Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.
Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.
“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.
Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.
“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.
“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”
“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu
Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak
“Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i
Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M
“Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh
Kalau ada orang gila, aku pantas disebut salah satunya. Bagaimana tidak, lagi enak-enaknya menikmati batagor bandung yang kenyal-kenyal lembut itu dengan para sohibku yang cantik dan lucu-lucu, tiba-tiba harus ngibrit kembali ke Jakarta.Ambil nafas dalaaam … satuuuu … duaaaa.Mbak Dila editorku dari salah satu penerbit handal di negeri ini mengusik kenikmatan batagorku.“Lusia, kamu di mana? Bisa ketemu sekarang untuk finalize cover buku kamu?”Aku ternganga dengan batagor masih di mulut, bukannya finalize cover buku jadwalnya akhir minggu ini?“Sa … ya lagi di Bandung mbak” dengan lamban aku mencoba mengunyah si batagor lagi yang entah kenapa kenikmatannya mendadak melorot 50%.“Lho kok di Bandung, apa kamu nggak terima memo dari saya tentang cover buku?”Memo yang berarti pesan whatsapp menurut mbak Dila, bukan pesan yang dituliskan di post it warna-warni lu
“Pak … eh mas … aduh … anda tidak apa-apa?” pertanyaan tolol macam apa ini, bagaimana mungkin orang tidak apa-apa setelah tertabrak mobil? Aku menunduk di depan orang itu, keadaan gelap gulita penerangan hanya berasal dari lampu mobilku. Orang itu mendongak, memandangku dengan bingung. Tidak ada darah, aku bernafas lega. “Bapak tidak apa-apa?” tanyaku lagi, sepertinya tidak ada yang terluka tapi siapa tahu. Aku harus membawanya ke rumah sakit! Tapi di mana? Gila ini di tengah tol. “Pak … pak …,” kataku lagi yang terlihat sia-sia karena laki-laki itu hanya memandangku bingung.Aku meraih pundak laki-laki itu yang dengan kasar ditepisnya, dengan kaget aku mengangkat tangan seperti orang yang sedang ditodong senjata membiarkan leher dan kepalaku dengan susah payah menyangga payung di tengah lebatnya hujan. Aku memandang lelaki itu, memberikan tatapan malaikat manis untuk memberitahu bahwa aku tidak bermaksud
Aku menarik nafas lega ketika akhirnya aku berhasil memarkir mobil dengan selamat dan yang paling penting lagi sampai apartemen dengan selamat pula. Sampai detik ini orang ini belum menunjukkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang psikopat, pheeeww.“Ini apartemen saya, besok pagi saya antarkan ke rumah sakit. Sekarang Mas bisa mengeringkan badan di atas biar nggak masuk angin” kataku seolah-olah menghindari masuk angin adalah hal yang paling penting saat ini. Aku membuka pintu dan menggambil koper kecilku yang terletak di jok belakang. Besok harus cuci mobil, kalau nggak mau mobil bau apek pikirku. Aku melihat Ra Putra Airlangga yang masih duduk manis di dalam mobil. Maksudnya, gue yang harus bukain pintu gitu? Amnesia sih boleh, tapi terus jangan bikin gue jadi babu dong. Aku mendengus kesal lalu berjalan kearah pintu penumpang.Aku membuka pintu dengan tampang cemberut dan sukses berubah terbengong ketika setelah beberapa detik si Ra ... haish, aku menam
Dia memandangku dengan pandangan misterius.“Aku tidak tahu ada nama desa Surabaya, Semarang atau Jakarta” katanya lirih, lebih ke dirinya sendiri.Desa? Memang nggak ada nama desa Jakarta atau Surabaya cui, itu nama kota. Kota besar! Tapi seriusan nih orang nggak tahu Jakarta dan Surabaya? Apakah seberat itu amnesianya? Aku menyesal tidak membawanya ke rumah sakit langsung. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengannya malam ini di sini? Meninggal? Aku akan berurusan dengan polisi, jadi tersangka utama. Aku dengan tinggi 155 cm ini, mencelakai lelaki yang cocok menjadi espionage sekelas Jason Bourne.“Memang kamu benar tidak tahu Jakarta atau Surabaya?” tanyaku.“Apakah kedua desa tersebut berada di wilayah negara Majapahit?”Dari tadi orang ini ngomongin negara Majapahit terus, kita kan bukan berada di era Patih Gajah Mada!“Kedua kota tersebut ada di wilayah Indonesia, negara persatuan republik