"Saya sadar akan kesalahan saya dan siap menerima sanksi yang diberikan,"ucapku.Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku saat mengakui kesalahan di kantor polisi. Akibat ku juga ada mobil polisi yang menabrak tulisan perumahan dinas. Sementara biaya perbaikan sudah ku serahkan pada pihak yang berwenang."Sesuai hukum yang berlaku, Anda dikenai hukuman kurungan selama 2 hari atau membayar denda sebesar 2.500.000. Apa Anda siap menjalani kurungan selama 2 hari disini?"tanyanya membuatku menggeleng pelan."Saya tidak membawa uang cash. Tapi Anda bisa mencairkannya,"ucapku mengeluarkan sebuah kartu langsung mencairkan dana yang disebutkan di ATM yang ada."Saya harap Anda tidak mengulangi kesalahan ini lagi, Nona. Anda mengendarai kendaraan dengan kecepatan 200 km/jam sama saja ingin membuat arena balapan di jalan raya. Anda berada dalam kondisi darurat dan saya bisa memaklumi itu. Anda bisa pergi, Nona,"ucapnya membuatku mengangguk pelan sebelum berlalu pergi.Celine tersenyum leba
Beberapa pakaian yang ku masukkan seolah masih terasa kosong dalam ransel. Sedari tadi pikiran ku masih hampa tanpa ada isi. Fahri baru saja siuman setelah pingsan selama kurang lebih satu jam lebih. Jika saja Fahri tidak bisa kuat apakah mungkin ku tinggalkan Andini?Anisa juga tidak bisa menahan tangisnya di depan Andini. Apa yang harus ku pilih saat ini? Baru kali ini kepergian ku terasa berat. Kejadian diluar dugaan cukup mengguncang rumah ini. Kedamaian di dalam rumah sangat sulit ditemukan. "Kak, makan lah. Setelah itu kakak bisa tidur,"ucap Andini membawakan sepiring nasi dengan kursi rodanya."Hah, aku akan memakan nanti,"ucapku menatapnya."Sudahi kebohonganmu itu, Kak. Apa Kakak juga berniat meninggalkan ku juga saat ini? Semalaman tidak berhenti wira-wiri mengurus semua hal tentang ku. Tanpa peduli diri sendiri. Makan dan istirahat lah. Kakak harus berangkat ke Surabaya,"ucap Andini membuatku menghela nafas panjang."Tapi ini cerita lain, Andini,"ucapku."Semua cerita kehi
Beberapa pakaian yang ku masukkan seolah masih terasa kosong dalam ransel. Sedari tadi pikiran ku masih hampa tanpa ada isi. Fahri baru saja siuman setelah pingsan selama kurang lebih satu jam lebih. Jika saja Fahri tidak bisa kuat apakah mungkin ku tinggalkan Andini?Anisa juga tidak bisa menahan tangisnya di depan Andini. Apa yang harus ku pilih saat ini? Baru kali ini kepergian ku terasa berat. Kejadian diluar dugaan cukup mengguncang rumah ini. Kedamaian di dalam rumah sangat sulit ditemukan. "Kak, makan lah. Setelah itu kakak bisa tidur,"ucap Andini membawakan sepiring nasi dengan kursi rodanya."Hah, aku akan memakan nanti,"ucapku menatapnya."Sudahi kebohonganmu itu, Kak. Apa Kakak juga berniat meninggalkan ku juga saat ini? Semalaman tidak berhenti wira-wiri mengurus semua hal tentang ku. Tanpa peduli diri sendiri. Makan dan istirahat lah. Kakak harus berangkat ke Surabaya,"ucap Andini membuatku menghela nafas panjang."Tapi ini cerita lain, Andini,"ucapku."Semua cerita kehi
Peluh menetes selama tur yang diberikan tidak membuatku sedikit merasa lengket. Belum lagi beberapa proses produksi yang menimbulkan aroma tidak sedap seperti amonia. Bukan lagi hal baru jika menemukan aroma kimia menyengat. Tapi akhirnya seluruh pakaian yang ku pakai berpengaruh."Apa dari kebijakan rutin maintenance membuat pengaruh berarti bagi produksi urea yang dihasilkan secara signifikan, Pak? Karena jika proses perbaikan dilakukan dalam jangka waktu relatif dekat akan berpengaruh pada biaya yang cukup membengkak. Lagipula jika efisiensinya masih berada di bawah ambang batas bukankah lebih baik menunda?"tanyaku mendengarkan penjelasan Wicitra."Tentu saja berpengaruh, Nona Gita. Proses produksi yang terjaga akan menjaga siklus keuangan. Sementara dengan adanya perbaikan dalam jangka waktu tersebut, tidak akan membuat biaya lebih membengkak dibandingkan mengganti peralatan. Dengan efisiensi peralatan yang selalu maksimal, maka proses produksi juga akan terjaga, Nona,"ucap Wicitr
