Share

7. Pacar?

“Loe kok nggak cerita sih kalau punya pacar seganteng itu” omel Arini sambil sesekali melirik ke arah Mr. Airlangga.

Akhirnya aku mengenalkan juga Mr. Airlangga ke dunia. Diawali dengan berkenalan dengan kedua sahabatku. Pastinya tidak mungkin dia aku sembunyikan terus menerus di apartemen, nanti bisa bonyok terlalu mateng, dan aku tidak bisa terus menerus menghindar dari dunia. Jadilah hari ini aku mengikut sertakan dia ketika aku bertemu dengan Inge dan Arini.

Tentunya tidak dengan menerangkan bahwa dia adalah seorang Pangeran dari kerajaan Singosari. Aku mengenalkannya sebagai Ra Putra Airlangga saja, tanpa embel-embel Pangeran.

“Namanya cukup antik, Ra Putra Airlangga” kata Inge, direspon dengan senyuman yang mampu meluluhkan batu cadas oleh Mr. Airlangga. Aku bisa melihat binar-binar terpesona di mata Inge. Sebelum dia benar-benar meleleh oleh laki-laki yang berumur ratusan tahun ini, aku meminta Mr. Airlangga untuk duduk di meja terpisah.

“Penghianat. Ini lebih kejam dari menghianati bangsa dan negara” kata Inge dengan pandangan tersadis yang pernah aku lihat.

Kami bertiga memang golongan jomblo gemilang, maksudnya gemilang susah mendapatkan pacar. Walaupun bermodal tampang yang terbilang lumayan dan karir yang cukup moncer, ternyata semua itu tetap tidak membantu untuk mendapatkan seorang pacar. Inge beberapa kali sempat ngedate tapi selalu kandas sebelum hitungan ke lima, Arini pernah punya pacar dengan rekor selama enam bulan sebelum dia ditinggal sang pacar demi seorang cewek penjaga apotek, dan aku adalah yang paling ngenes di antara mereka. Selain cinta monyet semasa SMA dan crushku terhadap Hyun bin dan Song joon ki, aku terbilang miskin dalam urusan laki-laki. Aku membayangkan bisa seperti Carrie Bradshaw, pada akhirnya bertemu dengan Mr. Big pria ganteng dan kaya tapi ternyata aku mengalami apa yang dahulu hanya aku percayai bisa terjadi di dalam film Hollywood bertemu dengan orang dari masa lalu, Pangeran Ra Putra Airlangga.

Inge menendang kakiku dari bawah meja, membuat aku memuncratkan kopi americano yang tinggal sisa-sisa. “Jadi … details! Kamu ketemu di mana, sudah berapa lama” tanya Inge dengan gaya menginterogasi. Aku mengekeret, bagaimana aku bisa menjelaskan tanpa terlalu berbohong dengan mereka.

“Oh … aku dikenalkan kok. Dia itu masih kerabat jauh keluarga bokap.”

Bohong!

“Dia ke sini untuk pengenalan, selama ini cuman lewat telepon saja.”

Bohong pake banget.

“Emang elo dijodohin Lus?” tanya Arini, kali ini dengan nada agak simpatik.

“Enggak … enggak … cuman dikenalin aja” jawabku terbata-bata.

“Dia kelihatan sudah matang” kata Arini lagi. Serempak kami bertiga mengarahkan pandangan ke arah Mr. Airlangga yang sedang serius di depan laptop. Dia bergitu tertarik dengan teknologi terutama dengan komputer di mana dia bisa mendapatkan berbagai macam informasi dari seluruh belahan dunia. Entah bagaimana cara kerjanya, dia bisa membaca huruf latin padahal dia sama sekali tidak mengenal huruf latin sebelumnya.

“Mungkin seperti aku bisa berbicara menggunakan bahasamu,” katanya ketika aku terheran-heran menemukan dia bisa dengan lancar membaca dan menulis. Dia bisa sampai ke jaman ini saja sudah merupakan keanehan yang apabila aku ceritakan ke orang lain pasti mereka akan menganggap aku gila, jadilah aku tidak terlalu ambil pusing dengan kemahiran dia membaca dan menulis. Mungkin saja dia ternyata lebih pintar dari Einstein, siapa yang tahu kan?

