“Kenapa memangnya, Bu?” balasku seraya mendekati kursi yang berlawanan dengan ibu mertua. Perempuan itu malah mencebik. Didorongnya mangkuk yang berisi potongan ayam goreng. Wajahnya bengis, persis seperti malam itu, saat aku tiba-tiba berakhir di rumah sakit.
“Loh, kok kenapa, Kirana? Kamu ini tidak paham atau bagaimana? Fani itu sudah Ibu suruh kerja di sini, buat ngurusin Hadri. Semua ini penyebabnya ya karena kamu enggak bisa ngurus Hadri!” cecar ibu mertua ke arahku.
Ucapannya itu tidak sepenuhnya salah. Memang kehadiran Fani sangat membantu. Aku tidak perlu pusing soal cucian, rumah yang berdebu atau menu makan setiap harinya. Pulang kerja, tugasku beristirahat lalu melayani Mas Hadri, sisanya di-handle oleh Fani.
Hanya saja, aku tidak bisa lagi percaya sepenuhnya pada perempuan itu. Terlalu banyak hal mencurigakan darinya, terutama setelah aku menemukan Fani di dalam kamarnya saat aku dinas
Dua tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mengurus proyek besar perusahaan di negeri orang. Bukan pula waktu yang sebentar untuk terus-menerus menepis kehadiran seseorang yang tak pernah lelah menunjukkan ketulusan. Alam tetap pada janjinya. Dia tidak pernah memaksakan perasaannya, namun keberadaannya terasa begitu solid, seperti pilar yang tidak terlihat di sekelilingku. Dia menjadi bagian tidak terpisahkan dari hari-hariku di Malaysia, baik di kantor maupun di luar itu, seolah takdir memang sengaja menempatkannya di sana.Kami sering makan siang bersama. Kadang dengan tim, kadang hanya berdua karena jadwal yang pas. Obrolan kami selalu berkisar tentang pekerjaan, tren industri, atau sesekali tentang buku dan film. Dia tidak pernah lagi mengungkit soal "mengenal lebih jauh" atau "menjadikan keluarga". Alam menghormati batasan yang kubuat. Dan justru itu yang membuat hatiku mulai terasa aneh. Mengapa dia tidak menyerah? Mengapa dia tidak bosan?Suatu sore, setelah rapat yang melelah
Aku pulang ke Jakarta, menyelesaikan semua urusan perceraian dengan Hadri yang masih saja berbelit.Pria itu terus menolak, mencari-cari alasan, seolah dia korban dan aku si penjahat. Entah berapa kali aku harus menahan diri untuk tidak meledak di ruang sidang. Namun, dengan bantuan pengacara yang cakap, proses itu akhirnya selesai. Aku resmi menjadi janda.Kini, aku benar-benar sendiri.Trauma itu nyata. Setiap kali ponselku berdering, aku langsung menegang, seolah itu adalah panggilan tak terjawab dari Hadri. Setiap melihat gaun tidur di toko, ingatanku kembali pada gaun-gaun yang muncul misterius di keranjang cucian.Pernikahan, hubungan, bahkan pria, semua terasa seperti jebakan yang siap menelanku hidup-hidup. Aku membakar semua foto pernikahan, juga gaun tidur yang pernah kupakai untuk menyenangkan Hadri, gaun yang seharusnya menjadi simbol keintiman, kini hanya mewakili kebohongan dan pengkhianatan. Api melahap kain dan kertas, dan aku berharap dia juga membakar semua kenangan
“Apa katamu?” Mas Hadri memelotot. Padahal, pernyataan itu muncul dari mulut Alam, bukan dariku. “Kalian memang sudah merencanakan ini semua!” tuduhnya sembari mengacungkan telunjuk ke mukaku.“Iya!” tukasku langsung.Mas Hadri jelas tidak terima, saat kulangkahkan kaki untuk menjauh darinya, lenganku dicengkeram begitu kuat sampai terasa perih. Pria itu juga menarikku ke arahnya, mengguncang beberapa kali sampai untaian rambutku beterbangan bak ditiup angin. “Lepas, Mas. Ini sudah keterlaluan, aku bisa panggil polisi kalau kamu tidak pergi!” ancamku. Tubuh ini terus berusaha melepaskan diri darinya, sebab setiap sel yang ada di dalam diriku memberontak, jijik dan juga muak dengan pria ini.“Polisi? Kamu mau masukin aku ke penjara, Kir?”“Iya, lalu apa lagi? Kamu memaksa masuk ke dalam rumah orang lain, mendorong dan menyakitiku, mengganggu ketenangan lingkungan ini, apa lagi itu namanya kalau bukan perbuatan kriminal? Lepas atau kulaporkan kamu ke polisi?” Suaraku menukik tajam, me
