Share

4.

Nyonya Kartika menatap Mila dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Terus begitu, ia menatap lekat Mila sekaligus menilai penampilannya.

Mila yang ditatap begitu merasa risih dan tak nyaman. Bukan apa-apa, hanya saja tatapan nyonya Kartika tidak enak. Tatapannya seakan-akan mencemoh Mila, tapi demi menjaga sikap di depan majikan bibinya Mila menahan diri dan tetap memaksakan tersenyum.

"Siapa namamu?"

"Mila," itu suara bi Marsiah yang menjawab.

Nyonya Kartika menatap kesal ke arah bi Marsiah yang lancang.

"Usia?"

"25 tahun," lagi-lagi bi Marsiah yang menjawab.

"Marsiah, saya tidak bertanya pada kamu tetapi saya bertanya pada keponakan kamu. Jadi, tolong jangan kamu yang menjawabnya."

"Baik, Nyonya." Bi Marsiah menundukkan kepalanya merasa tak enak hati.

Nyonya Kartika menghela nafas sabar dan lalu tatapannya kembali fokus pada Mila. "Kamu sebelumnya sudah punya pengalaman kerja jadi pembantu?"

"Sudah Nyonya."

"Tamatan apa?"

"SMP, Nyonya."

Nyonya Kartika mengangguk, "gak ingin coba pekerjaan lain selain pembantu?"

"Saya tidak mempermasalahkan pekerjaan apa saja, Nyonya. Yang penting halal dan nyaman."

"Oh, good!" nyonya Kartika terlihat senang mendengar ucapan Mila. "Itu sangat benar, yang paling penting halal."

"Oke, semoga kamu betah dan nyaman bekerja di rumah putra saya." sambung nyonya Kartika menaruh harapan penuh pada Mila.

"Nanti kamu akan diantar Pak Diman ke rumah Leon. Bersiaplah," kata nyonya Kartika menginterupsi dan setelahnya pergi dari hadapan Mila dan bibinya.

****

Mila menatap sebuah bangunan rumah besar dan mewah di depannya. Mulutnya tak berhenti menganga dan memuji keindahan rumah ini.

Ah, Mila rasanya sudah tidak sabar untuk menginjakkan kakinya masuk ke dalam rumah besar dan mewah itu.

Security yang menjaga rumah itu pun membukakan pintu pagar setelah di beritahu pak Diman bahwa aku adalah pembantu baru untuk pria yang bernama Leon.

"Terima kasih, Pak Agus." ucapku ramah.

"Iya sama-sama, Neng."

Mulut Mila kembali menganga ketika langkahnya semakin dekat dengan rumah besar nan mewah ini. Waah, sebentar lagi.

Eh, tapi tunggu dulu! Sepertinya Mila melupakan sesuatu yang penting. Merasa sepertinya ada yang kurang Mila pun membuka tas selempangnya dan mengambil kembali lembaran kertas yang berisi segala peraturan dari Leon. Mila kembali membaca ulang isi peraturan dari sang tuan majikan.

Peraturan yang harus dipatuhi :

1. Saya tidak suka bertatap muka langsung.

2. Datang saat hari mulai siang aja. Atau paling tidak dimulai jam 10, setelah saya sudah pergi bekerja.

Mila mendengkus sembari meremas kesal kertas tersebut. Poin yang pertama dan yang kedua saja rasanya sudah membuat ia mendidih kepanasan.

Sebelumnya ia tak mempermasalahkan ini, akan tetapi setelah dilihat dan dibaca lagi rasanya Mila ingin menonjok pria yang bernama Leon ini.

Tidak ingin beratap langsung dan datang setelah ia pergi bekerja. Hah, konyol sekali pria ini!

Apa jangan-jangan putra dari nyonya Kartika ini memilki wajah buluk? Seperti buruk rupa gitu. Oh, tidak mungkin. Rasanya mustahil sekali, nyonya Kartika cantik dan pak Utama tampan. Jadi rasanya tidak mungkin jika putranya Leon buluk. Tapi gak tau juga sih, terbukti dari peraturan nomor satu dan dua ini menjadi buktinya.

