Aku tidak percaya dengan yang Resti ucapkan. Resikonya bisa sampai Josie dikeluarkan dari sekolah? Sebenarnya seserius apa masalah yang terjadi pada murid antik itu? "Kamu yang bener, Res. Masak iya, sampai bisa keluar sekolah?" ujarku dengan alis menyatu. "Pak, aku juga ga yakin. Tapi kemungkinan itu bisa aja, kan? Orang dia ada di sini, tapi kayak tubuhnya doang. Jiwanya entah ngabur ke mana. Makanya kayak ada di dunia lain, tuh anak," tukas Resti. "Kamu bisa nggak jadi temannya? Dengan begitu ada yang menyemangati dia. Mulai bisa adaptasi di sini." Aku memandang Resti. "Aduh, Bapak Avin yang baik dan murah hati ... Tugasku nambah, nih, Pak? Kalau aku ga dapat nilai A aku ngambek, deh." Resti cemberut. Aku terkekeh melihat reaksi Resti. Benar-benar ini murid tidak ada jaim-jaimnya biar di depan guru. Terlalu bebas, seperti tidak bisa tahu batas. Aku ini gurunya, bukan temannya. "Kamu itu anaknya supel. Oke, satu sisi kamu juga cuek. Tapi kamu sampai niat menyelidiki Josie, bera
Ambulans meluncur ke rumah sakit. Lola dan aku ikut di belakang dengan mobil Tante Merlin. Lola tampak sangat cemas. Kata-kata perawat membuat Lola makin kuatir. Aku pun merasakan yang sama. Kondisi Tante Merlin memang mengawatirkan. Hanya bisa berharap, Tante Merlin cukup kuat dan bisa bertahan. Lola sudah tidak ada papa lagi. Mama dan papanya berpisah saat Lola masih duduk di sekolah dasar. Satu-satunya orang tua yang Lola punya hanya Tante Merlin. "Vin, aku takut." Lola memandangku. Kami menunggu di luar ruangan ICU. Kalimat itu yang kesekian kali Lola ucapkan. "Kalau mama ga bertahan, aku gimana?" kata Lola dengan hati pedih. "Tante Merlin pasti bertahan, aku yakin," ucapku. Aku berusaha agar Lola tetap tenang dan tidak terlalu cemas. Sekalipun aku juga tidak tahu apakah Tante Merlin akan bisa kuat dengan kondisinya yang sangat mengawatirkan. Sepuluh menit kemudian, aku dan Lola dipersilakan masuk ke ruangan untuk melihat Tante Merlin. Peralatan medis bertebaran di tubuhnya.
Aku masih tak percaya dengan yang Lola katakan. Dia tidak ingin menemani Tante Merlin di saat seperti ini? Bukannya sebelumnya dia tampak begitu sedih? Bukannya dia takut kehilangan Tante Merlin? Aku masih bisa membayangkan pelukan eratnya padaku, seakan meminta dukuganku agar kuat karena kepedihan hatinya. Belum sampai hari berganti, baru beberapa waktu, Lola lebih memilih pekerjaannya. Aku benar-benar tidak bisa memahami pikiran Lola. Kalau aku tidak salah menyimpulkan, bagi Lola yang paling utama buatnya adalah karir. Bukan mamanya. Juga bukan aku. "Aku tidak bisa menunggu, Vin. Aku harus pergi. Aku janji, jika urusan selesai, aku segera balik. Tapi sangat mungkin aku baru bisa kembali besok pagi." Lola mengangkat tasnya yang ada di kursi di sebelah ranjang. "La, kamu serius? Kamu tega pergi dengan kondisi ini? Kalau Tante Merlin bertanya ..." "Kamu pasti bisa menenangkan mama." Lola menyahut. "Vin, ini juga ga mudah buat aku. Ninggalin mama seperti ini, aku ga tega. Tapi di sis
Josie menatapku. Aku yakin dia ingin mengatakan sesuatu tapi ada yang menahannya untuk bicara. "Josie, kamu bilang aja sama Pak Avin. Daripada kamu dipaksa ke guru BK. Kamu mau ketemu Bu Wedari?" Resti memecah kesunyian di antara kami. Josie menoleh pada Resti, lalu mendesah. Napasnya terasa berat. Aku menduga Josie takut mengatakan yang sebenarnya, takut salah percaya pada orang yang dia hadapi ketika dia bicara. "Aku ga tahu ..." Josie tampak ragu. "Percaya sama aku. Aku juga punya rahasia dan Pak Avin ga ember, kok," ujar Resti. Mataku cepat menoleh pada Resti. Rahasia apa? Kenapa Resti bilang begitu? "Baiklah. Aku, aku akan cerita. Setelah sekolah." Josie memutuskan. "Good," sahut Resti. "Kapan saja, asal kamu siap." Aku ikut menimpali. "Udah hampir masuk. Ayo," ajak Resti. Tangannya menggandeng Josie. Josie manut dan tidak menolak. Aku senang. Perlahan, Resti berhasil membuat Josie nyaman dan mau berteman. Aku mengikuti kedua muridku itu menuju kelas. Dua menit lagi bel
