Lantai dansa nightclub X7 malam ini sudah memanas ketika kami tiba di pintu masuk VIP. Para pengunjung menari dengan semangat mengikuti irama musik bergenre EDM dan pop elektro yang dimainkan oleh seorang Disc Jockey wanita berdandan funky.
Kedatangan aku, Rosa, dan Megan di malam ini memang untuk menjalankan misi utama mengorek informasi dari target kami, manager perusahaan Orin bernama Jimmy yang katanya cukup lemah terhadap wanita cantik. Tentu saja demi mencapai tujuan, malam ini kami telah berdandan maksimal dan sexy.
Aku mengenakan mini dress hitam ketat bertali kecil dengan belahan di paha kiriku, dan berpunggung rendah. Pakaian ini cukup banyak mengekspos kulit tubuhku. Saat kami melewati dinding kaca klub malam, sudut mataku tidak kuasa untuk memeriksa penampilanku sendiri. Bayangan pada cermin memperlihatkan seorang wanita dengan binar di kedua bola mata hitamnya, tulang pipi tinggi dengan riasan bold, bibir ranum sewarna coral menggoda, dan rambut hitam panjang dengan ombak ringan yang terlihat berkilau. Aku terlihat sangat menawan.
Rosa memilih untuk mengenakan rok mini lipit berwarna putih yang dipadukan dengan bustier crop top berwarna senada yang memperlihatkan pinggang rampingnya. Rambut sebahunya yang berwarna ash gray membuatnya semakin mencolok. Sedangkan Megan mengenakan dress lateks ketat berwarna biru dongker yang menunjukkan setiap lekuk tubuhnya. Malam ini Megan menanggalkan kacamata dan menggantinya dengan lensa kontak berwarna emas, senada dengan rambut pendeknya yang beraksen emas. Masing-masing dari kami mengapit tas tangan senada berwarna senada dengan pakaian kami masing-masing. Begitu kami memasuki area club malam beberapa pria bahkan tidak melepaskan tatapan mereka pada kami bertiga.
Club malam ini memang merupakan night club kalangan atas, ada cukup banyak negosiasi yang terjadi di dalam klub ini.
“Ros, di mana Kevin? Sepertinya seluruh gedung ini sudah dibooking untuk acara ulang tahun.” Musik yang diputar keras membuatku harus berteriak untuk berbicara dengan Rosa. Memang sudah sangat jelas bahwa pengunjung nightclub malam ini adalah kalangan terbatas, karena setiap pengunjung wanita menggunakan korsase di tangan kanan mereka, sedangkan seluruh pengunjung pria memakai pakaian berwarna hitam.
“Aku belum tahu keberadaannya. Sophie, sepertinya kau benar, seluruh tempat ini sudah di booking, apakah kita harus meneruskan rencana kita?” tanya Rosa padaku.
“Apapun yang terjadi, kita harus meneruskan rencana kita.” Rosa dan Megan mengangguk setuju.
Saat aku berjalan sambil memandang sekitar untuk mencari keberadaan Kevin, tanpa sengaja aku menabrak seseorang di hadapanku. Sepatu hak tinggi tipis yang kugunakan tidak mampu membuat tubuhku kembali seimbang, sehingga aku hampir jatuh terjerembab. Untung saja seseorang di belakangku dengan cepat menangkap pinggangku.
Dalam sekejap aku telah berada di pelukan seorang pria. Aku dapat merasakan dengan jelas kehangatan otot-otot lengan dan dada yang kekar dalam dekapan eratnya. Ketika aku mendongak, tatapanku tidak dapat beralih dari sorot mata indahnya yang tajam dengan bulu mata hitam lebatnya. Entah mengapa wajah tampan berahang tegas dan sorot matanya membuat jantungku seakan melompat keluar.
