Jantungku berdetak begitu kuat. Tanganku mencengkeram stang motor makin erat, berusaha tetap kokoh meski sempat sedikit oleng. Aku memutar haluan dan memaksa motorku minggir ke tepi jalan.
Hampir saja aku menabrak seorang gadis. Aku melihat ke sisi kananku. Gadis itu terduduk di atas aspal. Untung jalanan perumahan sepi. Dengan cepat aku menghampiri, sedikit berjongkok di depannya."Kamu baik-baik saja?" tanyaku. Aku perhatikan kondisi gadis itu. Apakah ada yang terluka? Kalau perlu aku bawa di ke klinik atau apa untuk berobat.Dia tidak menyahut. Dia melempar lirikan tajam, lalu tangannya sibuk memasukkan lagi belanjaannya yang tercecer. Aku ikut membantu mengambil beberapa dan memberikan padanya."Kalau menyeberang hati-hati," ujarku.Gadis itu kembali hanya menatapku. Tidak bicara apa-apa. Pandangannya dingin dan tidak ramah. Anehnya, tidak tampak dia terkejut karena hampir mengalami kecelakaan."Di mana rumah kamu? Aku antar saja." Aku menawarkan bantuan."Kenapa ga sekalian tabrak saja aku?" ucapnya sedikit ketus. Dia memasukkan kotak-kotak teh, barang terakhir yang tercecer, ke dalam tasnya.Aku terperanjat mendengar kalimat itu. Apa katanya? Dia pingin aku tabrak? Apa itu artinya dia sebenarnya sengaja agar ada orang menabraknya dan ... astaga!"Kamu baik-baik saja?" tanyaku ulang sambil memandang wajahnya. Tatapanku tertuju pada dua bola matanya yang bagus tetapi sayu. Tidak begitu lebar, bening, tapi ada rautan kesedihan di sana.Aku menduga gadis ini belum tujuh belas tahun. Dari raut wajahnya tampak dia masih baru gede. Tapi sikapnya, benar-benar aneh menurutku."Ga baik, pingin mati," ujarnya sambil berdiri. Kembali dia melirik padaku, lalu berjalan meneruskan langkah, menyebarang jalan.Aku hanya menatap pada gadis itu dengan keheranan. Ini gadis kurang sehat atau apa? Kalau dibilang stress, nggak juga. Dia berpenampilan normal. Dia mengenakan kaos warna krem dengan jeans yang dia kenakan bersih dan trendy. Rambutnya terawat bagus, panjang sepunggung dengan warna hitam mengkilap. Mana mungkin dia gadis stress?"Ada-ada saja," ucapku lirih.Gadis itu terus menjauh, berjalan santai menenteng belanjaan di kiri dan kanan, tanpa menoleh sama sekali. Dia masuk ke gang yang ada di sebelah sebuah apotik. Aku balik ke motorku dan meneruskan perjalanan. Rumah, aku mau cepat sampai di rumah. Aku ingin cepat melenyapkan semua penat yang bertumpuk di kepalaku.Kembali menunggangi motor kesayangan, aku melaju. Tinggal dua blok lagi, aku akan tiba di tempat kediaman kesayanganku. Masuk ke halaman rumah, tercium aroma wangi yang lezat dari arah rumah. Ah, kakakku pasti sedang menyiapkan makan malam. Perutku tiba-tiba saja langsung berbunyi bersahutan.Aku memarkir motor lalu segera masuk ke dalam rumah. Dapur, ke sana kakiku melangkah. Harum ayam bakar makin kuat memanjakan penciumanku."Kak, lapar!" Aku mendekat pada kakakku satu-satunya, wanita istimewa yang sangat aku sayang."Hei, Avin! Baru datang? Ke mana saja?" sapa Kak Lili. Dia menoleh sebentar, lalu balik memandang ayam yang masih dia panggang."Ke rumah Lola." Aku mengambil capitan dan ikut membolak balik ayam di atas kompor alat pemanggang.Kak Lili menoleh lagi. Dia memandangiku, menghentikan tangannya dari sibuk dengan ayam panggang."Kok lesu? Kalian ribut lagi?" tanya Kak Lili."Gitu, deh. Capek aku. Ga usah ngomongin Lola. Aku mau makan, dikit lagi pingsan kelaparan ini," kataku sambil kembali mengurusi ayam panggang."Udah matang itu. Angkat saja. Aku uleg sambalnya bentar," ujar Kak Lili."Siap, Bos cantik." Aku tersenyum.Tidak lama kami duduk bersebelahan di ruang makan, siap menyantap makanan lezat karya Kak Lili. Sebelum suapan pertama, Kak Lili menundukkan kepala, menaikkan doa syukur buat berkat yang kami terima.Aku menatap Kak Lili, keluarga satu-satunya yang aku miliki. Dia jadi segalanya buat aku. Perannya dalam hidupku, selain menjadi kakak, dia juga menjadi ibu dan ayah sekaligus."Amin." Kak Lili membuka mata. "Ayo, langsung saja. Kalau kamu pingsan aku ga kuat