Share

Villa Saksi Bisu

Ketik  di lampu merah, motor Hanif berhenti tepat di samping mobil Vano. Tak sengaja, Vano melihat mereka sedang membonceng dengan sangat mesra. Itu pandangan dari Vano.

"Bos! Bukankah itu Nona Khanza?" tanya Pak Adi.

Vano mencari dimana Khanza berada. Ketika menemukan dimana gadisnya berada, ia kesal dan turun dari mobilnya. Cemburu membakar hatinya saat itu. Ia menarik tangan Khanza untuk ikut masuk ke mobilnya. Lalu meminta Pak Adi untuk pulang menggunakan kendaraan umum.

"Pak Vano?" ucap Khanza.

"Turun! Ikut saya sekarang!" bentak Vano mencengkram tangan mungil Khanza dengan erat sehingga membuat Khanza kesakitan.

"Sakit Pak, lepasin aku--" keluh Khanza.

"Woy Bro. Sorry, nih. Jangan kasar-kasarlah sama cewek. Kalau dia nggak mau ya jangan di paksa dong!" seru Hanif mencoba menahan Vano.

"Kamu nggak usah ikut campur! Ini urusan saya dengan calon istri saya." tegas Vano. 

Sontak, membuat Hanif terkejut dengan kenyataan Vano yang mengaku sebagai calon suami dari sahabatnya itu. Hanif merasa jika Khanza belum menceritakan apapun kepadanya.

"Baru calon, 'kan? Belum jadi juga, tunggu 2 bulan lagi Khanza baru lulus, Bro!" ungkap Hanif memohon agar Vano melepaskan sahabatnya. 

Emosi Vano sudah dalam tingkat bala-bala. Ia menarik tangan Khanza dengan kuat. Lalu, membuka pintu mobil dan mendorong tubuh Khanza dengan kuat.

"Aduh!" rintih Khanza.

Tak mungkin meronta lagi, akhirnya Khanza menurut saja apa yang dilakukan oleh Vano. Pak Adi juga di usir keluar dari mobil. Lalu, Vano mengendarai mobilnya kencang. Khanza sendiri tidak tahu ada apa dengan Vano.

Ia juga merasa tidak melakukan kesalahan apapun. "Mengapa dia sejarah itu? Ada apa dengannya? Aku hanya membonceng Hanif karena dia menurunkanku di jalanan." 

"Tuan Vano, apa yang kamu lakukan? Aku masih ingin hidup Pak!" teriak Khanza. 

Tetap saja Vano memilih untuk diam saja dan menambah laju mobilnya. Rumah yang Khanza tempati sudah terlewati, kini Khanza mulai takut dengan Vano karena tidak tahu akan dibawa pergi kemana dirinya.

"Tuan Vano, kita melewati pintu masuk kompleks. Sebenarnya Tuan hendak membawaku kemana?" tanyanya mulai panik.

Lagi-lagi Vano hanya diam saja. Mata dan pikirannya hanya terfokus menyetir tanpa menghiraukan perkataan gadis yang ia sukai.1 jam berlalu, Khanza tidak tahu Vano akan membawanya kemana. Ia akhirnya pasrah dengan keadaan. 

Tapi tempat itu sangat jauh dan hanya beberapa rumah di sekitar daerah tersebut. Berhentilah mereka di sebuah rumah besar nan megah dengan cat dinding berwarna putih. Itu bukanlah rumah, melainkan sebuah Villa yang paling besar di daerah itu. 

"Ini Villa siapa, ya, Tuan? Mengapa kita datang ke sini?" tanya Khanza dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi. 

Vano turun dari mobilnya, kemudian ia  menggendong Khanza masuk ke Villa tersebut. Di sana, hanya ada satu keluarga yang menempatinya, yakni sepasang suami istri dengan satu anaknya. Mereka tinggal di sana untuk mengurus Villa itu. 

"Turunkan aku!" Khanza memberontak. Ia terus memukuli punggung Vano dengan sekuat tenaganya. 

Sampai di kamar, Vano melempar tubuh kecil Khanza ke ranjang. Kemudian, mengunci pintu kamar tersebut. Aura kemarahan Vani sudah menjalar keseluruh tubuhnya. Seakan tubuhnya mengeluarkan asap ungu gelap seperti di dalam komik fantasi. 

"Tuan, kenapa harus di kunci--"

Klek!

Suara kunci kedua. Vano sengaja memberikan pelajaran kepada Khanza, supaya kedepannya Khanza tidak membuat Vano marah lagi. Perlahan dengan tatapan pemangsa, Vano mendekati tubuh mungil Khanza. 

"Saya nggak suka melihat kamu dekat dengan laki-laki lain, Khanza!" desis Vano yang kini tubuhnya sudah menindihi tubuh Khanza.

"Kamu hanya boleh dekat dengan saya. Kamu, hanya milik saya dan tidak boleh ada lelaki manapun yang mendekatimu, dengar itu!" hardiknya. "Atau, jika lelaki itu nekat … Aku bisa membuatnya merasakan ke--" amarah Vano sudah sulit Khanza kendalikan. 

