Share

GYNOPHOBIA

“Pergi. Pergi kalian semua!” 

===== 

Pagi yang terasa dingin. Cahaya mendung masuk dengan lembut menembus tirai-tirai putih di sana. Pancaran langit yang meredup itu membaur satu dengan cahaya lampu tidur di ruangan itu. 

Rasa hangat menyebar dalam kamar. Mengingat di luar masih turun salju, penghangat ruangan menjadi salah satu penyelamat pria yang sedang terbaring di ranjang. Menyelamatkan tubuhnya dari kedinginan yang membekukan semua benda di luar.

Rasa puas bermain di alam mimpi, membuat kelopak mata berbulu lentik yang terpejam itu bergerak. Jam persegi panjang kecil di atas nakas sudah menunjukkan pukul sebelas siang.

Dave membuka perlahan matanya, iris emerald yang indah langsung disambut cahaya dari luasnya langit, membuat sang pria mengerjapkan mata, terkejut dengan cahaya terang yang padahal tidak terlalu menyilaukan.

Melenguh berat seraya merasakan denyutan tidak nyaman di sekitar pelipis serta ubun-ubun kepalanya. Posisi tidur yang miring kini sudah berganti telentang. 

Sekali lagi, Dave mengeluarkan suara atas sakit yang diberikan oleh kepalanya. Wajar, semalam ia sudah minum tiga botol mimuman keras dalam keadaan perut kosong. Bukan sedang mencoba untuk menyakiti ataupun bunuh diri melalui alkohol, melainkan ... kemarin adalah hari terburuknya.

"Ukh!" Putaran klise kejadian kemarin terulang jelas di otaknya, Dave seakan sedang menonton film perdana dirinya sendiri.

"Sudah bangun?" Sam yang baru membuka pintu langsung menyapa Dave yang sedang mencoba mendudukan dirinya.

Pria bertelanjang dada itu masih menekan pelipis yang seakan ingin jatuh dari cangkang kepalanya. Tidak lama, mata emerald indahnya memandang lekat wajah sahabat yang memar dengan sentuhan luka sobek di sudut bibir bawahnya. 

Dave ingat, semalam ... ia memukuli Sam yang menemukan dirinya terduduk lemas di tepi trotoar. Tubuhnya gemetar bukan karena kedinginan dengan hujanan salju, melainkan karena ulah wanita asing yang dua kali menyentuh tubuhnya.

"Apa kamu berharap aku mati?" sarkas Dave. Balasannya mengundang tawa renyah Sam Owen yang bersandar santai pada kayu pintu.

"Come on, aku sudah menerima hukumanku. Jadi, berhentilah merajuk. Cepat cuci muka dan makan." Sam mendebas lalu tersenyum kecut seraya membuang pandangannya dari Dave. "Hm ... aku memang kelewat baik, mau saja merawat orang yang sudah memberikan luka di wajah tampanku."

"Dapat apa kamu dari wanita sialan itu, sampai berani mengkhianati teman sendiri," tandas Dave masih kesal dengan kejadian semalam--ralat--pagi buta.

Sam kembali memandang Dave. "Nah, itu belum aku pikirkan ... rencananya setelah mengurusmu, baru aku akan menagih bayaranku."

Baru menyelesaikan kalimat. Sebuah bantal terlempat tepat ke arahnya.

"Berengsek! Keluar dari rumahku!" emosi Dave. Ia kesal karena Sam menggunakan dirinya untuk mendekati wanita. Meski hal itu sering terjadi, tetapi Sam tidak pernah membuat wanita incarannya sampai mendekati Dave.

Kejadian semalam benar-benar tidak bisa dinegosiasikan. Meski sudah menghujani tinjuan pada Sam, hatinya masih kesal! Menerima sentuhan wanita asing saat tubuh dan emosinya tidak stabil, benar-benar membuatnya sesak dan ingin mati.

Untung saja semalam ada yang melerai hingga ia bisa kembali pada kewarasannya. Jika tidak, mungkin ia sudah akan menjadi pembunuh untuk pertama kalinya.

"Hei Brother, lihat sekelilingmu, berengsek! Ini rumahku!" kesal Sam kembali melemparkan bantal pada temannya. Semakin lama temperamen buruk Dave semakin liar.

Dave menghela napas sambil menyandarkan kepalanya ke dinding. Ia sadar dengan emosi yang salah tempat dan kelewat batas itu. 

Kedua matanya menerawang langit-langit di sana, memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa terbebas dari rasa yang semakin lama semakin menggerogoti jiwanya itu.

Psikoterapi yang ia lakukan sejak usia tiga belas tahun, rasanya percuma. Dave baru bisa menerima keberadaan ibunya serta menggunakan bantuan obat-obatan anti cemas jika ingin bertemu wanita atau keluar rumah.

Dave benar-benar frustasi dengan kelemahannya itu. Mengidap fobia yang selalu merasa takut dan cemas saat berhadapan ataupun melihat wanita. Fobia aneh yang lebih dikenal dengan sebutan gynophobia.

"Apa tidak sebaiknya kamu bertemu psikolog lagi? Jangan terus-terusan mengandalkan obat, se--"

"Berisik."

Sam menghela napas pasrah. Dave benar-benar keras kepala. Karena sikapnya itulah yang membuat Sam nekat mendekatkan Dave dengan Estelle. Setidaknya, ia kenal Estelle meskipun wanita itu tidak mengenalnya. 