"Josie ..." Aku dan Resti memanggil bersamaan. "Ga apa-apa. Aku akan mencari tempat lain buat aku ..." "Josephine! I need you to give me time to listen and understand!" Aku mencegah Josie agar tidak meneruskan langkahnya! Josie langsung berhenti. Dia masih berdiri memunggungi aku dan Resti. "Josephine, bukan berarti aku ga percaya. Aku masih harus mencerna semuanya. Please, lanjutkan. Aku janji ga akan menyela hingga kamu tuntas bicara," ujarku. Aku berharap Josie akan berbalik dan kembali ke kursinya. "Josie ... please ..." Resti ikut membujuk. Josie memutar badannya. Dia memandang padaku dan Resti. "Promise, aku ga akan bicara sampai kamu selesai." Aku meyakinkan Josie. Josie kembali. Dia duduk lagi di kursinya. Aku lega dan siap mendengar kelanjutan cerita Josie yang masih misteri buatku. "Aku makin takut tinggal di rumah. Itu rumahku sendiri, tapi aku merasa asing. Tante terus saja menyuruh aku melakukan ini dan itu, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci, dan se
Dengan pikiran masih penuh, aku meninggalkan sekolah. Tujuanku pulang. Aku tidak ingin ke mana-mana. Masih berkeliaran semua kisah yang Josie buka tentang dirinya. Jika itu benar, betapa perih hidup yang dia jalani selama ini. Sedikit banyak aku bisa paham kalau Josie lelah dan ingin meninggalkan semua kemelut hidupnya. Tapi tidak, tidak semudah itu. Hidup masih berjalan, pasti ada yang baik akan datang. Mobil Bang Edo tampak di depan rumah. Tumben, jam segini calon kakak iparku datang. Artinya Kak Lili juga ada di rumah. "Haa ... haaa ...!!" Tawa lepas terdengar dari dalam rumah. Suara Bang Edo dan Kak Lili tertawa bersama. Aku bergegas melangkah menuju teras. Pintu terbuka. Tampak Bang Edo dan Kak Lili ada di ruang tamu. "Hai! Baru pulang?" sapa Bang Edo. "Aku yang harusnya nanya? Kalian berdua ngapain jam segini di rumah? Jam kerja belum kelar," jawabku. Aku masuk di duduk di kursi tepat di samping Kak Lili. Aku perhatikan di meja penuh dengan goodie bag. Ada yang coklat, put
"Kamu memang paling ga bisa liat orang susah. Aku udah hafal tabiatmu yang satu itu. Asal tidak menimbulkan masalah baru saja, Vin." Bang Edo memecah keheningan di antara kami. "Iya, Bang. Aku akan ingat itu." Aku mengangguk. "Sayang, aku harus balik ke kantor. Aku janji paling lambat sebelum jam empat sudah bisa lanjut kerja. Aku pulang agak larut. Jadi ga usah chat atau telpon kalau ga mendesak." Bang Edo berdiri. "Iya, aku ga akan ganggu." Kak Lili menyahut. "Tapi, kalau kirim chat I Love You, ga dilarang. Aku tunggu," sambung Bang Edo. "Duh, bucin ga abis-abis. Bikin jealous kali!" sahutku. Bang Edo ngakak. Dia melambaikan tangan dan berjalan keluar rumah. Kak Lili mengantar ke depan. Aku memilih masuk ke kamar. Lebih baik aku bersihkan badan, istirahat sebentar, lalu mencari strategi bagaimana caranya yang paling tepat bicara dengan wali kelas Josie dan Ibu Kepala Sekolah. Malam ternyata cepat berlalu. Aku tidak juga menemukan cara jitu menolong Josie kecuali bertemu dan b
Aku kaget, benar-benar kaget, Resti menyerahkan buku rahasia Josie padaku. "Kamu apa-apaan?" tanyaku dengan mata setengah melotot. "Pak, kalau ga gini, ga tahu kita yang terjadi. Dan ga ada bukti. Kecuali Josie mau bicara dengan tantenya. Kalaupun tantenya datang, apa iya dia akan ngaku, di rumah tempat dia dan Josie tinggal dipakai untuk adegan dewasa?" Resti memandangku. Aku menghela napas. Resti benar. "Aku tahu ini salah. Aku mencuri buku Josie. Tapi ... tiba-tiba saja aku punya pikiran dan waktu lihat buku itu aku ambil." Resti merasa bersalah juga tampaknya. "Baiklah. Yang penting kita bantu Josie tetap stay di sekolah. Itu dulu," ujarku. "Kamu cepat ke kelas sana." "Iya, Pak," kata Resti. Segera gadis itu meninggalkan aku, bergegas ke kelasnya. Aku menoleh lagi ke arah asrama. Sepi, tidak tampak siapapun. Aku membalikkan badan dan melangkah menuju ke kantor. Bu Rani, aku harus menemuinya, tapi setelah aku mendapat sesuatu dari buku harian Josie. Di kantor sudah lumayan b