Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu di apartmen Vian membuat dua pasang mata yang tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing itu kini mengalihkan atensinya. Vian yang sebelumnya membantu Farrin memotong sayur harus rela menghentikan gerakannya. Pun begitu juga dengan Farin yang awalnya mengaduk kuah sup yang hampir masak, berhenti.
“Siapa yang bertamu pagi-pagi?” tanya Farrin. Vian mengendikkan bahunya acuh, enggan tahu siapa orang di balik pintu yang mengganggu pagi pertamanya dengan sang istri.
“Coba kau lihat, siapa tahu orang yang memiliki kepentingan mendesak,” tambah Farrin.
Dengan langkah enggan, Vian melangkah ke pintu utama. Seingatnya, tak banyak yang mengetahui lokasi apartmen-nya ini. Mungkin benar kata Farrin, bahwa yang datang adlaah orang dengan kepentingan mendesak.
Clek!
“Kau!” vian terperanjat kala ia mengetahui siapa orang jahil di balik pintu itu.
“Hallo, Adik! Kakak datang untuk berkunjung ke tempat tinggal
Part 34“Sebenarnya apa yang tengah kalian perdebatkan?”Avan dan Farrin menolek secara bersamaan dan menemukan sosok Vian yang telah rapi dengan kemeja kerja dan tubuh yang telah segar. Setahu Farrin, Vian memiliki waktu lebih lama untuk dihabiskan di kamar mandi. Lalu ini, Farrin yakin jika pagi ini waktu mandi Vian yang lebih cepat dari yang ia tahu.Tak mengerti saja bagi Farrin, karena Vian yang terlalu mengkhawatirkannya berdua dengan Avan, Vian memangkas jam mandinya dan bergegas menemui mereka. Ia tak yakin jika keadaan Farrin yang hanya berdua dengan Avan tak akan menimbulkan suatu perkara. Lalu, benar saja perkiraannya. Farrin dan Avan tengah beradu mulut dan tak ada yang mau mengalah sama sekali.“Makanan sudah siap. Maaf jika kursimu dipakai kakak ipar,” sahut Farrin. Nada jengkel masih terdengar dari sana. Vian tidak akan kaget jika kakaknya itu melakukan banyak hal sesukanya sendiri, terutama di tempat-tempat miliknya
Setelah makanan mereka tandas, Farrin bergegas untuk bersiap dan Vian yang membereskan sisa makan mereka sesuai pembicaraan sebelum tidur tadi malam. Memang cukup melelahkan juga. Dari sisi Vian, ia belum terbiasa dengan aktivitas pagi seperti ini. Biasanya, jika ia bermalam di rumah utama, setiap pagi ia hanya perlu bersiap dan sarapan selalu terhidang di meja tanpa ia repot terlebih dahulu, atau merapikan setelahnya. Asisten rumah tangga di sana cukup handal untuk menangani masalah itu. Jika di apartmen pun, Vian akan memilih sarapan dengan mie instans yang mudah memasak, atau membeli saja di luar. Kulkasnya hanya akan terisi bahan sederhana untuk pelengkap mie, atau, makanan yang penyajiannya tidak terlalu rumit. Saat Farrin berkunjung dulu, untung ia sedang dalam keadaan menyetok bahan makanan. Setelah mereka menikah, Farrin mengajaknya untuk membagi pekerjaan rumah. Tidak masalah untuknya, karena baginya, hal itu juga bisa melatihnya untuk menjadi calon ayah yan
“Ma, Mama tak pulang dan mengurus kebun bunga milik Mama?” tanya Vian. Omong-omong, ia jengah karena sejak ia datang, ibunya itu duduk di kursi yang tak jauh dari meja kerja Vian dan mengawasinya.“Mama hanya ingin membantumu. Mama sudah mendengar jika Rizuki belum pulang dari cutinya dan kemungkinan masuk masik lusa. Jadi, sebagai ibu yang baik, Mama akan duduk di sini dan akan membantumu jika kau membutuhkan sesuatu.”Vian tahu, ibunya itu pasti sudah diminta Avan untuk melakukan hal ini.“Aku tahu, Ma. Tapi, apakah Mama tidak lelah karena menunggui Vian? Aku sudah cukup mengerti dengan yangtadi mama jelaskan tentang pekerjaannku. Jadwal Avan sudah terurus dan aku hanya tinggal memeriksa dokumen ini sebelum menyerahkannya pada Avan. Lagi pula, jika melihat jadwal, jadwal Avan tidak terlalu sibuk untuk beberapa hari ke depan.”Bukan maksud Vian mengusir ibunya, tetapi, ia memikirkan kesehatan ibunya yang bisa saja saki
