Kehidupan tak pernah ramah pada mereka yang lemah.Nesa merasakan hatinya sakit tiada terperi menerima perlakuan Om Beno. Laki-laki yang dia kira selama ini menyayangi dan menjadi pengganti ayah yang tak pernah ia kenal, ternyata hanya menginginkan tubuh mudanya. Perlakuan dan sikap sayang selama ini hanya topeng yang menutupi niat yang sebenarnya.Ia merasakan kebencian yang teramat sangat pada Susan, yang mengirimnya tinggal dengan keluarga Om Beno.“Orang dewasa hanya manusia egois yang selalu memikirkan kepentingan sendiri.”Ia benci Susan. Ia benci Om Beno, dan ia benci pada diri sendiri yang begitu lemah tak bisa melakukan perlawanan saat diperlakukan semena-mena.Mendadak, bayangan ketika tinggal bersama Susan, menyeruak di dalam benaknya. Seketika air mata membanjiri pipinya. Nesa kecil dulu pun harus berjuang se
“Hei! Tolong jaga sikap ya! Tidak peduli apa urusan kalian di masa lalu, saat ini Nesa sudah jadi calon istriku dan aku tidak menerima kehadiran kamu di sini! Silahkan tinggalkan rumah ini!” Raga menatap Aril dengan mata membara.Nesa berusaha melepaskan diri dari Aril. Wajahnya memerah. Matanya menyorot tajam. Hilang rasa takut dan gentarnya menghadapi Aril yang kian kurang ajar.“Nesa minta Mas Aril tinggalkan rumah ini sekarang juga!” Suaranya penuh tekanan. “Jangan sampai urusan ini aku bawa ke ranah hukum. Aku tidak suka Mas Aril datang malam-malam dan memperlakukan aku dengan kurang ajar.”Aril membelalak tidak percaya. “Wow, Nesa yang lembut dan penakut ternyata kini sudah jadi jagon!” Ia menyeringai, tak peduli dengan perkataan Nesa. “Berani mengancam pula. Hebat kamu sekarang!” Ia ingin menyentuh pipi Nesa kembali, namun
Sementara itu, Susan pun tengah bergumul dengan permasalahan rumah tangganya yang rumit. Sikap permusuhan Lee dan perlakuan Bas yang tidak stabil membuat Susan merasa terombang ambing.Lee, anak pertama Bas yang berusia tiga puluh lima tahun, tinggal di rumah Bas sejak dua tahun lalu. Lee bercerai dengan istrinya. Kedua anak laki-lakinya ikut dengan ibu mereka. Lee kembali hidup membujang. Ia memilih tinggal di rumah besar ayahnya dan bekerja di perusahaan Bas. Namun karena usaha mereka kian hari kian menurun, Lee menjadi malas-malasan. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.Susan kerap merasa terganggu dengan keberadaannya. Apalagi Bas sering ke luar kota. Asisten rumah tangga pun kini tak ada yang tinggal di rumah. Mereka hanya datang pagi hingga menjelang siang. Berduaan bersama Lee di rumah membuat Susan merasa tidak nyaman.Apalagi setelah insiden beberapa hari yang lalu. Lee se
Tak terasa, dua tahun sudah Susan menjadi penghuni Mike House. Ia menikmati kemewahan dan petualangan yang didapat di istana megah mereka, tempat ia bebas melakukan apa pun yang ia inginkan, kecuali pergi dari sana.Tinggal di Mike House membuat Susan tak perlu pusing memikirkan uang. Setiap bulan, ia bahkan mengirimi Darsih, sang ibu uang dalam jumlah besar. Ketika Darsih bertanya pekerjaannya, Susan berkata bekerja dengan orang asing.Setiap hari ada saja tamu yang datang ke Mike House. Para gadis menyambut raja-raja itu dengan wajah sumringah. Penampilan menawan dengan senyum ramah tak henti-henti mereka ulaskan. Namun, di antara hari-hari yang sibuk itu, ada satu hari paling disukai oleh seluruh penghuni rumah, khususnya oleh Susan.Gathering Bulanan.Acara itu menghadirkan sensasi tersendiri bagi gadis yang selalu tampil menawan itu. Gathering dihadi
