,” Posisi Adam yang membelakangiku dan tengah asik berbicara dengan Alea, kumanfaatkan untuk membuang obat yang kusembunyikan ke samping tanganku lantas tanganku menarik ke dalam bantalku secepat mungkin. “Baik, Pak,” singkat sekali mereka berbicara, tetapi tidak jika mereka berdua di dalam kamar berduaan. Dasar munafik. Rasanya ingin sekali meludahi wajah mereka berdua. Sabarlah, Viona. Misiku hari ini akan mencari keberadaan handphone yang entah disimpan di mana. Begitu mereka berdua ke luar dari kamar, aku mengamankan kembali pil yang belum ku telan. Di bawah ranjang menjadi targetku. Saat ini aku masih berbaring, memejamkan mata sambil berpikir apa yang harus kulakukan, suara kendaraan Adam terdengar meninggalkan halaman, menyusul beberapa menit suara langkah kaki Alea menghampiri kamarku, aku kembali memejamkan mata dan dengan tenang mengatur napas ku. Hanya sebentar saja ia mungkin melihat keadaanku, tak lama suara dering handphonenya berbunyi. “Ya, Kak. Rencana harus kita matangkan lagi, aku yakin dosis obatnya masih kurang,” Apa??? Rencana? Rencana apa? Siapa sebenarnya baby sitter ini dan siapa yang dipanggilnya kakak di telepon tadi?Part 19 Pov Viona Sandiwara yang dimainkan Calvin benar-benar membuatku terjebak, aku harus terus bersandiwara demi kesehatan neneknya. Meski sedikit menolak dengan permintaan nenek untuk membuatku dekat dengan cucu kesayangannya itu, akan tetapi jika kupikir aku menyamar menjadi calon istrinya, tentu saja kami harus bermesraan supaya tak ketahuan. Aku sih santai saja, hanya saja semakin lama di rumah ini bisa saja membuat rencanaku terhadap Adam akan berantakan. Jika nanti acara santai di taman belakang ini selesai, aku akan langsung berbicara dengan Calvin mengenai semuanya. Sebelumnya aku tidak berterus terang kejadian yang sebenarnya menimpaku, Calvin setidaknya harus tahu supaya aku mudah meminta bantuannya. Aku harus segera meminta bantuan padanya karena sampai sekarang aku tak tahu bagaimana nasib putri semata wayangku, Rafiqa. Anak cantikku itu terus membayangiku. Aku sudah terlalu banyak membantu Calvin dengan menjadi calon istrinya. Baru saja santai di belakang, tiba-t
Part 18 “Nenek? Nenek sudah bangun?” Aku langsung menghampiri dan membawa nenek ke dalam kamarnya. Aku tahu jika ia masih butuh penjelasan dariku, hanya saja aku memilih santai dan tak mau menanggapi sambil mencari alasan tepat agar ia tak curiga sama sekali. Di belakang kami, Viona mengekor. Ia juga tak banyak bicara. Mungkin ia sama bingungnya dengan aku sebab kami sama-sama syok dan saling melemparkan pandangan yang mengisyaratkan kami tak tahu harus menjawab apa. “Nenek katanya tadi ingin membawa jalan-jalan Viona? Kenapa malah ketiduran?” Pengalihan topik saat ini sangat diperlukan. Tak lama nenek memasang wajah sumringah.Lega rasanya.“Oiya, aku ingin membawanya memilih pakaian di butik langganan kita. Rasanya sudah lama kita tidak ke sana,” kata nenek. Aku sebenarnya tak mempermasalahkan nenek akan ke luar bersama Viona, hanya saja jika sampai Adam dan orang suruhannya memergoki Viona maka akan selesai semuanya dan ketahuan siapa Viona sebenarnya. Aku memilih mengamankan
