Share

6. Mr. Dazzling

Aku menunggu di ruang ganti pria di salah satu brand yang menyediakan koleksi pakaian pria. Aku pilihkan beberapa potong kemeja, polo shirt dan celana Panjang. Entah bagaimana nanti rupanya Mr. Airlangga dengan baju modern atau apa pendapatnya tentang baju modern.

Aku mencari-cari informasi tentang seorang Pangeran bernama Ra Putra Airlangga dari jaman Singosari atau majapahit, tetapi tidak berhasil mendapatkan informasi apapun. Jangan-jangan dia berbohong, pikirku mulai curiga.

Terdengar bunyi “ping” pertanda ada pesan masuk di smartphoneku, dari Inge.

“Kita sudah sampai di Jakarta, setelah elo terlantarkan dengan semena-mena di bandung. Kapan mau traktir fancy dinner?”

Inget aja sama yang namanya perampokan. Dengan semangat aku hendak mengetik di layar handphone menceritakan kejadian luar bisa tentang si Pangeran Airlangga, lalu aku hapus. Apa mereka siap mendengar cerita ini? Aku menghembuskan nafas, tapi sampai kapan aku akan simpan ini sebagai rahasia? Cepat atau lambat akan ada orang yang tahu, kecuali kalau si Mr. Airlangga bisa kembali ke jamannya besok pagi atau nanti sore, barulah mungkin aku akan kuat jaga rahasia. Saat ini benteng pertahananku sudah mulai goyah.

Aku hendak mengetik pesan yang berbeda ke Inge ketika pintu kamar pas terbuka, di sana mengenakan kemeja kasual biru dengan celana chino warna beige yang tadi aku pilih dengan bangga, berdiri dengan sangat gagah Mr. Airlangga. Untuk beberapa detik aku tidak mengedipkan mata karena takjub, ternyata setelah berpakaian modern dia tampak seperti seseorang dari jaman ini, tidak ada tanda-tanda bahwa dia sudah berumur ratusan tahun atau biasanya dia menunggang kuda dengan bertelanjang dada.

“Aku cukup suka dengan pakaian yang kamu pilihkan,” katanya yang sukses membangunkan aku dari alam ketakjubanku.

“Oh … iya, bagus kok … bagus,” kataku sekasual mungkin untuk menyembunyikan ketakjubanku. “Kamu sudah coba semuanya?”

Dia jawab dengan anggukan.

“Ok, penampilan kamu sudah tidak terlalu mencolok lagi. Tapi ada yang kurang.” Aku memandangi kakinya yang hanya beralasan sendal bertali-tali itu. “Kita harus menemukan alas kaki yang tepat,” kataku sambil menunjuk ke kakinya.

“Tunggu” katanya, tangannya merogoh sesuatu dari tumpukan baju lalu memberikan kantung yang berbunyi gemerincing. Aku memicingkan mata lalu membuka kantong kain tersebut yang ternyata berisi koin-koin emas.

“Apa ini?” tanyaku mengamati koin-koin emas yang sekarang sudah berpindah ketanganku.

“Aku tidak tahu bagaimana cara kalian berdagang di jaman ini, tetapi aku harap ini bisa berguna.”

“Ini uang?” tanyaku masih tidak percaya.

Dia mengangguk “ini yang dipakai untuk berjual beli di jamanku.”

“Ini banyak sekali” kataku tidak percaya dengan banyaknya koin di dalam kantung kain tersebut, lalu dengan terburu-buru menyembunyikan koin-koin tersebut kedalam tas takut ada orang lain yang melihat. Bagaimana aku bisa menggunakan koin tersebut, pastinya aku tidak akan langsung menggunakannya untuk membayar baju-baju ini.

“Nggak usah, aku punya uang kok. Lagian uang di sini kan berbeda,” jawabku hendak mengembalikan koin-koin tersebut yang langsung ditolak oleh Mr. Airlangga.

“Simpanlah, mungkin kamu bisa menggunakannya lain kali” katanya mendorong genggamanku yang berisi kantung koin emas.

Baiklah untuk saat ini akan aku simpan koin-koin tersebut, bagaimana menggunakannya itu urusan nanti.

Aku berjalan dengan tersenyum kecil sembari sesekali melirik ke arah Mr. Airlangga, dengan setelah kemeja biru, chino warna beige dan sepatu kasual warna cokelat yang spesial aku pilihakan dia tampak sangat dazzling. Rambut man bun nya menambah kemacoan dia, mirip seperti Kit Harrington gitu deh. Memang laki-laki itu boleh kok berambut panjang, asal mereka mengerti aja cara menatanya, kalau tidak mengerti belajar sini sama Mr. Airlangga. Beberapa wanita yang berpapasan biasanya akan memandang takjub ke arah Mr. Airlangga yang langsung aku pelototin dengan sadis. Mereka tidak tahu lelaki tampan yang sedang berjalan di sampingku ini adalah seorang Pangeran. Pangeran tulen, atau paling tidak aku harap begitu. Tentunya Mr. Airlangga tidak mengetahui kalau aku mengumbar pelototan sadis ke beberapa orang yang berpapasan dengan kami, kalau dia tahu nanti aku disangka phsyco lagi.

