Keesokan harinya, matahari terbit dengan perlahan di atas desa, membawa sinar yang seharusnya menghangatkan, namun tetap terasa dingin di hati Rina. Setelah kejadian di rumah tua malam sebelumnya, ia tak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya dipenuhi oleh sosok bayangan yang mereka lihat di pintu ruang bawah tanah. Apakah itu roh yang masih terperangkap? Ataukah ada sesuatu yang lebih jahat?
Rina duduk di teras penginapan, matanya menatap kosong ke arah jalan setapak yang mengarah ke rumah tua. Dia masih bisa merasakan energi aneh yang mengalir dari tempat itu, seolah-olah ada kekuatan yang mengawasi setiap gerakannya. Bu Marni datang membawa secangkir teh hangat. "Minumlah, Nak. Kau butuh sesuatu yang bisa menenangkan pikiranmu," katanya dengan lembut, meletakkan cangkir itu di depan Rina. "Terima kasih, Bu," jawab Rina sambil mengambil cangkir dan menyeruput sedikit teh. "Saya masih memikirkan tentang apa yang kita lihat tadi malam. Saya merasa seperti ada sesuatu yang masih berusaha berkomunikasi dengan kita." Bu Marni mengangguk pelan. "Mungkin itu benar. Tapi kita harus berhati-hati. Tidak semua roh yang mencoba berkomunikasi dengan kita berniat baik." Rina mengangguk, tetapi matanya tetap fokus pada jalan setapak itu. “Saya merasa kita harus kembali ke sana, Bu. Saya merasa belum selesai. Ada sesuatu yang perlu kita ketahui.” Bu Marni terdiam sejenak, jelas terlihat ragu. "Kau yakin, Rina? Apa yang kita lihat tadi malam... itu bisa sangat berbahaya." Rina mengambil napas dalam-dalam. “Saya tahu, Bu. Tapi saya merasa bahwa ada sesuatu yang ingin memberitahu kita sesuatu. Saya tidak bisa membiarkan rasa takut menghentikan saya. Jika ada cara untuk mengungkapkan kebenaran, saya ingin melakukannya.” Bu Marni menatap Rina dengan tatapan penuh keprihatinan, lalu mengangguk. “Baiklah. Jika kau merasa itu yang harus dilakukan, aku akan mendukungmu. Tapi kali ini, kita harus lebih siap. Kita tidak tahu apa yang menunggu kita di sana.” Rina merasa sedikit lega mendengar dukungan dari Bu Marni. “Terima kasih, Bu. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi saya merasa lebih baik jika ada Anda di sisi saya.” Setelah sarapan singkat, Rina dan Bu Marni kembali mempersiapkan diri. Mereka membawa lebih banyak dupa dan ramuan pemurnian yang diberikan oleh Nyai Murni. Mereka juga memutuskan untuk membawa kamera perekam untuk mencoba menangkap bukti apapun yang mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Saat mereka siap berangkat, Nyai Murni tiba-tiba muncul di pintu penginapan. "Aku tahu kalian akan kembali," katanya dengan suara tenang namun tegas. "Aku membawa sesuatu yang mungkin akan membantu kalian." Rina dan Bu Marni saling bertukar pandang sebelum mendekati Nyai Murni. "Apa itu, Nyai?" tanya Rina. Nyai Murni menyerahkan sebuah cermin kecil berbingkai kayu yang diukir dengan simbol-simbol aneh. "Ini adalah cermin penjaga. Dulu, Tuan Wiratama menggunakannya untuk berkomunikasi dengan roh-roh yang ingin dia panggil. Cermin ini bisa menangkap bayangan mereka. Mungkin bisa memberikan petunjuk tentang apa yang sebenarnya ada di rumah itu." Rina menerima cermin itu dengan hati-hati. "Terima kasih, Nyai. Saya akan berhati-hati." Nyai Murni tersenyum tipis. "Ingat, Nak, kebenaran