Luka ditangan Vano, diketahui oleh Khanza. Seketika langsung berubah panik dan menarik tangan Vano. "Tangan Tuan, terluka? Biarkan aku bersihkan dulu darahnya, kebetulan aku selalu membawa plester luka di tasku," ucap Khanza dengan kepanikannya.
"Obati dulu lukamu. Lihatlah, tanganmu memar seperti ini. Saya tidak tega melihat tanganmu yang seperti ini Khanza," tutur Vano dengan penuh cinta.
Khanza tetap keras kepala membalut luka Vano. Uraian rambut Khanza menambah rasa cinta Vano kepadanya. Baginya, wanita akan cantik jika rambutnya terurai seperti itu.
Seolah, terdengar suara musik romantis yang membuatnya jatuh kedalam manisnya wajah Khanza. Gadis berusia 18 tahun itu ternyata menyadari kekasihnya tengah menatapnya. Kemudian, ia pun bertanya, "Ada apa Tuan?"
"Tuan, kenapa anda sangat baik
Vano terus menutupi robekan baju di punggung Khanza dengan telapak tangannya. Semua orang tertuju dengan kekompakan mereka. Hanif yang cemburu, tidak suka melihat kebersamaan Khanza dan Vano pun memutuskan untuk pergi. Acara telah usai, Vano tetap masih bersama dengan Khanza turun panggung."Kita berjalan hati-hati saja, ya. Saya akan mengantarmu ke ruang ganti," ujar Vano."Tunggu!" tahan Khanza."Ada apa, sayang?" ucapan sayang Vano membuat Khanza tersipu."Tuan Vano, maaf saya menyela. Tapi, saya hendak mengatakan sesuatu kepada Tuan saat ini juga!" Kepala sekolah tiba-tiba datang dan meminta Vano untuk mengikutinya ke ruangannya.Wajah Khanza nampak pucat sekali. Ia takut jika Vano akan meninggalkan dirinya disaat seperti itu
Setelah selesai acara kelulusan, Vano mengajak Khanza makan bersama. Tempat yang sudah Vano siapkan rupanya sangat dekat dengan vila milik Vano. Di sana, Vano telah menyiapkan semuanya dengan rapi. Dimana ada musik, bunga, hidangan yang lezat, serta suasana romantis menyelimuti tempat tersebut."Kenapa harus di tutup sih matanya?" tanya Khanza."Namanya juga kejutan. Harus di tutup dong matanya," ucap Vano sembari menuntun kekasih hatinya ke tempat tujuan."Iya, kenapa juga harus pakai kain?" lanjut Khanza semakin penasaran."Sstt, jangan kacaukan kejutan ini. Nikmati alurnya, dan jangan banyak protes, oke?" bisik Vano.Dengan lembut, Khanza dibawa duduk di kursi depan meja makan ya
Khanza hanya menyentuh bahu Vano dengan lembut. Menandakan jika Vano harus berhenti dan mulai mendengarkan Neneknya. Selanjutnya, Khanza pergi mendekati Nenek Vano dan mencium tangannya, kemudian berlari pergi."Nek, saya pamit. Selamat sore," pamit Khanza tanpa basa-basi lagi.Menatap Vano yang seperti tak ingin menyerah, Khanza semakin sulit untuk melepasnya. Sementara itu, ada Neneknya yang terbaring lemah di ranjang. Semakin membuatnya tak kuasa menahan egonya."Tuan, sampai bertemu lain waktu. Permisi!" ucap Khanza.Sebelum ia keluar, Khanza juga mencium tangan kedua orang tua Maria juga, Sembari menangis, Khanza berlari keluar meninggalkan rumah mewah Vano dengan hati yang hampa.Alam sedang berpihak kepadanya. Hujan turun begitu derasnya sehingga b
Suara yang merdu dengan petikan gitar yang sangat terampil. Seorang gadis pengamen di lampu merah kala itu. Gadis yang mampu membuat Vano Arka Wijaya (30), pria dermawan dengan bersampul brengsek dan juga dingin. Telah jatuh hati kepadanya.Sudah sejak dua bulan lebih, Vano mencari informasi tentang gadis itu. Namanya, Khanza Aurely (18), siswi SMA negri ternama di Kota itu. Lahir dari keluarga sederhana, dengan sifat ceria dan sangat ramah. Namun, Khanza memiliki kebiasaan buruk yang mungkin sudah tidak layak bagi usianya saat ini.Kebiasaan buruk itu, ia sering bolos pelajaran dan selalu membuat onar di sekolah. Sampai ia bertemu dengan Vano Arka Wijaya, seorang pengusaha yang sangat dermawan, namun terlihat sombong.Akan tetapi, karena kurang kasih sayang dari orang tuanya semasa kecil, membuat pikirannyasempit tentang dunia ini. Jika orang lain pembicaraan kekeluargaan membuat masalah selesai, berbeda dengan Vano, jika uang adalah b
