Gadis dengan mata sayu itu masih terus membayangiku. Yang aku pikirkan, kalau dia nekat mengakhiri hidupnya, bagaimana? Apakah dia mengalami hidup yang sungguh amat sangat berat, sehingga dia kepingin mati?
Ah, dia masih sangat muda. Aneh sekali. Gadis seumuran dia harusnya itu penuh semangat untuk mengejar cita-cita. Bagaimana caraku bisa memastikan kalau gadis itu baik-baik saja? Apa perlu aku mencari di gang itu, terakhir kali aku melihatnya?Serius, sayang sekali gadis semuda dia, lumayan cantik, harusnya punya masa depan cerah, tapi justru putus asa dengan hidupnya."Ngapain juga aku sampai segitunya mikir orang ga dikenal? Itu cewek pasti punya orang tua. Kalau dia kenapa-napa, ya orang rumahnya pasti akan bertindak. Hehh, mending tidurlah. Besok kerjaan udah panjang menunggu." Aku kembali merebahkan badan.Tapi mataku tak bisa juga terlelap. Hingga lebih lima belas menit rebahan, aku duduk lagi. Lebih baik aku mengerjakan sesuatu sampai lelah, baru aku akan bisa lelap tidur. Kembali laptopku aku nyalakan. Aku mulai buka file rencana tahun ajaran baru.Ini akan jadi tahun kedua aku mengajar dan dilepas sendiri. Semester yang baru lalu aku masih menjadi asisten saja sebagai guru musik. Tapi setelah ini aku harus menghadapi murid-murid itu sendiri. Dan yang cukup mengejutkanku, aku dipindahkan ke lokasi SMA, bukan lagi SMP."Guru SMA. Hee ...." Aku tersenyum sendiri. "Ga nyangka juga aku jadi guru SMA. Ini sekolahan khusus wanita lagi. Kalau aku cewek mungkin bisa ikut tinggal di asrama."Aku membaca lagi beberapa bagian yang sudah aku buat. Lumayan, kurasa cukup untuk perjalanan satu tahun. Tinggal maksimalkan aktivitas saja. Aku melihat ke jam dinding di tembok samping kananku, hampir tengah malam."Astaga, sudah selarut ini. Ayo cepat tidur, Avin. Besok bisa kesiangan." Aku bicara pada diriku sendiri. Lalu aku mematikan laptop dan merebahkan badan lagi di atas ranjangku.Aku pejamkan mata, memang mulai terasa berat. Wajah dengan mata sayu itu muncul lagi."Apa gadis itu baik-baik saja?" Sekali lagi pertanyaan itu mengusik di hatiku.Jika boleh, aku pingin ketemu satu kali saja biar aku yakin dia tidak mati seperti yang dia inginkan.*****Waktu terus berjalan. Aku sibuk dengan persiapan tahun ajaran baru. Sementara Lola seperti lenyap ditelan bumi. Aku masih berharap sebelum semester dimulai aku bisa bertemu dengannya dan menyelesaikan ketegangan yang terjadi di antara kami.- hai, Vin. Kamu kontak di waktu yang salah. aku keluar kota. Kira-kira dua minggu baru balik.Itu jawaban yang aku terima saat aku mengirim pesan pada Lola. Aku tidak tahu mau bilang apa lagi. Rasa sayangku terus terang saja perlahan memudar. Rindu tidak lagi muncul di hati. Terutama saat aku sibuk dengan banyak hal, Lola seakan bukan sesuatu yang utama di hidupku.Jawaban pesan yang terkesan cuek dari Lola, makin membuat aku enggan kembali menghubunginya. Lebih berguna aku fokus dengan tugas baru yang sudah terpampang di depan mata.Tok tok tok!Pintu kamarku diketuk. Kakakku nongol di depan pintu. "Aku mau jalan. Kamu ga sarapan?""Bentar lagi, Kak. Kakak bikin sarapan apa?" tanyaku sambil mengangkat ransel dan tas laptop yang ada di meja."Roti isi. Kamu bisa bawa saja kalau belum pingin makan," ujar Kak Lili."Oke, thank you," sahutku."Eh, Vin, aku pulang malam. Abis kerja, Edo mau ajak aku