Aku menunggu murid itu membuka suara, menyebutkan apa lagu favoritnya. Tidak ada pergerakan. Wajahnya datar, tatapannya lurus ke arahku. "Josephine. Benar, panggilan kamu Josephine?" tanyaku akhienya. "Josie." Pendek Josie menjawab. "Oke, Josie. Apa lagu favoritmu?" tanyaku lagi. "Ga ada." Datar, itu jawabannya. "Hm?" Aku cukup kaget dengan ucapan pendek itu. Pertanyaanku berlanjut. "Kamu ga suka musik?" "Apa harus punya lagu favorit?" Nada suaranya makin dingin. Aku bisa merasa seketika kelas menjadi sedikit tegang. Beberapa siswa tampak berbisik-bisik. Dari reaksi mereka jelas bukan tanggapan baik dengan sikap Josie. "Anak baru ini, belagu banget, sih. Sopan dikit ama guru, ga bisa?" Salah satu murid dari deretan kiriku angkat bicara. Dugaanku benar, saat bertemu dengan Josie di dekat taman, aku tahu dia mengenakan seragam baru. Dia memang murid baru. Tapi tidak mengira, dia langsung masuk kelas teratas di sekolah ini. Josie melirik ke arah gadis itu, tapi tidak menimpali a
Masih tak bisa kupercaya rasanya dengan kabar yang aku dengar dari Arka dan Diki. Sampai aku pulang, aku tidak bisa tenang. Makan malam dengan makanan favorit pun rasanya hambar dan tidak selera. Masih tersisa setengah di piring, aku biarkan saja. Aku masuk ke kamar dan duduk di ranjang. Aku sandarkan badan di kepala ranjang. Aku mencoba menghubungi Lola. Tidak ada jawaban. Aku coba bahkan hingga empat kali, panggilan telponku tidak diangkat juga. "Kamu sesibuk apa, sih? Jangan-jangan Arka dan Diki benar. Kamu ga hanya bekerja dengan pergi ke mana-mana dan sering ga ada kabar. Tapi karena kamu juga punya acara dengan cowok lain." Aku bergumam kesal. Tidak ada pilihan. Aku mengirimkan pesan buat Lola. - aku mau kita bicara. ga bisa ditunda. begitu kamu pulang, kita harus ketemu dan menyelesaikan semuanya. Aku kirim pesan itu dengan darah seperti bergemuruh di dada. Aku kenal Arka dan Diki lebih lama dari kenal Lola. Tidak mungkin jika mereka mengada-ada. Tapi di satu sisi hatiku te
Jujur, aku makin merasa tidak dihargai oleh Lola. Sikapnya yang terus saja mau menang sendiri membuat aku benar-benar lelah. "Oke, bicara saja, terserah," ujarku. Aku mundur dan menyandarkan punggung di kursi. Lola mulai bicara ini dan itu yang tidak jelas juntrungannya. Aku sudah ogah mendengar semua yang Lola katakan. Yang aku lakukan mengangguk atau menggeleng, atau hanya menatap saja. Tidak ada niatan aku mendesak Lola mendengarkan aku. Aku benar-benar lelah dengan semuanya. "Paham?" kata terakhir Lola. Matanya masih menyala menatap padaku. "Ya, oke." Aku menjawab dengan lesu. "Avin!" Lola tidak lega dengan jawaban yang aku berikan. "Sudah aku dengar semuanya. Aku paham, kurasa cukup." Aku berdiri dan bersiap pulang. Tidak ada gunanya. Lola tidak mau jujur, tidak mau melihat sisi yang salah dari hubungan kami dan menimpakan semua padaku. Dan menilai aku yang terlalu lebay. Fine. "Kalau gitu aku ga mau kamu ungkit-ungkit soal pekerjaanku, apa saja yang aku lakukan. Aku mau k
"Iya, Pak, aku tahu," ucap Josie. "Terlalu banyak yang aku pingin skip, tapi nyatanya harus aku jalani. Biarpun semua ga adil." Kalimat itu memaksa aku menatap lebih lekat pada Josie. Dia tidak menjelaskan apa yang dia maksud, tapi aku bisa mengerti, dia protes dengan keadaan dirinya. "Boleh kamu jelaskan?" tanyaku. Kedua mata cantik Josie mengerjap beberapa kali. "Ntar PR-ku ga selesai. Mending aku kerjain. Kasih waktu lima belas menit, boleh?" Josie menghindar, tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia segera menunduk melihat pada lembaran tugas dan mulai fokus mengerjakan. Ada iba di hatiku muncul. Gadis ini menyimpan sesuatu. Malam itu, saat hampir bertabrakan dengan motorku, dia tidak takut dan menangis. Justru kesal karena tidak benar-benar tertabrak. Saat di kelas, dia tidak peduli apapun. Lalu hari ini, dia bingung karena tidak bisa mengerjakan tugas dan hampir menangis tiba-tiba entah karena apa. "Sudah, Pak. Kayak gini, ta?" Nada medok Jawa Timur Josie muncul lagi. Aku mema