Susan mendorong ayunan dengan pelan. Sepoi angin mempermainkan rambutnya yang hitam tebal. Matanya terpejam, tapi berbagai kenangan seperti terpampang jelas di depan matanya.Sejak usia sepuluh tahun, ia tinggal berdua Darsih, sang Ibu. Ayah Susan meninggal karena kecelakaan. Sebagai anak tunggal, Darsih mencurahkan kasih sayang penuh untuknya. Tapi karena keadaan keuangan mereka yang terbatas, Susan harus bekerja keras untuk bisa tampil layaknya remaja seusia.Sejak SMP ia sudah bekerja. Kala itu Susan membantu Nyonya Sinta, istri Tuan Herman, juragan terkaya di kampungnya. Tugasnya membantu Nyonya Sinta membersihkan kamar dan melayani keperluan pribadi Nyonya Sinta. Sedangkan Darsih, bekerja sebagai pembantu di rumah besar itu.Nyonya Sinta sayang padanya. Ia kerap diajak pergi jalan-jalan saat liburan. Tuan Herman dan Nyonya Sinta tak punya anak perempuan. Kedua anaknya laki-laki dan su
Entah apa yang salah dengan otaknya, tiba-tiba Santi membayangkan Hendra tengah bergumul dengannya, sembari mendesah dan menjerit penuh kepuasan, seperti yang ia dengar semalam.Wajahnya tiba-tiba memerah. Hendra mengamatinya dengan seksama.“Kamu kenapa?” tanyanya sembari mengamati Santi dari atas ke bawah.“Tidak kenapa-kenapa, Pak,” jawab Santi cepat. Suaranya bergetar.Hendra memandangnya dengan senyum dikulum.“Kamu mendengar apa semalam?” Ia mengedipkan sebelah mata pada Santi yang berdiri dengan posisi serba salah tingkah.“Tidak ada Pak,” jawabnya malu-malu. Dadanya bergemuruh kencang.“Hmm, yakin kamu gak mendengar apa-apa?” Hendra semakin senang karena kini wajah Santi bak udang rebus matang.
Sudah seminggu Santi tinggal di rumah Hendra. Setiap pagi, dengan antusias ia menuju ruang kantor di lantai dasar. Pukul tujuh, ia sudah berada di ruangan. Dengan senang hati, ia ikut membersihkan meja kerja dan ruangan kantor. Kini ruangan itu tampak lebih nyaman dan menyenangkan.Ia sangat menikmati hari-harinya menjadi pegawai. Hendra dan Astra pun menyukai hasil kerjanya. “Hebat kamu,” puji Hendra di hari ketiga ia bekerja. “Kamu belajar cepat, dan hasilnya lumayan memuaskan.”Ia tersipu mendapat pujian Hendra.Setiap pagi, Hendra berada di kantor hingga pukul delapan. Dengan pakaian santai dan celana pendek, ia sibuk memeriksa catatan dan beberapa dokumen. Pada saat itu, mereka hanya berdua di ruang kantor.Terkadang Hendra tidak memedulikan kehadiran Santi. Namun ada kalan
“Pak Hendra…. Jangan Pak….” keluhnya dengan rintihan tertahan. “Saya tidak akan memaksa kamu, Sayang.” Hendra berbisik sembari mempermainkan cuping kuping Santi dengan bibirnya. Hembusan nafasnya membuat bulu-bulu halus di tubuh Santi meremang. Pada saat yang sama, jemari tangan Hendra mulai mengembara dan berlabuh di inti tubuhnya dengan gerakan keluar masuk yang membuat Santi tak mampu lagi berpikir. "Pak Hendra..... Jangan," keluhnya. “Aku tidak akan memaksa kamu, Sayang,” ucap Hendra berulang-ulang. “Jika kamu tidak mau, aku akan hentikan.” Namun, tangan dan mulutnya terus bergerak menjelajahi bukit dan lembah di tubuh belia Susanti. Sentuhan dan gerakan-gerakan Hendra membuat gadis itu kian kehilangan nalar. Ia terbang ke langit tinggi, melayang di awang-awang. Namun itu tak cukup. Ia ingin lebih. Ia ingin mencapai nirwana. Ia mendambakan H