"Semalam, kamu apakan Elle? Kenapa bisa ada di pinggir jalan? Tidak mungkin 'kan, Elle yang mengusirmu dari taksi," rentetan tanya yang sejak semalam sudah sangat membuat Sam penasaran akhirnya bisa ia keluarkan.

Dave menarik satu alisnya. "Elle?"

"Iya, Elle temanku. Wanita yang aku suruh untuk mengantarmu pulang."

Dave terkekeh mendengar penuturan Sam yang sudah terlihat sekali kebohongannya. "Temanmu atau incaranmu? Terlebih, sejak kapan tipe wanitamu berubah seperti itu?" Dave tertawa mengejek. "Leluconmu kali ini benar-benar sangat lucu! Kalau kamu sedang berusaha menilainya, biar aku beritahu, dia, sama seperti wanita lainnya. Cih, mengingat bagaimana dia berani menyentuhku, rasanya menjijikan!"

Kening Sam mengerut samar. Tidak percaya pada cerita Dave. "Terserah, kamu mau bilang apa. Bagaimanapun kamu menilai, Elle tetap temanku dan dia tidak sama seperti apa yang kamu bayangkan! Sudahlah, cepat turun dan isi perutmu!" gerutu Sam, kembali menutup pintu kamar tamu, meninggalkan Dave yang sepertinya akan duduk lama di atas kasur. 

Sebenarnya, semalam bisa saja ia membawa Dave pulang. Namun, temannya itu malah pulas saat dalam perjalanan. Salah Dave yang mengganti password pintunya, hanya karena dirinya terlalu sering berkunjung tanpa undangan, Dave jadi selalu mengganti password penthousenya. Sekarang, jika Dave mabuk Sam akan membawanya ke rumah atau ke kamar Nightbar.

"Apa lagi?" tanya Dave datar, saat pintu kembali terbuka sedikit dan melihat sembulan kepala Sam.

"Dari pada duduk tidak berguna seperti itu, sebaiknya cek emailmu, aku sudah mengirimkan laporan kerja sama."

"Laporan milik P atau Z?"

"Jangan bercanda! Aku sudah bilang, tidak akan mau membantumu di Polaris Hotel! Apa kamu mau membuatku muntah karena terus melihat wajahmu, hah! Cepat cek emailnya! Aku harus segera memutuskannya dua jam lagi!"

Dave mendebas lelah tepat setelah pintu kembali Sam tutup. Temannya itu memang sengaja menyiksa dirinya. Setiap gynophobia-nya kambuh, Sam akan memberikan setumpuk pekerjaan! Padahal, tanpa diberikan pun ia sudah cukup sibuk.

"Elle? Jika aku bilang, aku mencekik wanitanya, apa dia akan mencekikku juga?" Dave menyugar rambutnya seraya beranjak dari ranjang. "Apa tipenya sudah berganti? Dilihat sekilas saja, wanita itu tipe yang merepotkan!"

Baru ingin melangkah ke bathroom, benda pipih di atas nakas berbunyi, tampilan layar menunjukkan identitas si pemanggil.

"Mommy?" bisik Dave seraya mengambil gadgetnya kemudian menerima panggilan dari Sang Ibu.

Suara lembut yang menenangkan langsung menyambut telinganya. Hanya sebentar saja hati Dave merasa tenang, karena semenit kemudian sang Ibu, Callie Jasmeen mengabarkan sesuatu yang membuat raut wajahnya menegang. 

Callie mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan pasangan untuk Dave. Seorang wanita yang akan menemani Dave ke pesta parter bisnis Polaris Hotel.

"Halo? Dave? Apa kamu bisa mendengar suara Mommy? Dave?" 

Suara Callie yang telah memanggilnya dua kali baru bisa menyadarkan Dave dari kegelisahannya. Bagaimana tidak gelisah? Dua tahun lalu, ia mengatakan pada orang tuanya kalau dirinya sudah sembuh total, karena itulah ia tidak pernah lagi mengunjungi psikolog. Dave hanya tidak ingin melihat orang tuanya sedih apalagi memandangi dirinya dengan tatapan kasihan.

"Aku mendengarmu, Mom. Nanti kita bicarakan hal ini lagi, oke?"

"Dave, apa fobiamu benar-benar sudah hilang? Atau terkadang kambuh? Kalau kamu merasakan gejalanya lagi, sebaiknya kamu jangan me--"

"Mommy, it's okay. Aku sudah baik-baik saja. Kalau fobiaku kambuh, sudah pasti Daddy akan mengetahuinya. Lagi pula, Mommy tahu sendiri 'kan, dalam sehari aku harus menemui banyak wanita di hotel? Dan lihat? Sampai sekarang aku baik-baik saja 'kan?" sela Dave diakhiri dengan senyuman getir, untung saja Callie tidak bisa melihatnya. 

Bisa Dave dengar kalau di seberang sambungan, Callie menghembuskan napas lega. Ya ... ini sudah benar. Kebohongan ini juga sebagai motivasi untuk membuat dirinya lebih berusaha menghilangkan fobianya. Terakhir konseling, psikolog menyarankan untuk sering berkomunikasi dengan wanita. Namun, setiap ingin mencoba, banyak wanita yang malah menyalahartikan tindakannya. 

Dave sudah dikenal sebagai orang yang angkuh dan kejam. Jadi, jika ia membuka suara banyak kepada para wanita, mereka akan menganggap bahwa diri mereka itu spesial. 

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status