"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Mata bulat dan lentik itu menatap tajam padaku. Dengan wajah merah dan bibir terkatup rapat, pandangan kekasihku menghujam dalam. Aku tahu, Lola sangat marah. Ini yang kesekian kalinya setiap aku mengajak Lola bicara, hanya pertengkaran saja yang terjadi di antara kami. "La, kamu dengarkan aku dulu. Jangan selalu saja kamu emosi dan menyalahkan aku." Aku pun ingin meluapkan kekesalanku. Tapi itu tidak akan ada gunanya. Aku memilih menekan rasa marah yang terus menggelitik di dadaku. "Siapa yang mau menyalahkan? Kenyataannya kamu memang salah! Ga mau terima?!" Lola makin meledak. Rambutnya yang dia cat pirang sebahu, ikut bergoyang saat dia dengan tegas menggelengkan kepala. "Bukan begitu, Lola. Sudah tiga minggu kita ga ketemu. Aku mau gunakan waktu ini buat kita evaluasi apa yang terjadi dengan hubungan kita. Kamu paham ga?" Aku geram sekali. "Hubungan kita ga ada masalah, Vin. Kamu pacar aku, aku pacar kamu. Kita sama-sama tahu. Sudah jelas. Aku masih banyak urusan dan kita ga b
Jantungku berdetak begitu kuat. Tanganku mencengkeram stang motor makin erat, berusaha tetap kokoh meski sempat sedikit oleng. Aku memutar haluan dan memaksa motorku minggir ke tepi jalan. Hampir saja aku menabrak seorang gadis. Aku melihat ke sisi kananku. Gadis itu terduduk di atas aspal. Untung jalanan perumahan sepi. Dengan cepat aku menghampiri, sedikit berjongkok di depannya. "Kamu baik-baik saja?" tanyaku. Aku perhatikan kondisi gadis itu. Apakah ada yang terluka? Kalau perlu aku bawa di ke klinik atau apa untuk berobat. Dia tidak menyahut. Dia melempar lirikan tajam, lalu tangannya sibuk memasukkan lagi belanjaannya yang tercecer. Aku ikut membantu mengambil beberapa dan memberikan padanya. "Kalau menyeberang hati-hati," ujarku. Gadis itu kembali hanya menatapku. Tidak bicara apa-apa. Pandangannya dingin dan tidak ramah. Anehnya, tidak tampak dia terkejut karena hampir mengalami kecelakaan. "Di mana rumah kamu? Aku antar saja." Aku menawarkan bantuan. "Kenapa ga sekalian
Gadis dengan mata sayu itu masih terus membayangiku. Yang aku pikirkan, kalau dia nekat mengakhiri hidupnya, bagaimana? Apakah dia mengalami hidup yang sungguh amat sangat berat, sehingga dia kepingin mati? Ah, dia masih sangat muda. Aneh sekali. Gadis seumuran dia harusnya itu penuh semangat untuk mengejar cita-cita. Bagaimana caraku bisa memastikan kalau gadis itu baik-baik saja? Apa perlu aku mencari di gang itu, terakhir kali aku melihatnya? Serius, sayang sekali gadis semuda dia, lumayan cantik, harusnya punya masa depan cerah, tapi justru putus asa dengan hidupnya. "Ngapain juga aku sampai segitunya mikir orang ga dikenal? Itu cewek pasti punya orang tua. Kalau dia kenapa-napa, ya orang rumahnya pasti akan bertindak. Hehh, mending tidurlah. Besok kerjaan udah panjang menunggu." Aku kembali merebahkan badan. Tapi mataku tak bisa juga terlelap. Hingga lebih lima belas menit rebahan, aku duduk lagi. Lebih baik aku mengerjakan sesuatu sampai lelah, baru aku akan bisa lelap tidur.
Gadis di depanku itu dengan cepat mengangkat wajahnya dan menatapku. Kedua alisnya berkerut, seolah-olah berpikir keras. "Siapa, ya? Emang kita udah kenal?" Dia bicara dengan logat Jawa Timur-an. Suara dan bicara yang aku tidak asing rasanya. Aku menduga dia berasal dari Surabaya atau Malang. "Kamu ga ingat aku?" tanyaku balik. Aku sangat yakin dia gadis yang hampir kena senggol motorku. Gadis yang ingin mati itu. "Hmm ... nggak. Ga usah sok kenal," katanya. Aku semakin yakin dia memang bukan berasal dari kota ini. "Kamu murid baru?" tanyaku lagi. "Ya, dan aku udah telat. Benar-benar sial pagi hariku," tukas gadis itu mencibir sambil ngeloyor pergi. Aku menaikkan kedua alisku. Heran dengan sikap angkuh dan cueknya. Benar-benar gadis yang misterius. Apa dia tidak tahu kalau aku guru di sini? Tidak bisa hormat sedikit sama orang! Aku menggeleng-geleng dan meneruskan langkah kakiku. Aku memperhatikan baju yang aku kenakan. Senyum kecil pun begitu saja meluncur di bibirku. Aku tidak
Aku menunggu murid itu membuka suara, menyebutkan apa lagu favoritnya. Tidak ada pergerakan. Wajahnya datar, tatapannya lurus ke arahku. "Josephine. Benar, panggilan kamu Josephine?" tanyaku akhienya. "Josie." Pendek Josie menjawab. "Oke, Josie. Apa lagu favoritmu?" tanyaku lagi. "Ga ada." Datar, itu jawabannya. "Hm?" Aku cukup kaget dengan ucapan pendek itu. Pertanyaanku berlanjut. "Kamu ga suka musik?" "Apa harus punya lagu favorit?" Nada suaranya makin dingin. Aku bisa merasa seketika kelas menjadi sedikit tegang. Beberapa siswa tampak berbisik-bisik. Dari reaksi mereka jelas bukan tanggapan baik dengan sikap Josie. "Anak baru ini, belagu banget, sih. Sopan dikit ama guru, ga bisa?" Salah satu murid dari deretan kiriku angkat bicara. Dugaanku benar, saat bertemu dengan Josie di dekat taman, aku tahu dia mengenakan seragam baru. Dia memang murid baru. Tapi tidak mengira, dia langsung masuk kelas teratas di sekolah ini. Josie melirik ke arah gadis itu, tapi tidak menimpali a