Gerald dan Letha saling membisu. Mereka sarapan dalam satu meja di restoran hotel tapi tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut mereka. Hingga sarapan mereka habis dan kembali ke kamar mereka membisu.
Mereka berdua dengan pikiran masing-masing. Kejadian semalam adalah yang pertama untuk Letha Rasa penyesalan, kecewa, malu dan bingung melebur menjadi satu dalam kebisuan mereka.
“Letha, aku minta maaf. Ini kartu namaku, kalau ada apa-apa kamu hubungi aku. Aku siang ini harus pulang ke Indonesia,” ucap Gerald pada akhirnya. Mereka duduk saling membelakangi di pinggir tempat tidur. Gerald tidak pernah merasa bgitu bersalah ini setelah meniduri wanita. Namun ada rasa berbeda saat melakukannya dengan Letha, apalagi Gerald tahu bahwa Letha masih perawan.
Letha tidak menjawab, dalam pikirannya, dia bingung bagaimana menjelaskan pada orang tuanya tentang keadaannya yang sudah tidak suci lagi, apalagi kalau Namura sampai mengetahuinya.
“Aku akan bertanggung jawab atas semua sudah terjadi. Aku tidak akan lari Letha, aku hanya akan pulang dulu siang ini. Aku akan sering-sering ke sini,” kata Gerald meyakinkan.
Gerald menghela nafas panjang, dia bingung bagaimana membuat Letha bicara sedang dia harus segera berangkat. Bagaimana dia menunjukkan keseriusannya.
“Letha, aku antar pulang, kita temui orang tua kamu.”
Letha terlihat menggeleng, dari pantulan kaca di depan Gerald. Gerald beranikan diri untuk menoleh dan mendekati Letha. Dia menyakinnkan Letha akan kesungguhannya.
“Tidak Gerald, akan berbahaya jika kamu mengantarku pulang. Kalau kamu mau pergi, panggilkan aku taksi saja. Kamu bisa ke sini lagi kapan?” Letha akhirnya buka mulut.
Gerald mengambil agendanya, dan melihat jadwalnya. Dalam satu minggu ini dia cukup sibuk, dan tidak ada waktu luang meski satu hari.
“Hmm, minggu depan aku baru bisa ke sini lagi Letha,” jawab Gerald penuh penyesalan.
“Ok, kita bertemu di tempat kak Mumu, hari sabtu depan. Aku akan menunggu kamu di sana.”
Gerald menggangguk setuju. Dia kemudian memberikan kartu namanya pada Letha. “Tunggu aku ya, di alamat ini kamu bisa cari aku. Dan ini nomor pribadiku, hanya keluargaku yang tahu nomor ini.” Gerald menuliskan nomor ponselnya di belakang kartu namanya.
“Aku harus pergi sekarang, satu jam lagi pesawatku take off.” Gerald menatap Letha dengan sangat dalam. Dibelainya wajah manis di depannya itu.
“Pergilah duluan, aku masih butuh sendiri,” jawab Letha lirih.
Dengan berat hati Gerad meninggalkan Letha sendirian di kamar.
*
Satu minggu berlalu, Gerald, menepati janjinya untuk menemui Letha di butik Mumu. Namun, Gerald tiba di butik sudah malam, karena, pesawatnya delay.
Betapa kecewanya Gerald, kedatangannya sudah terlambat. Kata Kak Mumu, Letha sudah pergi, dan meninggalkan sebuah surat untuk Gerald. Mumu bercerita, seharian Letha menuggunya dengan membawa sebuah koper, hingga satu jam yang lalu beberapa orang pria menjemputnya paksa.
Gerald membuka lipatan surat yang ditinggalkan Letha, surat tulisan tangan, yang mengatakan dia akan menikah dengan Namura minggu depan. Demi keamanan semuanya, dia meminta Gerald untuk melupakan dirinya, dan jangan mencoba untuk mencarinya.