mindahin ke kamar." Kak Lili bergurau. Aku terkekeh dengan kata-katanya."Vin, kamu sama Lola tuh, gimana? Makin hari makin ga jelas aja," kata Kak Lili sementara kami mulai makan.Jujur, aku enggan menanggapi. Bicara Lola hanya ada rasa jenuh dan kesal yang muncul di hatiku."Tau, Kak. Dia ga mau peduli. Aku hubungi jarang bisa respon. Kalau ditelpon ga akan lama udah bilang cukup, masih ada kerjaan. Aku ke rumahnya, minta waktu, yang ada uring-uringan dia. Bingung." Aku mengeluarkan uneg-uneg di hatiku."Kamu masih sayang sama dia, ga?" tanya Kak Lili.Aku terdiam. Potongan ayam yang sudah dekat mulut batal aku gigit. Aku letakkan lagi di atas piring dan memandang Kak Lili."Sayang ga sayang." Itu yang refleks keluar dari bibirku."Gimana? Sayang ga sayang, apaan itu?" Kak Lili mengerutkan kening, heran dengan jawaban yang aku berikan."Mau bilang ga sayang, aku sudah lebih tiga tahun pacaran, Kak. Mau bilang sayang, lha dia cuek sama aku. Yang ada cume sebel aja kalau ketemu. Ya ... rasa sayang ini pelan-pelan terkikis dan musnah," tuturku."Hii ... hiii ...." Kak Lili terkikik dengan jawabanku. "Terkikis dan musnah ... Kayak berpuisi saja kamu.""Tante Merlin berharap aku sabar sama Lola. Dia lagi terlalu senang dengan kerjaannya sekarang, jadi yang lain-lain kayak bukan yang penting. Termasuk aku. Kasihan kan, aku? Ga penting buat pacar," tandasku merasa malang dengan diri sendiri."Avin, gimana juga namanya hubungan itu harus ada arahnya. Kamu sudah mapan dengan pekerjaan kamu. Lola juga. Mestinya udah mulai mikir pernikahan," kata Kak Lili. Dia menambah sambal sedikit ke piringnya."Ah, ini lagi. Mesti jelas dulu hubungan kami, baru bisa mikir nikah. Ngobrol aja susah, lebih susah dari mau ketemu presiden," tukasku."Hee ... hee .... Kamu ini bisa aja yang diomongin." Kak Lili menggeleng-geleng.Kami kembali fokus dengan makanan kami. Setelah itu aku pergi ke mandi, mengguyur tubuhku dengan segarnya air. Aku berharap semua kemelut yang terjadi segera berlalu bersama jatuhnya air pe pembuangan. Sayangnya, kenyataan yang kuhadapi masih sama. Lola dan aku, seperti musuh.Akhirnya, aku lemparkan tubuhku ke atas ranjangku yang tidak begitu besar. Nyaman sekali. Aku menatap langit-langit kamar yang bersih. Tiba-tiba kejadian aku hampir menabrak gadis tadi terbayang jelas di pemandanganku."Kenapa ga sekalian tabrak saja aku? ... Aku pingin mati." Wajah cantik dengan bola mata sayu itu kembali membuat aku berpikir.Siapa gadis itu? Mengapa dia bisa begitu tenang ketika sebuah kendaraan hampir menabraknya? Yang dia katakan itu sekadar ngomong karena kesal, atau dia memang sedang dalam keadaan terpuruk sehingga berharap mati saja?"Duh, kenapa aku kepikiran gini, sih? Kenal juga nggak." Aku memejamkan mata. Muncul lagi di pikiranku, lirikan gadis itu dengan bola matanya yang sayu."Kalau beneran dia mau mati? Lalu dia berusaha bunuh diri? Ya, Tuhan ...." Aku segera duduk bersila. Ada sesuatu menggelitik hatiku dan rasa tidak tenang menyusup cepat di sana.Gadis dengan mata sayu itu masih terus membayangiku. Yang aku pikirkan, kalau dia nekat mengakhiri hidupnya, bagaimana? Apakah dia mengalami hidup yang sungguh amat sangat berat, sehingga dia kepingin mati? Ah, dia masih sangat muda. Aneh sekali. Gadis seumuran dia harusnya itu penuh semangat untuk mengejar cita-cita. Bagaimana caraku bisa memastikan kalau gadis itu baik-baik saja? Apa perlu aku mencari di gang itu, terakhir kali aku melihatnya? Serius, sayang sekali gadis semuda dia, lumayan cantik, harusnya punya masa depan cerah, tapi justru putus asa dengan hidupnya. "Ngapain juga aku sampai segitunya mikir orang ga dikenal? Itu cewek pasti punya orang tua. Kalau dia kenapa-napa, ya orang rumahnya pasti akan bertindak. Hehh, mending tidurlah. Besok kerjaan udah panjang menunggu." Aku kembali merebahkan badan. Tapi mataku tak bisa juga terlelap. Hingga lebih lima belas menit rebahan, aku duduk lagi. Lebih baik aku mengerjakan sesuatu sampai lelah, baru aku akan bisa lelap tidur.
