Gaun malam yang tidak terpakai karena sibuk dinas keluar kota sering kutemukan di keranjang baju kotor. Berbau busuk, bahkan koyak, seolah-olah ada yang memakainya. Lalu, rumah kami mendadak angker, seorang perempuan dengan gaun terbuka sering muncul di tengah malam, lalu menghilang tanpa jejak. Ternyata ....
Lihat lebih banyakGaun malam yang tidak terpakai karena sibuk dinas keluar kota sering kutemukan di keranjang baju kotor. Berbau busuk, bahkan koyak, seolah-olah ada yang memakainya. Lalu, rumah kami mendadak angker, seorang perempuan dengan gaun terbuka sering muncul di tengah malam, lalu menghilang tanpa jejak.
Ternyata ....
"Mas?" Aku memanggil lembut. Seisi rumah hanya diterangi oleh lampu remang kekuningan.
Sejujurnya, tubuh ini merinding setiap kali berjalan sendirian di malam hari meski di rumah sendiri. Mas Hadri selalu mengingatkanku jika ada sosok misterius yang berkeliaran saat malam, berpakaian terbuka dan selalu menutup wajah dengan rambut panjang.
Rasanya ingin segera aku masuk ke kamar. Namun, langkah ini terpaksa berhenti dan beralih menuju dapur. Aku haus, pulang dari jauh dan kelelahan. Mas Hadri tidak kukabari karena ingin sekali memberinya kejutan. Kami masih tergolong pengantin baru, sudah pasti kepulanganku sangat ditunggu
Selangkah, dua langkah, aku mendekat ke dapur. Tiba-tiba, netra ini beradu dengan sosok samar yang berdiri di kejauhan. Tubuhnya kurus, berambut panjang nan lurus, persis seperti yang selalu diceritakan Mas Hadri.
Sontak aku membatu di tempat. Tidak lagi bisa bergerak karena ketakutan yang membunuh keberanian. Bahkan bibir ini terkatup rapat sampai tidak ada yang suara yang keluar.
Jarakku dengannya kurang dari tiga meter. Tapi, hadirnya jelas terlihat oleh mata.
Dia berdiri di dekat dispenser air, menundukkan kepala sampai seluruh rambutnya menutupi wajah. Kulitnya putih, cenderung pucat. Dia juga memakai gaun selutut yang berwarna senada dengan kulit.
“Siapa ….“
“Sayang?“ Aku lekas menolehkan wajah. Mas Hadri sudah berdiri di belakangku dengan ekspresi bingung.
Di bawah remangnya lampu rumah serta suasana mencekam yang baru saja kurasa, Mas Hadri muncul dengan bertelanjang dada. Pria itu melihat diriku, menatap dengan sorot mata yang sedikit ragu, serta sikap yang kikuk.
Aku mencoba mendekat padanya, masih mengandalkan kewarasan yang tersisa. “Mas, kenapa enggak pakai baju?” tuturku padanya sembari menunjuk dada bidang pria itu.
Seketika, seluruh tubuhku merinding. Di malam dingin ini, Mas Hadri bertelanjang dada. Padahal, selama menikah denganku, tidur pun tubuhnya tetap memakai pakaian lengkap karena tidak tahan dengan cuaca dingin.
“I-itu ... kamu baru pulang, Sayang? Harusnya kabarin aku!” balas Mas Hadri.
Pria itu mendekat, namun saat jarak kami hanya tersisa satu meter, aku mengendus aroma keringat darinya. Sontak aku melangkah mundur, kemudian mengangkat tangan.
“Mas, malam-malam begini kamu berkeringat?” desakku masih tidak mengerti. Seluruh rumah ada pendingin ruangannya, tidak mungkin dia gerah atau kepanasan.
Ada apa dengan Mas Hadri? Kenapa dia begitu kikuk padahal aku baru saja dihampiri setan penunggu rumah ini? Bukankah seharusnya dia juga kaget atau takut?