Mumu mencoba ikut membaca surat itu. Dia menasehati Gerlad, agar menuruti permintaan Letha. Karena jika Gerald nekat mencari Letha, sama saja bunuh diri, juga membunuh Letha dan keluarganya.
“Kak, aku bisa minta tolong kakak, untuk datang pada Letha. Sampaikan sampai kapanpun aku akan menunggunya.”
Mumu yang merasa iba dengan kisah dua insan yang baru dikenalnya satu minggu lalu ini, berjanji akan membantu Gerald, dia akan menemui Letha untuk Gerald.
Tiga hari Gerald memutuskan untuk tetap di Tokyo, menunggu kabar dari Mumu. Dan di hari ketiga Mumu mengajaknya bertemu. Mumu mengatakan bahwa Letha tidak bisa menolak rencana pernikahan itu. Meski Letha sudah mengatakan yang sebenarnya pada kedua orang tuanya. Tapi orang tuanya justru meminta Letha untuk tetap merahasiakan yang sebenarnya. Bisnis dan nyawa mereka menjadi taruhannya jika Letha tidak menikah dengan Namura.
“Gerald, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Selain mendoakan yang terbaik untuk Letha.”
Gerald, mengangguk pasrah. Niat baiknya tidak direstui oleh Yang Maha Kuasa. Gerald pun pulang ke Indonesia hari itu juga. Mengubur semua harapannya untuk bertanggung jawab atas perbuatannya pada Letha.
Lima Tahun kemudian,
Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk tumbuhnya seorang anak, tapi bisa menjadi waktu yang hanya sekejap bagi Gerald. Gerald tidak bisa melupakan Letha, tiap dia ke Tokyo, pasti mendatangi hotel tempatnya menginap dulu dan mengunjungi butik Mumu. Mumu masih setia mencarikan kabar tentang Letha, yang seakan menghilang beberapa tahun ini.
Dan di tahun kelima ini Gerald memaksa Mumu untuk mengantarnya ke rumah orang tua Letha. Gerald sudah tidak memperdulikan lagi peringatan Letha. Rasa bersalah membebaninya, dia sudah tidak sanggup lagi, meski nyawa taruhannya dia harus bisa menemui Letha.
Keinginan Gerald sudah tidak bisa dicegah lagi. Mumu akhirnya mengantar Gerald ke rumah orang tua Letha. Membujuk orang tua Letha untuk memberi tahu di mana Letha berada.
Sebuah rumah yang telihat lebih tua dari deretan rumah lainnya dalam gang itu, menjadi tujuan Mumu. Rumah berpagar tembok setinggi satu meter dan berpagar besi dengan tinggi yang sama itu adalah rumah yang ditempati keluarga Letha. Menurut cerita Mumu, keluarga Letha tidak pernah mau bilang keberadaan Letha dan selalu mengusir Mumu saat dia datang kerumah itu, setelah dia mendengar kabar Letha memiliki anak.
Saat Mumu dan Gerald mencoba membuka pintu pagar, yang hanya dikunci dengan slot besi. Seorang lelaki paruh baya, dengan celana pendek dan kaos putih keluar dari rumah.
“Kamu, mau apa ke sini lagi!” seru pria itu pada Mumu, yang berjalan di depan Gerald.
“Pak, saya ke sini mengantar pria ini. Dia Ingin bertemu dengan bapak dan keluarga,” jawab Mumu sopan.
Pria pemilik rumah memicingkan matanya ke arah Gerald, dilihatnya Gerald yang siang itu berpakaian semi formal, dari bawah ke atas.
“Saya Gerald pak, saya dari Indonesia,” ucap Gerald penuh rasa percaya diri.
Seorang gadis kecil berlarian masuk ke dalam halaman rumah melewati Mumu dan Gerald yang masih berdiri di depan pintu pagar. Gadis kecil dengan suara nyaring dan terdengar ceria itu menarik perhatian Gerald.
