"Ya sudah, sama anak ku saja,"ucap Shafiya."Bercanda mulu dari. Sudah berbicara serius malah bercanda. Dia juga sudah punya istri, Bu Shafiya. Ada anaknya lagi. Lebih baik saya lajang seumur hidup kalau gitu,"ucapku mencuci piring membereskan meja makan.Suasana rumah yang selalu damai cukup membuat pikiran ku terkadang rileks dengan sendirinya. Kapan lagi telinga ku tidak terganggu bisingnya suara pabrik?"Kamu orang Kalimantan tapi logat Bugis, Kutai, Jawa. Gimana atuh?"tanya Shafiya membuatku membuang nafas sebal."Di Kalimantan semua etnis bertemu jadinya ya gini,"ucapku mengupas jeruk di atas meja. "IBUUU". Sapaan merusak telinga terdengar sumbang membuatku ingin mual saja. Apa semua orang di rumah ini tidak ada yang waras? Hah, ini wanita yang menitipkan Rania sewaktu di bandara."Kamu kira Ibu tuli kah? Bisanya keponakanmu kamu titipkan orang lain,"ucap Shafiya sebal."Tadi buru-buru, Bu. Dia Gita, kan?"tanya Rindy mengambil tempat di depan ku. "Iya, Mbak Rindy,"ucapku mena
"Manusia hanya lah makhluk fana. Tidak ada sesuatu yang sempurna selain Allah. Maka jika dia mengatakan dirinya sempurna maupun kesempurnaan sesungguhnya itu dusta belaka"Dyah Anggita Anindyaswari Rapat tinggal menunggu waktu di monitor untuk dimulai. Tapi aku heran dengan sekitar. Mengapa meja hari ini terlihat ada yang kosong? Siapa yang mengisi disana? Sepertinya kemarin semuanya hadir di sini. Apa ada yang absen atau izin?"Hari ini seperti agenda dari pertemuan ini, maka kami menyerahkan kepada Pak Wicitra delegasi dari Pupuk Anumerta di Petrokimia,"ucap Dhito membuat wajah senior harap harap cemas.Kapan lagi dapat tunjangan lebih besar? Aku harap siapapun yang berada di posisi itu benar-benar cakap dan bertanggung jawab. Bukan pria seperti Pak Daniel. Altezza terasa lebih baik dan lebih bijaksana dalam menjalin konsolidasi seperti ini."Baik, semuanya sudah melihat presentasi kemarin siang. Karena itu kami juga dengan sepakat juga telah memilih Nona Dyah Anggita Anindyaswari
Bunyi monitor berpadu dengan dinginnya ruangan membuatku membuka mata menatap sekitar. Anisa menatapku penuh dengan kata-kata yang ingin segera dikeluarkan dari bibirnya."Kamu kira aku sekarat? Untuk apa kamu memasang alat medis sebanyak ini? Aku mau pulang saja,"ucapku membuatnya mengajukan 5 jarinya."Kak. Sekarang aku dokternya. Lagian kenapa kakak nggak makan? Apa gaji pokok dan tunjangan 30 jutamu tidak bisa menyisakan waktu untuk makan?"omel Anisa menyebalkan."Aku hanya GERD saja. Sudah jangan berlebihan,"ucapku sadar kondisi tubuh.Aku sadar punya penyakit itu. Hanya saja kali ini begitu ceroboh sampai lupa dan berakhir di rumah sakit. Terlebih dokternya saudara ku sendiri. Aku sudah membayangkan cerewetnya perempuan di depan mataku."Hanya? Kakak pingsan 10 jam dan mengatakan hanya?"tanya Anisa gemas."Bertindak lah sebagai dokter dan jangan berlebihan. Aku ingin pulang dan tidur di rumah saja,"ucapku membuatnya menatap tidak percaya."Kak-,""Celine, coba beritahu pada Alte
Author POV Seorang pria bersandar di teras rumah menikmati liburan tanpa beban pekerjaan sejenak sebelum memulai hal baru. Putri kecilnya sekarang sudah terlelap di kelamnya malam. Sementara dirinya masih terjaga memikirkan kembali kalimat perempuan asing yang ditemuinya beberapa waktu lalu.Dirinya memang terlalu ceroboh dalam menjaga anak. Bagaimana jika yang dititipkan adalah penculik? Bukannya dramatis, namun nyatanya banyak kasus yang bisa menimpa anak-anak. "Sudah malam kok masih diluar, Nak?"tanya Setyo mengambil tempat di sebelahnya."Nggak bisa tidur, Rama,"ucap Dirga mengusap lengannya beberapa kali karena terkena gigitan nyamuk."Memikirkan Gita?"tanya Setyo membuatnya malah tergelak."Gita itu hanya orang asing yang sekedar bertemu, Rama,"ucap Dirga menuangkan teko kopi ke gelas yang baru."Heh, Rama itu yang menggendongmu dari bayi sampai sekarang. Tidak biasanya kamu berdiam diluar begini,"ucap Setyo.Pria itu paham betul apa yang sedang putranya hadapi. Riana setiap h
Gita POV Air mataku meluncur bebas begitu seluruh kalimat akad terucap dengan lancar dari lisan Dyo beberapa jam yang lalu. Saudara perempuan ku telah menemukan pasangannya masing-masing. Rumah ini benar-benar akan sepi. Telinga ku sampai panas mendengar kalimat menyenangkan tetangga budiman.Membuatku beranjak mengambil kunci mobil meninggalkan rumah. Bukannya aku tidak ingin menyaksikan saudara ku bahagia. Tetapi aku sedang tidak ingin merusak hari bahagia dengan campur aduk tetangga budiman. Jalanan kota begitu lengang bahkan menyisakan mobil ku sendiri di lampu merah. Memikirkan pekerjaan sepertinya lebih baik. Pagi ini Celine sudah mengirimkan 12 email yang berisi beberapa pekerjaan. Kunjungan Dhito ke departemen ada atau tanpa adanya diriku sudah seperti dugaan. Dia cukup paham dengan kondisi departemen yang begitu ulet. "Coy. Kamu dimana? Aku mau numpang tidur".Bunyi pesan suara Azhara terdengar begitu lelah. Sepertinya dia juga akan menumpang mengisi amunisi di apartemen.