Tatapan lekat dari pria yang mengenakan kaos turtleneck hitam dan jaket senada, mengingatkanku pada sesuatu yang familiar. Namun aku tidak dapat menemukan jawaban apa dan siapa pria itu. Aroma tubuhnya sangat memikat, aku dapat menghirup campuran aroma ozonic, tonka bean, serta kesegaran jeruk bergamot, dan pir.
“Anda baik-baik saja?” tanya pria itu sambil sedikit tersenyum. Melihat senyum pria itu membuatku kikuk sekaligus sadar bahwa aku telah terlalu lama menatap dan berada dalam pelukannya. Dengan segera aku menarik diri serta berusaha untuk berdiri dengan seimbang.
“Aku, baik-baik saja, terima kasih.”
“Apa kalian teman Lily?” tanya pria itu dengan wajah yang sangat ramah.
terima kasih banyak sudah membaca bab ke 8 dari novel moonlight kiss. Silahkan berikan comment dan jangan lupa jadikan novel ini sebagai novel favorit kalian. Nantikan bab-bab berikutnya ya.... ^v^
“Lily?” tanyaku kembali. Sungguh, aku tidak tahu harus menatap ke arah mana. Aku terlalu malu untuk menatap kembali wajah tampan pria itu.
Sedangkan Jimmy terlihat kontras, pria itu mengenakan kemeja berwarna abu-abu di dalam setelan hitam mengkilat. Dari pakaian dan aksesoris jam serta sepatu yang ia kenakan, terlihat jelas bahwa ia ingin menutupi kekurangan pada wajah, dan kelebihan pada perutnya dengan menggunakan barang-barang mewah. Hal yang akan sangat disukai wanita-wanita mata duitan.
Sebuah gelas cocktail berisi minuman dingin berwarna kemerahan dengan nanas menempel pada tepi gelas telah tersaji di tempat duduk bar yang kududuki sebelumnya. Jimmy masih menungguku sambil menengguk segelas negroni secara perlahan.“Kau sudah kembali, silahkan minum
Jimmy memelukku ketika tubuhku hampir ambruk di atas panggung. Tubuhku terasa semakin panas. Sentuhan Jimmy di pinggangku terasa menggelitik dan mempercepat detk jantungku. “Jimmy, apa yang telah kau lakukan padaku?” tanyaku sambil terus berusaha membangunkan kesadaran. “Hanya membuatmu merasa bersemangat dan sedikit terangsang.” Jimmy tersenyum cerah. “Berengsek!” aku berusaha untuk menghindarinya, tapi pelukan Jimmy semakin erat. Ia sengaja mengusap punggungku naik turun dengan perlahan, sensasi sentuhannya sungguh membakar sesuatu di dalam diriku. Aku harus mencari Rosa dan Jimmy. Aku mencoba berteriak tapi sentuhan jemari Jimmy justru membuatku menyuarakan desahan. Jimmy merangkulku dan menggiringku menuju lorong bagian belakang club yang sangat sepi. Aku berusaha melawannya dengan sekuat tenaga, namun tubuhku tidak memiliki tenaga untuk memberontak. Tolong aku...Siapapun..Tolong aku! Aku terus berdoa agar seseorang datang
“Ruangan ini kedap suara, jadi kau boleh mengeluarkan suara sekencang apapun.” Pria itu berjalan mendekatiku, mengambil sebuah permen mint dari atas meja. Dalam satu kali sobekan, bungkus permen telah terbelah, pria itu memasukan bulatan permen mint ke dalam mulutnya dengan cara paling menggoda. “Namaku Neil, Neil Morianno kau harus mengingat namaku. Aku akan mengingat namamu, Sophie” Aku terkejut ketika Neil menyebutkan namaku. Mungkinkah ia mendengarkan setiap pembicaraanku? Neil menekan tubuhku pada sofa silver. Secara sengaja dia semakin merapatkan tubuhnya padaku, telingaku bahkan dapat mendengar debaran jantungnya yang semakin cepat. Perpaduan aroma ozonic, tonka bean, bergamot dan pir dari tubuh Neil serta dada bidangnya yang terasa hangat, seketika meredakan pusing di kepalaku. Semua kenyamanan itu membangkitkan alarm dalam otakku. Ini tidak boleh terjadi, tidak boleh terjadi! Otakku terus berkata seperti itu, tapi hatiku menyukai apa yang pria kekar ini laku
