Share

8. Mencari wangsit

Aku mengemudikan mobil ke arah taman mini seperti instruksi Mr. Airlangga. Dia bilang dia perlu bermeditasi, dan bermeditasi di pura akan membantunya untuk lebih berkonsentrasi. Aku tidak tahu apa bedanya, tapi dengan patuh menuruti, lebih cepat pergi akan lebih baik, sudah cukup pusing aku menerangkan ke kedua sahabatku.

30 menit kemudian kami sudah sampai di pura, jalanan dengan sangat ajaib cukup sepi sehingga aku bisa memacu mobil dengan mulus tanpa sendatan macet. Mungkin semesta tahu bahwa seorang Pangeran pada masa Majapahit akan lewat dan memberikan ijin. Wah dia memang benar-benar bukan orang biasa, mendadak aku bersemangat, kalau alam semesta saja begitu menghormati dia mungkin tidak lama lagi dia akan bisa kembali ke dunianya. Dan hidupku bisa kembali normal, sebagai seorang Lusia maharani. Bisa kembali menulis lagi, pastinya pengalaman ini akan aku tuangkan ke dalam tulisannku, bagaimana aku bisa melewatkan pengalaman luar biasa ini. Aku tahu kalau aku bercerita ke orang lain akan dianggap gila, tapi tidak bila aku tuangkan dalam bentuk cerita.

Sepuluh menit berlalu semenjak dia masuk ke dalam pura, kenapa rasanya seperti sudah tiga jam yah? Aku celingukan di halaman pura mencari tukang siomay atau bakso, tidak ada tanda-tanda mereka di sekitar sini. Setelah berjalan mondar-mandir keliling halaman, aku mengintip ke dalam pura. Dia duduk diam dengan kaki bersila, sepertinya sangat khusuk, mungkin kali ini meditasinya akan berhasil dengan baik dan siapa tahu nanti sore dia sudah bisa pulang, seperti para komuter yang pulang kantor. Bedanya para komuter pulang kantor dengan kereta atau bus, untuk kasus Mr. Airlangga aku tidak tahu persis bagaimana dia akan pulang ke kampungnya di Singosari.

Aku membuka mata, menemukan pemandangan aneh di sekitarku. Aku berada di aula yang sangat besar, dengan tiang-tiang kayu sebesar rangkulan tangan orang dewasa berukir desain rumit yang sangat indah. Warna merah dan emas mendominasi hiasan yang berupa payung indah yang sepertinya terbuat dan kain dan juga kursi panjang tempat aku duduk. Berbalut beludru merah dengan sulaman benang-benang emas, sangat lembut dan empuk. Di sekelilingku aku melihat para perempuan cantik, sangat cantik berbalut kain anggun dengan rambut digelung ke belakang. Setiap gerakan mereka menunjukkan keanggunan yang luar biasa. Hanya ada dua laki-laki yang bertelanjang dada dan mengenakan balutan celana dan kain, mereka berdiri di pintu luar seolah-olah berjaga. Atau mungkin memang sedang berjaga, entahlah. Aku sendiri takjub dengan sekelilingku, semua orang terlihat sangat hormat kepadaku. Aneh.

Pandanganku tiba-tiba tertuju ke arah tanganku, jemariku yang berhiaskan cincin – cincin emas cantik. Terdapat beberapa gelang emas di kedua pergelangan tanganku. Sejak kapan aku punya perhiasan seperti ini, aku teringat selalu akan memilih sepatu dari pada membeli perhiasan, apalagi perhiasan emas. Seorang wanita mengangkat kakiku yang termanikur cantik walaupun tanpa cat, meletakannya satu persatu ke arah jembaga warna emas yang berisi air hangat dan taburan mawar yang beraroma sangat wangi.

Apakah aku berada di salon? Kalau iya pasti ini salon yang sangat mahal. Salah satu dari mereka berbicara dengan suarah lirih dan bahasa yang tidak aku mengerti. Aku menajamkan telingaku, mungkin mereka berbicara dalam bahasa jawa kromo inggil yang tidak sepenuhnya aku kuasai. Kedua orang tuaku agak malas mengajarkan kromo inggil kepadaku, mungkin mereka tahu bahwa perjuangan mereka akan berakhir sia-sia.

“Lusia … Lusia …,” aku mendengar suara laki-laki memanggil, paling tidak ada yang tahu namaku di sini.

“Lusia … Lusia ….” Kali ini panggilannya lebih keras dan tubuhku seperti terguncang-guncang. Aku mengerjapkan mata, mendapati wajah yang aku kenal selama beberapa hari belakangan. “Kamu tertidur?”

“Tidur?” kataku bingung. Aku melihat sekeliling, tidak lagi mendapatkan aula megah dengan para perempuan cantiknya. Aku berada di pelataran. Pelataran pura. Aku mengucek-ucek mata, mungkin setelah aku usap beberapa kali aku bisa mendapatkan diriku kembali duduk di kursi beludru panjang itu.

Salah!

Aku duduk di lantai semen yang dingin. “Aku ketiduran” umumku ke Mr. Airlangga, seolah-olah bukan dia yang membangunkan aku dari mimpi anehku. “Tadi aku berada di sebuah aula megah, dengan para perempuan cantik. Ternyata cuman mimpi” kataku kecewa. Dia terkekeh mendengar ocehanku.

“Mari kita pulang” ajaknya sambil membantuku berdiri.

“Kamu sudah dapat wangsit bagaimana caramu bisa kembali?” tanyaku ingin tahu. Dia menggelengkan kepala. “Jadi kita ke sini sia-sia, padahal aku sudah pake ketiduran segala” sambungku kecewa. Tambah kecewa karena di dalam mimpiku tadi aku menjadi seorang putri raja.

“Tidak sepenuhnya. Hanya saja Sang Hyang Widi masih memintaku untuk bersabar”

Maksudnya apa bersabar.

“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan di dunia ini” katanya misterius.

“Hah apa? Apa kamu bakal jadi superhero penyelamat dunia seperti Avenger gitu?” tanyaku memburu.

“Apa itu Avenger?”

Ah, tentu saja dia tidak tahu. aku membikin note dalam hati untuk menonton film-film marvel favoritku dengan dia, aku mengoleksi DVDnya kok. “Nevermind. Ya sudah kalau kamu masih betah di sini mending kita pulang saja”.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status