Share

BLOOM FLORIST

"Kurang ajar! Dasar ular! Argh! Kenapa jadi sulit begini, sih?! Itu cincinku! Milikku! Kenapa harus susah payah hanya untuk mengambilnya kembali?" gerutu Estelle, tubuhnya terbungkus rapat dengan coat merah bata dan mafela yang melingkar di leher.

Tujuan memakai pakaian hangat agar dirinya tidak kedinginan di tengah hamparan salju, tetapi rasanya percuma karena sepertinya, tanpa baju-baju itu pun tubuh Estelle bisa tetap hangat bahkan kepanasan sebab bara amarah di hatinya semakin meningkat. 

Entah sudah berapa kali wanita dengan tinggi badan 164 sentimeter itu menghembuskan napas demi meredakan amarahnya. Namun, rasa geram hatinya tidak juga kunjung mereda ... dan semua itu karena ulah Julia. 

Hari ini, Estelle datang menemui Julia untuk meminta kembali cincinnya, sekaligus menolak permintaan yang menyuruhnya untuk mencari informasi tentang Dave, tetapi semua itu sia-sia saja. Julia tidak mau mengembalikan barang miliknya sebelum ia memberikan informasi tentang pria idamannya. Padahal, Estelle sudah mengatakan kalau Dave itu psikopat gila. Namun, Julia tidak peduli. Wanita itu malah mengancam akan menghancurkan cincin miliknya jika dalam sebulan ini tidak membawa berita tentang Dave.

Mendapat ancaman seperti itu, bagaimana dirinya tidak kesal setengah mati? Wanita itu benar-benar senang mempermainkan dirinya. Julia sungguh licik. Sebenarnya, ia bisa saja menuduh Julia mencuri kemudian bermain drama seperti yang sering rekannya itu lakukan. Namun, sialnya ada CCTV di dekat pintu yang mengarah ke wastafel. Hanya dengan itu saja, tentu dirinya akan terbukti kalau sudah melupakan benda berharganya dan Julia yang menemukannya jadi tidak bersalah.

Hah! Rasanya mau mengamuk saja. Mencari informasi dari pria gila itu sama saja menggali kuburan sendiri. Dirinya selalu bergidik ngeri saat mengingat bagaimana Dave mencekik lehernya beberapa jam lalu. Tatapan tajam yang seakan bisa menembus dan mengacak jiwanya, ditambah, rasa sakit yang seperti ingin membunuhnya perlahan itu ... sungguh, tidak mau lagi ia rasakan.

Bagaimana bisa Dave melakukan hal itu pada orang yang baru ia temui, terlebih pada seorang wanita. Apa karena sedang mabuk?

"Haah ...." Estelle menggeleng pelan lalu menghembuskan napas, saat ini kakinya ia hentikan tidak jauh dari sebuah toko bunga dengan papan nama Bloom Florist yang terpatri menggantung di atas. Jemari tangannya meremas sedikit tepi mafela hitamnya. Matanya menatap lurus pada pria bertubuh tinggi dengan hiasan gurat halus di wajah. Ada sedikit pancaran sedih di kedua mata indah itu. 

Lagi, wanita dengan surai tergerai itu menghembuskan napasnya. "Oke, cukup sampai di sini saja memikirkan semua itu," gumam hatinya, kemudian bibir tanpa polesan gincu pun saling menarik.

"Padre!" seru Estelle, kakinya melangkah dengan lantang ke dalam toko bunga. Toko yang di desain dengan tampilan kaca transparan untuk bagian depan, membuat orang yang berlalu lalang bisa mengintip keindahan di dalam sana.

Harum dari berbagai bunga menyambut wajah ceria Estelle. Pria paruh baya yang sedang merangkai bunga hyacinth pun menoleh. 

"Akhirnya, putri yang kutunggu datang juga," balas Noel Evandro, ayah Estelle. Senyum hangat terpatri indah di wajah tuanya.

"Ah ... muy divertido cuando hay un apuesto viudo esperando mi llegada," goda Estelle dengan bahasa spanyol seraya menaruh mafela ke bahu kursi kayu.

"Sweetheart, jangan menggodaku di depan pengunjung," sembur Noel sambil memberikan rangkaian bunga pada pembeli. Perutnya terasa geli saat mendengar putrinya berkata seperti itu.