“Kamu bahas apa, sih? Kenapa selalu curiga sama suamimu sendiri!” sahutnya dengan suara keras.
Keningku mengernyit, bisikan di dalam hati tidak mungkin salah sama sekali. Ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini telah terjadi tanpa sepengetahuanku.
“Mas, apa Mas tahu soal gaun-gaunku yang selalu kutemukan di keranjang baju kotor?” elakku sembari mengerling ke arah dapur. Tiba-tiba saja aku ingin mengungkit perihal penemuanku selama ini.
Benar saja dugaanku barusan, sosok yang entah nyata atau tidak itu sudah menghilang tanpa jejak. Berganti kesunyian di tempatnya berdiri sesaat lalu. Sekarang, tidak penting lagi bertanya pada Mas Hadri apakah dia melihat sosok itu atau tidak.
“Gaun? Kamu ngomong apa, Sayang?” Mas Hadri kembali mengajukan pembelaan.
Pria itu bergerak mendekat ke arahku, mengulurkan tangannya untuk meraih diriku. Namun, berkat itu aku juga bisa melihat karet pinggang celananya yang tidak rapi, sedikit turun di bagian pinggul.
Ada apa sebenarnya dengan Mas Hadri dan rumah ini?
“Bukan sekali aku nemuin gaun yang enggak aku pakai di keranjang baju kotor, Mas!” jelasku padanya.
Tapi, Mas Hadri malah mengernyit. Dia menganggapku aneh.
“Kamu capek kerja sampai halusinasi, Sayang. Aku sudah bilang, kan ... turun saja dari jabatanmu itu. Enggak baik kalau penghasilan istri terlalu besar dibanding suami!” papar Mas Hadri.
Ya, begitulah kenyataannya. Ini sudah enam bulan pernikahan. Aku adalah atasan Mas Hadri di kantor, gajiku lebih besar tiga kali lipat dari pria itu. Pernikahan ini, entah bagaimana awalnya.
“Mas ....”
“Kita istirahat dulu, Sayang. Aku capek.” Mas Hadri berbicara sembari menyugar rambutnya.
Aku terkejut, membelalakkan mata melihat gelagatnya barusan. Mas Hadri memang rupawan, dan dia menyadari karisma serta kelebihan yang ada pada dirinya itu. Menyugar rambut adalah salah satu kebiasaan yang dia lakukan setiap kali kami melepaskan penyatuan di ranjang. Mas Hadri puas, itulah tandanya!
“Kamu habis ngapain?” potongku sembari menatap ke arahnya.
Kemudian, aku terburu-buru beranjak menuju dapur, lalu ke ruang laundry yang terbuka. Mas Hadri berlari mengejar, pria itu bertanya apa yang aku lakukan di malam hari begini saat semua orang sudah tidur. Seharusnya aku juga beristirahat di kamar dengan tenang, bukannya membuat keributan.
“Kamu diam saja di situ, Mas!” tahanku seraya mengobrak-abrik keranjang baju kotor yang belum dibersihkan itu.
Tidak butuh waktu lama, setelahnya aku langsung menemukan gaun malam di sana. Secarik kain tipis yang sangat menggoda, aku beli belum lama dan seharusnya masih tersimpan rapi di lemari karena belum pernah kupakai. Harganya mahal, terbuat dari sutera bagus, sengaja kubeli untuk menyenangkan hati Mas Hadri.
“Jelaskan sama aku, Mas ... kenapa gaun-gaunku selalu ada di keranjang kotor? Apa yang sebenarnya kamu lakukan di belakang aku dan kenapa gaun-gaun ini beraroma busuk?” pekikku seraya melempar gaun itu ke arah Mas Hadri.
Jika sebelumnya aku bisa menerima semua penjelasan, kali ini aku tidak akan bisa dengan mudah dibodohi.
Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Kenapa gaun malam milikku selalu kotor saat aku berangkat dinas keluar kota? Apa Mas Hadri bermain api dengan pembantu di rumah kami? Tapi perempuan itu tidak pernah kuizinkan datang kalau aku sedang dinas. Lantas ....