tidak selalu mudah ditemukan. Kadang, apa yang kita lihat hanya permukaan dari sesuatu yang lebih dalam dan lebih gelap." Dengan cermin penjaga di tangan dan tekad yang kuat, Rina dan Bu Marni sekali lagi berangkat menuju rumah tua itu. Saat mereka tiba, mereka bisa merasakan perubahan yang halus namun nyata. Udara terasa lebih tebal, hampir seperti bisa disentuh, dan ada keheningan aneh yang menggantung di sekitar mereka. Mereka masuk dengan hati-hati, cahaya senter mereka menembus kegelapan yang pekat. Rina mengeluarkan cermin penjaga dan mengangkatnya di depan, mencoba menangkap bayangan apapun yang mungkin muncul. Ruang tamu kosong, tetapi terasa lebih dingin dari sebelumnya. Mereka berjalan menuju ruang bawah tanah lagi, dan kali ini, mereka merasakan ada sesuatu yang berbeda. Saat mereka menuruni tangga, Rina melihat sesuatu di dinding samping. Ada goresan-goresan samar, hampir tak terlihat dalam cahaya remang-remang. Dia mendekat dan menyentuh dinding itu, merasakan tekstur kasar dari kayu yang tergores. “Ada sesuatu di sini,” kata Rina dengan suara rendah. “Sepertinya ini… sebuah pesan.” Bu Marni mendekat, mencoba melihat lebih jelas. "Apa itu, Nak?" Rina mengangkat senternya lebih tinggi, mencoba memeriksa lebih dekat. Goresan-goresan itu ternyata adalah tulisan dalam bahasa Jawa kuno. "Ini seperti… sebuah peringatan," gumam Rina. Bu Marni mengerutkan kening. “Apa yang dikatakannya?” Rina mencoba membaca dengan keras. “Jangan masuk. Jangan ganggu yang bersemayam. Mereka yang terperangkap tidak bisa diselamatkan…” Suara Rina terhenti ketika dia mendengar suara langkah kaki di belakang mereka. Mereka berbalik dengan cepat, hanya untuk melihat bayangan yang bergerak cepat melewati mereka. Rina merasakan ketakutan mengalir melalui tubuhnya, tapi dia mencoba tetap fokus. “Cepat, nyalakan dupa dan mulai mantranya lagi!” seru Bu Marni, dengan cepat mengeluarkan dupa dan menyalakannya. Rina mengikuti instruksi Bu Marni, membakar dupa dan mulai mengucapkan mantra pemurnian. Asap mulai memenuhi ruangan lagi, tapi kali ini, suara di sekitar mereka terdengar lebih keras, lebih marah. Bayangan-bayangan mulai muncul di dinding, menari dengan cara yang menakutkan. Kemudian, tiba-tiba, cermin di tangan Rina mulai bergetar. Cahaya aneh muncul di dalam cermin, membentuk bayangan wajah seorang gadis muda. Wajah itu tampak ketakutan, dan bibirnya bergerak seolah-olah berbicara, tetapi tidak ada suara yang keluar. “Lihat, Bu Marni! Ada sesuatu di cermin ini!” seru Rina, memperlihatkan cermin itu kepada Bu Marni. Bu Marni menatap cermin itu dengan ketakutan. “Siapa dia? Apa yang dia katakan?” Rina mencoba membaca gerak bibir gadis itu. “Tolong… bantu aku… mereka… mereka tidak membiarkanku pergi…” Rina merasa ada dorongan kuat untuk menolong gadis itu, meskipun dia tahu itu mungkin berbahaya. “Kita harus melakukan sesuatu, Bu. Dia terperangkap di sini, dan dia butuh bantuan kita!” Namun, sebelum mereka bisa melakukan apa-apa, cermin itu tiba-tiba meledak, pecahan kaca kecil terlempar ke segala arah. Rina terjatuh ke belakang, sementara Bu Marni segera menariknya menjauh dari puing-puing itu. “Apa yang terjadi?” teriak Rina, merasa kebingungan dan ketakutan. Bu Marni menatap ke sekeliling dengan