“Sophie, bolehkah aku membuka pakaianmu?” Neil membaringkanku di atas ranjang berukuran king size. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku. Aku benar-benar malu menyadari bahwa seorang pria terkesima menatap tubuhku, bahkan ini pertama kalinya aku akan menunjukkan tubuhku. Pria berbola mata hitam itu menurunkan kedua tanganku sambil tersenyum menggoda, “Kamu mau, Sayang?” “Aku ... mau. Tapi tolong jangan ledek bentuk tubuhku.” Aku menutup wajah sekali lagi. “Percayalah padaku, aku benar-benar menyukai setiap lekuk tubuhmu. Jangan menutup wajahmu. Aku ingin melihat wajah cantikmu,” jawabnya singkat. Kali ini aku memberanikan diri menatap wajahnya. Neil lantas menurunkan seleting dress, dan melepaskan dress hitam ketatku dari seluruh tubuhku. Aku nyaris telanjang, hanya tersisa bra dan g-string putih yang membalut tubuhku. Pria tampan di hadapanku tampak terpana melihat tubuhku. Mataku tidak pernah berbohong. Aku melihat tatapan mata laki-laki p
Jika ada hal yang sangat kusesali selain mencium Gerald ketika usiaku dua belas tahun adalah datang ke night club di malam itu dan berakhir dengan one night standku dengan seorang pria bernama Neil. Aku telah menyerahkan keperawanan yang kujaga seumur hidup pada seorang pria, nyaris tidak kukenal. Semua ini terjadi akibat obat perangsang yang diam-diam Jimmy masukkan dalam minumanku. Tapi mungkin penyebab utama kejadian itu terjadi karena aku mengizinkan Neil meniduriku, semata-mata karena perasaan frustasi dengan rasa insecureku terhadap pria. Dan aku menemukan kenyamanan saat Neil melindungiku, memperhatikanku. Hal-hal ini tidak pernah kudapatkan sebelumnya dari Gerald. Orang yang justru selama ini kusukai. Sosok Neil sendiri begitu mirip dengan Gerald. Mereka memiliki kesamaan dalam postur tubuh, dan ketampanan yang sebanding satu sama lain. Selain itu, cara mereka berdua memandangku, sorot mata mereka begitu serupa. Aku terperangkap dalam tatapan Neil di malam itu.
Suara pintu kamarku yang diketuk membuyarkan lamunan. Rosa berkata dengan lembut, “Sophie, sampai kapan kamu mau mengurung diri? Kamu tidak mengatakan apapun pada kami tentang malam saat kamu menghilang. Apapun yang terjadi padamu, tolong maafkan kami karena tidak dapat menemukanmu.” Aku terdiam, cukup lama. Aku terus merenungkan apakah ini semua adalah salah kedua sahabatku? Karena semua rencana untuk mendapatkan informasi Jimmy adalah rencanaku juga, bagian dari rencana besar firma hukum kami. Segala hal yang terjadi menjadi resiko kami masing-masing. Demi masyarakat yang telah menaruh harapan keadilan mereka di pundakku. Aku harus bangkit kembali dan menuntaskan kasus ini. Aku bangkit dari tempat tidur yang telah menopang tubuhku selama seharian kemarin. Pagi ini harus menjadi awal yang baru bagiku. Aku membuka pintu, Rosa dan Megan langsung berhamburan memelukku. “Rosa, Megan, bisakah kalian membantu aku merias diri. Aku harus tampil meyakinkan sebagai se