Share

7. Pacar?

last update Last Updated: 2021-07-07 22:49:38

“Loe kok nggak cerita sih kalau punya pacar seganteng itu” omel Arini sambil sesekali melirik ke arah Mr. Airlangga.

Akhirnya aku mengenalkan juga Mr. Airlangga ke dunia. Diawali dengan berkenalan dengan kedua sahabatku. Pastinya tidak mungkin dia aku sembunyikan terus menerus di apartemen, nanti bisa bonyok terlalu mateng, dan aku tidak bisa terus menerus menghindar dari dunia. Jadilah hari ini aku mengikut sertakan dia ketika aku bertemu dengan Inge dan Arini.

Tentunya tidak dengan menerangkan bahwa dia adalah seorang Pangeran dari kerajaan Singosari. Aku mengenalkannya sebagai Ra Putra Airlangga saja, tanpa embel-embel Pangeran.

“Namanya cukup antik, Ra Putra Airlangga” kata Inge, direspon dengan senyuman yang mampu meluluhkan batu cadas oleh Mr. Airlangga. Aku bisa melihat binar-binar terpesona di mata Inge. Sebelum dia benar-benar meleleh oleh laki-laki yang berumur ratusan tahun ini, aku meminta Mr. Airlangga untuk duduk di meja terpisah.

“Penghianat. Ini lebih kejam dari menghianati bangsa dan negara” kata Inge dengan pandangan tersadis yang pernah aku lihat.

Kami bertiga memang golongan jomblo gemilang, maksudnya gemilang susah mendapatkan pacar. Walaupun bermodal tampang yang terbilang lumayan dan karir yang cukup moncer, ternyata semua itu tetap tidak membantu untuk mendapatkan seorang pacar. Inge beberapa kali sempat ngedate tapi selalu kandas sebelum hitungan ke lima, Arini pernah punya pacar dengan rekor selama enam bulan sebelum dia ditinggal sang pacar demi seorang cewek penjaga apotek, dan aku adalah yang paling ngenes di antara mereka. Selain cinta monyet semasa SMA dan crushku terhadap Hyun bin dan Song joon ki, aku terbilang miskin dalam urusan laki-laki. Aku membayangkan bisa seperti Carrie Bradshaw, pada akhirnya bertemu dengan Mr. Big pria ganteng dan kaya tapi ternyata aku mengalami apa yang dahulu hanya aku percayai bisa terjadi di dalam film Hollywood bertemu dengan orang dari masa lalu, Pangeran Ra Putra Airlangga.

Inge menendang kakiku dari bawah meja, membuat aku memuncratkan kopi americano yang tinggal sisa-sisa. “Jadi … details! Kamu ketemu di mana, sudah berapa lama” tanya Inge dengan gaya menginterogasi. Aku mengekeret, bagaimana aku bisa menjelaskan tanpa terlalu berbohong dengan mereka.

“Oh … aku dikenalkan kok. Dia itu masih kerabat jauh keluarga bokap.”

Bohong!

“Dia ke sini untuk pengenalan, selama ini cuman lewat telepon saja.”

Bohong pake banget.

“Emang elo dijodohin Lus?” tanya Arini, kali ini dengan nada agak simpatik.

“Enggak … enggak … cuman dikenalin aja” jawabku terbata-bata.

“Dia kelihatan sudah matang” kata Arini lagi. Serempak kami bertiga mengarahkan pandangan ke arah Mr. Airlangga yang sedang serius di depan laptop. Dia bergitu tertarik dengan teknologi terutama dengan komputer di mana dia bisa mendapatkan berbagai macam informasi dari seluruh belahan dunia. Entah bagaimana cara kerjanya, dia bisa membaca huruf latin padahal dia sama sekali tidak mengenal huruf latin sebelumnya.

“Mungkin seperti aku bisa berbicara menggunakan bahasamu,” katanya ketika aku terheran-heran menemukan dia bisa dengan lancar membaca dan menulis. Dia bisa sampai ke jaman ini saja sudah merupakan keanehan yang apabila aku ceritakan ke orang lain pasti mereka akan menganggap aku gila, jadilah aku tidak terlalu ambil pusing dengan kemahiran dia membaca dan menulis. Mungkin saja dia ternyata lebih pintar dari Einstein, siapa yang tahu kan?

