Aku mengemudikan mobil ke arah taman mini seperti instruksi Mr. Airlangga. Dia bilang dia perlu bermeditasi, dan bermeditasi di pura akan membantunya untuk lebih berkonsentrasi. Aku tidak tahu apa bedanya, tapi dengan patuh menuruti, lebih cepat pergi akan lebih baik, sudah cukup pusing aku menerangkan ke kedua sahabatku.
30 menit kemudian kami sudah sampai di pura, jalanan dengan sangat ajaib cukup sepi sehingga aku bisa memacu mobil dengan mulus tanpa sendatan macet. Mungkin semesta tahu bahwa seorang Pangeran pada masa Majapahit akan lewat dan memberikan ijin. Wah dia memang benar-benar bukan orang biasa, mendadak aku bersemangat, kalau alam semesta saja begitu menghormati dia mungkin tidak lama lagi dia akan bisa kembali ke dunianya. Dan hidupku bisa kembali normal, sebagai seorang Lusia maharani. Bisa kembali menulis lagi, pastinya pengalaman ini akan aku tuangkan ke dalam tulisannku, bagaimana aku bisa melewatkan pengalaman luar biasa ini. Aku tahu kalau aku bercerita ke orang lain akan dianggap gila, tapi tidak bila aku tuangkan dalam bentuk cerita.
Sepuluh menit berlalu semenjak dia masuk ke dalam pura, kenapa rasanya seperti sudah tiga jam yah? Aku celingukan di halaman pura mencari tukang siomay atau bakso, tidak ada tanda-tanda mereka di sekitar sini. Setelah berjalan mondar-mandir keliling halaman, aku mengintip ke dalam pura. Dia duduk diam dengan kaki bersila, sepertinya sangat khusuk, mungkin kali ini meditasinya akan berhasil dengan baik dan siapa tahu nanti sore dia sudah bisa pulang, seperti para komuter yang pulang kantor. Bedanya para komuter pulang kantor dengan kereta atau bus, untuk kasus Mr. Airlangga aku tidak tahu persis bagaimana dia akan pulang ke kampungnya di Singosari.
Aku membuka mata, menemukan pemandangan aneh di sekitarku. Aku berada di aula yang sangat besar, dengan tiang-tiang kayu sebesar rangkulan tangan orang dewasa berukir desain rumit yang sangat indah. Warna merah dan emas mendominasi hiasan yang berupa payung indah yang sepertinya terbuat dan kain dan juga kursi panjang tempat aku duduk. Berbalut beludru merah dengan sulaman benang-benang emas, sangat lembut dan empuk. Di sekelilingku aku melihat para perempuan cantik, sangat cantik berbalut kain anggun dengan rambut digelung ke belakang. Setiap gerakan mereka menunjukkan keanggunan yang luar biasa. Hanya ada dua laki-laki yang bertelanjang dada dan mengenakan balutan celana dan kain, mereka berdiri di pintu luar seolah-olah berjaga. Atau mungkin memang sedang berjaga, entahlah. Aku sendiri takjub dengan sekelilingku, semua orang terlihat sangat hormat kepadaku. Aneh.
Pandanganku tiba-tiba tertuju ke arah tanganku, jemariku yang berhiaskan cincin – cincin emas cantik. Terdapat beberapa gelang emas di kedua pergelangan tanganku. Sejak kapan aku punya perhiasan seperti ini, aku teringat selalu akan memilih sepatu dari pada membeli perhiasan, apalagi perhiasan emas. Seorang wanita mengangkat kakiku yang termanikur cantik walaupun tanpa cat, meletakannya satu persatu ke arah jembaga warna emas yang berisi air hangat dan taburan mawar yang beraroma sangat wangi.
Apakah aku berada di salon? Kalau iya pasti ini salon yang sangat mahal. Salah satu dari mereka berbicara dengan suarah lirih dan bahasa yang tidak aku mengerti. Aku menajamkan telingaku, mungkin mereka berbicara dalam bahasa jawa kromo inggil yang tidak sepenuhnya aku kuasai. Kedua orang tuaku agak malas mengajarkan kromo inggil kepadaku, mungkin mereka tahu bahwa perjuangan mereka akan berakhir sia-sia.
“Lusia … Lusia …,” aku mendengar suara laki-laki memanggil, paling tidak ada yang tahu namaku di sini.
“Lusia … Lusia ….” Kali ini panggilannya lebih keras dan tubuhku seperti terguncang-guncang. Aku mengerjapkan mata, mendapati wajah yang aku kenal selama beberapa hari belakangan. “Kamu tertidur?”
“Tidur?” kataku bingung. Aku melihat sekeliling, tidak lagi mendapatkan aula megah dengan para perempuan cantiknya. Aku berada di pelataran. Pelataran pura. Aku mengucek-ucek mata, mungkin setelah aku usap beberapa kali aku bisa mendapatkan diriku kembali duduk di kursi beludru panjang itu.
Salah!
Aku duduk di lantai semen yang dingin. “Aku ketiduran” umumku ke Mr. Airlangga, seolah-olah bukan dia yang membangunkan aku dari mimpi anehku. “Tadi aku berada di sebuah aula megah, dengan para perempuan cantik. Ternyata cuman mimpi” kataku kecewa. Dia terkekeh mendengar ocehanku.
“Mari kita pulang” ajaknya sambil membantuku berdiri.
“Kamu sudah dapat wangsit bagaimana caramu bisa kembali?” tanyaku ingin tahu. Dia menggelengkan kepala. “Jadi kita ke sini sia-sia, padahal aku sudah pake ketiduran segala” sambungku kecewa. Tambah kecewa karena di dalam mimpiku tadi aku menjadi seorang putri raja.
“Tidak sepenuhnya. Hanya saja Sang Hyang Widi masih memintaku untuk bersabar”
Maksudnya apa bersabar.
“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan di dunia ini” katanya misterius.
“Hah apa? Apa kamu bakal jadi superhero penyelamat dunia seperti Avenger gitu?” tanyaku memburu.
“Apa itu Avenger?”
Ah, tentu saja dia tidak tahu. aku membikin note dalam hati untuk menonton film-film marvel favoritku dengan dia, aku mengoleksi DVDnya kok. “Nevermind. Ya sudah kalau kamu masih betah di sini mending kita pulang saja”.
Bersambung ...
“Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh
Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M
“Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i
Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak
Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu
“Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d