Selama ini, Avan selalu mencoba menguak asal usul Farrin. Bukan dari segi keluarganya yang sudah jelas-jelas merupakan teman dekat ayah dan ibunya, tetapi, lebih ke masa tumbuh wanita itu. Farrin mungkin memiliki sifat keras kepala sang ibu yang menurun padanya –seperti yang ibunya katakan padanya--- atau ia rasakan sendiri selama mereka menjalin hubungan. Farrin, mampu bertahan di sisinya karena sifat kepala itu. Namun, ia juga tak memungkiri jika ia kesulitan saat ini juga karena sifat itu. Akan lebih mudah bagi Avan jika sifat Farrin lebih lunak. Ia bisa merayu dengan kata manis dan lembut, memberi afeksi lebih dan satu hal yang sulit untuk wanita tolak; belanja. Ia sanggup memberikan salah satu kartu kredit dengan limit besar padanya. Ia juga tak akan segan jika Farrin menghabiskan harinya hanya untuk kesenangan itu. Karena Avan akan dengan senang hari tak akan melarang selama Farrin bahagia dan menjadi miliknya. Sekali lagi, sayang, Farrin kini bukan mil
“Aku tak tahu bagaimana kau menghadapi dua putra Mama, Fa. Selama ini Mama cukup pusing saat mengahadapi keduanya,” ujar Nazilla.Sedangkan Farrin, ia hanya tersenyum menanggapinya. Tak mungkin, kan, ia mengatakan dengan gamblang jika ia juga jengah dengan kelakuan keduanya, terutama pada Avan? Hey! Ia tak mau menyakiti hati seorang ibu karena tingkah putra-putranya.“Fa, kamu jangan sungkan, ya. Anggap Mama ini ibu kamu juga. Kamu anak Mama dan sudah menjadi bagian dari keluarga kami. kamu juga bisa mengadu sama Mama jika salah satu dari si kembar menyakitimu. Entah itu hati atau fisikmu, ya.”Hati Farrin menghangat saat Nazilla mengatakan hal itu. jujur saja, sedari kecil ia tak begitu akrab dengan ibunya. Ibunya seolah menjaga jarak dan enggan mendengar keluh kesah yang ia pendam. Sejak dulu, ibunya hanya mengerti jika ia hanya boleh mendengarkan perkataan ibunya, bukan menceritakan apa yang ia rasakan.“Mama tenang
Mengapa jadi begini? Bukankah sebelum ini Avan telah menyetujui jika Vian menggantikan posisinya sebagai sami Farrin? Ia bahkan rela menyerahkan baju dan tempatnya saat di altar. Mengapa kali ini ia menuntut kembali atas ikatan mereka sebelum ini?“Hentikan, Van. Kita sudah tak bisa melakukan hal ini lagi. Aku sudah bersuami dan kau sudah menjadi adik iparku,” lirih Farrin. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata dan membuat pandangannya membuaram.“Kau memang sudah menjadi kakak iparku. Tapi jangan lupakan, Fa. Aku masih mencintaimu!” tukas Avan. Sisi lain dalam jiwanya memberontak dan mnginginkan Farrin lebih dari biasanya. Entahlah. Telah banyak waktu yang ia lalui bersama Farrin. Telah banyak masa yang mereka lalui bersama, dan banyak pula harapan yang ia impi untuk bersama dengan Farrin.Avan ingat semua yang impikan. Salah satunya adalah masakan Farrin yang menemaninya tiap pagi, senyum menawan yang ia lihat ketika membuka mata, d
“Jadi, kalian sedang bertengkar? Pertengkaran pengantin baru, huh?” tanya Rizuki. Ia merasa heran karena Avan dan Farrin terlihat tidak membuka percakapan sama sekali. “Pertengkaran pengantin baru apanya?!” hardik Avan. Ia tersinggung dengan ucapan Rizuki karena ia sama sekali tak merasakan hal itu. Sedangkan yang dihardik, hanya bisa tersenym tipis. Rizuki mengambil tempat di kursi belakang karena ia tak ingin mengganggu pasangan yang tengah dimabuk cinta dan belum genap seminggu meresmikan status yang sah. Juga, ia lebih leluasa membawa koper yang berukuran sedang itu dan tidak perlu susah payah membuka bagasi. Setidaknya, begitulah pikir Rizuki. Tidak tahu jika keduanya gagal menikah dan yang sebelumnya menjadi calon istri, kini menjadi adik ipar. Sejak awal, tak ada yang mengabari Rizuki bahwa pernikahan mereka berubah haluan. “Ya kalian menggunakan muka masam saat bertemu denganku. Kenapa, Van? Apakah aku mengganggu waktu kencan kalian deng
Setelah mengantar Rizuki ke apartmennya, mereka berdua kembali menapaki jalanan beraspal. Farrin yang tak tahu akan ke mana ia dibawa hanya bisa diam. Menghadapi Avan dalam keadaan seperti ini bisa saja membuat segalanya menjadi semakin runyam. “Rizuki itu pribadi yang menyenangkan, ya?” tanya Farrin. Ia mencoba memberanikan diri membuka percakapan dan memilih topik yang tidak terlalu sensitive. “Tidak! Dia orang yang sangat menyebalkan,” jawab Avan. Selama ini Avan tidak pernah memiliki pandangan yang baik terhadap wanita yang sudah bertahun-tahun menjadi sekretarisnya itu. “Tapi yang kulihat tidak seperti itu, Van.” “Itu karena kau sejenis dengannya jadi ia memperlakukanmu baik.” “Karena itu, dia baik, ya?” Baiklah, Avan mulai mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Pasti Farrin menyangka jika Rizuki baik dalam artian kepadanya. “Kau itu buta, ya? Tidak lihat dia selalu menindasku?” Farrin tersenyum. Menindas Avan?