Part 17 “Mau ke mana kita?” “Viona kabur,”“Hahh,”“Sudahlah, nggak usah banyak bicara. Ikut saja denganku,” ajak ku dengan cepat. Aku dan Alex memutuskan pergi ke rumah dulu memastikan apa benar Viona kabur atau kemungkinan ia diculik, bisa saja semua itu terjadi dan kami harus mencari tahu kronologi kejadiannya.Baru saja aku sampai di rumah, dua pelayan menyambut ku dengan wajah pucat dan kebingungan, “Sejak kapan Viona pergi?” tanyaku. Dua pelayan perempuan itu saling melempar pandangan satu sama lainnya. "Kami pikir Bu Viona bersiap-siap mau bepergian bersama tuan, tapi ditunggu lama nggak ada juga Bu Viona ke luar, begitu kami berdua cek di kamar, ternyata Bu Viona sudah tidak ada,”Aku dan Alex lantas memeriksa ke dalam kamar di mana semalam Viona tidur, benar saja semuanya dalam keadaan kosong hingga ke dalam kamar mandi. “Bagaimana dengan nenek? Apa dia sudah tahu?” Kedua pelayan tadi yang sejak tadi mengikuti langkah kami ke kamar, kompak menggelengkan kepala. “Nenek
Part 16Pov Calvin“Informasi yang kudapatkan tentang Viona Putri Wijaya memang dia adalah pewaris tunggal keluarga Wijaya karena dia satu-satunya anak Tuan Brata Wijaya yang meninggal dua tahun lalu akibat kecelakaan pesawat, menurut info yang ku kumpulkan bahwa kecelakaan yang dialami kedua orang tua Viona adalah sebuah rekayasa yang sudah disusun sedemikian rupa karena ada pihak yang menginginkan kematian mereka.” Siang itu aku mengobrol dengan Alex di ruangan kantorku.Aku syok mendengar keterangan dan beberapa gambar Tuan Brata Wijaya beserta istri juga Viona yang waktu itu mungkin berusia lima atau enam tahun. Ternyata benar jika Viona adalah anak tunggal Brata Wijaya. Keluarga mereka terlihat begitu bahagia, aku memperhatikan gambar-gambar yang diserahkan Alex, orang suruhan sekaligus asisten sekretarisku di kantor. Alex sejatinya sahabatku, apa saja informasi yang ingin kudapatkan maka ia selalu punya jalan untuk mendapatkannya, tak sia-sia ia ku jadikan asisten sekaligus pe
Part 15 Calvin mengeratkan genggaman tangannya padaku lantas memberi isyarat agar aku memberikan senyuman pada perempuan yang terbilang lebih muda dengan sebutan neneknya tersebut. Aku mengikutinya kemudian mengambil tangan nenek lalu menciumnya dengan penuh hormat. “Kau memang hebat, Cal. Pilihanmu memang tepat, saat tadi kamu mengatakan bersama siapa dan mengirimkan fhoto nya padaku, rasanya senang melihat wajahnya yang cantik, sangat cantik,” pujinya berlebihan. Senyumku kecut. Aku merasa kecantikanku standar saja. Buktinya saja Adam lebih memilih bersama Alea, perempuan lebih muda dan cantik dariku. “Duduklah, nak. Ayo kita makan malam bersama,” ajaknya. Rasanya ia tak mau melepaskan tanganku. Kami mulai menikmati hidangan di atas meja. Mata nenek tak pernah lepas dariku, ia seakan bangga melihatku. “Kamu berasal dari mana?” tanyanya membuatku hampir saja tersedak. “Nenek? Kenapa harus tanyakan itu pada Viona, Nek?” Calvin protes. Nenek malah tersenyum penuh arti. “Tidak ad
Part 14 Pov Viona“Calvin Bintang Pratama, u can call me Cal,” laki-laki yang membantuku ke luar dari penjara rumah sakit jiwa ini mengulurkan tangannya. Akhirnya ia memperkenalkan diri setelah beberapa jam bersamanya tanpa saling tahu nama masing-masing.Memang sejak beberapa jam ini bersamanya, aku ingin tahu siapa namanya. Kini ia mengenalkan dengan diri dengan rasa percaya diri yang tinggi, aku menerima uluran tangannya dan menyebutkan namaku. “Nama yang cantik, secantik orangnya,” gumamnya. Aku mendengarnya dengan jelas namun aku lebih memilih seolah-olah tak mendengar. Gengsi kalau sebentar saja sudah sumringah menerima pujiannya.“Sekarang juga kita ke butik langganan keluargaku, di sana kamu bebas memilih pakaian apa saja yang akan kamu kenakan saat kita bertemu dengan nenekku nanti malam. Eits, biar aku saja yang memilihkan pakaian untukmu,” aku menarik napas panjang. Suka-suka mu lah. Aku menurut saja.Mau tak mau saja mengikuti semua perintahnya, aku bisa apa sebab samp