"T-tuan, tolong jangan seperti ini," rintih Khanza berusaha mendorong tubuh besar Vano. 

"Semua ini salah Tuan sendiri. Mengapa Tuan meninggalkan aku di jalanan. Tak ada salahnya jika aku menerima tumpangan dari sahabatku sendiri, 'kan?" Khanza mulai membela diri. 

Vano menekan tubuhnya di tubuh Khanza. Kini, ia merasakan kelembutan dan sebesar apa dari buah dada gadis kecil yang kini ada di bawahnya. Vano juga menawarkan suatu yang sangat menggiurkan, ia berjanji akan membiayai sekolah Lisa sampai dia lulus nantinya dengan jaminan Khanza mau jadi kekasihnya. 

"Kak, bagaimana kalau aku juga putus sekolah. Aku akan mencari uang bersamamu juga. Bagaikan, Kak?"

Kata-kata Lisa masih terngiang di ingatannya. Khanza berpikir, jika Lisa sampai putus sekolah, ia takut masa depannya akan suram. Sebab, Lisa masih memiliki jalan yang panjang untuk menempuh cita-citanya.

Apa yang ditawarkan Vano memang bisa membuatnya terlena. Namun, Khanza hanya menyadari posisi dirinya, ia tidak mungkin mencintai seorang Tuan Vano, pengusaha kaya yang dermawan. Itu tak sebanding dengan dirinya yang hanya mantan pengamen, miskin dan hidup saja masih menumpang. 

"Bagaimana Khanza? Saya akan menjamin masa depan adikmu, saya tahu jika dia memiliki penyakit juga. Pikirkan kesehatan dan masa depan Lisa, Khanza!" bujuk Vano.

"Apakah aku hanya akan menjadi kekasihmu saja, Tuan Vano? Permainan cinta dari seorang Bos besar gitu?" bisik Khanza di telinga Vano.

Hembusan napas Khanza membuat Vano bergairah. Kemudian, "Apa … Aku hanya akan menjadi simpananmu saja, atau ada sebutan lain bagiku?" lanjutnya. 

Vano kecewa dengan pikiran sempit Khanza. Ia tidak menyangka jika Khanza berpikir buruk tentangnya. Bukan Vano jika ia menyerah dengan cintanya saja. Ia pun berkata, "Benar, saya menginginkan tumbuhmu yang manis ini. Berikan kepada saya, dan saya akan menjamin adikmu!"

Air mata Khanza menetese. Khanza berpikir jika ternyata biaya hidup di dunia begitu mahal sampai harus mengorbankan tubuhnya. Tapi, adiknya memang dalam kesehatan yang lemah, dan itu membutuhkan perawatan. 

Tapi Vano bukan orang yang seperti itu. Vano hanya mau Khanza ada di sampingnya. Dia mencintai gadis SMA itu, bukan ada maksud lainnya. Namun, dengan hati lembutnya, Vano memang berinisiatif ingin membiayai pendidikan Lisa dan pengobatannya. Bukan karena dia mencintai Khanza. Semua itu Vano lakukan karena dirinya masih memiliki perasaan. 

"Saya akan keluar dulu. Segeralah mandi, ganti baju dan setelah itu turun. Saya menunggumu makan, oke? Jangan lama-lama, atau kamu yang akan menjadi santap malam saya," Vano meninggalkan dan melepaskan Khanza begitu saja. 

"Oh ya, baju bisa kamu milih sendiri di almari sana." sambungnya dengan menunjuk almari berwarna coklat tua di kamar tersebut.

Setelah Vano keluar, Khanza mengobrak-abrik kamar tersebut. Ia sangat kesal karena Vano selalu menggodanya. Emosinya selalu dipermainkan dan akhirnya dia sendiri yang merasa malu. 

"Dasar kadal!" umpatnya.

"Tapi, bagaimana dengan Lisa? Dia butuh masa depan yang cerah dan kesehatannya juga--"

"Tuhan, kenapa Engkau uji aku seberat ini?" Khanza merebahkan tubuhnya ke ranjang. 

Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Ada telok  masuk dari Lisa yang sedang mengkhawatirkan dirinya. 

"Kak, kakak di mana? Kenapa sudah jam segini, kakak belum pulang juga. Apakah, kakak mengamen lagi? Bu Dian menyuruh kakak untuk datang, sudah waktunya bayar spp, kak."

"Kakak sedang ada urusan dengan Tuan Vano. Besok kakak akan membayarnya kamu tenang saja," jawab Khanza gelisah. 

"Aku ada uangnya, kak. Kakak cukup mengantarku saja!"

"Menurutlah Lisa. Uangmu bisa buat biaya tambahan masuk sekolah SMA nanti. Biarkan ini menjadi urusan, Kak." pekik Khanza sedikit kesal. 

Tak ingin membuat kakaknya marah, Lisa mematikan ponselnya dan mengirim nomor rekening milik Bu Dian, guru pembimbing Lisa. 

Mau tidak mau, Khanza menerima tawaran Vano untuk menjadi kekasihnya. Sebab, masa depan adiknya berada di tangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status