Di perjalanan pulang, Khanza nampak sedih mengingat Hanif tidak mengangkat telfon darinya. Ia sangat menyesal jika benar Hanif di skors karena dirinya.Bagaimanapun juga, Hanif lah satu-satunya orang yang mau berteman dengannya. Selalu membantunya di saat ia susah. Tak hanya itu saja, bahkan Hanif selalu pasang badan ketika apapun hal buruk yang terjadi menimpanya.Ia akan berinisiatif mengatakan kebenarannya besok pagi ke guru bimbingan, agar mencabut hukuman yang guru itu berikan kepada Hanif. Kemudian, dirinya siap menerima apapun hukuman dari guru bimbingan.***Sore itu, Khanza duduk di bawah rindangnya pohon rambutan. Menghitung uang hasil bernyanyinya siang tadi. Ketika sampai di uang lembaran kedua, tiba-tiba dia teringat akan Bos sombong siang itu."Hufft, rasanya aku ingin sekali menaikkan dasinya hingga tercekik dia," umpatnya."Dan aku selalu berh
Huh, kalau saja bukan aku yang salah, udah kuplitir tuh kepala orang. Main tampar pipi mulus aku yang super lembut ini, kesel deh!" gerutunya Khanza."Pipi kamu pasti baik-baik saja, kok. Tenang saja!" ujar Vano yang sudah ada di belakangnya.Khanza berbalik, melihat Vano dengan mata membelak, meyakinkan bahwa laki-laki itu adalah orang yang sama dengan yang kemarin. Khanza berbalik lagi, ia menganggap bahwa itu hanyalah khayalannya saja."Pasti berkhayal, mana ada om-om sombong itu di jalanan seperti ini? Hahaha mau apa dia? Mulung, tapi jaman sekarang pemulung sukses pun banyak," gumam Khanza."Hey, kamu berani tidak memperdulikan saya?" teriak Vano.Khanza kembali membalikkan badan. Kemudian berjalan mendekati Vano yang juga terhenti saat dirinya berbalik. Ia memberanikan diri untuk menyentuh lengan dan pipi lelaki yang baginya sombong itu. Tak hanya di bagian pipi dan l
Di sekolah, Khanza yang biasanya riang, ceria, suja jahil dan suka bernyanyi. Kini ia menjadi lebih pendiam, ia juga menjauhi Hanif, ketika mereka berpapasan saja, Khanza tidak menegurnya."Khanza kenapa ya? Apa karena aku tidak melayat ke rumahnya, terus dia ngambek? Marah gitu sama aku?" Hanif bertanya dalam hati.Ingin sekali Hanif menegurnya sahabatnya tersebut. Namun, semua itu masih ia tahan karena sang kekasih menempel terus di lengannya, seperti enggan kehilangannya. Bahkan mereka duduk bersebelahan saja, Khanza sama sekali tidak menengok ke arah Hanif.Di sekolah, kali ini Khanza tidak berulah. Jam kosong pun ia tidak membolos lagi. Ia malah menggunakan kesempatan itu untuk tidur.Ingin sekali Hanif menegur Khanza, tapi ia takut jika kakak sepupunya akan berulah lagi dengan kepadanya. Khanza adalah sahabat yang baik
Kebakaran rumah siang itu membuat trauma di ingatan mendalam bagi Khanza dan Lisa. Sesekali, air mata Khanza menetes, meratapi nasibnya yang kini tidak memiliki apapun kecuali adik dan pakaian yang masih melekat di tubuhnya.Di balik kaca mobil Vano, Khanza menyembunyikan kesedihannya dari langit. Ia baru saja kehilangan orang tuanya, lalu sekarang kehilangan rumahnya. Bahkan ia juga bingung, kenapa dirinya langsung bersedia mengikuti Vano, orang yang baru saja di kenalnya."Khanza, apa kamu baik-baik saja?" tanya Vano."Om ini siapa? Kenapa mau bantu kita berdua?" tanya Lisa."Panggilnya jangan om, dong. Panggil saja dengan nama, nama saya Vano. Usia saya memang jauh dari kalian, tapi belum pantaslah di panggil dengan sebutan itu," jelas Vano."Dia ini bos saya. Jika boleh, kamu panggil dia Tuan saja. Oke?" sahut Pak Adi."Jangan Tuan! Kamu boleh panggil say