“Kau serius atas ucapan mu?” tanya Vian memastikan.
Farrin mengangguk mantap. “Ya,” ucapnya.
“Apakah itu berarti kau sudah tak mencintai kakakku? Bagaimanapun juga kalian telah menjadi sepasang kekasih selama beberapa tahun. Lantas, bagaimana bisa kau mengatakan jika kau mau menerimaku sebagai tunanganmu?”
“Sudah kubilang, ini sudah kupikirkan matang-matang. Aku bukannya sudah tak mencintai kakakmu. Tapi aku sadar diri. Aku sudah tak diinginkannya lagi menjadi pendamping hidup. Aku juga tak mau berharap. Jadi, apa salahnya jika aku hanya ingin membuat hatiku lebih menerima keadaan?”
“Salah! Tentu saja kau salah!” pekik Vian. Ia reflek memekik karena pertanyaan Farrin. Bagi Vian, tidak ada yang salah dengan mereka. Hanya salah di satu sisi, dan itu di bagian Avan.
“Mengapa? Sekarang katakan di mana salahku?!” bentak Farrin kepada Vian. Emosi yang ia pendam beberapa saat itu telah tak sanggup lagi ia tahan. Ia tahu jika ia salah meluapkan emosinya pada Vian yang tak tahu apa-apa. Akan tetapi, jika dipendam lebih lama, pada siapa ia akan meluapkannya?
Sementara itu, Vian terperanjat begitu mendengar ucapan bernada tinggi dari Farrin. Ia tak menyangka jika wanita yang ia kenal begitu kalem dan sabar itu bisa mengeluarkan kata-kata sebegini kerasnya. Bagi Vian, mungkin kini Farrin tengah meluapkan emosinya.
Baik dari keduanya, sama-sama hanya ingin mengerti tanpa mau saling mengungkapkan. Lalu, Vian semakin tak mengerti begitu melihat kelopak dari binar biru itu kini mengeluarkan air mata. Apakah ada yang salah?
“Kau salah. Kau seharusnya menunggu Avan dan masih mencintainya seperti yang seharusnya,” lirih Vian.
Suasana café yang sepi membuat Farrin mendengar lirihan Vian dengan jelas. Menurutnya, ucapan Vian memang benar. Namun, di sisi lain hatinya mengatakan jika langkah yang ia ambil kini sudah benar.
“Aku selalu menunggu Avan. Menunggu sedari tahun pertama hubungan kami untuk mendengar ia memintaku menjadi pendamping hidupnya. Aku juga selalu menunggu. Menunggu di sela-sela kesibukannya dalam pekerjaan untuk melihatku yang berusaha dan berjuang untuk belajar menjadi calon istri yang baik. Apakah kesabaranku untuk menunggunya begitu kurang di matamu? Apakah aku tak sesabar itu untuk layak menjadi wanita yang dicintainya? Atau hanya aku yang memiliki cinta dalam hubungan kami?” tanya Farrin.
Farrin bertanya dengan nada pelan dan tak terlalu lirih seperti Vian tadi. Namun, masih bisa didengar Vian meski Farrin juga menahan tangisnya. Sebenarnya ia tak ingin menangis di hadapan pria. Akan tetapi, entah mengapa air matanya seolah mendesak untuk keluar dengan begitu saja tanpa bisa ia bendung.
Ia benci seperti ini.
Benci terlihat lemah di mata orang lain.
“Bukan, bukan seperti itu!”
“Lalu apa? Mengapa apa pun yang kulakukan selalu saja salah di mata orang lain?”
“Tidak, Fa. Kamu tidak salah-”
“Karena yang salah disini adalah kakak karena tidak terbuka padamu,” imbuh Vian dalam hati. Tentu saja kalimat terakhir itu hanya bisa Vian ucapkan dalam hati. Ia tak mungkin membeberkan semua ide kakaknya dalam waktu satu minggu, kan? Biar bagaimanapun juga, Vian harus meneguhkan hati agar tidak mudah luluh oleh tangisan Farrin.
Jujur saja, ia lemah akan tangisan wanita. Apalagi wanita itu adalah yang menempati ruang hatinya. Akan tetapi, lagi-lagi ia harus teguh, tak boleh luluh hingga menyebabkan ia membeberkan rencana sang kakak.
“Jika menurutmu keputusanku ini tidaklah salah, maka ayo kita menjalani waktu ke depan layaknya sepasang tunangan yang akan menikah kurang dari dua bulan ini.”
Lagi-lagi Vian hanya bisa terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. Di sisi lain, ia perlu menjelaskan jika Farrin hanya harus tetap pada hatinya yang mencintai kakaknya. Namun, di sisi lain ia juga bingung harus berkata apa agar tidak menyakiti perasaan Farrin seperti perkataannya yang sudah-sudah.
Bolehkah Vian melambaikan bendera putih? Ia yang sebelum ini tak pernah menjalin hubungan dengan wanita kini harus direpotkan dengan segala macam tetek bengeknya untuk menjaga ucapan agar tidak melukai hati yang lembut itu.
Ah, tidak. Sebenarnya tanpa Vian sadari, ia telah terbiasa menghadapi hati lembut ibunya dan berusaha semaksimal mungkin agar tidak melukai wanita yang menjadi prioritas dengan selalu menjadi anak penurut, termasuk dalam hal itu adalah menjaga ucapan. Hanya saja, Vian terfokus pada hubungan dengan wanita dalam konteks pacaran, bukan hubungan umum.
“Baiklah! Ayo kita jalani hubungan sebagai sepasang tunangan. Tapi, aku mohon untuk tidak mengatakan hal ini kepada siapapun akan keputusanmu yang mengambil jalan ini. Jangan tanyakan hal atau alasan apapun. Aku akan memberitahumu nanti setelah pernikahanmu telah terlewati. Kau mau?” putus Vian. Ia tak memiliki opsi lain selain ini. Hal yang terpenting untuk saat ini baginya adalah Farrin yang harus menghentikan tangisannya.
Farrin hanya bisa mengangguk saja. Sejujurnya, ia adalah anak yang penurut. Namun, tentu tidak semua hal bisa begitu saja ia turuti. Terkadang, ia lebih mendengarkan perintah hati dari pada perintah orang di sekitarnya bahkan orang tua atau kakaknya sekalipun. Ia beranggapan bahwa hatinya akan menuntunnya ke tempat yang harus hatinya datangi untuk berpulang. Bukankah hati selalu bisa menemukan jalan menuju rumahnya?
Hal itulah yang mendasari Farrin untuk selalu mengedepankan kenyamanan hatinya. Tanpa tahu, hati Vian justru menyembunyikan banyak hal yang entah bisa ia kuak di kemudian hari atau tidak. Atau, menunggu dan berdoa semoga saja Vian mau mengingatnya esok hari dan memberitahukan dirinya akan hal itu.
Ah, sudahlah.
Cinta dan takdir memang terus berjalan. Keduanya akan bertemu dan berkumpul hingga membentuk kata tempat untuk berpulang. Right?
“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un
“Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far
“Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny
Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili
Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu