Share

Jatuh Cinta

Vano mengambilkan makanan untuk Khanza. Ia juga memberikan Khanza segelas susu hangat. Perlakuan baik Vano membuat Khanza sendiri menjadi bingung. Ia tidak tahu yang mana sifat Vano sebenarnya. Sekejap, ia berubah menjadi malaikat, dan sekejap lagi berubah menjadi Iblis.

"Tuan Vano …." panggil Khanza dengan suara manja di telinga Vano. 

Vano tersenyum tentunya. Ia juga melihat Khanza memainkan tangannya dari bawah meja seperti anak kecil.

"Makan dulu!" ucap Vano.

Memang tak ada yang perlu dibantah. Khanza menurut kali ini. Dia tidak ingin membuat Vano kembali marah padanya. Sebab, yang dia lihat saat itu, kemarahan Vano belum reda sepenuhnya.

"Saya selesai," kata Vano mendorong piringnya.

"Jika ada yang ingin kamu katakan, kamu bisa menemui saya di ruang kerja yang ada disebelah sana. Kamu habiskan dulu makananmu, permisi!" lanjut Vano dengan sikap yang dingin. 

Mengetahui sikap Vano berubah, segera Khanza menyantap makanannya dengan terburu-buru sampai akhirnya tersedak hingga terbentuk batuk. 

"Uhuk, uhuk, uhuk,"

Mendengar Khanza tersedak, Vano langsung berbalik dan memberinya minum, sembari mengusap punggung Khanza dengan lembut. Nampak jelas kepedulian Vano bukan semata karena kasihan saja. Melainkan, ia telah jatuh cinta sungguhan dengan gadis SMA yang masih berusia 18 tahun itu. 

"Ayo minum, makan secara perlahan saja. Saya bisa menunggumu di sana," ujar Vano berjalan membelakanginya.

Tak lama kemudian, ia berbalik dan berkata, "Oh, tidak. Berikan, saya akan menyuapimu saja. Nanti … yang ada kamu tersedak lagi." 

Vano mulai menyuapi Khanza dengan sangat hati-hati. Bahkan sisa makanan di bibirnya juga Vano bersihkan menggunakan jarinya tanpa jijik. Tentu saja perlakukan Vano itu membuat air mata Khanza menetes.

Khanza terus menatap mata Vano yang penuh dengan ketulusan. Sama halnya saat dulu ibunya menyuapi dirinya. "Ada apa denganku? Lelaki setulus ini, apakah harus aku curigai?" batinnya. 

Vano sadar gadisnya menangis. Air mata itu membuatnya panik. "Hey, kamu kenapa menangis?" tanyanya dengan menyeka air mata Khanza. 

"Apa saya menyuapimu terlalu banyak? Atau … masih panas, ya? Jangan nangis, saya minta maaf, ya?" Vano masih sibuk menyeka air mata Khanza dengan perlahan. 

Aksi Vano terhenti ketika melihat sepasang mata yang indah itu menatap dirinya dengan penuh tanda tanya. Vano menggerakkan alisnya, pertanda jika dirinya bertanya 'ada apa'. 

"Sebenarnya, sifat mana yang Tuan miliki? Kenapa sifat anda selalu berubah-ubah seperti itu?" tanya Khanza lirih. 

Vano terdiam, masih menatap gadisnya lekat-lekat. Tak lama kemudian, ia tertawa sangat keras. "Haha jangan bilang kamu percaya dengan hardikan saya di kamar tadi, Khanza?" ucapnya. 

Khanza mengangguk. Ia pun menjawab pelan, "Sayangnya, aku memang percaya dengan apa yang Tuan katakan di kamar tadi,"

"Kamu percaya? Khanza, saya mana mungkin menyakiti orang yang saya sayangi, saya sayang sama kamu. Tidak mungkin dong saya menyakitimu. Saya hanya kesal, karena kamu boncengan dengan teman lelakimu itu. Saya hanya cemburu sana," jelas Vano mencubit hidung Khanza.

Pandangan Khanza masih dalam kepada Vano. Ia sendiri tidak menduga jika Vano hanya menggodanya saja. Khanza pun pergi ke kamarnya dengan perasaan marah dan diiringi rasa malu. 

"Khanza! Saya sangat menyayangimu. Saya cuma memiliki satu permintaan, yaitu menjadi kekasihku itu sungguhan!" teriak Vano.

Langkah Khanza terhenti, air matanya mulai menetes kembali. Kemudian langsung berlari ke kamarnya. Saat itu, dirinya bahkan tidak tahu dari segi mana Vano menyukainya seperti itu.

"Mawar, tolong kamu bicara dengan Khanza, ya. Saya masih ada beberapa pekerjaan yang masih tertunda." perintah Vano kepada anak yang menjaga vila nya. 