Merasa senang saat duda tampan menunggu dirinya? Menggemaskan sekali 'kan, putrinya itu ... dan apa tadi? Tampan? Yang benar saja, umur yang sudah melebihi angka lima puluh ini mana bisa disebut tampan. Anak pertamanya itu memang sering menghujani dirinya dengan godaan, semakin lama mendengar kata-kata manis itu, ia pun jadi tidak tahan dan malu sendiri. Estelle selalu memanjakan dirinya dan ia juga tahu, kenapa dua anaknya seperti itu.

Suara tawa terdengar, bukan berasal dari anak dan ayah di sana, melainkan dari wanita cantik yang sedang memeluk bunga hyacinth. "Lagi-lagi Elle menggoda Padrenya, kali ini, apa yang putrimu katakan, hm?"

"Apa Nona sangat penasaran?" tanya Estelle seraya mendekat.

"Nona? Ya ampun, Noel, putrimu sungguh bisa membuat orang lain senang, ya?" balas tanya dari wanita berusia empat puluh enam tahun itu. Noel hanya bisa menanggapinya dengan tawa.

"Terima kasih, Nona Merry." Estelle melingkarkan tangannya ke pinggang Noel, lalu menyandarkan sisi kepala ke bahu pria yang masih terlihat gagah itu. Tersenyum hangat pada wanita yang sudah menjadi pelanggan setia sejak ibunya masih hidup.

Perbincangan hangat pun berlanjut menghiasi ruangan yang penuh dengan pernak pernik bunga di sana. Membicarakan masa lalu di mana istri Noel masih hidup.

Keluarga yang selalu terlihat harmonis, meski sekarang ada lubang di dalamnya. Kepergian satu anggota membuat Noel dan dua anaknya merasakan kehilangan yang tidak pernah bisa tertutupi. Semua berubah ... Noel yang baru setahun ini bisa mewaraskan diri, selalu menyalahkan dirinya atas kemalangan yang menimpa kedua anaknya.

Setelah kepergian wanitanya, Noel menjadi depresi. Pria itu kehilangan pekerjaan dan hidup seperti boneka yang cinta dengan alkohol dan narkotik. Noel akan mengamuk jika tidak diberikan barang-barang tersebut. Hanya dengan barang itu Noel tidak merasakan sakit, bahkan, ia bisa bertemu dengan wanitanya meski itu hanyalah ilusi mata. Begitu dalam cintanya untuk sang istri, sampai lupa pada dua anak yang harus ia urus. 

Estelle Clarice, anak pertama yang tidak pernah lelah untuk membawa Noel pada kewarasannya. Melakukan berbagai cara untuk menghasilkan uang demi menyembuhkan mental ayahnya. Sekarang, Estelle bisa bernapas lega dengan keadaan Noel yang semakin hari semakin membaik, meski ia juga sedih harus melepaskan rumah yang menyimpan banyak kenangan dari sang ibu. Kini, satu-satunya yang tersisa hanya toko bunga tersebut. Bayangan wanita lembut lagi kuat dan bersemangat masih terasa jelas di sana.

"Permisi," suara bass menginterupsi tiga orang di toko Bloom Florist. Melihat ada pengunjung datang, Merry pun pamit pergi. 

Estelle yang masih bersandar manja pada Noel langsung berdiri tegak sambil membalas senyum pria yang terlihat familiar, tetapi ia juga tidak tahu siapa pria itu.

"Selamat datang, ada--"

"Elle, kamu tidak mengenalku?" sela si pria, membuat kaki yang baru saja ingin melangkah mendekat itu jadi terhenti.

"Hm?" Estelle diam sambil memandang lekat wajah pria di hadapannya. "Maaf, apa ... kita pernah bertemu?" tanyanya ragu, seraya memilah memori di kepala, mencari gambaran yang mirip dari pria di depannya itu.

"Ah, ini rambut asliku, semalam aku cat," jelas si pria, jari telunjuk kanannya menunjuk ke arah rambut, memberikan clue agar Estelle mudah mengingatnya. "Si pirang," tambahnya lagi.

Baru ingin membuka mulut, kepala Estelle lebih dulu menoleh ke kiri saat merasakan bahu kanannya disentuh lembut oleh Noel. "Bukankah akan lebih cepat kalau tuan mau menyebutkan nama daripada bermain tebak menebak seperti ini?" ucapnya. Jujur saja, Noel tidak suka dengan pria di depannya itu. Bisa ia kira kalau pertemuan ini adalah pertemuan kedua mereka, tetapi pria itu sudah sangat terlihat nyaman di sekitar putrinya. Menyebalkan!

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status