Gadis di depanku itu dengan cepat mengangkat wajahnya dan menatapku. Kedua alisnya berkerut, seolah-olah berpikir keras. "Siapa, ya? Emang kita udah kenal?" Dia bicara dengan logat Jawa Timur-an. Suara dan bicara yang aku tidak asing rasanya. Aku menduga dia berasal dari Surabaya atau Malang. "Kamu ga ingat aku?" tanyaku balik. Aku sangat yakin dia gadis yang hampir kena senggol motorku. Gadis yang ingin mati itu. "Hmm ... nggak. Ga usah sok kenal," katanya. Aku semakin yakin dia memang bukan berasal dari kota ini. "Kamu murid baru?" tanyaku lagi. "Ya, dan aku udah telat. Benar-benar sial pagi hariku," tukas gadis itu mencibir sambil ngeloyor pergi. Aku menaikkan kedua alisku. Heran dengan sikap angkuh dan cueknya. Benar-benar gadis yang misterius. Apa dia tidak tahu kalau aku guru di sini? Tidak bisa hormat sedikit sama orang! Aku menggeleng-geleng dan meneruskan langkah kakiku. Aku memperhatikan baju yang aku kenakan. Senyum kecil pun begitu saja meluncur di bibirku. Aku tidak
Aku menunggu murid itu membuka suara, menyebutkan apa lagu favoritnya. Tidak ada pergerakan. Wajahnya datar, tatapannya lurus ke arahku. "Josephine. Benar, panggilan kamu Josephine?" tanyaku akhienya. "Josie." Pendek Josie menjawab. "Oke, Josie. Apa lagu favoritmu?" tanyaku lagi. "Ga ada." Datar, itu jawabannya. "Hm?" Aku cukup kaget dengan ucapan pendek itu. Pertanyaanku berlanjut. "Kamu ga suka musik?" "Apa harus punya lagu favorit?" Nada suaranya makin dingin. Aku bisa merasa seketika kelas menjadi sedikit tegang. Beberapa siswa tampak berbisik-bisik. Dari reaksi mereka jelas bukan tanggapan baik dengan sikap Josie. "Anak baru ini, belagu banget, sih. Sopan dikit ama guru, ga bisa?" Salah satu murid dari deretan kiriku angkat bicara. Dugaanku benar, saat bertemu dengan Josie di dekat taman, aku tahu dia mengenakan seragam baru. Dia memang murid baru. Tapi tidak mengira, dia langsung masuk kelas teratas di sekolah ini. Josie melirik ke arah gadis itu, tapi tidak menimpali a
Masih tak bisa kupercaya rasanya dengan kabar yang aku dengar dari Arka dan Diki. Sampai aku pulang, aku tidak bisa tenang. Makan malam dengan makanan favorit pun rasanya hambar dan tidak selera. Masih tersisa setengah di piring, aku biarkan saja. Aku masuk ke kamar dan duduk di ranjang. Aku sandarkan badan di kepala ranjang. Aku mencoba menghubungi Lola. Tidak ada jawaban. Aku coba bahkan hingga empat kali, panggilan telponku tidak diangkat juga. "Kamu sesibuk apa, sih? Jangan-jangan Arka dan Diki benar. Kamu ga hanya bekerja dengan pergi ke mana-mana dan sering ga ada kabar. Tapi karena kamu juga punya acara dengan cowok lain." Aku bergumam kesal. Tidak ada pilihan. Aku mengirimkan pesan buat Lola. - aku mau kita bicara. ga bisa ditunda. begitu kamu pulang, kita harus ketemu dan menyelesaikan semuanya. Aku kirim pesan itu dengan darah seperti bergemuruh di dada. Aku kenal Arka dan Diki lebih lama dari kenal Lola. Tidak mungkin jika mereka mengada-ada. Tapi di satu sisi hatiku te
Jujur, aku makin merasa tidak dihargai oleh Lola. Sikapnya yang terus saja mau menang sendiri membuat aku benar-benar lelah. "Oke, bicara saja, terserah," ujarku. Aku mundur dan menyandarkan punggung di kursi. Lola mulai bicara ini dan itu yang tidak jelas juntrungannya. Aku sudah ogah mendengar semua yang Lola katakan. Yang aku lakukan mengangguk atau menggeleng, atau hanya menatap saja. Tidak ada niatan aku mendesak Lola mendengarkan aku. Aku benar-benar lelah dengan semuanya. "Paham?" kata terakhir Lola. Matanya masih menyala menatap padaku. "Ya, oke." Aku menjawab dengan lesu. "Avin!" Lola tidak lega dengan jawaban yang aku berikan. "Sudah aku dengar semuanya. Aku paham, kurasa cukup." Aku berdiri dan bersiap pulang. Tidak ada gunanya. Lola tidak mau jujur, tidak mau melihat sisi yang salah dari hubungan kami dan menimpakan semua padaku. Dan menilai aku yang terlalu lebay. Fine. "Kalau gitu aku ga mau kamu ungkit-ungkit soal pekerjaanku, apa saja yang aku lakukan. Aku mau k
