Ting...Sebuah pesan masuk ke ponsel Ayu. Ayu lalu meraih ponselnya. [Saya cuti tiga hari, tolong cancel semua janji saya] Saka.Ayu meletakkan potonagn roti sarapannya hari ini, sesaat ia pandangi pesan yang tertera di layar ponselnya.Pak Saka kenapa ya? kok mendadak gini cuti. Apa dia sakit, tapi kemarin baik-baik aja kok. Ingin sekali Ayu menghubungi atasannya itu, tapi tiba-tiba ada keraguan di hatinya. Enggak usah sajalah nanti di kira aku kepo sama urusan Pak Saka. Dia ‘kan orang anehnya aneh. Ayu pun mengurungkan niatnya dan segera menghabiskan sarapan paginya..Karena Saka cuti hari ini Ayu agak sedikit santai.[jangan mentang-mentang saya cut kamu berangkat ke kantor seenakknya] SakaMata Ayu membulat membaca pesan di ponselnya. Pak Saka kenapa bisa tahu kalau aku punya niat berangkat ke kantor agak siang. Ayu pun bergegas mengambil tas kerjanya dan meninggalkan rumahnya. “Bu Ayu, Pak Saka tumben belum datang. Ini ada berkas yang harus di tanda tangani,” ucap salah saty ka
Dari awal aku sebenarnya ragu untuk menuruti kemauan Mas Karto, tapi karena keadaan ekonomi dan aku juga harus membayar utang keluarga akibat ulah Mas Karto aku tak punya pilihan lain. Saat itu Mas Karto mengenalkanku pada Pak Dirga. Mas Karto bilang kalau Pak Dirga adalah orang yang akan mencarikanku kerja. Aku pun mengikuti semua perintah Pak Dirga, dan ketika Pak Dirga memberiku sebuah kain putih yang aku tak tahu isinya apa aku tak mampu menolaknya. Pak Dirga hanya mengatakan jika aku tak boleh melepas kain itu dari leherku. Bungkusan kain kecil itu memang di beri tali sehingga aku bisa menggunakannya seperti kalung. Saat itu aku yang benar-benar bodoh tak tahu menahu apa itu jimat atau segala klenik hanya mengikuti semua kemauan Pak Dirga. Awal datang ke rumah Pak Saka aku berusaha menutupi rasa gugupku, aku tak menyangka jika orang yang harus aku awasi sebaik ini. Pak Saka menyambutku dengan baik, bahkan dia langsung menerimaku bekerja di rumahnya. Pak Saka juga memberikanku s
“Gimana keadaanmu?” tanya Mama Arun yang melihat Arun duduk di belakang rumah sambil menikmati udara pagi.“Udah baikan, Ma. Besok Arunudah ke toko,” jawabnya.“Jangan dipaksakan lagian di sana juga sudah ada Winda.”“Iya, Bu, tapi di rumah terus bosan,’ sahut Arun.Bu Erika hanya menatap anaknya. “Run, bagaimana kalau kita menambah karyawan untuk membuat kue,” usul Mamanya. “Terserah Mama saja,” jawab Arun datar. “Kamu marah sama Mama, karena kemarin Mama bersama Saka,” ucap Mama. “Arun tak punya alasan apapun untuk marah ke Mama, Arun tahu semua di luar dugaan Mama. “Mama juga kaget ketika ketemu Saka,” lirih Mama. “Sebelumnya Arun sudah tahu kalau Saka tinggal di kota ini, kalau enggak salah dia tinggal di perumahan dekat toko roti kita,” jelas Arun pada Mamanya.Mama Arun menautkan kedua alisnya. “Lalu apa rencana kamu, Run?” “Maksud Mama tanya seperti itu?” “Iya dulu kamu pergi ‘kan tanpa pamit dan sekara
“Permisi,” ucap Asih pada Winda.“Eh, kalau enggak salah kamu yang kemarin kesini beli kue ‘kan? tabya Winda begitu melihat Asih yang berdiri di hadapannya.“Kamu masih ingat saya,” ucap Asih.“Ingat lah karena kamu bingung mau milih kue,” ucap Winda sambil tertawa.“Apa benar toko ini butuh karyawan?” tanya Asih dengan wajah ragu“Ya iyalah menurut kamu Mbak Arun bercanda. Tapi yang mau kerja sampai malam,” jelas Winda.Aku ingin sekali kerja di sini, lagian kerjaan di rumah Pak Saka juga tidak terlalu banyak. “Gimana, apa Mbak berminat kerja di sini?” “Iya, saya berminat. Besok saya kabari lagi ya, Mbak. Semoga rejeki saya,” ucap Asih penuh harap. Asih langsung pergi meninggalkan toko roti milik Arunika. Asih mengurungkan niatnya untuk belanja di toko swalayan langganannya. Saat ini yang ada dalam pikirannya Pak Saka akan memberinya ijin bekerja di toko roti.*** Asih masih tak bergeming dari tempatnya dia sedang memikirkan cara bagaimana menyam