Aku masih mencoba menerka siapa yang sedang menghubungi aku. Salah satu orang tua murid lesku? Tapi semua aku punya nomornya. Atau ada orang baru mau kasih les musik anaknya? Biasanya langsung lewat admin tempat les. Tapi suaranya rasanya aku pernah dengar. "Ya, halo. Maaf, ini dengan siapa?" Aku bertanya. "Ih, si Bapak, terlalu. Sama murid sendiri aja ga kenal." Suaranya sedikit cempreng dan ringan. Murid katanya. Murid SMA? "Kamu murid kelas 12?" tanyaku lagi. "Iyesss, Pak! Ayo, siapa?" Ruang sekali ini cewek ngomong. "Resti?" tebakku. "Horee!! Berhasil. Pak Guru keren!!" Makin girang suara Resti. "Ada apa? Liburan, kok nelpon? Aku mau malam mingguan." Aku menjawab santai. "Pak, aku di depan rumah." Resti bicara juga dengan santai. "Ngapain?" ujarku. Bingung dengan maksud Resti. "Depan rumah Bapak." Resti melanjutkan. "Apa?!" Aku kaget bukan main mendengar itu. "Haa ... haaa ..." Tawa Resti lepas tanpa kontrol. "Aku mau malam mingguan sama Bapak!" "Resti?!" Aku hampir te
Resti mengeluarkan ponsel dan membuka galeri. Dia menunjukkan satu foto. Aku memperhatikan foto itu. Tampak seorang gadis duduk di atas pohon. Tidak terlihat wajah gadis itu karena foto diambil dari belakang. "Ini Josie?" tanyaku tidak yakin. Gambar diambil dari jarak agak jauh, tidak jelas siapa yang ada di foto. Apalagi kepala gadis itu tertutup penutup hoodie yang dia kenakan. "Emang ga keliatan, Pak. Tapi aku ga mungkin salah. Kamar Josie sebelahan sama aku. Jadi lumayan sering kami ketemu. Mana si Monika, sohib aku, sekamar sama dia. Hafal banget, Pak, aku." Resti meyakinkan aku. "Ini tinggi juga dia naik ke atas pohon. Pohon mangga, kan? Yang di belakang sekolah?" Aku memastikan lagi. "Betul. Dia naik pohon itu bisa tiga sampai empat kali seminggu. Kayak ritual aja. Aku beneran heran." Resti menambahkan. Aku langsung teringat malam kejadian aku hampir menabrak Josie. Gadis itu mengatakan ingin mati. Jangan-jangan ini salah satu cara dia ..."Kamu ga tanya, halangi, atau apa
Tatapan yang Josie tujukan padaku sangat jelas menunjukkan dia tidak suka aku menyebut namanya. Sayangnya aku tidak mungkin menarik kata-kataku. Dan aku memang sengaja ingin tahu hasil kerja Josie. Jujur saja, aku mengambil resiko Josie akan makin tidak menyukai guru musik yang keren ini. Bisa jadi setelah ini, justru Josie akan membentengi diri lebih kuat dan tidak ingin disentuh atau sebaliknya. "Pak, saya mulai sekarang?" Monika mengangkat tangan. "Ya, oke. Silakan." Aku mengangguk dan meminta Monika maju ke depan kelas. Dengan gitar di tangan, Monika maju duduk di kursi di depan tak jauh dari mejaku. Monika terlihat tenang. Dia mulai memetik gitarnya dan terdengar dentingan lagu daerah Sumatera Barat. Kambanglah Bungo. Manis juga dia memainkan lagu itu. Lumayan juga permainan gitar Monika. "Oke! Pembukaan yang baik dari Monika. Thank you sudah menyiapkan diri dengan baik." Aku cukup puas dengan apa yang Monika tampilkan. Segera arah pandangku bergeser, pada Istanti yang sudah
Langkahku begitu cepat menuju ke belakang sekolah. Kebun cukup luas terhampar di depanku. Beragam tanaman dari jenis perdu hingga pohon besar ada di sana. Sebagian tanaman buah seperti rambutan, jambu, dan juga mangga. Mataku segera mencari deretan pohon mangga yang tinggi. Aku masih ingat jelas, di foto yang Resti tunjukkan seperti apa posisi pohon dan dahan tempat Josie duduk di atasnya. "Sepertinya bagian paling belakang. Memang jarang orang datang ke sana. Tempat paling nyaman untuk bersembunyi dari keramaian," kataku dalam hati. Aku kembali melangkah, makin dalam menjelajahi kebun sekolah. Pohon-pohon mangga mulai gampak di depanku. Dan ... aku menghentikan kakiku. Pohon yang paling ujung dan paling tinggi, di atas sana terlihat Josie. Dia duduk di atas dahan yang lumayan besar dan kokoh, di bagian tengah pohon itu. Posisi Josie membelakangi aku. Dia tidak mungkin sadar ada yang datang ke tempat dia menyepi. Perlahan aku mendekati pohon itu. Saat hampir sampai di bawah pohoh,