“Eh, itu ....”Aku melenggang di antara deretan kubikel-kubikel berwarna biru elektrik. Para penghuninya menoleh ke arahku, menyunggingkan mulut, mencolek teman sebelah atau bahkan mengirimkan pesan lewat aplikasi chat.Mereka melakukan ini semua bukan tanpa alasan. Sudah sebulan lamanya sejak aku melayangkan gugatan perceraian ke pengadilan. Pengacara yang kubayar mahal agar bisa membungkam Mas Hadri dan keluarganya sudah memastikan kalau pengadilan mendapatkan semua bukti perselingkuhan Mas Hadri, penipuan yang dilakukan olehnya dan ibunya, serta semua hal busuk yang mereka lakukan di belakangku.Seharusnya, aku cukup tenang sampai di titik itu. Tapi ....“Kudengar, memang Bu Kirana sih yang nge-godain Hadri. Maklum, umur sudah banyak tapi belum ada yang ngajak nikah. Sekalinya kenal sama brondong langsung dipikat!” cecar seorang perempuan yang mencepol rambutnya.Dia menutup mulut usai berkata demikian. Temannya yang menyimak terkikik geli, lalu buru-buru mengatur ekspresi karena a
“Kamu kira, aku tidak akan pernah tahu, Mas? Dengan apa Ibumu memukul kepalaku malam itu?” Suaraku menukik tajam, aku berang hingga berteriak pada Mas Hadri.Sudah tidak ada lagi rasa hormatku pada pria ini, juga pada ibunya yang kini menatapku dengan sorot mata membelalak. Sudah pasti, perempuan itu tidak menyangka kalau aku menyadari apa yang dilakukan olehnya. Sayangnya, bukti tidak ada, hanya ingatan serta pantulan sosok ibu mertua dari jendela lemari yang menjadi saksinya.“Mana mungkin!” lirih ibu mertua sembari menutup mulut.Aku tersenyum, mengejeknya. “Bu, ada alasan kenapa aku bisa jadi pejabat perusahaan di usia muda!” sindirku.“Kirana, itu semua hanya kesalahpahaman. Kamu tahu kan akibatnya kalau perempuan meminta cerai? Apa kamu kira akan ada lelaki lain yang mau menerimamu?” ucap Mas Hadri.Perkataannya berhasil menorehkan segaris luka di dalam dadaku. Dia memperlakukanku seperti seorang perempuan hina yang hanya bisa bahagia di dalam kungkungan lelaki.“Mas, aku bukan
“Bagus, Mas. Kamu sama dia memang sudah seharusnya pisah. Mau tunggu sampai kapan?” Ica berseru. “Aku mau segera kita daftarkan pernikahannya ke KUA, Mas.”Aku menyungging senyum mendengar ocehan dari perempuan itu. Umurnya jauh lebih muda dariku, tapi liciknya sudah tidak tertandingi. Dia minta Mas Hadri membuangku agar segera menjadikannya istri sah secara negara.“Sepakat. Kalau begitu masalahnya sudah selesai, kan?” imbuhku lagi tetap mengatur ekspresi.Kali ini, hanya aku yang berbicara. Bapak mengepal tangan di dalam pangkuannya, sedangkan ibu terus menggenggam erat tangan Della. Tentu saja hatinya hancur melihat pernikahanku berantakan seperti ini.Tapi, ini sudah akhirnya. Tidak ada alasan bagiku untuk bertahan, apa lagi sampai mengemis.“Kirana, kamu mau pisah dariku?”“Iya, mau apa lagi? Mumpung belum punya anak juga, Mas. Setidaknya yang kamu sakiti cuma aku, bukan anak-anak yang tidak tahu apa-apa,” balasku lagi. “Lagian, kamu kan sudah punya istri, jangan tamak ingin puny