ke ultah temannya. Kamu atur aja, mau makan di rumah atau di luar," pesan Kak Lili."Gampanglah. Met bekerja. Good luck!" kataku sambil mengepalkan tangan, memberi semangat."Yaa!" Kak Lili melambai dan melangkah meninggalkan rumah.Aku ke ruang makan, membungkus roti isi lalu berangkat. Dengan motor andalanku, aku memulai perjalanan hari itu. Huh, degdegan juga. Ini hari pertama aku akan mengajar murid yang lebih besar. Seperti apa suasana kelasnya nanti? Kuharap para gadis muda menjelang dewasa itu akan terbuka dan bisa bekerja sama dengan baik.Tidak sampai sepuluh menit aku tiba di sekolahan yang cukup beken di kota Bandung. Unik, karena memang muridnya hanya para wanita. Namun, yang datang untuk belajar di sekolah itu dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Aku bisa katakan Valeri Light Academy ini seolah-olah miniatur Indonesia."Selamat pagi, Pak! Selamat datang!" Sebuah sapaan hangat menyambutku saat aku masuk ke ruang guru. Seorang guru wanita usia kira-kira empat puluhan tahun tersenyum ramah padaku."Selamat pagi, Bu Rani." Aku membalas senyum ramahnya."Sudah siap bertanding semester ini, Pak?" Dia mengulurkan tangan menyalamiku."Begitulah, Bu. Saya pasti akan merepotkan, banyak yang saya masih harus belajar," jawabku. Aku membalas uluran tangan guru dengan postur tinggi dan sedikit gemuk itu."Tenang saja, Pak, kita akan bekerja sama. Saya mengajar vokal untuk kegiatan ekstra anak-anak, Pak Harvino mengajar musik. Saya siap membantu kapan saja." Senyum ramah Bu Rani belum lenyap."Baik, Bu. Terima kasih banyak." Aku mengangguk senang."Oya, Pak, ga usah kaget kalau ada murid yang rada aneh-aneh sama Pak Guru muda yang enak dipandang, ya?" Bu Rani mengangguk-angguk sambil kembali melempar senyum."Oh? Ahh, iya, Bu." Aku nyengir. Aku menangkap maksudnya. Aku ini guru pria, masih muda, dan baru. Yang kuhadapi para gadis di kelas. Kenapa jadi sedikit serem, ya?Bu Rani meneruskan langkah meninggalkan ruangan itu, sedangkan aku menuju ke meja di bagian paling kiri ruangan guru yang lumayan besar itu. Di situ tempat aku berkantor selama di sekolah ini. Sepi juga. Di ruangan yang besar itu, hanya ada aku sendirian. Apa guru-guru memang belum pada datang? Aku meletakkan ransel di bawah sebelah belakang kursi dan tas laptop di meja.Jam sembilan baru aku akan masuk kelas. Mungkin ada baiknya aku berkeliling sekolah. Hari cerah, sepertinya bagus juga menikmati udara segar. Taman-taman di sekolah ini terawat indah dan rapi. Aku senang melihatnya.Kulangkahkan kakiku menuju ke taman samping, di dekat lapangan basket. Di sana ada gazebo untuk duduk bersantai. Dengan langkah ringan aku mengarahkan diriku ke sana. Tepat saat berbelok hampir tiba di taman, seseorang berlari dengan cukup cepat dari depanku dan menabrakku tiba-tiba."Aouuhh!" seru gadis itu. Dia oleng dan hampir terjatuh. Tasnya pun melorot dan hampir lepas dari pundaknya."Ih, jalan lihat-lihat, dong!" sentak gadis itu dnegan suara kesal.Aku segera menegakkan posisiku dan memandang padanya. Gadis dengan seragam baru itu membetulkan letak tasnya, lalu kembali berdiri dan melihat padaku. Mataku langsung lebar menatap padanya. Mata itu! Dua bola mata bulat yang sayu, yang aku lihat malam itu."Kamu di sini?" ujarku masih dengan rasa terkejut.Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten