Masuk"Jadi kamu memintaku segera datang hanya untuk membuatkanmu teh?" geovano menyingkirkan wajahnya dari beberapa kertas yang ia baca. Melihat Alena yang terlihat muak. "Kenapa? Tidak suka?" tanyanya seraya beranjak dari duduk. "Kamu boleh out dari kantor ini kalau tidak suka." Alena tidak habis pikir. Apa lagi kesalahan yang ia perbuat sampai Geovano harus bertindak seperti bocah saat jam kerja? Alena lantas meneguk teh di tangannya sebelum menaruh dengan kesal sisa teh tersebut di meja, tepat sebelah Geovano sebelum pergi. Geovano. Lelaki itu tidak menghiraukan kepergian Alena dengan wajah kesal, justru matanya tertuju pada teh yang tersisa setengah. Hei ... itu teh yang ia minta, kan? "Kenapa gadis itu suka sekali marah-marah? Hanya memintanya membuatkan teh apa salahnya? Bukankah aku masih suaminya?" Geovano keheranan sendiri dan menyeruput teh sisa Alena daripada banyak berpikir. Ia kemudian melirik Abraham yang sudah duduk di ruangannya sejak 10 menit yang lalu, pria it
“Bu Alena sudah sembuh?”Alena tersenyum seraya ikut bergabung dalam kelompok desain yang sudah siap bekerja dipagi hari ini. “Hanya demam. Bukankah hal biasa?”Semua orang tersenyum dengan beberapa saling pandang. “Padahal kalau sakit lebih lama juga nggak apa-apa, Bu. Soalnya kita jadi agak longgaran. Hahah!”“Kenapa bisa seperti itu?”“Soalnya pak Geo juga ikut cuti jadi kerjaan nggak harus cepat diselesaikan.”Suara tawa orang-orang lantas memenuhi ruangan dengan candaan kecil. Sedangkan Alena tersenyum tipis. Padahal dirinya berusaha untuk cepat sembuh agar pekerjaan cepat selesai, mereka malah memilih kebalikannya. Sial!“Ketua bagian Desain diminta pak Geo segera ke ruangannya.”Semua orang lantas menatap Revano, lelaki yang menjadi ketua dalam kelompok desain tersebut.“Padahal baru juga dibahas kalau kerjaan bakalan santai, tapi apalah daya.”“Sudah sana pergi keburu pak Geo murka.”Revano segera pergi dengan 5 orang yang tersisa kemudian mulai mengerjakan pekerjaan mereka. “
Geovano tidak langsung pergi ke rumah Alena. Ia mulai menyadari bahwa Alena tidak kekanakan seperti dirinya dan mengadukan perbuatannya kepada keluarganya juga tidak akan membantu apapun. Namun kemana Alena bisa pergi dalam keadaan sakit dan sendirian?Mobil Geovano terhenti melihat sebuah kerumunan di jalan. Meski ragu untuk melihat, tetapi kakinya lebih dulu melangkah dengan pandangan fokus melihat ke depan. Memastikan bahwa pikiran buruk sesaatnya bukan kenyataan.Geovano menghembuskan napas panjang setelah pikiran buruknya terhempas, tepat dengan seseorang menepuk pundaknya.“Kenapa di sini?”Pertanyaan itu muncul dari bibir pucat Alena yang mententeng satu kresek makanan. Membuat Geovano lega karena Alena masih baik-baik saja dan ada di depannya. Sedangkan Alena bingung dengan ekspresi tidak terbaca Geovano yang menatapnya.“Kamu sakit. Kenapa malah kelayapan?”Alena menaikkan kresek yang ia bawa lalu memperlihatkan isinya.“Kamu bisa minta tolong sama orang di rumah. Nggak perlu
Suasana menjadi canggung setelah Geovano mengungkapkan semuanya. Alena mulai tenang tetapi hati serta pikirannya masih begitu berisik. Menjalani kehidupan seperti ini, bukankah tidak mudah? Setiap ingin melakukan apapun merasa ragu jika saja salah?Geovano kembali menyuapi Alena dalam diam. Ia juga menyadari kekeliruan dalam hubungan singat ini, tetapi mau bagaimana lagi. Semua butuh membiasakan diri sebelum akhirnya menjadi terbiasa, bukan? Jika bukan keinginan setidaknya harus ada sedikit pemaksaan untuk memulai.Geovano keluar setelah Alena menyelesaikan makannya. Sedangkan Alena tersenyum getir. Bukan maksud dirinya ingin memiliki Geovano seutuhnya, tetapi tidak dianggap adalah hal yang mengganggu benaknya. Meski status istri sah ada padanya, tetapi apa gunanya semua itu jika sang pemilik hati bahkan tidak pernah mengharap akan hadirnya?Alena terkekeh. Menertawakan dirinya yang tidak bisa melakukan apapun, bahkan untuk membela harga dirinya seolah sudah lenyap dalam kegelapan tan
“Hei … makan dulu.”Geovano menepuk pelan pundak Alena yang masih terasa hangat. Meski sedikit tidak tega karena mengganggu istirahat Alena, Geovano tetap tidak mau membiarkan gadis itu seperti ini.Alena menatap Geovano yang begitu teliti menyiapkan suapan untuknya. Faktanya, Geovano juga sama seperti dirinya. Berusaha menerima karena permulaan kisah yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Hanya saja, Geovano pandai menutupinya dengan segala sikap dinginnya yang berubah-ubah dan Alena yang kurang mengerti akan hal tersebut.“Aku nyusahin kamu, ya?”Geovano mengernyit. “Kenapa bilang seperti itu?”Alena menatap Geovano intens. Sedangkan yang ditatap sibuk dengan makanan di tangannya. “Aku nggak sengaja dengar pembicaraan kamu sama ibu tadi.”Geovano diam. Bukan karena merasa tersudutkan karena Alena tahu apa yang ia sembunyikan, tetapi lebih seperti … kenapa Alena ke luar kamar saat tubuhnya bahkan sangat lemas.“Lalu?” tanya Geovano seraya kembali menyuapi Alena, tetapi tangannya d
Jika tubuh Alena sehat pasti itu mulut sudah ia sumpal dengan apapun. Bagaimana bisa Geovano berpikir dirinya hamil saat mereka bahkan tidak pernah melakukan apapun?“Kamu mending keluar dan istirahat sana. Jangan ganggu aku.”“Memang tidak tahu terimakasih.”Geovano bukannya segera pergi tetapi justru ikut berbaring di ranjang. Tidak lupa menyelimuti tubuhnya dengan satu selimut yang sama dengan Alena. Pria itu juga begitu perhatian dengan Alena yang sakit, seolah mengabaikan bahwa keduanya masih ada batasan yang Geovano buat sejak awal.Alena termenung saat Geovano begitu teliti merawatnya. Tanpa disadari oleh Geovano, tatapannya bertemu dengan mata yang menahan kesedihan. Tidak berucap, tetapi sorot mata itu sudah memberikan semua kenyataan menyakitkan yang sedang dihadapi.“Maaf untuk yang kemarin.” Mulut lancang Geovano berucap, tapi kali ini karena ada niat dalam dirinya. Dia tidak ingin menyakiti Alena, tetapi untuk beberapa keegoisan, Geovano masih saja melakukannya.Alena ber