Mila memantapkan hatinya untuk masuk ke dalam rumah tersebut setelah tadi sebelumnya sudah menyimpan kertas yang berisi peraturan Leon. Sekarang kertas itu mulai kusut dan lecek.

Mila menghitung angka mundur saat membuka pintu tersebut. Tiga, dua, satu....

"Wow!" satu kata ungkapan Mila berikan untuk rumah besar mewah ini. Ternyata tak hanya dari luar saja yang indah, di dalamnya pun tak kalah luar biasa indahnya.

Mila benar-benar kagum sekali dengan rumah ini. Sungguh sangat sempurna tanpa celah. Mila tersenyum senang dan berjingkrak sekali menganggap seakan rumah ini adalah miliknya.

Dengan sangat beraninya Mila melangkah mendekati sofa-sofa mahal yang ada di ruang tamu. Mila duduk merasakan satu-persatu empuknya sofa itu.

"Ah, nyaman." gumamnya pelan dan terbuai akan kenyamanan dari sofa empuk itu.

Mila beralih ke sofa panjang dan dengan sangat santainya membaringkan tubuhnya seraya memejamkan kedua mata. Kantuk tiba-tiba terasa mulai menyerangnya hingga tak dapat Mila tahan lagi dan langsung di seret ke alam mimpi.

Mila baru terbangun saat hari sudah  hampir mulai sore. Panik menyerangnya begitu ia melihat jam di ponsel super jadulnya.

"Pukul empat sore," pekik Mila.

Entah sudah berapa jam lamanya ia ketiduran di sofa ini. Aishh, ini semua gara-gara dia! umpat Mila memukul benda mati tersebut.

Mila perlahan bangkit berdiri dan mulai tampak berpikir. Hal apa yang akan ia lakukan. Tidak, maksudnya ia harus memulainya darimana.

Ah iya, Mila membutuhkan petunjuk. Dan ia langsung teringat kertas yang berisi peraturan Leon. Ia pun lantas mengambilnya dan kembali membaca isi peraturan tersebut dari nomor tiga karena tadi nomor satu dan dua ia sudah membacanya.

3. Bersihkan seluruh rumahku sampai benar-benar bersih, kinclong dan tidak ada debu yang menempel sekalipun.

Mila berdeham membaca isi peraturan tersebut. Di kira dirinya apaan sampai memberi pekerjaan yang semuanya harus sesempurna ini.

Baiklah, Mila menghela nafas sabar. Masih di peraturan nomor tiga saja ia hampir hilang kesabaran gini. Bagaimana seterusnya coba?

4. Masakan makan malam untukku, yang enak. Terserah mau masak apa saja, aku suka semuanya.

"Heh, makan batu sama t*i aja sana." cibir Mila mendidih.

5. Tak perlu memikirkan makanan menjadi dingin. Karena aku bisa memanaskannya nanti.

"Dih, siapa juga yang peduli." lagi-lagi Mila mencibir setiap kali ia selesai membaca urutan peraturan tersebut.

6. Setelah selesai melakukan semua tugas Anda. Silakan pergi dan tak usah menunggu saya, ingat poin nomor satu.

Mila kembali meremas kertas tersebut. Sialan! Orang ini benar-benar ngajak gelut sepertinya.

Oh, astaga! Mila benar-benar akan kehilangan kesabaran menghadapi pria ini. Tidak bertemu secara langsung saja sudah membuat gemes geregetan setengah mati, apalagi jika ketemu langsung? Hah, kemungkinan Mila sudah mencakar dan mencabik-cabik pria yang bernama Leon ini.

Tapi tak apa, bukankah dengan begini tugasnya menjadi sedikit dan ringan? Ia pun bahkan tak perlu merasa risih karena tak harus melulu di pantau sang majikan.

Ah, Mila merasa senang. Kerja di tempat ini sangat mudah. Dan yang terpenting Mila tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun, ya meskipun tugasnya ringan.

Karena Mila yakin jika pria yang bernama Leon ini suka menguji kesabaran orang. Dengan kekayaan dan harta berlimpah yang tak akan habis membuat Leon berbuat sesuka hatinya.

Ya, sepertinya begitu.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status