Entah yang keberapa kali Asih pindah tempat duduk. Perasaannya tak karuan menunggu Arunika datang. Pembeli yang sedari tadi datang membuat Winda tak bisa menemani Asih. Air mineral yang Asih bawa pun sudah tandas tak bersisa. “Kamu kenapa gelisah gitu?” tanya Winda setelah tak ada pembeli yang datang. “Enggak apa-apa. Saya cuma takut aja kalau enggak keterima kerja.” “Belum juga ketemu Mbak Arun, tapi aku yakin kamu di terima kerja di sini karena sejak lowongan kerja di sini di buka cuma kamu yang datang melamar,” jelas Winda. “Kamu enggak bohong ‘kan?’ tanya Asih begitu mendengarr penjelasan Winda. “Memang wajahku ada tampang pembohong ya?” tanya Winda balik. “Bukan gitu maksudku. Cuma aneh aja.”Winda hanya mengangkat kedua bahunya mendengar perkataan Asih. “Tu, yang kamu tunggu datang juga,” ucap Winda sambil menunjuk kearah perempuan yang datang menuju toko roti. “Hai, Win. Maaf ya aku
Arun masih tak beranjak dari tempat duduknya ia masih asik berkutat dengan laptopnya di ruang kerjanya. Hari ini malas sekali rasanya pulang. Arun juga lebih tenang meninggalkan Mamanya di rumah. Karena sekarang ada Bu Ijah yang menemani Mamanya. Selain membantu membuat kue Bu Ijah sekarang juga sering menginap di rumah Arunika. Arun meregangkan otot badannya yang terasa pegal. Sejak datang ia tak berhenti menyelesaikan pekerjaannya, malam ini lebih baik aku menginap disini saja.Arun memang bukan tipe perempuan yang harus tidur di kasur nyaman ruang berAC dan dengan aroma terapi yang menenangkan. Beruntunglah Arun sudah menaruh selimut, kasur busa dan bantal di ruangannya. Perlahan ia pun merebahkan tubuhnya, tak lama Arun sudah tertidur lelapDi rumah ArunIni anak kemana, jam segini belum pulang. Hpnya juga enggak bisa di hubungi. Sedari tadi Bu Erika berjalan mondar mandir sambil menggenggam ponselnya. “Ibu sudah coba telepon Winda, siapa tahu Mbak Arun di toko rotin
Ayu mengikuti Saka dari belakang sambil mendorong troli. Saka pun seolah tak peduli pada keberadaan Ayu, mungkin dia lupa kalau sekarang dia tak sendiri di sini. “Yu, kamu ngapain jalan di belakang saya?” tegur Saka yang melihat Ayu berdiri di belakangnya. “Menurut Bapak saya harus gimana?” tanya Ayu balik dengan wajah yang terlihat kesal. “Galak banget kamu. Saya tanya baik-baik jawabnya kayak gitu.”Ayu mencoba sabar kalau tak ingat Saka itu siapa pasti sedari tadi ia sudah meninggalkan Saka. Perlahan Ayu menghembuskan nafasnya. “Pak Saka, sekarang apa yang harus saya kerjakan?” tanyanya sambil memaksakan semyum di wajahnya. “Kok kayak terpaksa gitu ngomongnya,” ucap Saka sambil mengangkat alisnya. “Enggak, Pak saya ngomongnya iklas lahir batin.” “Kamu tahu enggak kenapa saya mengajak kamu belanja?” tanya Saka.Ayu yang mendengar perkataan Saka hanya mengeryitkan alisnya dan
Pikiran Arun tak fokus pada pekerjaannya. Potongan lapis singkong yang telah di potong Mamanya masih utuh belum ada satu pun yang terbungkus plastik. “Ya ampun Arun dari tadi ngapain aja?” teriak Mamanya begitu melihat Arun.Seketika lamunan Arun pun buyar mendengar teriakan Mamanya. “Mama kalau ngomong enggak usah pakai teriak bisa enggak,” ucapnya sambil mengusap dadanya. “Habisnya kamu ini di suruh bungkusin malah melamun. Lagian pagi-pagi mikirin apa sih. Ini itu pesanan orang kamu enggak lihat itu jam berapa. Sebentar lagi jam sembilan pesanannya mau di ambil,” jelas Mamanya sambil dengan cekatan membungkus lapis singkong. “Bu Ijah mana, Ma?” tanya Arun sambil celingukan mencari Bu Ijah yang tak nampak batang hidungnya. “Bu Ijah ada perlu nanti agak siangan kesininya. Kue yang mau di bawa ke toko udah jadi kan?” tanya Arun dengan tak enak hati pada Mamanya. “Udah, nanti kamu berangkat sama Pak Atmo aja, biar