“Sa-yang ....”
“Jelaskan atau aku buat kamu menderita, Mas!” ancamku kembali padanya. “Kamu tahu kan kalau aku bisa menghadiahimu neraka?
“Kirana, kenapa kamu teriak? Apa ....”
Aku memalingkan muka, sosok pria dengan tubuh tinggi menjulang sudah berdiri di ambang pintu. Dia menatap diriku dengan wajah khawatir.
“Kirana, siapa pria ini?” sahut Mas Hadri kemudian seraya menunjuk pria itu.
Dua tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mengurus proyek besar perusahaan di negeri orang. Bukan pula waktu yang sebentar untuk terus-menerus menepis kehadiran seseorang yang tak pernah lelah menunjukkan ketulusan. Alam tetap pada janjinya. Dia tidak pernah memaksakan perasaannya, namun keberadaannya terasa begitu solid, seperti pilar yang tidak terlihat di sekelilingku. Dia menjadi bagian tidak terpisahkan dari hari-hariku di Malaysia, baik di kantor maupun di luar itu, seolah takdir memang sengaja menempatkannya di sana.Kami sering makan siang bersama. Kadang dengan tim, kadang hanya berdua karena jadwal yang pas. Obrolan kami selalu berkisar tentang pekerjaan, tren industri, atau sesekali tentang buku dan film. Dia tidak pernah lagi mengungkit soal "mengenal lebih jauh" atau "menjadikan keluarga". Alam menghormati batasan yang kubuat. Dan justru itu yang membuat hatiku mulai terasa aneh. Mengapa dia tidak menyerah? Mengapa dia tidak bosan?Suatu sore, setelah rapat yang melelah
Aku pulang ke Jakarta, menyelesaikan semua urusan perceraian dengan Hadri yang masih saja berbelit.Pria itu terus menolak, mencari-cari alasan, seolah dia korban dan aku si penjahat. Entah berapa kali aku harus menahan diri untuk tidak meledak di ruang sidang. Namun, dengan bantuan pengacara yang cakap, proses itu akhirnya selesai. Aku resmi menjadi janda.Kini, aku benar-benar sendiri.Trauma itu nyata. Setiap kali ponselku berdering, aku langsung menegang, seolah itu adalah panggilan tak terjawab dari Hadri. Setiap melihat gaun tidur di toko, ingatanku kembali pada gaun-gaun yang muncul misterius di keranjang cucian.Pernikahan, hubungan, bahkan pria, semua terasa seperti jebakan yang siap menelanku hidup-hidup. Aku membakar semua foto pernikahan, juga gaun tidur yang pernah kupakai untuk menyenangkan Hadri, gaun yang seharusnya menjadi simbol keintiman, kini hanya mewakili kebohongan dan pengkhianatan. Api melahap kain dan kertas, dan aku berharap dia juga membakar semua kenangan
“Apa katamu?” Mas Hadri memelotot. Padahal, pernyataan itu muncul dari mulut Alam, bukan dariku. “Kalian memang sudah merencanakan ini semua!” tuduhnya sembari mengacungkan telunjuk ke mukaku.“Iya!” tukasku langsung.Mas Hadri jelas tidak terima, saat kulangkahkan kaki untuk menjauh darinya, lenganku dicengkeram begitu kuat sampai terasa perih. Pria itu juga menarikku ke arahnya, mengguncang beberapa kali sampai untaian rambutku beterbangan bak ditiup angin. “Lepas, Mas. Ini sudah keterlaluan, aku bisa panggil polisi kalau kamu tidak pergi!” ancamku. Tubuh ini terus berusaha melepaskan diri darinya, sebab setiap sel yang ada di dalam diriku memberontak, jijik dan juga muak dengan pria ini.“Polisi? Kamu mau masukin aku ke penjara, Kir?”“Iya, lalu apa lagi? Kamu memaksa masuk ke dalam rumah orang lain, mendorong dan menyakitiku, mengganggu ketenangan lingkungan ini, apa lagi itu namanya kalau bukan perbuatan kriminal? Lepas atau kulaporkan kamu ke polisi?” Suaraku menukik tajam, me