Gedung dengan berbagai ornamen menyambut binar mataku. Beruntung aku bisa dengan cepat meminta Anisa menggelar acara di ballroom saja. Selain bisa menjaga jati diri, hal itu juga bisa mengurangi bibir tetangga budiman."Aku tidak terlihat aneh, kan,"ucap Azhara memakai pasmina di kepalanya.Gadis itu terlihat sangat cocok dengan penutup kepalanya. Seandainya dia tahu betapa damainya mata melihat gadis bertudung itu tersenyum ke arah seluruh tamu. Bahkan semua mata yang telah mengambil tempat menatapnya kagum. "Kamu bahkan terlihat seperti pengantinnya disini. Semua orang sibuk melihatmu daripada Anisa,"ledek ku membuatnya memutar bola mata malas.Belum lama berdiri menemani Azhara mengisi list tamu, Andini datang dengan menggandeng mesra suaminya. Perempuan itu tidak akan betah jika tidak menggoda kakaknya. Dasar adik kurang berakhlaq."Ini temannya Kak Gita, Kak Azhara, ya,"ucap Andini membuat gadis itu mulai tercium gelagat kebodohan baru."Yah benar. Apa aku sepopuler itu?"tanya A
Suasana sunyi lorong laboratorium terasa seperti biasanya. Hari Jumat memang hanya diisi dengan menyempurnakan data yang ada sebelum disetorkan ke bagian produksi. Celine yang tersenyum lebar begitu siap akan bekerja kembali. Baru saja memasuki ruangan tampak seorang pria berdiri memunggungi ku sudah menyiapkan beberapa buku setebal kitab, tablet, laptop dan proyektor di meja. Dia sangat cekatan dari yang ku perkirakan. Bahkan lebih sigap dibandingkan diriku sendiri.Liburan seminggu ku cukup membuat tubuhku kembali rileks. Meskipun itu tidak bisa dikatakan liburan menurut Azhara. Hah, berbicara tentang gadis itu. Dia malah memutuskan menghabiskan liburan di rumah. "Sudah sarapan, Nona?"tanya Dhito berbalik menatapku."Sudah, Pak,"ucapku tersenyum lebar mengambil tempat. "Baguslah. Aku dengar beberapa hari ini GERD sedang marak,"ucap Dhito membuka buka yang telah ditandai.Terdapat beberapa bekas stabilo pertanda telah di baca. Tidak lupa beberapa catatan disana sini menunjukkan pe
Tubuhku saat ini sudah terasa benar-benar lelah. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Namun masih berjaga di depan papan tulis menyajikan hasil eksperimen. Aku harus mulai berolahraga lagi agar semua tulang ku tidak begitu kasar."Berdasarkan penelitian yang sudah kita lakukan, efektivitas terbaik ada di konsentrasi 5%. Selain dapat memotong biaya bahan baku, dapat mengurangi biaya perawatan alat,"ucap Dhito membuatku menghela nafas lega."Nanti saya akan buat rekapitulasi penelitian hari ini dan mengirimkan pada Celine,"ucap Diana memotret tulisan di papan tulis.Sementara Celine dan Diana sibuk menyimpulkan catatan, satu persatu peralatan laboratorium sudah tersimpan dengan rapi. Bahan kimia bekas dipakai juga sudah di standardisasi sebelum dibuang. "Kalian lanjutkan esok hari saja tidak masalah. Berkaitan dengan keputusan saya hari ini tolong umumkan untuk departemen operasi, Celine. Selama 2 bulan itu, kamu akan ikut Nona Gita dan Pak Altezza ke Surabaya,"ucap Dhito membereskan sem