Share

Bab 4. Murid Baru yang Misterius

Gadis di depanku itu dengan cepat mengangkat wajahnya dan menatapku. Kedua alisnya berkerut, seolah-olah berpikir keras.

"Siapa, ya? Emang kita udah kenal?" Dia bicara dengan logat Jawa Timur-an. Suara dan bicara yang aku tidak asing rasanya. Aku menduga dia berasal dari Surabaya atau Malang.

"Kamu ga ingat aku?" tanyaku balik. Aku sangat yakin dia gadis yang hampir kena senggol motorku. Gadis yang ingin mati itu.

"Hmm ... nggak. Ga usah sok kenal," katanya. Aku semakin yakin dia memang bukan berasal dari kota ini.

"Kamu murid baru?" tanyaku lagi.

"Ya, dan aku udah telat. Benar-benar sial pagi hariku," tukas gadis itu mencibir sambil ngeloyor pergi.

Aku menaikkan kedua alisku. Heran dengan sikap angkuh dan cueknya. Benar-benar gadis yang misterius. Apa dia tidak tahu kalau aku guru di sini? Tidak bisa hormat sedikit sama orang!

Aku menggeleng-geleng dan meneruskan langkah kakiku. Aku memperhatikan baju yang aku kenakan. Senyum kecil pun begitu saja meluncur di bibirku. Aku tidak mengenakan seragam kemeja resmi sekolah. Seragam kaos berkerah, dengan tema sekolah terpampang di sana. Pantas saja dia tidak tahu kalau aku guru. Begitulah kalau wajah tidak lekas tua.

Akhirnya, aku menikmati suasana pagi dengan duduk di gazebo taman. Sambil aku mencari inspirasi untuk mengawali pembukaan kelas. Harus sesuatu yang berbeda. Kalau biasa-biasa saja, murid tidak akan tertarik dari awal, akan berat memaksa mereka mengikuti pelajaran hingga akhir semester.

Drrtt ... Notif masuk di ponselku. Aku mengeluarkan benda tipis yang ada di meja kecil di depanku. Lola? Tumben dia ingat padaku. Aku membuka pesan dari pacarku. Pacar. Menyebut kata itu seperti tidak ada rasa apapun di hati.

- Vin, kamu bisa tengok Mama? Ini aku telpon beberapa kali ga ada jawaban. Ada yang penting aku perlu kasih tahu.

"Aduh, Lola. Nyapa manis dikit kenapa, sih?" Jujur saja, mendapat pesan itu aku bukan gembira.

- aku di sekolah, sebentar lagi mengajar. Hubungi saja ART di rumah. Siang baru aku bisa ke rumah kamu.

Aku menuliskan jawaban. Sebenarnya ada pertanyaan juga yang muncul di kepalaku. Kalau sampai Tante Merlin tidak menjawab Lola, apakah terjadi sesuatu yang buruk? Ah, jauhkan pikiran itu. Sudahlah. Aku mengirim pesan yang aku tulis.

Tidak lama pesan datang lagi dari Lola. Begitu aku baca, rasanya lebih baik tidak aku buka saja pesan darinya.

- Aku minta tolong, Vin. Urusanku ini mendesak. Kasih tugas saja kelas kamu, tinggal bentar, bisa kan?

Aku tidak membalas lagi pesan itu. Aku matikan ponsel. Aku tahu jika aku tidak menjawab, Lola bisa saja juga menerorku. Lebih baik aku balik dan bersiap. Kelas pertamaku akan segera dimulai.

*****

Ruang musik berada di paling ujung. Aku melangkah dengan hati berdebar menuju ke sana. Bukan hal baru mengajar buat aku. Tetapi pegang kelas sendiri dalam jumlah lumayan besar, akan berbeda rasanya dengan saat mengajar les privat atau jadi asisten kelas.

Excited iya, grogi tentu, itu yang aku rasa di dadaku. Tapi, aku adalah gurunya. Aku leader di kelas, aku yang mengatur. Apa yang aku kuatirkan? Aku menghibur diri sendiri. Tinggal beberapa langkah lagi aku akan sampai.

Terdengar suara berisik dari ruangan paling ujung itu. Mau bagaimana lagi? Isi kelas itu semua wanita. Tahulah seperti apa kalau wanita sudah membuka mulut. Cerita A hingga Z tidak ada habisnya.

Langkahku terhenti di depan kelas. Semua mata memandang ke pintu, kepadaku. Gadis-gadis muda, yang baru masuk usia dewasa itu sebagian besar menatap aku dengan wajah terpana.

"Selamat pagi semuanya!" Aku menyapa dengan suara lantang, melempar senyum, agar ketegangan yang aku rasakan segea berkurang.

"Selamat pagi, Pak!" Sahutan serempak menyambutku.

Aku meneruskan langkah menuju ke meja yang ada di sisi paling kanan kelas. Aku tahu semua mata masih menatapku dan beberapa tampak berbisik-bisik. Aku meletakkan tas laptop di atas meja, berdiri di samping meja guru.

"Selamat bergabung dengan kelas musik semester ini. Kita akan belajar bersama-sama dan aku berharap kalian siap melakukan sesuatu yang berbeda." Aku membuka kelas, pendahuluan.

Aku mengedarkan lagi pandangan ke seluruh kelas. Ruang musik, tempat duduk diatur bukan seperti kelas pada umumnya. Kursi siswa berjajar panjang di sisi kiri dan kanan. Sengaja ditata terbuka di tengah untuk memudahkan saat melakukan praktik bermain musik.

Ada yang mengangkat tangan di deretan kanan, hampir pojok. Aku mengangguk mempersilakan dia bertanya. Seorang gadis dengan wajah bulat, sedikit gemuk dan berkacamata. Dan yang menarik justru gadis di sebelahnya, yang duduk di paling ujung kanan. Mataku seketika menatap tajam pada gadis itu.

"Pak, ga kenalan dulu? Ga kenal maka ga sayang!" ujar gadis yang mengangkat tangan.

Aku tersenyum lebar. Siswa di sebelahnya melihat padaku dengan tatapan tajam dan pandangan terkejut. Aku tidak asing dengan wajah gadis itu. Kurasa ....

"Pak!" Dari sisi tengah ada yang menyahut.

Aku menoleh ke arah itu. "Ya, silakan!"

"Kenalannya yang lengkap, ya! Nama, alamat, tanggal lahir, nomor ponsel dan nama di akun sosmed!" Senyum lebar muncul dari murid itu. Seorang gadis dengan rambut coklat terang berponi.

Aku ikut tersenyum lebar. Suasana mulai renyah. Tapi jujur saja, grogi belum menyingkir. Tidak terlalu nyaman hanya sendiri dengan dua puluh satu wanita di dalam ruangan.

"Iya! Setuju! Huhh!!" Riuh mulai terdengar.

"Baiklah!" Aku bicara keras menenangkan kelas.

Kulangkahkan kaki mendekati whiteboard, mengambil spidol dan menuliskan namaku di papan.

'Harvino Gracio Andika'

Aku kembali menghadap ke kelas. "Panggil saja Pak Avin, mudah diingat." Aku meletakkan spidol lalu balik mendekati meja.

"Panggilnya Kak Avin saja kali! Muda gitu, masak bapak-bapak!" Terdengar sahutan di sebelah kiriku.

Sorakan pun menyambut lagi. Aku hanya tersenyum kecil. Beginilah resikonya, menjadi guru muda. Mana aku tampan, kata kakakku. Juga kata mendiang ibuku.

"Oke, Semuanya!" Segera aku meredakan suasana.

Kembali semua mata memandang padaku.

"Giliran aku berkenalan dengan kalian. Aku akan panggil sesuai absen. Yang aku panggil jawab hadir, lalu sebutkan satu lagu favorit kalian." Aku membuka lembar daftar hadir siswa yang ada di meja.

"Oke, Pak! Siap! Mantap! Seru, nih!" Lagi-lagi sahutan terdengar dari beberapa orang.

Mulai aku panggil satu per satu dari siswa dengan abjad paling awal. Anggita, Bellinda, Catherine, Doan, dan seterusnya. Lucu-lucu juga judul lagu yang mereka sebut. Sebagian besar lagu hit dari Korsel. Yang lainnya lagu dalam negeri.

"Istanti Prastika!" Aku memanggil sambil melihat ke seluruh ruangan.

"Hadir, Pak. Bengawan Solo!" Seorang gadis kurus dengan wajah oval menjawab.

"Huaahhh!!" Gelak tawa meledak mendengar jawaban Istanti.

"Kenapa? Itu lagu bagus, kok!" Istanti berdiri dan bicara dengan kesal.

"Ya, Istanti benar. Lagu Bengawan Solo ini sudah go international. Mestinya kita bangga dengan lagu itu." Aku tersenyum pada Istanti.

"Nah, kan!?" ujar Istanti. Dari wajahnya tampak lega karena pak guru membelanya.

"Oke, berikutnya!" Aku kembali melihat ke daftar nama. "Josephine Clarita Vivian Danantya!"

Tidak ada yang mengangkat tangan. Aku mengedarkan pandangan lagi. Dari kiri hingga paling kanan. Murid-murid mengarahkan mata sama ke arah yang aku tuju. Paling kanan.

"Josephine Clarita Vivian Danantya!?" ulangku.

Dengan lesu, tatapan tidak senang, gadis itu mengangkat tangannya. Matanya sayu memandangku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status