“Umur berapa dia?” tanya Inge penasaran.

Eh umur berapa? Sumpah aku tidak tahu dia umur berapa, dan aku lupa belum bertanya ke dia tentang umur. Kira-kira akankah menjadi topik sensitif untuk orang dari masa Majapahit mendapatkan pertanyaan tentang umur?  Aku melirik ke arah Mr. Airlangga yang begitu tekun dengan laptop, yang by the way adalah laptopku yang secara dengan paksa dikolonisasi olehnya. Umur berapa yah? 40an? Tidak mungkin dia berumur 50an, wajahnya masih tampak muda untuk angka 50an.

“Eh iya … dia umur 40an” jawabku asal.

“40 berapa” Inge memburu.

“Mana gue tahu, dia nggak nunjukin KTP” jawabku kesal.

“Loe gimana sih, ketemu calon suami tapi nggak tau umurnya dengan jelas” kata Arini sewot.

Hah calon suami? Aku melempar tissue ke Arini yang sukses ditangkis dengan manis.

“Tapi dia keren loh Lus, bodynya gilak kekar kayak bodyguard. Pasti dia punya six packs” kata Inge. Kami serentak melayangkan pandangan ke arah Mr. Airlangga lagi. Dia memang keren, itu aku sudah tahu, tahu banget. Tapi kalo anak dua ini tahu berapa umur dia yang sebenarnya pasti mereka langsung terjungkal dari kursinya. Dia itu technically vampire, lha iya sudah umur ratusan tahun tapi tetap masih muda dan sexy pula. Mungkin aku harus check, jangan-jangan tanpa sepengetahuanku dia minum darah … hiiii ….

Tanpa diduga tanpa disangka Mr. Airlangga menolehkan pandangannya ke arah kami, serentak kami langsung pura-pura sibuk. Aku menyeruput cangkir kopi yang sudah kering kerontang, Inge berpura-pura sibuk dengan hanphonenya yang dipegang terbalik sedangkan Irene melakukan aksi yang agak bermanfaat, membersihkan meja yang tidak kotor.

“Dia liat apa enggak?” tanya Irene dengan masih berpura-pura sibuk membersihkan meja.

“E hem” jawab Inge singkat dengan mata masih terpaku ke layah handphpne, kali ini tidak lagi terbalik.

E hem … e hem ....

Terdengar suara berdeham, kami mendongakkan kepala dan Mr. Airlangga sudah berdiri gagah di samping meja kami.

“Eh … halo …,” sapa Irene malu-malu sambil melambaikan tangan.

“Apakah kamu sudah selesai dengan teman-teman kamu? Aku perlu pergi ke suatu tempat” katanya tenang tanpa menggubris sapaan Irene.

Pergi ke suatu tempat? Sejak kapan dia tahu keberadaan suatu tempat di sini, aku yakin kalau aku minta dia untuk membelikan bakso di tukang bakso langganan di pojok luar apartemen dia pasti nyasar. Nah sekarang dia mau pergi ke suatu tempat.

“Kemana?” tanyaku.

“Nanti aku jelaskan di mobil.”

Dia memasukkan handphoneku yang tergeletak di atas meja ke dalam tas, lalu memberikan tas ke arahku. “Ini, ayo pergi”.

Irene dan Inge memandangku lalu beralih ke Mr. Airlangga, sudah jelas mereka tidak setuju dengan Tindakan sepihak makhluk yang nyasar ke jaman berbeda ini. Aku meraih tas dengan sebal “see you guys, jangan terlalu bersenang-senang tanpa aku” kataku dengan mulut cemberut.

“Gimana dengan traktiran makan trendinya, nih kopi kita masih bayar masing-masing” kata Inge tanpa daya.

Masih saja inget dengan traktiran trendi. Aku mengendikkan bahu lalu buru-buru berlari kecil menyusul Mr. Airlangga yang sudah terlebih dahulu melangkah pergi.

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mr. Airlangga   46. Pangeran kecil

    “Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh

  • Mr. Airlangga   45. Rumah sakit

    Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M

  • Mr. Airlangga   44. Kram perut?

    “Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i

  • Mr. Airlangga   43. Cinderella

    Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak

  • Mr. Airlangga   42. Tekat

    Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu

  • Mr. Airlangga   41. Saatnya tiba

    “Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status