“Kakek, ada teman kakek ya. Kenapa tidak disuruh masuk?” tanya gadis kecil itu pada pria pemilik rumah. “Hallo, saya, Genobe, tapi dipanggil Ginny.”
Mumu menatap intens gadis kecil itu, kemudian menatap Gerald. Gadis kecil itu memiliki warna mata dan hidung yang mirip dengan Gerald. Mumu menutup mulutnya tak percaya. Sama halnya dengan Gerald, dia seakan melihat dirinya dan Letha dalam gadis kecil itu.
Mumu yakin gadis kecil itu anak Letha, dan bisa jadi adalah anak Gerald. Karena Namura yang dinikahi Letha adalah orang Jepang Asli, dengan warna mata hitam dan hidung yang seperti umumnya orang Asia.
Seorang wanita dengan mata sipit yang masuk dalam rumah dengan membawa sebuah kantong belanjaan. Saat melihat Gerald yang didekati oleh cucunya, dia seakan juga tidak percaya dengan kemiripan cucunya dengan Gerald.
“Lepas, Fatma.” Dengan kasarnya Bachtiar melepaskan tangan Fatmasari dari lengannya. Tubuh Fatmasari terdorong dan membentur dinding tangga.Bachtiar tidak mempedulikan Fatmasari, dengan langkah cepat dia mengejar Debora yang sudah keluar dari restoran. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan lagi, jika dia ketinggalan.“tunggu, Nak. Papa masih mau bicara!” seru Bachtiar tergopoh – gopoh.Debora masuk dalam mobil, begitupun Pancawati. Mereka sudah tidak sabar lagi untuk pergi dari restoran itu.“Papa untuk apa mengejar mereka? Papa mau tinggal dengan mereka?” seru Manda penuh amarah.“Iya, Papa mau tinggal dengan mereka,” jawab Bactiar dengan keras sambil terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Mobil Gerald telah berjalan meninggalkan restoran, tidak mungkin lagi baginya untuk mengejar dengan kakinya.“Papa memang tidak pernah Sayang dengan Manda,” seru M
Bachtiar merasa begitu senang mendapat kesempatan untuk mendekati Debora dan Pancwati lagi. Dia tahu jika keputusan Debora sangat berpengaruh pada kebaikan Gerald dan Pancawati. Untuk itu Bactiar akan membujuk Debora untuk memberinya kesempatan memperbaiki diri menjadi ayah yang baik untuk Debora.‘Kalau Debby bisa menerimaku lagi, Gerald pasti tidak akan segan lagi untuk memberiku kekayaan. Wati saja sekarang begitu cantik dan terawat,’ gumam Bachtiar dalam hati, ‘hmm …, dia juga sudag memekai perhiasan mahal sekarang, artinya dia sudah hidup enak dalam perlindungan Gerald,’ batin Bachtiar lagi dengan menyeringai dan membayangkan akan hidup enak, dan lebih terhormat lagi bersama Pancawati sebagai mertua dari seorang Gerald.“Mau ke mana lagi Babe?” tanya Gerald menuntun Debora yang kembali masuk ke restoran.“Masuk lagi Gee, biar cepat selesai. Aku sudah malas bertemu dengan orang itu dan keluarganya. Seola
Debora masih khawatir dengan Pancawati, meski sang Ibu sudah nampak di depan matanya. Debora tidak ingin sang Ibu terpedaya dengan ucapan Bachtiar.“Gee, kita duduk di sana aja yuk!” ajak Debora pada Gerald menunjuk sebuah bangku kosong yang tak jauh dari Pancawati dan Bachtiar berada.“Jangan Babe, kita di sini saja, kalau terjadi sesuatu yang membahayakan Ibu, baru kita mendekat,” jawab Gerald memaksa Debora untuk duduk di meja yang di pilih Gerald, “tenang saja, enggak akan terjadi apapun pada Ibu,” kata Gerald lagi menenangkan Debora yang masih khawatir.Baru sebentar Gerald dan Debora duduk, dari ujung restoran terdengar teriakan Pancawati yang marah pada Bachtiar.Semua pengunjung restoran ikut menoleh pada meja sepasang pria dan wanita yang sudah tak lagi muda itu.Pancawati terlihat mengancam Bachtiar, bahkan tangan Pancawati pun selalu menepis tangan Bachtiar yang akan menyentuh tangannya.Debora