“Eh, itu ....”Aku melenggang di antara deretan kubikel-kubikel berwarna biru elektrik. Para penghuninya menoleh ke arahku, menyunggingkan mulut, mencolek teman sebelah atau bahkan mengirimkan pesan lewat aplikasi chat.Mereka melakukan ini semua bukan tanpa alasan. Sudah sebulan lamanya sejak aku melayangkan gugatan perceraian ke pengadilan. Pengacara yang kubayar mahal agar bisa membungkam Mas Hadri dan keluarganya sudah memastikan kalau pengadilan mendapatkan semua bukti perselingkuhan Mas Hadri, penipuan yang dilakukan olehnya dan ibunya, serta semua hal busuk yang mereka lakukan di belakangku.Seharusnya, aku cukup tenang sampai di titik itu. Tapi ....“Kudengar, memang Bu Kirana sih yang nge-godain Hadri. Maklum, umur sudah banyak tapi belum ada yang ngajak nikah. Sekalinya kenal sama brondong langsung dipikat!” cecar seorang perempuan yang mencepol rambutnya.Dia menutup mulut usai berkata demikian. Temannya yang menyimak terkikik geli, lalu buru-buru mengatur ekspresi karena a
“Kamu kira, aku tidak akan pernah tahu, Mas? Dengan apa Ibumu memukul kepalaku malam itu?” Suaraku menukik tajam, aku berang hingga berteriak pada Mas Hadri.Sudah tidak ada lagi rasa hormatku pada pria ini, juga pada ibunya yang kini menatapku dengan sorot mata membelalak. Sudah pasti, perempuan itu tidak menyangka kalau aku menyadari apa yang dilakukan olehnya. Sayangnya, bukti tidak ada, hanya ingatan serta pantulan sosok ibu mertua dari jendela lemari yang menjadi saksinya.“Mana mungkin!” lirih ibu mertua sembari menutup mulut.Aku tersenyum, mengejeknya. “Bu, ada alasan kenapa aku bisa jadi pejabat perusahaan di usia muda!” sindirku.“Kirana, itu semua hanya kesalahpahaman. Kamu tahu kan akibatnya kalau perempuan meminta cerai? Apa kamu kira akan ada lelaki lain yang mau menerimamu?” ucap Mas Hadri.Perkataannya berhasil menorehkan segaris luka di dalam dadaku. Dia memperlakukanku seperti seorang perempuan hina yang hanya bisa bahagia di dalam kungkungan lelaki.“Mas, aku bukan
“Bagus, Mas. Kamu sama dia memang sudah seharusnya pisah. Mau tunggu sampai kapan?” Ica berseru. “Aku mau segera kita daftarkan pernikahannya ke KUA, Mas.”Aku menyungging senyum mendengar ocehan dari perempuan itu. Umurnya jauh lebih muda dariku, tapi liciknya sudah tidak tertandingi. Dia minta Mas Hadri membuangku agar segera menjadikannya istri sah secara negara.“Sepakat. Kalau begitu masalahnya sudah selesai, kan?” imbuhku lagi tetap mengatur ekspresi.Kali ini, hanya aku yang berbicara. Bapak mengepal tangan di dalam pangkuannya, sedangkan ibu terus menggenggam erat tangan Della. Tentu saja hatinya hancur melihat pernikahanku berantakan seperti ini.Tapi, ini sudah akhirnya. Tidak ada alasan bagiku untuk bertahan, apa lagi sampai mengemis.“Kirana, kamu mau pisah dariku?”“Iya, mau apa lagi? Mumpung belum punya anak juga, Mas. Setidaknya yang kamu sakiti cuma aku, bukan anak-anak yang tidak tahu apa-apa,” balasku lagi. “Lagian, kamu kan sudah punya istri, jangan tamak ingin puny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen