“Loe kok nggak cerita sih kalau punya pacar seganteng itu” omel Arini sambil sesekali melirik ke arah Mr. Airlangga.
Akhirnya aku mengenalkan juga Mr. Airlangga ke dunia. Diawali dengan berkenalan dengan kedua sahabatku. Pastinya tidak mungkin dia aku sembunyikan terus menerus di apartemen, nanti bisa bonyok terlalu mateng, dan aku tidak bisa terus menerus menghindar dari dunia. Jadilah hari ini aku mengikut sertakan dia ketika aku bertemu dengan Inge dan Arini.
Tentunya tidak dengan menerangkan bahwa dia adalah seorang Pangeran dari kerajaan Singosari. Aku mengenalkannya sebagai Ra Putra Airlangga saja, tanpa embel-embel Pangeran.
“Namanya cukup antik, Ra Putra Airlangga” kata Inge, direspon dengan senyuman yang mampu meluluhkan batu cadas oleh Mr. Airlangga. Aku bisa melihat binar-binar terpesona di mata Inge. Sebelum dia benar-benar meleleh oleh laki-laki yang berumur ratusan tahun ini, aku meminta Mr. Airlangga untuk duduk di meja terpisah.
“Penghianat. Ini lebih kejam dari menghianati bangsa dan negara” kata Inge dengan pandangan tersadis yang pernah aku lihat.
Kami bertiga memang golongan jomblo gemilang, maksudnya gemilang susah mendapatkan pacar. Walaupun bermodal tampang yang terbilang lumayan dan karir yang cukup moncer, ternyata semua itu tetap tidak membantu untuk mendapatkan seorang pacar. Inge beberapa kali sempat ngedate tapi selalu kandas sebelum hitungan ke lima, Arini pernah punya pacar dengan rekor selama enam bulan sebelum dia ditinggal sang pacar demi seorang cewek penjaga apotek, dan aku adalah yang paling ngenes di antara mereka. Selain cinta monyet semasa SMA dan crushku terhadap Hyun bin dan Song joon ki, aku terbilang miskin dalam urusan laki-laki. Aku membayangkan bisa seperti Carrie Bradshaw, pada akhirnya bertemu dengan Mr. Big pria ganteng dan kaya tapi ternyata aku mengalami apa yang dahulu hanya aku percayai bisa terjadi di dalam film Hollywood bertemu dengan orang dari masa lalu, Pangeran Ra Putra Airlangga.
Inge menendang kakiku dari bawah meja, membuat aku memuncratkan kopi americano yang tinggal sisa-sisa. “Jadi … details! Kamu ketemu di mana, sudah berapa lama” tanya Inge dengan gaya menginterogasi. Aku mengekeret, bagaimana aku bisa menjelaskan tanpa terlalu berbohong dengan mereka.
“Oh … aku dikenalkan kok. Dia itu masih kerabat jauh keluarga bokap.”
Bohong!
“Dia ke sini untuk pengenalan, selama ini cuman lewat telepon saja.”
Bohong pake banget.
“Emang elo dijodohin Lus?” tanya Arini, kali ini dengan nada agak simpatik.
“Enggak … enggak … cuman dikenalin aja” jawabku terbata-bata.
“Dia kelihatan sudah matang” kata Arini lagi. Serempak kami bertiga mengarahkan pandangan ke arah Mr. Airlangga yang sedang serius di depan laptop. Dia bergitu tertarik dengan teknologi terutama dengan komputer di mana dia bisa mendapatkan berbagai macam informasi dari seluruh belahan dunia. Entah bagaimana cara kerjanya, dia bisa membaca huruf latin padahal dia sama sekali tidak mengenal huruf latin sebelumnya.
“Mungkin seperti aku bisa berbicara menggunakan bahasamu,” katanya ketika aku terheran-heran menemukan dia bisa dengan lancar membaca dan menulis. Dia bisa sampai ke jaman ini saja sudah merupakan keanehan yang apabila aku ceritakan ke orang lain pasti mereka akan menganggap aku gila, jadilah aku tidak terlalu ambil pusing dengan kemahiran dia membaca dan menulis. Mungkin saja dia ternyata lebih pintar dari Einstein, siapa yang tahu kan?
“Umur berapa dia?” tanya Inge penasaran.
Eh umur berapa? Sumpah aku tidak tahu dia umur berapa, dan aku lupa belum bertanya ke dia tentang umur. Kira-kira akankah menjadi topik sensitif untuk orang dari masa Majapahit mendapatkan pertanyaan tentang umur? Aku melirik ke arah Mr. Airlangga yang begitu tekun dengan laptop, yang by the way adalah laptopku yang secara dengan paksa dikolonisasi olehnya. Umur berapa yah? 40an? Tidak mungkin dia berumur 50an, wajahnya masih tampak muda untuk angka 50an.
“Eh iya … dia umur 40an” jawabku asal.
“40 berapa” Inge memburu.
“Mana gue tahu, dia nggak nunjukin KTP” jawabku kesal.
“Loe gimana sih, ketemu calon suami tapi nggak tau umurnya dengan jelas” kata Arini sewot.
Hah calon suami? Aku melempar tissue ke Arini yang sukses ditangkis dengan manis.
“Tapi dia keren loh Lus, bodynya gilak kekar kayak bodyguard. Pasti dia punya six packs” kata Inge. Kami serentak melayangkan pandangan ke arah Mr. Airlangga lagi. Dia memang keren, itu aku sudah tahu, tahu banget. Tapi kalo anak dua ini tahu berapa umur dia yang sebenarnya pasti mereka langsung terjungkal dari kursinya. Dia itu technically vampire, lha iya sudah umur ratusan tahun tapi tetap masih muda dan sexy pula. Mungkin aku harus check, jangan-jangan tanpa sepengetahuanku dia minum darah … hiiii ….
Tanpa diduga tanpa disangka Mr. Airlangga menolehkan pandangannya ke arah kami, serentak kami langsung pura-pura sibuk. Aku menyeruput cangkir kopi yang sudah kering kerontang, Inge berpura-pura sibuk dengan hanphonenya yang dipegang terbalik sedangkan Irene melakukan aksi yang agak bermanfaat, membersihkan meja yang tidak kotor.
“Dia liat apa enggak?” tanya Irene dengan masih berpura-pura sibuk membersihkan meja.
“E hem” jawab Inge singkat dengan mata masih terpaku ke layah handphpne, kali ini tidak lagi terbalik.
E hem … e hem ....
Terdengar suara berdeham, kami mendongakkan kepala dan Mr. Airlangga sudah berdiri gagah di samping meja kami.
“Eh … halo …,” sapa Irene malu-malu sambil melambaikan tangan.
“Apakah kamu sudah selesai dengan teman-teman kamu? Aku perlu pergi ke suatu tempat” katanya tenang tanpa menggubris sapaan Irene.
Pergi ke suatu tempat? Sejak kapan dia tahu keberadaan suatu tempat di sini, aku yakin kalau aku minta dia untuk membelikan bakso di tukang bakso langganan di pojok luar apartemen dia pasti nyasar. Nah sekarang dia mau pergi ke suatu tempat.
“Kemana?” tanyaku.
“Nanti aku jelaskan di mobil.”
Dia memasukkan handphoneku yang tergeletak di atas meja ke dalam tas, lalu memberikan tas ke arahku. “Ini, ayo pergi”.
Irene dan Inge memandangku lalu beralih ke Mr. Airlangga, sudah jelas mereka tidak setuju dengan Tindakan sepihak makhluk yang nyasar ke jaman berbeda ini. Aku meraih tas dengan sebal “see you guys, jangan terlalu bersenang-senang tanpa aku” kataku dengan mulut cemberut.
“Gimana dengan traktiran makan trendinya, nih kopi kita masih bayar masing-masing” kata Inge tanpa daya.
Masih saja inget dengan traktiran trendi. Aku mengendikkan bahu lalu buru-buru berlari kecil menyusul Mr. Airlangga yang sudah terlebih dahulu melangkah pergi.
Bersambung ...