cemas. “Aku tidak tahu, tapi kita harus keluar dari sini sekarang! Ini semakin berbahaya!” Mereka bergegas keluar dari ruang bawah tanah, mendengar suara gemuruh yang semakin keras di belakang mereka. Saat mereka mencapai lantai atas, pintu depan terbuka dengan keras, seolah-olah ditiup oleh angin yang kuat. Mereka berlari keluar, tak berani melihat ke belakang. Saat mereka mencapai jalan, mereka berhenti, mencoba mengatur napas. Rumah tua itu kini terlihat lebih gelap dari sebelumnya, seolah-olah bayangan di dalamnya telah menguasai seluruh tempat. Rina menatap Bu Marni dengan mata lebar. “Bu, saya pikir ini baru permulaan. Ada sesuatu yang lebih besar dan lebih jahat di dalam sana. Kita harus mencari tahu lebih banyak, mungkin kembali ke Nyai Murni atau mencari catatan lama tentang keluarga Wiratama.” Bu Marni mengangguk dengan tegas. “Kau benar, Rina. Ini belum berakhir. Kita harus bersiap lebih baik lagi untuk menghadapi apa pun yang ada di dalam sana.” Dengan tekad yang lebih kuat dan perasaan ingin tahu yang semakin besar, mereka berdua kembali ke desa, siap untuk mencari jawaban lebih lanjut dan menghadapi kegelapan yang mengintai di balik dinding rumah tua itu.Setelah Rina, Siska, Ardi, dan Lisa berhasil menyelesaikan ritual pemutusan perjanjian roh bangsawan dengan iblis, mereka semua merasakan beban yang terangkat dari hati mereka. Ketenangan yang jarang mereka rasakan kini menyelimuti hati masing-masing. Pa Kiai mengucapkan selamat kepada mereka, memuji kekuatan dan kesabaran mereka dalam menghadapi ujian berat ini. "Kalian telah berhasil melawan kegelapan dengan cahaya iman. Semoga hidup kalian setelah ini penuh dengan keberkahan," ucap Pa Kiai dengan bijaksana. Mereka meninggalkan rumah Pa Kiai dan kembali ke penginapan untuk beristirahat. Rina dan ketiga temannya tidur dengan nyenyak malam itu, tanpa diganggu oleh mimpi buruk atau kehadiran roh-roh jahat. Setelah perjuangan yang panjang dan penuh tantangan, mereka akhirnya bisa merasa aman. Keesokan paginya, sinar matahari pagi yang hangat membangunkan mereka dari tidur. Setelah bersiap-siap, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa memutuskan untuk pergi ke desa lama, tempat mereka pernah meng
Setelah berhasil keluar dari goa yang telah runtuh, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa merasa kelegaan yang luar biasa. Meskipun mereka telah menghadapi berbagai rintangan dan gangguan roh bangsawan, mereka berhasil menyelesaikan tugas mengubur jengglot seperti yang diperintahkan oleh Pa Kiai. Namun, perjalanan mereka belum selesai. Mereka masih harus kembali ke rumah Pa Kiai untuk memastikan bahwa roh bangsawan tersebut benar-benar dihentikan. Dengan langkah yang mantap, meskipun rasa lelah mulai terasa, mereka berjalan kembali menuju rumah Pa Kiai. Jalan yang mereka lalui terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meskipun masih ada bayangan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Namun, dengan keyakinan bahwa mereka telah menjalankan perintah Pa Kiai dengan benar, mereka merasa optimis bahwa langkah-langkah terakhir ini akan berhasil. Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya mereka sampai di rumah Pa Kiai. Rumah itu tampak tenang, dengan cahaya remang-remang di teras depan.