Sejak kecil, Mawar di biayai sekolahnya oleh Vano. Menjadikannya jatuh hati kepada Tuan nya yang selalu memberikan kebaikan kepadanya. 

"Baik Tuan." jawab Mawar.

Ia bergegas ke kamar di mana Khanza berada. Rupanya, Khanza tidak ada di kamar. Dengan sigap, Mawar mencarinya hingga ke atas atap, karena memang di atas sana adalah tempat yang cocok untuk menyendiri.

Tenyata memang ada di sana sedang menikmati sang mentari terbenam. Meski cuaca sedang mendung, membuat sang mentari tak terlihat sinarnya. Mawar pun mengajak Khanza untuk masuk ke kamar yang lain, kamar milik Vano pribadi.

Kamar itu hanya Vano yang boleh masuk. Mawar sengaja membawa Khanza masuk ke sana agar Khanza terkena amarah Vano. Dengan bodohnya, Khanza pun ikut saja apa yang Mawar katakan.

"Ini kamar siapa?" tanya Khanza melihat sekeliling.

"Ini kamar Tuan, berhubung kamar Nona sedang di bersihkan oleh Ibu saya, jadi sementara Nona bisa istirahat disini," jelas Mawar dengan tatapan kesal. 

"Oh, terima kasih," ucap Khanza tanpa curiga.

"Saya tinggal dulu, Nona." Mawar meninggalkan Khanza di kamar Vano.

Ia juga menutup pintu kamar, kemudian menyeringai. Sejak lama, Mawar sudah mencintai Vano. Baru pertama kali Vano membawa pulang wanita ke Villa pribadinya itu.

Membuat Mawar tidak menyukai itu. Sebab, dirinya sudah menunggu Tuannya sejak lama. Di sisi lain, Khanza akhirnya bisa terlelap di kasur nanti empuk. Tak lama kemudian, Vano masuk ke kamar.

Awalnya ia marah karena ada seseorang yang masuk di kamar miliknya itu. Melihat pose tidur Khanza yang lucu, membuat amarah Vano mereda. Ia pun tidur di samping Khanza dengan perlahan, dan memeluknya dari belakang. Tentu saja pelukan itu Khanza terkejut, ia langsung lompat ke bawah.

"Tuan Vano!" teriak Khanza. "Apa yang Tuan lakukan?" imbuhnya panik. 

"Tidur!" tegas Vano.

"Iya tapi mengapa harus di sampingku? Mana asal main peluk lagi," siapa yang tak kesal jika sedang terlelap dipeluk oleh pria yang tidak memiliki ikatan apapun dengannya.

"Ini kamar saya, suka hati saya dong mah berbuat apa!" ketua Vano. Ia langsung menarik tangan Khanza ke tempat tidur, lalu memeluknya dengan erat.

"Jangan bergerak! Tetaplah seperti ini Khanza, saya sangat lelah hari ini. Pekerjaan kantor tertunda karena mencarimu seharian," bisik Vano dengan tangan yang melingkar di pinggul Khanza. 

Membuat Khanza risih dan tidak nyaman. Khanza berusaha melepaskannya. Akan tetapi, "Tapi Tuan tidak akan ngapa-ngapain aku, 'kan?" Khanza masih saja waspada.

"Saya tidak mungkin menikmati tubuhmu tanpa persetujuan darimu. Saya juga tidak mungkin merusak kehormatan seorang gadis yang belum memiliki ikatan resmi dengan saya. Biarlah seperti ini sebentar saja Khanza." ucapan Vano membuat hati Khanza tersentuh. 

Beberapa menit kemudian, Vano melepaskan pelukannya, ia mengambil selimut dari almari dan tidur di sofa. Vano sadar, ia tak akan melakukan hal negatif, karena itu sama saja ia berbuat kejahatan. 

"Tuan, anda mau kemana?" tanya Khanza masih terjaga. 

"Mau bagaimana lagi? Kita tidak mungkin tidur seranjang, bukan? Saya takut kalau saya khilaf, jadi kamu tidurlah di situ dengan nyenyak, oke? Lalu, biarkan saya tidur disini," ucap Vano menyelimuti dirinya.

"Aku yakin, Tuan Vano ini adalah orang yang baik, buktinya dia tidak melecehkan aku. Jika dia orang jahat, dia pasti sudah memaksaku, tadi," gumam Khanza dalam hati. 

"Khanza, satu lagi. Jangan panggil saya dengan sebutan Tuan Vano. Cukup kau panggil namaku saja. Kelak, kamu akan menjadi--" ucapan Vano belum juga selesai, ia sudah tertidur.

Khanza langsung melihat pria yang telah menjaganya selama ia dalam kesulitan itu. Rupanya, Vano sudah terlelap. Membuat Khanza semakin bersalah karena ia melihat alis yang mengkerut dari wajah Tuannya. Tanda jika orang sedang memiliki beban dan membutuhkan sandaran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status