Kepulan asap panas secangkir kopi masih bertahan menghantarkan sekitar. Hanya tersisa diriku sendiri di ruang makan menyusun agenda rencana yang akan ku lakukan disini. "Sendirian mulu, Git,"ucap Altezza menaruh secangkir kopi panasnya di depan ku."Ya, aku harus seperti apa,"ucapku tanpa menatapnya.Pria itu terdengar menghela nafas panjang sebelum akhirnya menambahkan satu sendok teh gula pada kopi milikku. Sontak membuatku mendongak."Nah, gitu dong. Masa orang ngomong dicuekin mulu,"ucap Altezza."Apa ada hal yang penting?"tanyaku membuatnya mengangguk pelan."Tidak ada. Kenapa dengan wajahmu yang begitu banyak masalah seperti itu?"tanya Altezza membuatku menghela nafas panjang."Aku tengah merenung sambil mengerjakan pekerjaan. Beberapa hari lalu, baru saja tangan ku gemetar menggendong Fatimah yang terbujur kaku. Tadi sore Rania menghubungi ku karena perlengkapannya habis. Entah mengapa aku jadi kehilangan kendali untuk membiarkannya? Aku selalu teringat Fatimah jika berkaitan
"Apa aku melupakan sesuatu?".Pertanyaan itu entah berapa kali sudah ku dengar dari gadis yang tengah memakai kacamata kuning. Bahkan dengan koper sebesar itu disertai beberapa ransel, apa dia berusaha kabur dari rumah? Bahkan aku hanya membawa sebuah ransel saja."Apa kamu mau pindah ke Jakarta, Nona Citra?"tanya Dhito.Tidak biasanya aku mendengar pria itu berkomentar. Apa melihat tingkah Citra adalah hal yang terlalu aneh sampai di komentari? Hah, ide Pak Wicitra berangkat lebih cepat tidak mengandung sisi positif sejauh ini. Selain memangkas jadwal delegasi, hal ini juga akan menyebabkan keributan.Celine dan Diana sudah berdiri begitu mendengar Dhito berkomentar. Mereka berdua cukup paham, apa yang akan meledak sebentar lagi. Aku hanya akan menghitung dalam hati saja detik-detiknya."Kamu sedang meledek? Beraninya kamu meledek perempuan. Pria macam apa kamu ini!".Benar, kan. "Kenapa kalian berdua harus berkelahi di tempat umum,"ucap Altezza lelah mendengarkan keduanya.Itu hany
Musik yang sedang mengalun sama sekali tidak memperbaiki mood ku. Rasa lelah ku kini menjadi kekesalan. Kenapa perempuan itu harus menyebut nama pria brengsek dengan lengkap? Awak media juga akan menulis bahwa seorang Dyah Anggita Anindyaswari adalah kekasih pria brengsek yang tidak ku ketahui asal usulnya.Pertemuan sebentar lagi. Tapi aku sendiri enggan bertemu satu pun awak media yang sedang ditahan Celine di luar. Hanya karena satu masalah menjadi runyam. Ada untungnya ponsel ku bermasalah bagian suaranya. Jadi aku tidak perlu repot mengangkat panggilan dari saudari ku. Mereka begitu heboh begitu mendengar kabar yang tersiar. Apa aku tidak bisa langsung ke konser saja? Melupakan pertemuan yang hanya dihadiri para direktur itu. Andai Dhito tidak menghubungi langsung untuk datang, aku tidak akan repot begini, kan. Melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 8 malam membuatku acuh segera berdiri.Urusan pekerjaan jauh lebih penting dibandingkan pribadi. Begitu membuka pintu kamar
Dirga POVSeorang pria sedang menikmati malam usai berbelanja. Biasanya di sisinya akan ada tambahan belanja dari putrinya. Sayangnya keputusan untuk membuatnya belajar mandiri sudah dia putuskan. Andai saja dia meluangkan waktu untuk mendidik anak itu. Tidak mungkin anak itu akan menjadi begitu diluar kendali.Matanya melirik jam tangan sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Saatnya untuk mengistirahatkan pikiran dan menyambut hari esok. Belum juga beranjak dari tempat, matanya menangkap sosok perempuan melintas di depan mata.Tidak mungkin matanya salah melihat. Tapi untuk apa perempuan itu berjalan di trotoar seperti orang gila begitu? Biasanya dia berdiri dengan dikelilingi pengawal pria bertubuh kekar. Mengabaikan komentar perempuan itu, pria itu mengambil langkah mendekatinya. "Kamu darimana?"tanyaku sontak membuat perempuan yang ditanyai menatap sempoyongan.Aku tidak sedang mengigau melihat dan mencium dari perempuan ini tercium bau alkohol? Apa dia habis mabuk untuk