Di tengah perjalanan menuju mulut goa, Rina, Ardi, Siska, dan Lisa merasakan perubahan yang tidak biasa. Udara yang tadinya dingin berubah menjadi semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menekan mereka dari segala arah. Kemudian, tanpa peringatan, asap tebal mulai menyelimuti mereka. Asap itu berwarna kelabu gelap, menyelimuti lingkungan sekitar sehingga mereka tak bisa melihat apa-apa. "Asap ini... dari mana datangnya?" bisik Siska dengan panik, matanya bergerak liar mencari tanda-tanda bahaya. "Ayo, kita tetap fokus! Jangan berhenti berdzikir!" ujar Rina, memperingatkan teman-temannya. Dia bisa merasakan bahwa asap ini bukanlah sesuatu yang alami—ini adalah bentuk serangan gaib dari roh bangsawan yang ingin menghentikan mereka. Namun, sebelum Rina bisa mengatakan lebih banyak, mereka semua merasakan sesuatu yang aneh. Perlahan-lahan, asap itu tampak mengubah pemandangan di sekitar mereka. Hutan yang tadinya gelap dan menakutkan menghilang, digantikan oleh bayan
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa akhirnya tiba di rumah Pak Kiai setelah perjalanan yang panjang dan penuh ketegangan. Napas mereka masih terengah-engah, tapi mereka tahu ini bukan saatnya untuk beristirahat. Mereka berdiri di depan pintu rumah Pak Kiai, sebuah bangunan sederhana namun terasa penuh energi spiritual. Rina mengetuk pintu dengan gemetar, perasaan was-was masih menyelimuti hatinya. "Assalamualaikum," ucap Rina dengan suara yang bergetar. Tak lama setelah itu, pintu terbuka. Pak Kiai berdiri di sana, menatap mereka dengan tajam, seakan bisa melihat langsung ke dalam jiwa mereka. Matanya yang berkilau menunjukkan kebijaksanaan dan kewaspadaan. "Awas, jangan sampai putus dzikir kalian," ucapnya serius. "Jika kalian berhenti berdzikir, itu akan sangat berbahaya. Roh bangsawan itu terus memperhatikan kalian, siap menyerang kapan saja. Jangan pernah lengah." Mendengar itu, mereka semua langsung memperkuat dzikir dalam hati masing-masing. Tahu bahwa sedikit saja kelengahan bisa me
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa bergegas meninggalkan desa lama, berusaha membawa jengglot yang baru saja mereka temukan di bawah tengkorak gadis yang dikorbankan. Tujuan mereka adalah kembali ke desa baru tempat Pak Kiai berada, untuk meminta petunjuk selanjutnya sebelum membawa jengglot ke gua terlarang. Namun, ketegangan semakin memuncak ketika mereka mendekati gerbang desa. "Semakin cepat kita keluar dari desa ini, semakin baik," kata Rina sambil mempercepat langkahnya. Di tangan kirinya, ia memegang tasbih pemberian Pak Kiai erat-erat, dzikir tidak lepas dari bibirnya. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan suasana desa yang hening membuat jantung mereka berdebar lebih keras. Tiba-tiba, suara angin kencang terdengar, membuat langkah mereka terhenti. Dari arah rumah tua di sudut jalan, sosok roh bangsawan melesat keluar dengan kecepatan mengerikan. Tubuhnya melayang, mengelilingi mereka dalam lingkaran besar, seperti badai yang terus-menerus mengelilingi mereka. "Ini buruk...
Di tempat lain, di rumah Nyai Murni, suasana tegang menyelimuti. Nyai Murni sedang melakukan ritual penyerangan terhadap Rina dan ketiga temannya. Ruangan dipenuhi asap kemenyan, lilin-lilin menyala redup di sekitar meja ritual yang dipenuhi peralatan persembahan. Nyai Murni memejamkan matanya, merapal mantra-mantra kuno yang ia yakini akan menyerang Rina dan teman-temannya di dunia gaib. Ia menggenggam boneka kecil yang disimbolkan sebagai sosok Rina, menusukkan jarum dengan gerakan tajam, namun tiba-tiba, terjadi ledakan kecil. "Boom!" Peralatan yang ada di atas meja ritual meledak tanpa peringatan. Asap tebal mengepul memenuhi ruangan, lilin-lilin padam seketika. Bu Marni, yang duduk di dekatnya, terkejut dan melompat dari kursinya. "Apa yang terjadi lagi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya gemetar ketakutan. Nyai Murni, yang masih berdiri terpaku di tempatnya, tampak goyah. Dari sudut bibirnya, sedikit darah kental mengalir perlahan. Ia menyeka darah itu dengan lengan b