“Tempat apa ini?” tanyanya ketika kami duduk di salah satu restoran Indonesia. Sehabis bertemu dengan Mbak Dila dan memberikan hak-hak sebagai manusia bebas ke Mr. Airlangga, perutku sudah bersuara bak musik tango kalau tidak segera aku isi sebentar lagi konser metal pasti akan membahana dari dalam sana.

“Ini namanya restoran, tempat kita bisa membeli makanan” aku menerangkan dengan berbisik, bak memberikan info rahasia ke agent CIA.

“Aaahhh …” jawabnya manggut-manggut, lalu menebarkan pandangan berkeliling. Kami datang relatif agak awal, belum jam makan siang jadi restoran masih cukup sepi pengunjung.

“Jadi apa yang menjadi makanan di jaman sekarang?” tanyanya. Tadi pagi aku membikin toast dengan selai strawberry kesukaanku yang di makan dengan kening berkerut olehnya. Setelah menghabiskan satu tangkup toast dia meminta lagi, dan lagi dan lagi sampai persediaan roti tawarku habis diembat olehnya. I know mister, perpaduan antara toast dan selai strawberry adalah lethal.

“Di Indonesia … atau nusantara banyak orang makan nasi. Tapi di negara-negara lain mereka punya makanan pokok yang berbeda-beda,” aku menerangkan dengan tampang genius bak Einstein menerangkan teory relativitas. Lalu dengan gaya “I am a smart girl I know everything” aku menunjukkan foto makanan dari berbagai macam negara dari smartphoneku. Dia memandang dengan takjub.

Makanan yang kami pesan, lebih tepatnya makanan yang aku pesan datang. Aku memesan nasi rawon dengan sambal merah merona yang tampak menggoda, sedangkan untuk si time traveller aku pesankan bebek goreng berikut sambal hijaunya. Bau harum makanan membuat perutku berdisko bak musik tahun 80an. Mr. Airlangga mulai menikmati makanannya dengan tangan, ada aura yang sangat elegan dari cara dia makan. Sesuatu yang entah kenapa belum pernah aku temui. Bagaimana orang bisa bergaya elegan hanya dengan makan, dengan tangan pula? Mungkin karena dia bukan orang biasa, dia adalah seorang Pangeran.

“Kenapa kamu belum menyentuh makanan kamu?” tanyanya ketika melihat aku hanya terbengong dan belum menyentuk sang rawon di depanku.

“Oh iya” dengan terburu-buru aku menyendokkan rawon ke mulutku jauh dari gaya elegan. “Bagaimana orang-orang di jaman kamu makan?” tanyaku berbisik, takut terdengar oleh orang dari meja sebelah.

Dia mengerutkan kening “menggunakan ini” katanya sambil mengangkat kedua tangannya.

“Belum ada sendok di jaman kamu?” tanyaku penasaran.

“Sendok?” tanyanya tidak mengerti. Aku mengangkat sendok yang aku pegang di tangan kananku.

“Ah tidak, kami belum menggunakan benda itu untuk makan” katanya dengan tenang lalu melanjutkan menikmati makannya.

“Kalau nasi, sudah ada kan di jaman kamu?” tanyaku lagi masih penasaran.

“Ada. Yang tidak ada itu orang yang berbicara sangat banyak di waktu makan” katanya tenang. Aku mencemberutkan bibir, kembali menyuapkan rawon ke mulutku kali ini dengan sambal yang terlalu banyak yang membikin mulut sukses cetar kepedasan. Aku buru-buru meminum es teh manis yang sedari tadi menunggu manis di meja.

“Jadi … kamu adalah seorang Pangeran, apa kamu harus sering berperang?” tanyaku dengan suara extra berbisik.

“Hem” jawabnya singkat, pandangannya tertuju ke arah makanan.

“Membunuh orang?”

Kali ini dia menghentikan aktifitas makannya, menatap lurus ke arahku “berperang itu adalah membunuh atau dibunuh, bukan bertemu lalu bersalaman sambil tertawa”  katanya dengan nada masih sangat tenang. Tiba-tiba aku mengkeret membayangkan sudah berapa banyak perang yang dia lalui dan berapa banyak nyawa melayang di tangannya. Aku memandang laki-laki di depanku ini, yang sedang memakan bebek sambal hijau dengan gaya sangat elegan, yang terlihat sangat berwibawa hanya dengan balutan kemeja biru, benarkah dia mampu mencabut nyawa orang lain? “Jangan takut, aku tidak akan melakukannya di sini” katanya seperti bisa membaca pikiranku.

Pastinya di jamannya hidup sangat berbeda, menyerbu ke negara lain adalah bentuk kejayaan, bukan seperti jaman ini tidak sembarangan ada negara berani menyerbu negara lain. Konsekewensinya sangat besar.

“Jadi, kamu sudah punya ide bagaimana caranya kembali ke jaman kamu?” tanyaku.

“Belum” jawabnya singkat sambil menggeleng.

Confirmed! Aku akan stuck dengan laki-laki ini untuk beberapa waktu. Bagaimana caranya aku bisa menerangkan ke teman-teman dan keluargaku.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status