Debora tidak menemukan ibunya di rumah. Seluruh sudut rumah Gerald sudah dia hampiri, namun belum juga menemukan Pancawati.“Mami, cari siapa?” teriak Ginny dari balkon kamarnya saat melihat Debora keluar dari taman samping rumah.“Lihat nenek, engak sayang?” jawab Debora sekaligus bertanya balik pada Ginny tentang keberadaan Pancawati.“Tadi Ginny lihat Nenek naik taxi Mi, pergi sendirian,” jawab Ginny dengan polosnya.Debora segera masuk ke rumah, mendengar jawaban Ginny. Ruang tengah menjadi tujuannya untuk mencari ponselnya yang seingat dirinya dia letakkan di atas meja untuk di tambah daya, di samping televisi.Debora menelepon Pancawati dengan rasa khawatir, tidak biasanya sang ibu pergi tanpa pamit padanya. Pesan pun tidak di tinggalkan oleh Pancawati di ponselnya.“Ada apa Babe? Gelisah banget, sampai enggak dengar aku jalan,” tanya Gerald mengecup kepala Debora yang berdiri di pinggir
Manager Manda, paham betul jika Manda sedang cemburu pada Debora. Mood Manda yang sedang buruk setelah di tolak seorang produser film, juga Manda yang baru di selingkuhi kekasihnya, melihat Debora begitu beruntung, pasti membuat Manda marah.Sang Manager mengikuti Manda dan berusaha mengajak Manda untuk keluar dari toko, sebelum Manda mempermalukan dirinya sendiri.“Kamu pergi sana, tidak perlu ikut campur urusanku!” seru Manda dengan kencang, membuat para pengunjung toko menatap pada Manda.Gerald dan Debora pun langsung mendongak ke arah Manda, yang berdiri empat meter di depannya.“Manda,” gumam Debora menyerahkan sebuah kaos dalam pada Gerald. Debora ingin berdiri untuk menghampiri Manda.“Duduk saja di sini. Bukan urusan kita Babe,” kata Gerald menahan Debora agar tidak mendekati Manda.“Begitukah?” tanya Debora meminta pendapat.“Iya. Biarkan saja. Ayo pilih lagi, mana
Gerald menyambut Debora dan membantunya menuruni dua anak tangga terakhir dengan mengulurkan tangannya. Sungguh sikap seorang pangeran pujaan, yang begitu perhatian pada istrinya. Dengan tersenyum manis Debora mengucap terima kasih. Debora berjalan ke meja dapur, mendekati satu piring besar kue pukis yang dia inginkan. “Kamu beli berapa sih Gee. Banyak banget!” tanya Debora sambil mengambil piring yang lebih kecil untuk membagi kue pukisnya. “Hmm, seratus lima puluh ribu, dagangannya langsung habis aku beli,” jawab Gerald dengan tersenyum bangga. Kue pukis dengan harga dua ribu perbuah, dia borong semua. “Tadi dapat bonus lima Babe.” Debora tersenyum, tidak heran lagi dengan cara suaminya mengabiskan uang. “Enak ‘kan Josh?” “Hmm. Iya, enak. Santannya terasa, manisnya pas dan tidak eneg. Dengan selai nanasnya jadi segar,” jawab Joshua setelah menghabiskan satu potong kue. “Iya. Dulu aku sering beli di situ kalau mau berangkat terbang. U