Aku mengemudikan mobil ke arah taman mini seperti instruksi Mr. Airlangga. Dia bilang dia perlu bermeditasi, dan bermeditasi di pura akan membantunya untuk lebih berkonsentrasi. Aku tidak tahu apa bedanya, tapi dengan patuh menuruti, lebih cepat pergi akan lebih baik, sudah cukup pusing aku menerangkan ke kedua sahabatku.30 menit kemudian kami sudah sampai di pura, jalanan dengan sangat ajaib cukup sepi sehingga aku bisa memacu mobil dengan mulus tanpa sendatan macet. Mungkin semesta tahu bahwa seorang Pangeran pada masa Majapahit akan lewat dan memberikan ijin. Wah dia memang benar-benar bukan orang biasa, mendadak aku bersemangat, kalau alam semesta saja begitu menghormati dia mungkin tidak lama lagi dia akan bisa kembali ke dunianya. Dan hidupku bisa kembali normal, sebagai seorang Lusia maharani. Bisa kembali menulis lagi, pastinya pengalaman ini akan aku tuangkan ke dalam tulisannku, bagaimana aku bisa melewatkan pengalaman luar biasa ini. Aku tahu kalau aku bercerita k
“Sekarang apa?” tanyaku ke Mr. Airlangga yang sedang asik membaca novel Da Vinci Code. Entah kenapa semenjak berkenalan dengan salah satu buku Dan Brown tersebut dia seperti terobsesi, dengan tanpa henti dia terus menerus terpaku di dengan buku di tangan.“Buku ini sangat menarik, aku benar-benar ingin bertemu dengan orang yang bernama Professor Langdon ini” katanya dengan pandangan masih terkunci ke arah buku.Aku mengerutkan bibir dengan kesal “itu hanya fiksi, karangan, bukan hal nyata, hanya rekaan sang penulis” aku mencoba menerangkan.“Maksudnya ini tidak benar-benar terjadi?” ada nada sedikit kecewa dengan pertanyaannya.“Ya tentu saja tidak, tetapi tempat-tempat di novel itu nyata. Benar-benar ada” jawabku kesal.“Waaahh … jadi benar-benar ada lukisan yang bernama Monalisa?” katanya dengan raut muka penasaran tingkat tinggi.“Iya ada, di musium berna
Aku membuka pintu lemari dengan terburu-buru, bersiap mental menghadapi muka masam Mr. Airlangga. Namun yang aku ketemukan membikin aku terbelalak, dia sedang duduk bersila dengan mata tertutup, wajahnya tampak tenang seperti sedang beryoga di tengah pesawahan hijau, bukan di lemari yang tertutup. Aku berjingkat-jingkat mundur beberapa langkah, mencoba memberikan ketenangan ke Mr. Airlangga. Dia sedang bermeditasi, dia membutuhkan ketenangan.Klontangggggg ….Kakiku menabrak botol hair spray yang entah kenapa memilih gegoleran manja di lantai, bukan duduk manis di meja seperti seharusnya. Aku melirik ke arah Mr. Airlangga, memberikan senyum terpolosku. Ternyata matanya masih terpejam, kok bisa?“Aku belum pernah menemukan orang yang sangat pandai membikin kegaduhan sampai aku bertemu dengan kamu”“Whoops … sorry” aku meletakkan hair spray di meja rias, menatap Mr. Airlangga yang sekarang sudah membuka mata. “Jad
Jam 7 malam. Aku sudah siap dengan outfit pencuri ulung kelas dunia.Legging keceh warna hitam? Checked!Kaos turtleneck warna hitam? Checked, aku beli khusus tadi sampai muter-muter di mall, mereka rata-rata hanya menjual kaos berleher rendah atau berleher seksi. Siapa yang butuh coba? Aku akan memulai aksi menjadi pencuri kelas dunia, aku butuh turtleneck, bukan kaos seksi!Sneakers warna hitam? Super checked, walaupun tadi akhirnya aku beli juga sneakers yang sama berwarna orange. Keceh banget cintaaaa.Masker zoro warna hitam? Aku harus mengorbankan salah satu syall yang aku gunting untuk membikin masker dadakan ini, tapi super duper checked!Ta daaaa ….Aku melompat keluar dari kamar dengan kedua tangan terentang di udara, memamerkan kesiapan outfitku ke Mr. Airlangga. Dia memandangku dengan tatapan aneh.“Kenapa kamu berpakaian seperti itu?&rdq
Aku membayangkan diriku meringkuk di kamar sel penjara, memakai seragam napi. Sebentar, warna apa sih seragam napi itu? Yang biasanya aku lihat di tv warna orange untuk koruptor itu. Kalau aku boleh memilih warna aku akan memilih warna turqois, dengan ikat pinggang kecil berwarna dua tone lebih tua. Ketika aku sedang membayangkan padanan warna sepatu yang tepat untuk seragam penjaraku tiba-tiba tubuhku melayang, bukan karena kesurupan seperti di film exorcist itu tetapi karena Mr. Airlangga membopong tubuh mungilku. Belum sempat aku bereaksi, kami berdua sudah merunduk berlindung di samping lemari yang sangat besar. Proven, otakku memang lambat bekerja.Mr. Airlangga menaruh telunjuk di mulutnya sebagai tanda supaya aku tidak mengeluarkan suara. Aku mengagguk dengan patuh. Suara langkah-langkah kaki terdengar sangat dekat sekarang, sepertinya mereka hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami bersembunyi.“Nggak ada apa-apa kan?” suara seseorang
Salah satu dari mereka mengetuk kaca mobil pengemudi, mukanya cukup sangar dengan rambut potongan ala mohawk yang sudah jelas ketinggalan jaman banget. Dipikirnya masih trend potongan rambut model begitu. Dua orang berdiri di depan mobil salah satu memanggul pentungan kayu yang cukup besar dan satunya lagi menggenggam pisau lipat. Nyaliku langsung merosot, terjun bebas bak bungee jumping.Tok … tok … tok….Aku terlonjak, salah satu dari mereka juga mengetuk pintu tempat aku duduk, memberi kode supaya aku keluar. Dengan susah payah aku mencoba mengingat-ingat gerakan pertahanan diri yang pernah aku lihat di situs Youtube. Sia-sia tentu saja, dalam keadaan sekarang masih untung aku bisa mengingat namaku dengan baik.“Lusia, kamu diam saja di dalam sini” kata Mr. Airlangga, suaranya tenang. Seolah geng motor yang sedang mengerumuni kami bukanlah hal yang luar biasa.“Kamu mau ngapain?” tanyaku dengan suara yang ha
“Jadi kita akan ke mana?” Tanyaku setelah kami berdua duduk manis di dalam mobil. Mr. Airlangga. Tidak saja siap dengan sarapan yang cukup, ok … ya, agak berlebihan. Aku menyikat dua buah telur mata sapi, berikut satu piring penuh nasi goreng, ditambah dua tangkup toast dengan selai strawberry dan dua buah pisang. Dan beberapa irisan semangka. Kira-kira dua buah tahu goreng, ok tiga buah ... aku mengaku. Itu semua aku persiapkan untuk petualangan yang akan penuh rintangan kedepannya. Paling tidak begitulah imajinasiku.“Ke candi Bajang ratu.” Jawab Mr. Airlangga tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Laki-laki ini memang paling pintar untuk tidak menghiraukan orang lain.“Ke candi Bajang ratu Pak,” kataku ke Pak Suharyono yang pagi ini juga tampak segar. Tidak tampak sisa kelelahan atau ketakutan tadi malam, mungkin dia mendapatkan tidur yang cukup, tidak seperti aku yang hanya berhasil terbang ke la la land hanya beberapa jam.
Mr. Airlangga menyimpan batu lempeng kuno simbol kerajaan Majapahit itu ke dalam saku celananya, seperti menyimpan uang lima ratus rupiah. Aku terpekik ngeri.“Bagaimana kalau batu itu nanti pecah?”Dia tersenyum geli, seolah-olah ucapanku terdengar sangat lucu. “Lusia, ini adalah batu obsidian. Batu yang terbentuk oleh lahar yang mendingin. Kamu kira batu ini akan bisa pecah karena aku simpan di saku celana?”Batu obsidian, hhmm … aku harus google tipe batu macam apa itu. Aku menjadi malu sendiri tentang pengetahuan geologiku yang sangat minim. Menambahkan buku science ke dalam rak bacaan sepertinya ide yang sangat cemerlang, supaya aku lebih terpelajar.“Jadi sekarang kita ngapain?” Tanyaku polos.“Pulang, sudah waktunya untuk memejamkan mata.”What … pulang, tidur gitu saja? Orang satu ini memang sangat pintar mengontrol suspense, ketika lagi tegang-tegangnya langsung diminta u