"Iya, Pak, aku tahu," ucap Josie. "Terlalu banyak yang aku pingin skip, tapi nyatanya harus aku jalani. Biarpun semua ga adil." Kalimat itu memaksa aku menatap lebih lekat pada Josie. Dia tidak menjelaskan apa yang dia maksud, tapi aku bisa mengerti, dia protes dengan keadaan dirinya. "Boleh kamu jelaskan?" tanyaku. Kedua mata cantik Josie mengerjap beberapa kali. "Ntar PR-ku ga selesai. Mending aku kerjain. Kasih waktu lima belas menit, boleh?" Josie menghindar, tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia segera menunduk melihat pada lembaran tugas dan mulai fokus mengerjakan. Ada iba di hatiku muncul. Gadis ini menyimpan sesuatu. Malam itu, saat hampir bertabrakan dengan motorku, dia tidak takut dan menangis. Justru kesal karena tidak benar-benar tertabrak. Saat di kelas, dia tidak peduli apapun. Lalu hari ini, dia bingung karena tidak bisa mengerjakan tugas dan hampir menangis tiba-tiba entah karena apa. "Sudah, Pak. Kayak gini, ta?" Nada medok Jawa Timur Josie muncul lagi. Aku mema
Aku masih mencoba menerka siapa yang sedang menghubungi aku. Salah satu orang tua murid lesku? Tapi semua aku punya nomornya. Atau ada orang baru mau kasih les musik anaknya? Biasanya langsung lewat admin tempat les. Tapi suaranya rasanya aku pernah dengar. "Ya, halo. Maaf, ini dengan siapa?" Aku bertanya. "Ih, si Bapak, terlalu. Sama murid sendiri aja ga kenal." Suaranya sedikit cempreng dan ringan. Murid katanya. Murid SMA? "Kamu murid kelas 12?" tanyaku lagi. "Iyesss, Pak! Ayo, siapa?" Ruang sekali ini cewek ngomong. "Resti?" tebakku. "Horee!! Berhasil. Pak Guru keren!!" Makin girang suara Resti. "Ada apa? Liburan, kok nelpon? Aku mau malam mingguan." Aku menjawab santai. "Pak, aku di depan rumah." Resti bicara juga dengan santai. "Ngapain?" ujarku. Bingung dengan maksud Resti. "Depan rumah Bapak." Resti melanjutkan. "Apa?!" Aku kaget bukan main mendengar itu. "Haa ... haaa ..." Tawa Resti lepas tanpa kontrol. "Aku mau malam mingguan sama Bapak!" "Resti?!" Aku hampir te
Resti mengeluarkan ponsel dan membuka galeri. Dia menunjukkan satu foto. Aku memperhatikan foto itu. Tampak seorang gadis duduk di atas pohon. Tidak terlihat wajah gadis itu karena foto diambil dari belakang. "Ini Josie?" tanyaku tidak yakin. Gambar diambil dari jarak agak jauh, tidak jelas siapa yang ada di foto. Apalagi kepala gadis itu tertutup penutup hoodie yang dia kenakan. "Emang ga keliatan, Pak. Tapi aku ga mungkin salah. Kamar Josie sebelahan sama aku. Jadi lumayan sering kami ketemu. Mana si Monika, sohib aku, sekamar sama dia. Hafal banget, Pak, aku." Resti meyakinkan aku. "Ini tinggi juga dia naik ke atas pohon. Pohon mangga, kan? Yang di belakang sekolah?" Aku memastikan lagi. "Betul. Dia naik pohon itu bisa tiga sampai empat kali seminggu. Kayak ritual aja. Aku beneran heran." Resti menambahkan. Aku langsung teringat malam kejadian aku hampir menabrak Josie. Gadis itu mengatakan ingin mati. Jangan-jangan ini salah satu cara dia ..."Kamu ga tanya, halangi, atau apa