“Umur berapa dia?” tanya Inge penasaran.

Eh umur berapa? Sumpah aku tidak tahu dia umur berapa, dan aku lupa belum bertanya ke dia tentang umur. Kira-kira akankah menjadi topik sensitif untuk orang dari masa Majapahit mendapatkan pertanyaan tentang umur?  Aku melirik ke arah Mr. Airlangga yang begitu tekun dengan laptop, yang by the way adalah laptopku yang secara dengan paksa dikolonisasi olehnya. Umur berapa yah? 40an? Tidak mungkin dia berumur 50an, wajahnya masih tampak muda untuk angka 50an.

“Eh iya … dia umur 40an” jawabku asal.

“40 berapa” Inge memburu.

“Mana gue tahu, dia nggak nunjukin KTP” jawabku kesal.

“Loe gimana sih, ketemu calon suami tapi nggak tau umurnya dengan jelas” kata Arini sewot.

Hah calon suami? Aku melempar tissue ke Arini yang sukses ditangkis dengan manis.

“Tapi dia keren loh Lus, bodynya gilak kekar kayak bodyguard. Pasti dia punya six packs” kata Inge. Kami serentak melayangkan pandangan ke arah Mr. Airlangga lagi. Dia memang keren, itu aku sudah tahu, tahu banget. Tapi kalo anak dua ini tahu berapa umur dia yang sebenarnya pasti mereka langsung terjungkal dari kursinya. Dia itu technically vampire, lha iya sudah umur ratusan tahun tapi tetap masih muda dan sexy pula. Mungkin aku harus check, jangan-jangan tanpa sepengetahuanku dia minum darah … hiiii ….

Tanpa diduga tanpa disangka Mr. Airlangga menolehkan pandangannya ke arah kami, serentak kami langsung pura-pura sibuk. Aku menyeruput cangkir kopi yang sudah kering kerontang, Inge berpura-pura sibuk dengan hanphonenya yang dipegang terbalik sedangkan Irene melakukan aksi yang agak bermanfaat, membersihkan meja yang tidak kotor.

“Dia liat apa enggak?” tanya Irene dengan masih berpura-pura sibuk membersihkan meja.

“E hem” jawab Inge singkat dengan mata masih terpaku ke layah handphpne, kali ini tidak lagi terbalik.

E hem … e hem ....

Terdengar suara berdeham, kami mendongakkan kepala dan Mr. Airlangga sudah berdiri gagah di samping meja kami.

“Eh … halo …,” sapa Irene malu-malu sambil melambaikan tangan.

“Apakah kamu sudah selesai dengan teman-teman kamu? Aku perlu pergi ke suatu tempat” katanya tenang tanpa menggubris sapaan Irene.

Pergi ke suatu tempat? Sejak kapan dia tahu keberadaan suatu tempat di sini, aku yakin kalau aku minta dia untuk membelikan bakso di tukang bakso langganan di pojok luar apartemen dia pasti nyasar. Nah sekarang dia mau pergi ke suatu tempat.

“Kemana?” tanyaku.

“Nanti aku jelaskan di mobil.”

Dia memasukkan handphoneku yang tergeletak di atas meja ke dalam tas, lalu memberikan tas ke arahku. “Ini, ayo pergi”.

Irene dan Inge memandangku lalu beralih ke Mr. Airlangga, sudah jelas mereka tidak setuju dengan Tindakan sepihak makhluk yang nyasar ke jaman berbeda ini. Aku meraih tas dengan sebal “see you guys, jangan terlalu bersenang-senang tanpa aku” kataku dengan mulut cemberut.

“Gimana dengan traktiran makan trendinya, nih kopi kita masih bayar masing-masing” kata Inge tanpa daya.

Masih saja inget dengan traktiran trendi. Aku mengendikkan bahu lalu buru-buru berlari kecil menyusul Mr. Airlangga yang sudah terlebih dahulu melangkah pergi.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status